Deskri psi Keraton Surakarta

A. Deskri psi Keraton Surakarta

1. Struktur dan Tata Letak

a. Alun-alun Utara (Lor)

Alun-alun ini sebenarnya merupakan sebuah halaman luas yang aslinya berpasir. Di tengahnya membelah sebuah jalur jalan disebut Jl.Pakoe Boewono sehingga m embuat alun-alun terkesan menyerupai dua halam an sam a besar dan sebangun berjajar di sisi kiri dan kanan.

T epat di tengah alun-alun tumbuh dua pohon beringin Kiai Jayadaru artinya kemenangan terletak di tepi T imur Jl.Pakoe Boewono. Dan, Kiai Dewandaru m engartikan keluhuran terletak di sisi Barat jalan. Terdapat 4 pohon serupa. Beringin jantan Kiai Jenggot tum buh di arah Barat Daya, yang betina Beringin Wok di T imur Laut. Sedang Beringin Guna tum buh di T enggara. Beringin Bitur di Barat Laut. Sem entara sejum lah beringin lain yang tum buh rapat di sepanjang jalan Gladag tak lebih sebagai pohon peneduh.

Di masa lalu, fungsi alun-alun Utara selain untuk latihan keprajuritan, juga tempat m enyelenggarakan perayaan adat, m isalnya, Sekaten. Bahkan sering pula dipakai oleh para kawula buat unjuk rasa dalam bent uk "pepe" atau berjemur di terik m atahari unt uk menarik perhatian raja. Dalam kesempatan ini rakyat diperkenankan m enghadap biasanya rakyat mengadukan segala persoalan dan ketidakadilan.

Dalam kawasan ini terdapat sejumlah besar bangunan dengan urutan sebagai berikut:

1) Gapura Gladag

T erletak di ujung paling utara. Gapura berhiaskan dua arca Gupala atau Pandita Yaksa yang pernah mengalam i perbaikan di tahun 1930 M T erletak di ujung paling utara. Gapura berhiaskan dua arca Gupala atau Pandita Yaksa yang pernah mengalam i perbaikan di tahun 1930 M

Dalam konsep kosm ologi Hindu tata gapura semacam ini mengart ikan sebuah dunia pusat kosm os. Sedang m enurut sikap batin masyarakat Jawa dimaknakan sebagai perlam bang pengendalian nafsu.

Gladag sendiri dalam bahasa Jawa berarti menyeret. Dahulu, di tem pat inilah hewan-hewan hasil buruan "digladag" sebelum disem belih.

2) Pam urakan

T em pat untuk m em bagi daging hewan sem belihan kepada kawula.

3) Pekapalan

Bangsal yang berjum lah dua unit ini untuk berkumpul para prajurit sebelum berlatih ketrampilan.

4) Pam andegan

Istilah t empat m enambatkan kuda.

5) Bangsal Seton

Gedung tem pat gam elan Kiai Singakrura yang ditabuh pada setiap hari Sabtu guna m engiringi latihan keprajuritan.

6) Paseban

Berjumlah 3 unit , bangsal ini dipakai sebagai pondokan atau transit para Bupati Mancanegara yang akan sowan atau menghadap raja.

7) Masjid Agung

Masjid Agung dibangun secara bert ahap sem asa pemerint ahan Sinuhun Pakoe Boewono III. Pemancangan tiang saka guru dilakukan pada tahun Wawu 1659 (1764 M). Selain menjadi tempat raja bersholat jam aah pada setiap hari besar Islam, di m asjid ini pulalah setiap Raja baru Keraton

Kasunanan diwajibkan beribadah seusai upacara penobatan, Masjid Agung memiliki tingkat kesakralan yang tersusun sepert i lingkaran konsent ris.

Kom pleks bangunannya meliputi dua Bangsal Pagongan yang terletak saling berhadapan di sebelah Selatan dan Utara, menara (dibuat tahun 1923/1924), jam matahari, seram bi, ruang utama, sert a pawestren (ruang putri).

Sepert i bangunan sakral kuno lainnya, bentuk atap masjid bersusun ganjil yang mengandung arti transendent al yakni hirarki m enuju ke dunia atas. Dalam kebatinan Jawa masjid merupakan lambang kiblat ke selamatan.

8) Sasana Sumewu atau Pagelaran

Dulu disebut T ratak Ram bat karena saat pert ama kali didirikan bersamaan dengan pembangunan Kerat on Surakarta sebagai penggant i Kart asura, dan bangunan ini berwujud sebuah pendapa luas berpagar dan berat ap anyam an bambu.

