1.3 Tujuan
penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan adalah menganalisis efektivitas kelembagaan lokal terhadap sistem pengelolaan pariwisata. Tujuan utama
tersebut didukung dengan tujuan-tujuan khusus lainnya, yaitu 1. Mengetahui kelembagaan lokal yang mengatur tata perilaku wisatawan.
2. Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi terhadap tingkat pelanggarab awig-awig oleh wisatawan mancanegara dan
wisatawan domestik. 3. Mengetahui seberapa dalam efektivitas kelembagaan lokal mengatur tata perilaku
wisatawan.
1.4 Kegunaan
Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang berminat maupun yang terkait dengan masalah sistem pengelolaan ekowisata khususnya
kepada: 1.
Peneliti dan Civitas Akademika Penelitian ini merupakan proses belajar bagi peneliti dalam menganalisis efektivitas
kelembagaan terhadap sistem pengelolaan pariwisata dan diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi bagi penelitian sejenisnya.
2. Masyarakat
Hasil penelitian ini semoga mampu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai permasalahan pariwisata serta kelestariannya.
3. Pemerintah
Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam merumuskan pedoman dan kebijakan untuk sistem pengelolaan pariwisata.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pariwisata
2.1.1.1
Pengertian Pariwisata
Menurut Yoeti 2008 mengatakan bahwa pariwisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke
tempat lain, dengan maksud bukan untu berusaha business atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna
pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam. Pariwisata merupakan sebuah kegiatan atau industri yang mampu menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang cepat terutama dalam hal peningkatan pendapatan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan taraf hidup serta stimulus bagi
pengembangan sektor-sektor lainnya. Pada dasarnya tujuan banyak negara mengembangkan sektor pariwisata adalah untuk memperluas kesempatan kerja dan
lapangan usaha, penerimaan devisa negara, dan mendorong pembangunan daerah. Pada sisi lain kita harus memikirkan dampak yang akan ditimbulkan pariwisata.
2.1.1.2 Dampak Pariwisata
Pariwisata memberikan dampak sosial, ekologi dan ekonomi bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Datangnya wisatawan akan memberikan tekanan ekologis
terhadap kawasan hutan, air, danau atau pantai yang didatangi. Dalam usaha Pariwisata terdapat interaksi antara lingkungan dan wisatawan serta interaksi antar pihak. Interaksi
ini dapat menimbulkan dampak sosial, ekologi dan ekonomi dari pariwisata. Interaksi sosio-ekologis dapat menimbulkan dampak negatif bagi alam maupun masyarakat bila
tidak dibatasi dengan baik. Interaksi antar pihak, yaitu interaksi wisatawan dengan pihak swasta maupun pihak lainnya yang mempunyai kepentingan dalam usaha pariwisata pun
dapat menimbulkan dampak negatif bila tidak dikelola dengan baik. Terdapatnya interaksi dapat menimbulkan perbedaan kepentingan antara komunitas lokal dengan pihak
luar dan hal ini pun dapat menjadi faktor penyebab konflik. Dalam industri pariwisata pasti terdapat usaha-usaha ekonomi yang mendukung jalannya pariwisata. Pariwisata
dapat dikatakan berhasil dalam meningkatkan ekonomi masyarakat bila sektor non- pertanian lebih menghasilkan pemasukan lebih besar dibandingkan sektor pertanian.
Namun, usaha-usaha ekonomi tersebut bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan ketimpangan pada aspek sosial dan ekologis di daerah wisata tersebut. Masuknya
wisatawan kedalam daerah wisata membawa sampah serta kebisingan yang akan terus bertambah bila tidak dikelola dengan kelembagaan lokal yang kuat. Bila hal itu terus
masuk tanpa ada kelembagaan lokal yang memagari, akan menimbulkan gangguan terhadap sektor sosial dan ekologis. Selain konflik yang ditimbulkan akibat korelasi dari
dampak ekonomi, sosial dan ekologis, aktifitas pariwisata berpotensi memicu terjadinya komersialisasi budaya dalam segala bentuk. Memudarnya nilai dan norma sosial dapat
timbul karena masuknya pariwisata ke dalam satu kawasan. Pariwisata dapat menyebabkan perubahan sosial atau modernisasi sehingga menyebabkan memudarnya
nila-nilai yang ada dalam masyarakat itu sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan kehilangan identitas, perubahan perilaku masyarakat, konflik sosial, hingga gangguan
terhadap komunitas setempat baik fisik maupun nonfisik, serta pergeseran mata pencaharian.
