dari pengetahuan masyarakat sekitar untuk mengurangi dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat lokal.
2.1.5 Pengertian Kelembagaan
Menurut Schmid 1987 dalam Kartodihardjo et al 2004, Kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana mereka telah
mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak
istimewa yang telah diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Pengembangan kelembagaan tidak sekedar menyangkut pengembangan tata aturan dalam
masyarakat, melainkan pengembangan sistem manajemen serta kontrol didalamnya. Pentingnya kelembagaan untuk pengelolaan atau sistem manajemen dalam ekowisata
dapat meminimalisir dampak negatif sosial-ekologi-ekonomi dari ekowisata sehingga ekowisata dapat berjalan berkelanjutan.
Menurut Uphoff 1993 dalam Soekanto 2009 adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi kebutuhan kolektif.
Sebagian besar sosiolog berpendapat bahwa kelembagaan merupakan suatu konsepsi dan bukan sesuatu yang kongkrit atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kelembagaan
adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Kelembagaan memiliki aspek cultural dan structural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai
sedangkan sedangkan segi cultural berupa berbagai peranan sosial. Menurut koentjaraningrat 2009, kelembagaan adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat
resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam
masyarakat. Rahardjo 1999 menyebutkan bahwa secara umum lembaga sering diartikan
sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam suatu masyarakat. Kelembagaan dalam kaitan ini adalah tindakan bersama collective action yang memiliki
pola atau tertib yang jelas dalam upaya mencapai tujuan atau kebutuhan tertentu. Ini berarti bahwa kelembagaan yang ada dalam suatu masyarakat eksistensinya ditentukan
oleh sifat dan ragam kebutuhan yang ada dala suatu masyarakat. Dengan demikian apabila dalam masyarakat muncul kebutuhan-kebutuhan baru yang semakin meluas dan
beragam, maka lembaga-lembaga lama menjadi kurang berfungsi. Sebagai
konsekuensinya, lembaga-lembaga baru yang instrumental bagi pemenuhan kebutuhan baru itu semakin dituntut keberadaannya. Perubahan kelembagaan tidak hanya berkaitan
dengan kuantitas, melainkan juga menyangkut berbagai aspek kualitatifnya. Diantaranya adalah yang berkaitan dengan pengaruh modernisasi. Sejalan dengan proses modernisasi
yang terjadi, terjadi pula perubahan atau pergantian lembaga-lembaga baru yang modern. perubahan semacam ini bukan hanya menyangkut jenis atau ragamnya, melainkan juga
karakteristik yang terletak padanya. Kelembagaan lama umumnya dilandasi oleh komunalisme masyarakat desa dan fungsi-fungsi yang membaur diffused, sedangkan
kelembagaan baru lebih bertumpu pada individualitas dan diferensiasi fungsi. Perubahan dan perkembangan kelembagaan pada desa-desa di Indonesia ditentukan oleh kondisi
internal maupun oleh pengaruh eksternal desa. Pengaruh eksternal terutama datang dari program-program pembangunan dan hal-hal yang datang dari luar.
Dalam pengelolaan pariwisata terdapat kelembagaan yang menjadi faktor penting dalam pengelolaan pariwisata. Terdapat tiga fungsi kelembagaan, yaitu :
1. Sebagai pedoman masyarakat, kelembagaan berfungsi sebagai pedoman masyarakat yang merupakan sebuah tuntunan masyarakat dalam menentukan sikap dalam lingkungan
tersebut. Dalam pariwisata kelembagaan berfungsi sebagai pedoman Sumberdaya Manusia dalam mengelola sumberdaya alam dalam pariwisata tersebut agar sama-sama
menghasilkan output yang baik bagi alam dan masyarakat. 2. Menjaga keutuhan masyarakat, kelembagaan berfungsi untuk menjaga keutuhan
masyarakat dan memperkuat keutuhan masyarakat itu sendiri, dalam pariwisata kelembagaan dapat menjaga pariwisata itu agar tetap berjalan baik karena masyarakat
yang kuat dari keutuhan kelembagaan dalam pengelolaan pariwisata tersebut. 3. Sebagai sistem pengendalian sosial, kelembagaan berperan sebagai kontrol yang dapat
memperjelas batasan masyarakat dalam pengendalian pariwisata. Sistem pegendalian sosial ini berperan penting menjaga keutuhan pariwisata.
Terdapat dua jenis kelembagaan penting dalam pengelolaan pariwisata, yaitu kelembagaan formal dan kelembagaan informal. Kelembagaan formal adalah sistem tata
aturan yang berdiri berdasarkan legalitas formal, salah satu contohnya regulasi pemerintah. Kelembagaan informal adalah sistem tata aturan yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan masyarakat itu sendiri contohnya aturan adat. Bila pariwisata di kemas sistem pengelolaan kelembagaan yang berpengaruh baik dalam pengelolaan pariwisata,
pengelolaan pariwisata dapat dikatakan sukses bila didukung kelembagaan formal dan
informal yang dijalankan secara berkesinambungan, karena kedua hal tersebut dapat mengurangi dampak ekologi-ekonomi-sosial yang dapat ditimbulkan oleh pariwisata
sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan kolaborasi antara kelembagaan formal dan informal dalam pengelolaan ekowisata agar dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan.
2.1.6 Nilai dan Norma