Di zam an Pakoe Boewono X. T ratag Rambat dipugar hingga menjadi sepert i bentuknya sekarang. Bangunan berpilar beton sejumlah 48 ini merupakan tempat abdi dalem untuk menghadap dan m endengarkan berbagai rencana kebijakan dan peraturan keraton yang dikemukakan raja.

9) Bangsal Pengrawit

Merupakan bagian dari Sasana Sumewa tem pat duduk raja saat menerima pisowanan

10) Bangsak Pacikeran

Berada di sisi Barat Pagelaran diperuntukkan bagi para pesakitan yang sedang m enunggu hukum an.

11) Bangsal Pacekotan

Dibangun di sebelah T imur, tempat mereka yang akan m enerima hadiah.

12) Siti Hinggil

T erletak di bagian belakang Pagelaran berdiri di atas tanah yang agak lebih tinggi. Dibangun tahun 1774 M saat pem erintahan Sinuhun Pakoe Boewono III, bangunan yang terkesan menyatu dengan Pagelaran Sasana Sum ewa ini sebenarnya dapat dikelom pokkan sebagai kompleks tersendiri mengingat banyaknya bangsal yang berdiri di sekitarnya. Bangsal atau bangunan-ban gunan itu ant ara lain:

a) Kori Wijil Berupa gerbang atau regol besi yang m enghubungkan dengan Pagelaran. Di sepanjang gerbang ini berjajar m eriam tua peninggalan VOC. Masing-m asing dari arah T imur ke Barat bernam a: Kiai Maesa Kum ali, Kiai Alus, Kiai Sadewa, Kiai Kum barawi. Kiai Kum barawa, Kiai Nakula. Kiai Bagus dan Kiai Bringsing. Di antara deretan meriam - meriam ini terdapat m akam Ki Gede Sala yang sudah sangat tersamar karena (nampaknya) sengaja diratakan dengan tanah halam an Siti Hinggil.

b) Bangsal Sewayana Bangunan ini berada dalam Siti Hinggil. Fungsinya sebagai tem pat duduk putra sentana dan abdi dalem golongan riyo nginggil ke atas wakt u menghadap raja saat perayaan Grebeg.

c) Bangsal Manguntur Tangkil Merupakan bagian dari Bangsal Sewayana. Di tempat inilah raja duduk di atas“watu gilang” (batu pipih halus sebagai gant i singgasana).

d) Bangsal Witana Bangsal Witana terletak di belakang Mangunt ur T angkil, tempat

para em ban abdi dalem pem bawa benda-benda regalia (perlengkapan upacara).

e) Bale Manguneng Masih berada dalam Siti Hinggil. tepatnya di sisi T imur

Mangunt ur Tangkil. Bale Manguneng bentuknya m irip joli berdinding Mangunt ur Tangkil. Bale Manguneng bentuknya m irip joli berdinding

f) Bangsal Gandhek Kiwa dan Tengen Bangsal Gandek Kiwa berada di sebelah Barat Laut bangunan induk Siti Hinggil, fungsinya unt uk menyiapkan perlengkapan upacara disamping sebagai pos para abdi dalem caos (pelaksana sesaji). Sem entara Bangsal Gandhek Tengen berada di T imur Laut, tempat gam elan Kodhok Ngorek ditabuh.

g) Bale Bang T erletak di bagian Barat Daya, tempat penyimpanan gam elan.

h) Bale Angun-angun Berada di sisi T enggara, m erupakan pasangan Bangsal Gandhek T engen. Bedanya, yang ditabuh di sini adalah gam elan Monggang.

i) Kori Renteng Pint u belakang Siti Hinggil yang berhadapan dengan Kori Brajanala. Kori Renteng dan Brajanala dipisahkan Jalan Supit Urang.

b. Kom pleks Baluwarti

Kom pleks ini merupakan kawasan keraton bagian tengah yang di kelilingi benteng tembok tebal dan tinggi unt uk m emisahkan dengan perkampungan luar. Di sinilah dulu para pangeran serta sebagian besar abdi dalem tinggal.

Sekarang Baluwart i cenderung telah berubah m enjadi pem ukiman umum. Kalaupun tidak, penghuninya sudah m erupakan keturunan jauh dari abdi dalem yang kebanyakan tak lagi mengabdi di keraton.