Berdasarkan kacamata ekonomi makro, pariwisata termasuk ekowisata memberikan beberapa dampak positif, yaitu Yoeti 2008 :
1. Menciptakan kesempatan berusaha. 2. Menciptakan kesempatan kerja.
3. Meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran
wisatawan yang relative cukup besar. 4. Meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah.
5. Meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto GDB. 6. Mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor
ekonomi lainnya. 7. Memperkuat neraca pembayaran. Bila neraca pembayaran mengalami surplus,
dengan sendirinya akan memperkuat neraca pembayaran Indonesia, dan sebaliknya.
Pengembangan pariwisata ekowisata tidak saja memberikan dampak positif. Pariwisata juga dapat memberikan beberapa dampak negatif, antara lain Yoeti 2008:
1. Sumber-sumber hayati menjadi rusak, yang menyebabkan Indonesia akan kehilangan daya tariknya untuk jangka panjang.
2. Pembuangan sampah sembarangan yang selain menyebabkan bau tidak sedap juga dapat membuat tanaman di sekitarnya mati.
3. Sering terjadi komersialisasi seni-budaya. 4. Terjadi demonstration effect, kepribadian anak-anak muda rusak. Cara berpakaian
anak-anak sudah mendua berkaos oblong dan bercelana kedodoran. Yoeti 2008 mengemukakan bahwa kegiatan ekowisata dapat memberikan dampak pada
berbagai aspek seperti sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak positif dan negatif :
a. Dampak ekowisata terhadap sosial-budaya : Kegiatan ekowisata yang menyajikan kehidupan sosial budaya masyarakat, secara
tidak langsung telah memberikan dampak bagi kehidupan sosial budaya masyarakat sekitar tempat wisata. Dampak yang diberikan antara lain, dengan adanya kegiatan
ekowisata, masyarakat semakin melestarikan budaya dan adat istiadat mereka. Hal ini dikarenakan budaya dan adat istiadat akan semakin menarik minat wisatawan untuk
mengunjungi daerah mereka. Dampak tersebut merupakan dampak yang diharapkan dari kegiatan ekowisata. Akan tetapi, kegiatan ekowisata juga dapat memberikan
dampak negatif berupa lunturnya adat istiadat dan kebudayaan masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan , dengan adanya ekowisata maka akan semakin terbukanya akses
masyarakat terhadap dunia luar yang dibawa oleh para wisatawan. Hal ini dapat membuat masyarakat lokal yang tadinya menjungjung tinggi adat istiadat dan
kebudayaan mereka, menjadi mulai tertarik dengan kebudayaan yang datang dari luar. Dampak negatif ini menjadi persoalan yang harus segera diatasi, mengingat kegiatan
ekowisata tidak saja mempertontonkan keindahan alam, tetapi juga mempertunjukan kehidupan sosial budaya masyarakat sekitar yang dianggap unik dan menarik bagi
para wisatawan. b. Dampak ekowisata terhadap ekonomi :
Ekowisata yang semakin diminati oleh para wisatawan telah memberikan sumbangan yang besar terhadap sektor perekonomian pemerintah daerah juga
masyarakat di sekitar tempat wisata. Menurut Sedarmayanti 2005 kegiatan ekowisata yang banyak menarik minat wisatawan telah memberikan sumbangan
devisa untuk negara dan juga telah membuka kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Masyarakat tidak saja mendapatkan pekerjaan, tetapi juga dapat
menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru yang menunjang kegiatan pariwisata.
c. Dampak ekowisata terhadap lingkungan : Ekowisata sebagai kegiatan pariwisata yang menonjolkan kelestarian lingkungan
menjadikan kegiatan ini lebih memperhatikan kondisi lingkungan daerah sekitar tempat wisata. Pemerintah daerah beserta aktor-aktor penunjang pariwisata lainnya
berusaha melestarikan lingkungan dengan tujuan untuk menarik wisatawan. Keinginan wisatawan terhadap lingkungan hidup yang tenang, bersih dan jauh dari
polusi menjadikan ekowisata banyak dipilih orang sebagai bentuk pariwisata yang diinginkan. Ekowisata sebagai kegiatan pariwisata yang bertanggung jawab juga
menuntut adanya keterlibatan dari wisatawan untuk ikut melestarikan daerah yang dijadikan tujuan wisata. Kegiatan pariwisata yang dulu hanya memikirkan keinginan
dan kepuasan wisatawan tanpa memikirkan dampak yang dialami oleh lingkungan semakin lama semakin ditinggalkan. Oleh karena itu, ekowisata secara tidak langsung
telah memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar tempat wisata.