Kini m ulai muncul pengalihan hak kepemilikan tanah sert a rumah di kawasan ini secara diam -diam. Untuk m encegah kecenderungan tersebut, Parentah Keraton tengah mendata kem bali seluruh penghuninya dan Kini m ulai muncul pengalihan hak kepemilikan tanah sert a rumah di kawasan ini secara diam -diam. Untuk m encegah kecenderungan tersebut, Parentah Keraton tengah mendata kem bali seluruh penghuninya dan

Struktur letak bangunan di kawasan ini dimulai dari:

1) Kori Brajanala

Pintu gerbang terdepan yang terletak di sebelah Utara ini berhiaskan potongan kecil kulit sapi segi em pat yang melambangkan candrasengkala “Walulang Sapi Siji”, yang m enunjukkan angka 1708 sebagai tahun pembuatan m enurut kalender Jawa atau 1782 Masehi.

2) Made Rata

Semacam em peran tem pat raja turun atau naik dari dan ke kereta.

3) Kam andungan

Sebuah teras luas dengan dua pint u masuk ukuran besar ke dalam istana.

4) Bangsal Mercukunda

T erletak di bagian Barat halam an dalam Kam andungan, tempat m enghadap abdi dalem prajurit.

5) Bangsal Smarakata

Dibangun di sisi Timur berhadapan dengan Mercukunda. Bangsal ini untuk m enghadap Patih pada setiap hari Kamis. Selain hari tersebut dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul abdi dalem Wedana.

6) Panti Pidana

Rumah tahanan bagi sent ana dan kerabat keraton yang sedang m enjalani hukum an penjara.

7) Sidhikara

Ruang rapat yang sekaligus difungsikan m enjadi tempat pem eriksaan perkara perdata.

8) Kadipaten

Kant or urusan warisan bagi putra sentana.

9) Wismayana

Kant or bagian kontrol.

10) Srimanganti

Sri m angant i m em punyai dua fungsi. Yakni, tempat m enanti para tamu sebelum dterima m enghadap raja. Dan tempat raja menjem put kunjungan pembesar sert a tamu kehormat an. Di atas pint u bangsal bercorak

Sernar T inandu ini berhiaskan relief Sri Makuta Raja. Srimanganti lebih m irip "koridor" karena m enghubungkan langsung antara halam an Kamandungan dengan pelataran dalam keraton. Di kawasan inilah berdiri bangunan-ban gun an pokok keraton. Ant ara lain:

a) Panggung Sangga Buwana Berbentuk menara segi delapan, nama lengkap bangunan ini adalah Panggung Luhur Sinangga Bawana yang sebenarnya merupakan candrasengkala. Panggung dalam perwatakan angka melam bangkan 8. Luhur m engart ikan 0, Sinangga dan Bawana m asing-m asing m enunjuk angka 7 dan 1.

Jika keseluruhannya dirangkai dari belakang akan m enghasilkan angka 1708 sebagai tahun pem buatan berdasarkan tarikh Jawa. Ini, cocok dengan hiasan di atas atapnya yang berujud orang naik di atas punggung seekor naga bersayap yang m enyimbolkan Naga (8) Muluk (0), Tinit ihan (7) Jalma (1).

Ruang teratas dari panggung berketinggian 30 m eter ini sangat dikeram atkan, karena menurut mitos dipercaya merupakan sanggar sem adi dan tempat pert emuan ant ara Raja-raja Kasunanan dengan Kangjeng Ratu Kidul, penguasa gaib Sam udera Selatan.

Sem entara berdasarkan analisa m odern, fungsi panggung sebenarnya unt uk m emata-m atai kegiatan m iliter Belanda dalam Bent eng Vastenburg yang dibangun hanya beberapa puluh m eter di Utara Gladag. Sangga Buwana pernah terbakar di tahun 1954. Setelah Sem entara berdasarkan analisa m odern, fungsi panggung sebenarnya unt uk m emata-m atai kegiatan m iliter Belanda dalam Bent eng Vastenburg yang dibangun hanya beberapa puluh m eter di Utara Gladag. Sangga Buwana pernah terbakar di tahun 1954. Setelah

Sedang Vasternburg sendiri kini justru telah diruntuhkan, dan di atas bekas pekarangannya yang luas akan dibangun hotel berbint ang lima oleh pemilik m odal.

b) Maligi Maligi merupakan bagian terdepan dari Sasono sewoko. Joglo model Lim asan Jubang ini dalam arsitekt ur modern disebut kanopi dipakai sebagai tempat sunat/khitan para pangeran putra raja.

c) Sasono sewoko Berbentuk pendapa luas dengan dapur Joglo Pengrawit. Sasono sewoko berarti tempat unt uk siniwaka atau duduk raja di kursi tahta dihadap abdi dalem berpangkat tinggi. Pada masa Sinuhun Pakoe Boewono IX, pisowanan diselenggarakan setiap Senin, dan Kamis. Sedang, Pakoe Boewono XI m elakukannya hanya pada hari Senin.

Dibangun tahun 1767 M (Wawu 1697), Sasono sewoko berdiri di atas halaman int i keraton yang teduh oleh sejumlah tanaman pohon sawo kecik, sim bol dari "sarwo becik" atau serba baik.

Sasono sewoko yang sekarang m erupakan hasil pembangunan kem bali setelah dalam kebakaran hebat 1985 lampau musnah menjadi abu bersama bangsal utam a lainnya.

d) Paningrat Emperan atau teras yang m engelilingi Sasono sewoko dengan lantai yang agak lebih rendah.

e) Pringgitan Parasdya Berbentuk

Jubungan, bangunan ini menghubungkan Sasono sewoko dengan Dalem Agung Prabasuyasa. Dari pringgitan inilah Sinuhun sering menonton pagelaran wayang kulit yang digelar dalang-dalang keraton maupun gladi kesenian term asuk latihan tari Bedaya Ketawang oleh putri-putri bedaya, terutama

Joglo

Kepuhan Kepuhan

f) Praba Suyasa Berarsitektur Joglo Limasan Sinom Mangkurat, Dalem Ageng

Prabasuyasa terbagi menjadi 4 ruangan penting: Kamar Gading, Kamar Ageng, Gedong Pusaka dan P rabasana.

Sebagai bagian paling utam a dari keraton, Praba Suyasa dibangun di atas berbagai jenis tumbal dan rajah serta inti dari segala emas, perak, permata berlian, tembaga dan besi yang ditanam sebagai alas lant ai bangunan.

T anah urug Praba Suyasa diambilkan dari Desa Talawangi dan Sana Sewu yang pernah dicalonkan sebagai bakal keraton baru penggant i Kart asura sebelum akhirnya memilih Desa Sala.

Pem batalan kedua daerah itu dilatarbelakangi oleh ramalan yang mengatakan pembangunan kerat on di T alawangi hanya mampu bert ahan 150 tahun. Sem ent ara jika didirikan di Sana Sewu umur kerat on akan lebih singkat, sekitar 50 tahun.

Dengan m em anfaatkan cam puran tanah urug dari T alawangi dan Sana Sewu, diharapkan usia Keraton Surakarta mampu m encapai 200 tahun.

g) Sasana Handrawina T erletak tepat di sam ping Selatan Sasono sewoko. Bangunan dhapur Lim asan Klabang Nyander ini dibuat sem asa pemerint ahan Sinuhun Pakoe boewono V sekitar tahun 1823.

Penyem purnaan dilakukan, oleh Pakoe Boewono X. Dinding keliling ruangan digant i kaca, lantai m empergunakan marmer putih, tiang soko ditinggikan dan plafon lama dibongkar digant i baru yang

berornamen. Sasana Handrawina merupakan tempat, perjamuan resm i saat keraton menerima kunjungan tam u-t amu terhorm at.

merupakan hasil merupakan hasil

h) Keputren Kom pleks tem pat tinggal para isteri dan puteri-puteri raja. T erletak di halam an belakang Praba Suyasa, Keputren terdiri dari dua gedung, Panti Rukm i dan Pant i Astuti.