2.1.2 Pengertian Ekowisata
Ekowisata merupakan isu hangat di Indonesia, banyak orang yang mulai mengkampanyekan dan memulai produk ekowisata karena isu “back to nature yang
sedang gencar dikampanyekan. Pada saat ini ekowisata mulai berkembang, wisata tidak hanya sekedar melakukan pengamatan atas flora dan fauna yang ada dalam daerah
tersebut tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggung jawab.
Ekowisata dalam pandangan ekologi manusia dapat membentuk suatu pandangan tentang pembangunan yang berkelanjutan, ekowisata merupakan sebuah konsep perjalanan wisata
yang dikelola dalam sistem yang baik sehingga dapat menghasilkan kegiatan wisata yang memperhatikan kelestarian.
Ekowisata merupakan suatu perjalanan wisata daerah yang masih alami, dimana ekowisata selalu menjaga kualitas, keutuhan, dan kelestarian alam serta budaya.
Ekowisata dalam pandangan ekologi manusia adalah pendekatan untuk menyelamatkan Sumberdaya alam dengan cara memanfaatkan “jasa lingkungan” berupa keindahan alam
tanpa memberikan kerusakan yang berarti pada Sumberdaya alam tersebut. Pembangunan ekowisata yang berkelanjutan di tentukan oleh Sumberdaya manusia yang berperan
penting dalam pengelolaan ekowisata.
Ekowisata adalah pengembangan dari bentuk industri pariwisata yang menekankan pada upaya pelestarian lingkungan, berintepretasi pada lingkungan, dan
dapat meminimalisir dampak bagi kerusakan alam. Ekowisata dapat pula memperhatikan keberlanjutan lingkungan serta kebudayaan lokal sekaligus menciptakan peluang kerja
dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. TIES 2000 seperti dikutip oleh Damanik dan Weber 2006:39-40 mengidentifikasikan 7 prinsip ekowisata, yaitu:
a Mengurangi dampak negatif pada sumberdaya alam berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.
b Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya.
c Menawarkan pangalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam
pemeliharaan atau konservasi ODTW. d Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi
melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan. e Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal
dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal. f Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan, dan politik di daerah
tujuan wisata. g Menghormati hak azasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan
kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak azasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan
disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata. Pengembangan ekowisata bukan menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi
memerlukan peran aktif dari seluruh stakeholders. Pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pihak swasta serta masyarakat yang harus bekerja sama untuk
membangun ekowisata yang lebih baik. Kesinergisan antar ketiganya menjadi kunci kesuksesan ekowisata.
2.1.3 Masyarakat Adat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama Koentjaraningrat 1990. Masyarakat adat adalah sekumpulan orang yang tingkat dalam satu wilayah dan memiliki budaya sendiri yang memiliki jejak secara
turun temurun. Menurut UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan dirangkum oleh berbagai sumber menyebutkan bahwa masyarakat adat memiliki lima ciri yang berbeda
dengan masyarakat biasa. Karakteristik masyarakat tersebut antara lain : 1 Sekelompok orang yang membentuk masyarakat atau komunitas
2 Memiliki lokasi yang merupakan tempat tinggal mereka 3 Memiliki aturan dan hukum yang jelas
4 Kondisi cultural, budaya dan ekonomi yang khas sehingga berbeda dengan masyarakat lainnya
5 Berasal dari keturunan yang sama. Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata.
Menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata
Damanik dan Weber 2006. Masyarakat lokal mempunyai cara sendiri untuk mengelola pariwisata yang ada di daerahnya karena mereka mengetahui dengan jelas daerah mereka
sendiri sehingga mengetahui serta mempunyai kesadaran bagaimana menjaganya.