Keputren m erupakan kawasan terlarang bagi pria. Dulu, dalam kompleks ini dilengkapi dengan pasar yang para bakul atau penjualnya terdiri atas para abdi dalem wanita.

i) Banon Cinawi Sering pula disebut T ursinopuri. Bangunan ini dibuat Pakoe Boewono X untuk tinggal 40 selirnya. Berbeda dengan Panti Rukm i dan Panti Astuti yang masih dihuni dan terawat baik. T ursinopuri sudah dalam kondisi rusak parah.

j) Keraton Kilen Berada di Utara Keputren. Keraton kilen m em punyai art i simbolis penyelamatan wahyu raja-raja Jawa. Menjelang jatuhnya tempo ram alan akan habisnya Keraton Kasunanan setelah berdiri selama 2 abad, Sinuhun Pakoe Boewono X mem bangun istana baru, yakni Keraton Kilen, di Barat gunung.. Dengan kepindahan ini diharapkan Kerat on Surakart a terbebaskan dari ram alan tersebut. Gunung yang dimaksudkan dinam akan Junggring Saloka adalah tanah yang ditimbun tinggi dibent uk mirip gunung, lengkap ditanami berbagai jenis pohon menyerupai hutan yang dibangun tepat di tengah memisahkan Praba Suyasa dengan Keraton Kilen.

Kerat on Kasunanan Surakarta telah diramalkan usianya hanya 200 tahun. Oleh karena itu, Susuhunan Pakoe Boewono X setelah mendapat petunjuk gaib, mewiradati supaya Kerat on Kasunanan Surakart a dapat langgeng sepanjang masa dengan membuat Keraton Kilen, ( Keraton yang berada di dalam keraton ). Untuk itu namanya ” Kerat on Kilen Hing Probosono ”. Makna simbolism e pada Probosono yaitu m em ancarkan kesegaran yang alam i sebagai alam tum buh- tum buhan ( tetuwuhan ) terutama tanaman padi ( parisepuh/ hijau daun padi tua ), warna hijau sebagai lam bang kasih sayang atau kecint aan antar keluarga raja dan cint a raja sebagai pengayoman rakyat atau kawula yang m erujuk pada m akna dasar pert um buhan suatu keturunan kerat on yang diharapkan akan m em ancarkan sinar secara alami yang mem iliki kekuatan dan keastian/ percaya diri secara seim bang. Pada gilirannya, para raja yang kelak memim pin kerajaan diharapkan mem iliki ketegaran dan teguh pendirian dalam menjalankan cita-cita luhur keraton ( wawancara : KGPH Poeger ).

Dalam Keraton Kilen Hing Probosono terdapat motif bunga wijaya kusuma yang m erupakan sum ber kekuatan bagi keraton. Bunga wijaya kusuma adalah sejenis pohon yang m asih sekerabat dengan Kolbanda. Bunga wijaya kusuma dipakai untuk penobatan raja dan perm aisuri raja yang sedang hamil sebagai sum ber kekuatan dan keharum annya. Apabila sedang m ekar, dapat m encapai sepuluh m eter wanginya. T anaman wijaya kusuma hanya terdapat di daerah tert entu seperti Pulau Bali, Kepulauan Karim un Jawa, Pulau Nusakam bangan, Pulau Puteran ( dekat Madura ), dan Ambon

k) Argapura dan Argapeni Dua bangunan kem bar yang berdiri berjajar di Argasoka. taman dalam keraton. Fungsi kedua bangunan ini sebagai tempat pemujaan. Argapura dan Argapeni dianggap sebagai pengejawant ahan Krendhawahana, satu diant ara pusat ''pedhanyangan" (kerajaan makhluk halus) di 4 kiblat (arah m ata angin) yang diagungkan

Keraton Surakarta. l) Bandegan

Bandengan m erupakan tempat m editasi dan shalat raja. Bangunan ini terletak di tengah sebuah kolam. Di sisi Barat

Bandengan terdapat semacam cungkup untuk m enyimpan Kiai Pamor, pecahan batu meteorit yang pernah jatuh di sekit ar Prambanan sem asa. Pakoe Boewono X. agak di sebelah Selatan terdapat pershalatan, juga tempat shalat tahajud dan shalat hajat raja yang berbentuk bangunan terbuka berlant ai tinggi.

m) Masjid Pudyasono Didirikan tahun 1912 M, masjid yang terletak di bagian dalam kompleks keraton ini khusus dipergunakan shalat sehari-hari raja sert a keluarganya. Di masjid ini pula jenazah raja dan perm aisuri yang mangkat disucikan sebelum dimakam kan.

n) Madusuko

Tempat tinggal Sinuhun Pakoe Boewono X. o) Langen Katong

Bangunan bert ingkat bekas rumah pribadi Pakoe Boewono II. Salah satu ruangan di lantai atas dinamakan Sanagar Wewarungan yang dipakai Sinuhun melihat perang.

p) Bangsal Puspan Terdiri dari dua bangunan bersebelahan, tempat abdi dalem yang khusus m elayani raja saat berada di Madusuko.