2.1.4 Kearifan Lokal
Menurut Keraf 2002 kearifan lokal tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang
menuntut perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan
bagaimana relasi yang baik di antara manusia, tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi yang baik di
antara manusia, tetapi juga menyangkut pengetahuan dan pemahamn masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, tetapi juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi diantara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Konsep kearifan lokal menurut
Mitchell, et al. 2000 berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Konsep kearifan lokal merupakan bagian dari kelembagaan lokal dimana
kerifan lokal tersebut merupakan salah satu bentuk dari kelembagaan lokal yang berasal
dari pengetahuan masyarakat sekitar untuk mengurangi dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat lokal.
2.1.5 Pengertian Kelembagaan
Menurut Schmid 1987 dalam Kartodihardjo et al 2004, Kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana mereka telah
mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak
istimewa yang telah diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Pengembangan kelembagaan tidak sekedar menyangkut pengembangan tata aturan dalam
masyarakat, melainkan pengembangan sistem manajemen serta kontrol didalamnya. Pentingnya kelembagaan untuk pengelolaan atau sistem manajemen dalam ekowisata
dapat meminimalisir dampak negatif sosial-ekologi-ekonomi dari ekowisata sehingga ekowisata dapat berjalan berkelanjutan.
Menurut Uphoff 1993 dalam Soekanto 2009 adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi kebutuhan kolektif.
Sebagian besar sosiolog berpendapat bahwa kelembagaan merupakan suatu konsepsi dan bukan sesuatu yang kongkrit atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kelembagaan
adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Kelembagaan memiliki aspek cultural dan structural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai
sedangkan sedangkan segi cultural berupa berbagai peranan sosial. Menurut koentjaraningrat 2009, kelembagaan adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat
resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam
masyarakat. Rahardjo 1999 menyebutkan bahwa secara umum lembaga sering diartikan
sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam suatu masyarakat. Kelembagaan dalam kaitan ini adalah tindakan bersama collective action yang memiliki
pola atau tertib yang jelas dalam upaya mencapai tujuan atau kebutuhan tertentu. Ini berarti bahwa kelembagaan yang ada dalam suatu masyarakat eksistensinya ditentukan
oleh sifat dan ragam kebutuhan yang ada dala suatu masyarakat. Dengan demikian apabila dalam masyarakat muncul kebutuhan-kebutuhan baru yang semakin meluas dan
beragam, maka lembaga-lembaga lama menjadi kurang berfungsi. Sebagai
konsekuensinya, lembaga-lembaga baru yang instrumental bagi pemenuhan kebutuhan baru itu semakin dituntut keberadaannya. Perubahan kelembagaan tidak hanya berkaitan
dengan kuantitas, melainkan juga menyangkut berbagai aspek kualitatifnya. Diantaranya adalah yang berkaitan dengan pengaruh modernisasi. Sejalan dengan proses modernisasi
yang terjadi, terjadi pula perubahan atau pergantian lembaga-lembaga baru yang modern. perubahan semacam ini bukan hanya menyangkut jenis atau ragamnya, melainkan juga
karakteristik yang terletak padanya. Kelembagaan lama umumnya dilandasi oleh komunalisme masyarakat desa dan fungsi-fungsi yang membaur diffused, sedangkan
kelembagaan baru lebih bertumpu pada individualitas dan diferensiasi fungsi. Perubahan dan perkembangan kelembagaan pada desa-desa di Indonesia ditentukan oleh kondisi
internal maupun oleh pengaruh eksternal desa. Pengaruh eksternal terutama datang dari program-program pembangunan dan hal-hal yang datang dari luar.
Dalam pengelolaan pariwisata terdapat kelembagaan yang menjadi faktor penting dalam pengelolaan pariwisata. Terdapat tiga fungsi kelembagaan, yaitu :
1. Sebagai pedoman masyarakat, kelembagaan berfungsi sebagai pedoman masyarakat yang merupakan sebuah tuntunan masyarakat dalam menentukan sikap dalam lingkungan
tersebut. Dalam pariwisata kelembagaan berfungsi sebagai pedoman Sumberdaya Manusia dalam mengelola sumberdaya alam dalam pariwisata tersebut agar sama-sama
menghasilkan output yang baik bagi alam dan masyarakat. 2. Menjaga keutuhan masyarakat, kelembagaan berfungsi untuk menjaga keutuhan
masyarakat dan memperkuat keutuhan masyarakat itu sendiri, dalam pariwisata kelembagaan dapat menjaga pariwisata itu agar tetap berjalan baik karena masyarakat
yang kuat dari keutuhan kelembagaan dalam pengelolaan pariwisata tersebut. 3. Sebagai sistem pengendalian sosial, kelembagaan berperan sebagai kontrol yang dapat
memperjelas batasan masyarakat dalam pengendalian pariwisata. Sistem pegendalian sosial ini berperan penting menjaga keutuhan pariwisata.
Terdapat dua jenis kelembagaan penting dalam pengelolaan pariwisata, yaitu kelembagaan formal dan kelembagaan informal. Kelembagaan formal adalah sistem tata
aturan yang berdiri berdasarkan legalitas formal, salah satu contohnya regulasi pemerintah. Kelembagaan informal adalah sistem tata aturan yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan masyarakat itu sendiri contohnya aturan adat. Bila pariwisata di kemas sistem pengelolaan kelembagaan yang berpengaruh baik dalam pengelolaan pariwisata,
pengelolaan pariwisata dapat dikatakan sukses bila didukung kelembagaan formal dan
informal yang dijalankan secara berkesinambungan, karena kedua hal tersebut dapat mengurangi dampak ekologi-ekonomi-sosial yang dapat ditimbulkan oleh pariwisata
sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan kolaborasi antara kelembagaan formal dan informal dalam pengelolaan ekowisata agar dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan.
2.1.6 Nilai dan Norma
Menurut Abdulsyani 1994 sebagaimana dikutip oleh Tafalas 2010 mengemukakan nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Nilai dapat dikatakan sebagai ukuran sikap dan beberapa perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan
dengan keadaan baik buruk, benar salah, atau suka tidak suka terhadap suatu obyek baik material maupun non material.
Menurut Setiadi et al. 2011, norma adalah sesuatu yang menjadi pola-pola
pedoman untuk mencapai tujuan dari kehidupan sosial yang didalamnya terdapat seperangkat perintah dan larangan berupa sanksi. Aturan lokal terbentuk berdasarkan
nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma akan berkembang seiring dengan perubahan kesepakatan sosial masyarakat yang sering di sebut sebuat aturan
Lokal. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Norma disusun agar
hubungan antara manusia dalam sebuah masyarakat dapat berlangsung tertib. Terdapat sanksi dalam sebuah aturan lokal, dapat disebut juga sebagai sanksi atas pelanggaran
norma dalam sebuah masyarakat. Aturan terbentuk berdasarkan norma-norma yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan, dan
petunjuk standar perilaku yang pantas dan wajar. Didalam norma, terdapat tingkatan- tingkatan yang membedakan norma yang satu dengan yang lainnya. Tingkatan norma
tersebut antara lain : • Cara usage : suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam
;suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus. • Kebiasaan folkways : suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk
yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar.
• Tata kelakuan mores : sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan
pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsure memaksa atau melarang suatu perbuatan.
• Adat istiadat Custom : kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang
memilikinya.
2.1.7 Interaksi Sosial
Soekanto 2009 mengemukakan bahwa interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan orang-orang perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi du
syarat yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Menurut Soekanto 2009 proses sosial yang mendekatkan atau mempersatukan
dapat diperinci sebagai berikut : 1. Kerjasama berarti bekerja bersama dalam rangka mencapai sesuatu tujuan
bersama. Istilah kerjasama disini adalah padanan kata cooperation co:bersama; operate
: bekerja. 2. Akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu menunjuk pada suatu keadaan,
berarti adanya suatu keseimbangan equilibrium dalam interaksi antara orang- perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-
norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu
usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. 3. Asimilasi merupakan proses-proses sosial dalam taraf lanjut. Hal ini ditandai
dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meiputi
usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan
bersama.