q) Sasana Hadi Didirikan oleh Pakoe Boewono IX ketika m asih m enjadi putra mahkota.4 Gedung ini dilengkapi pendapa yang disebut Parankarsa. Sinuhun Pakoe Boewono X menam bahkan sebuah pintu dinam akan Kori T alangpaten m enghadap ke Utara arah garasi kereta. Sekarang, Sasana Hadi m erupakan tem pat tinggal resmi Sinuhun Pakoe

Boewono XII r) Wismayana

Bangsal yang awalnya dipakai sebagai kantor pengawas keuangan kerat on

s) Sasana Dayinta Dibangun Sinuhun Pakoe Boewono IX sebagai rumah tinggal resmi. Semasa Pakoe Boewono X gedung ini dijadikan kediaman

permaisurinya, Gusti Kangjeng Ratu Hem as, sehingga disebut pula Gedung Kemasan. Nama ini berubah lagi menjadi Dalem Paku Buwanan, karena dipakai sebagai tempat tinggal Gusti Kangjeng Ratu Pakoe Boewono, perm aisuri Sinuhun Pakoe Boewono XI. Selain bangunan-bangunan di atas, m asih terdapat sejumlah besar

bangsal atau gedung lainnya yang berada dalam kawasan kerat on. Diant aranya yang penting adalah:

(1) Kadipaten Anom

Sem acam istana kecil khusus bagi calon pewaris tahta. Gedung di sebelah Tim ur Sasono sewoko yang dibatasi pagar tembok pem isah dengan halaman dalam keraton ini, sekarang beralih fungsi menjadi art galeri yang terbuka untuk kunjungan wisatawan domestik maupun asing.

(2) Sasana Prabu

Gedung kant or raja.

(3) Bangsal Pradangga

T em pat menabuh gamelan saat berlangsun g upacara resmi Kerat on.

(4) Bale Kretarta

Kant or Keuangan Kerat on.

(5) Bale Sitaradya

Kant or P angageng Parentah Keraton.

(6) Bangsal Mandrasana

Kant or Adm inistrasi Invent aris Keraton.

(7) Bale Karta (8) Karyabaksana (9) Sasana Wilapa

Kant or Sekretariat yang mem buat surat dari raja dan mengurus surat- surat masuk ke keraton.

(10) Nguntarasana

T em pat transit para pangeran dan abdi dalem sebelum diperkenankan naik menghadap di Sasono sewoko.

(11) Bale Drawisana

T empat m enyiapkan minum an untuk perjam uan.

(12) Panti W ardaya

Kant or P erbendaharaan.

(13) Sasana Pustaka

Gedung perpustakaan kerat on.

(14) Gandarasan

Rum ah abdi dalem Gandarasa, ahli m embuat sesaji serta tum bal.

(15) Kori Gadung Mlathi

Pint u di kompleks Magangan yang m enghubungkan kerat on dengan alun-alun Kidul atau Selatan. Kemudian Reksa Wahana, Amongraras, Marta Reksa Cangkrama, Gedung Reksa Panjuta, Gedung Joli, Gedung Langen Taya, Gedung Bekakas, Gedung Duryareka, Kori Srim angant i Kidul, Pendapa Pamagangan, Gedhong Cebolan, Gedhong Magasen, (t em pat penyimpanan senjata-senjata api prajurit keraton). Di luar cepuri atau bangunan int i kerat on namun masih dalam kawasan Baluwart i bert ebaran bangunan-bangunan pendukung kelengkapan kerat on, ant ara lain :

(a) Gedong Kereta

Berupa dua bangunan berjajar m em anjang. Satu diantaranya sekarang telah berubah menjadi human. Sedang gedung satunya masih berfungsi sebagai bangsal penyim panan kereta. Sedikit nya keraton memiliki 9 kereta yang masing-masing dipergunakan untuk Berupa dua bangunan berjajar m em anjang. Satu diantaranya sekarang telah berubah menjadi human. Sedang gedung satunya masih berfungsi sebagai bangsal penyim panan kereta. Sedikit nya keraton memiliki 9 kereta yang masing-masing dipergunakan untuk

1. Kiai Garudha Kencana

Dipakai kirab raja seusai penobatan t ahta.

2. Kiai Garudha Putra

Keret a jemputan bagi tamu agung.

3. Kiai Manik Kumala

Dipergunakan raja saat m emeriksa barisan atau parade prajurit kerat on.

4. Kiai Retna Juwita

Keret a unt uk petinggi keraton yangg mewakili raja ketika menghadiri undangan perjamuan.

5. Kiai Siswanda

Keret a jemputan bagi putra sent ana.

6. Kiai Mara Seba

Keret a jemputan bagi pejabat pent ing.

7. Kiai Retna Sewaka

Keret a untuk m elayat.

8. Kiai Raja Peni

9. Kiai Retna Pambagya (b) Kestalan

Berasal dari kata istal. Bangsal ini m erupakan kediam an abdi dalem.

(c) Sasana Mulya

Bangunan berbentuk joglo dengan topengan di bagian depan ini dipakai sebagai tempat penyelenggaraan perhelatan. Persem ayaman jenazah bangsawan dan resepsi pengant in kerat on berlangsung di tem pat ini.

Sasana Mulya sem pat beralih fungsi saat dipinjam sebagai kam pus

Akadem i Seni Karawitan Indonesia (ASKI) kini Sekolah T inggi Seni Indonesia (ST SI) Surakart a, antara 1967-1980.

(d) Suryoham ijayan

Tem pat tinggal Pangeran Suryoham ijoyo, putra Sinuhun Pakoe Boewono X. Rum ah pribadi berpekarangan sangat luas ini dulu pernah direncanakan menjadi lokasi hot el Argosonya yang dibiayai dengan dana rampasan perang dari Jepang. nam un, proyek itu tak pernah terealisasikan tanpa alasan jelas. Sement ara proyek serupa yang dijatahkan kepada Kasultanan Yogyakarta berlangsung m ulus dalam bent uk pem bangunan Hotel Ambarukm a.

(e) Mangkubumen

Rum ah Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi, sulung Pakoe boewono XI. Kondisinya kini rusak parah tak terawat.

(f) Bratadiningratan

Lebih dikenal sebagai Bratan, kediam an Kangjeng Raden Mas Tum enggung Bratadiningrat yang kemudian kepem ilikannya jatuh ke tangan Kangjeng Raden Mas Haryo Purwohamijoyo, putra alm arhum Soedjonohumardani, m enantu Sinuhun Pakoe Boewono XII.

Selain itu m asih terdapat sejum lah rumah sejenis di antaranya: Pakuningrat an,

Suryoputran, Ngabean, Wiryodiningratan, Purwodiningratan, Mlayakusuman. Di luar kawasan Baluwart i masih banyak aset keraton. Bangunan- bangunan yang bertebaran sampai di berbagai daerah ini rata-rata sudah beralih ke tangan pemerint ah. antara lain:

Cokrodiningrat an,

a. Kebon Raja atau Taman Sriwedari.

b. Stadion Sriwedari, dibangun semasa Pakoe Boewono X.

c. Perpustakaan Radya Pustaka, dikelola oleh sebuah yayasan Pahem an Radya Pustaka.

d. Pasanggrahan Langenharjo, Madegondo, Parangjoro,

Tegalgondo, Pengging, Pracim oharjo dan Indromarto yang kesemuanya berada di Kabupaten Sukoharjo sert a Boyolali.

c. Kom pleks Alun-alun Selatan

Orang um um nva m enganggap Alun-alun Selatan atau Kidul merupakan halaman belakang kerat on. Tet api sesungguhny a adalah halaman depan. Menurut konsep Jawa, kiblat sebuah rum ah ditentukan oleh arah

menghadap rumah tersebut. Dalam kaitan ini, Dalem Ageng PrabaSuyasa sebagai pusat dari seluruh bangunan kerat on, jelas m enghadap ke arah selatan dengan dem ikian alun-alun Selatan dapat disimpulkan sebagai halaman depan. "Kiai Tumenggung Wiraguna dumugi Alun-alun pengkeran lajeng nyengkal masjid ageng, beteng dalah sadaya griyanipun Kumpeni... "

Artinya, Kiai T um enggung Wiraguna setelah sam pai di alun-alun belakang lalu mengukur masjid besar, beteng serta loji-loji rum ah Kum peni. Padahal keseluruhan bangunan itu tidak terletak di alun-alun Selatan, melainkan berada di kawasan alun-alun Utara. Nam un, ditilik dari ragam dan kualitasnya, bangunan yang terdapat di alun-alun Selatan m emang lebih sedikit dan sederhana dibandingkan dengan yang ada di alun-alun Utara. Bangunan atau bangsal-ban gsal itu ant ara lain:

1) Siti Hinggil Kidul

2) Lumbung Silayur

Terletak di kanan dan kiri dibalik tem bok pagar Siti Hinggil.