2.2. Kerangka Pemikiran
Industri pariwisata mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat terutama dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta
stimulus bagi pengembangan sektor-sektor lainnya. Pariwisata dapat meningkatan pendapatan masyarakat dan berperan cukup besar dalam peningkatan devisa. Obyek yang
menjadi daya tarik bagi wisatawan dalam konsep pariwisata adalah keindahan alam dan keunikan budaya lokal. Kelembagaan berperan penting dalam sistem pengelolaan
pariwisata, terutama kelembagaan lokal, karena masyarakat yang mengetahui dengan jelas nilai, norma serta kebutuhan untuk mengelola daerahnya. Salah satu bentuk
kelembagaan lokal yang diperlukan untuk pengelolaan pariwisata adalah aturan lokal. Kerjasama antara kelembagaan formal dan kelembagaan informal kelembagaan formal
akan menghasilkan produk pariwisata yang lebih baik. Kelembagaan yang baik disertai sosialisasi dan kontrol yang baik akan berperan efektif dalam pengelolaan pariwisata serta
meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan pariwisata. Dampak didefinisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi di dalam lingkungan
akibat aktivitas manusia. Dalam pariwisata terdapat berbagai aspek yang dapat menimbulkan dampak bagi pariwisata itu sendiri, yaitu aspek ekologis, ekonomi dan
sosial. Setiap kegiatan pariwisata pasti menimbulkan dampak bagi lingkungan dan masyarakat setempat, baik itu dampak negatif maupun dampak positif. Pada aspek
ekologis jelas terlihat kegiatan pariwisata menimbulkan dampak terhadap lingkungan ekologi sekitar. Peningkatan intensitas wisatawan yang datang dalam lokasi pariwisata
dapat menimbulkan gangguan dan pencemaran bagi lingkungan sekitar. Bila melihat pada aspek ekonomi, pariwisata dapat memberi manfaat kepada masyarakat setempat dengan
pembukaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Adanya aktivitas pariwisata memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja,
kesempatan kerja, perubahan dan mobilitas sosial masyarakat. Aktivitas pariwisata dapat menyebabkan pergeseran mata pencaharian masyarakat dari sektor pertanian ke sektor
nonpertanian. Kemungkinan adanya ketimpangan dalam kesempatan kerja dan pendapatan dapat menyebabkan konflik bagi masyarakat setempat. Selain itu, masuknya
wisatawan dapat diartikan sebagai sebuah modernisasi baru yang dibawa wisatawan ke dalam sebuah kawasan pariwisata, hal ini dapat menyebabkan akan terjadinya sebuah
perubahan sosial yang berpotensi memicu memudarnya nilai-nilai dan norma yang ada pada masyarakat setempat, hingga dapat menyebabkan kehilangan identitas dan
perubahan perilaku pada masyarakat. Kelembagaan berperan penting dalam sistem pengelolaan pariwisata. Salah satu
bentuk kelembagaan lokal yaitu berupa aturan lokal yang dibentuk oleh masyarakat
Perilaku Wisatawan
•
Tingkat Pengetahuan
•
Tingkat Pemahaman
•
Tingkat Implementasi
Kelembagaan Lokal
• Aturan Lokal
Obyek Wisata Gili Trawangan
Penghargaan Sanksi
setempat dapat dijadikan pengelolaan pariwisata yang cukup efektif. Aturan lokal tersebut dapat menjaga tempat wisata tetap utuh seperti sebagaimana aslinya. Kelembagaan lokal
yang baik disertai kontrol yang ketat dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan pariwisata. Kelembagaan merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur
masyarakat, yang mana mereka telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu
terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggung jawab yang harus di lakukan. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Keterangan : Berdampak Terdapat
Efektivitas Kelembagaan Lokal Penerapan Kelembagaan
Lokal
Aturan lokal merupakan sebuah bentuk kelembagaan lokal yang ada di Gili Trawangan. Aturan lokal ini dibuat untuk mengatur perilaku wisatawan yang
datang ke Gili Trawangan agar tidak mengganggu dan merusak lingkungan dan masyarakat di Gili Trawangan. Perilaku wisatawan dapat dilihat dari tingkat
pengetahuan, pemahaman dan implementasi wisatawan mancanegara dan domestik terhadap aturan lokal yang ada di Gili Trawangan. Efektivitas
kelembagaan lokal dapat dilihat dari seberapa besar wisatawan menerapkan aturan tersebut, penerapan tersebut didukung oleh bentuk sanksi dan penghargaan yang
beragam bentuknya.
2.3 Hipotesis