3) Ringin Kurung

Berupa dua pohon beringin di tengah alun-alun yang masing-masing ditanam dalam pagar besi.

4) Kandang Gajah

Kini telah berubah m enjadi perkam pungan padat yang disebut Kam pung Gajahan.

5) Gapura Gading

Gapura Gading mengandung nilai penting karena m enghubungkan keraton dengan arah Selatan yang mistis. Gerbang ini juga dinamakan Gapurendra, dari asal kata Gapura (gerbang) dan Narendra (raja). Pada bagian atas Gapura Gading, terpahat relief timbul Radyalaksana, simbul kebesaran Keraton Kasunanan Surakart a yang dibuat atas perint ah Sinuhun Pakoe Boewono X.

Bent uk dan Art i Radyalaksana Lam bang Radyalaksana berbentuk elips atau oval m irip perisai berdiri

berwarna biru dengan garis tepi emas. Di luar perisai melingkar gam bar padi dan kapas yang gagang bawahnya dijalin sebuah pita merah putih. Sedang pada bagian atasnya berhiaskan mahkota raja atau topong.

Dibagian dalam perisai sisi bawah terdapat gam bar bola dunia (Jawa: Boewono) serta sebuah paku besar yang menancap di tengahnya. Sementara di atasnya terlukis m atanari yang tengahnya bersinar, bulan sabit sert a sebuah bintang yang m em bent uk sudut segitiga. Ketiga benda alam ini melam bangkan arti raja-raja Keraton Kasunanan Surakart a merupakan persatuan darah dari 3 putra Pakoe Boewono I di Kart asura, yakni Pangeran Suryaputra (surya=matahari), Raden Mas Gusti Sasangka (bintang) dan Raden Mas Gusti Sudama (bulan).

Sepeninggal Paku Boewono I taht a Kart asura jatuh ke tangan putra sulungnya. Pangeran Suryaputra yang kemudian begelar Sinuhun Am angkurat

IV yang terkenal disebut Amangkurat Jawi. Setelah wafat ia digant ikan putranya Sinuhun Pakoe Boewono II. Raden Mas Gusti Sasangka yang kemudian bergelar Gusti Panembahan Purbaya ant ara lain m em punyai Putri Raden Ajeng Suwiyah, yang kemudian diam bil istri Sinuhun Pakoe Boewono III. Sampai pada tataran ini berart i keturunan Surya Putra telah m enyatu dengan Sasongko. Sem ent ara Raden Mas

Gusti Sudom a kem udian diwisuda menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Harjo. Balitar mempunyai seorang putri bernam a Raden Ajeng Wulan yang diperisteri Kangjeng Gusti Pangeran Arya Mangkunagara, putra tert ua Sinuhun

Amangkurat Jawi. Dari pernikahan ini lahir Raden Mas Sahid alias Sam bernyawa kelak menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunagara I.

Dalam perkawinannya dengan seorang wanita asal Desa Nglaroh, Raden Ayu Sepuh, Mangkunagara I m em peroleh putra Kanjeng Pangeran Harya Prabuwijaya. Setelah dewasa Prabuwijaya menikah dengan Kanjeng Ratu Alit, putri Pakoe Boewono III, menurunkan putra Mangkunagara II.

Mangkunagara II menyunting putri Adipati Sindureja, mempunyai putra Kangjeng Pengeran Haryo Hadiwijaya, yang kem udian kawin dengan putri Pakoe Boewono VIII, Kanjeng Ratu Bendara. Dari pernikahannya ini Mengkunagara II memperoleh putri Raden Ajeng Kustiyah. Setelah dewasa Kustiyah dipermaisuri Pakoe Boewono IX dan melahirkan putra Sinuhun Pakoe Boewono X. Setelah berproses selam a 10 generasi inilah darah keturunan matahari, bulan dan bint ang bertem u pada Pakoe Boewono X, sebagaim ana yang tergambar dalam lambang Radyalaksana.

2. Makna Filosofis

Rangkaian dan tata letak bangunan-bangunan jelas m enunjukkan adanya pem isahan ant ara keraton dengan dunia luar. Selain itu setiap pem bagian ruangan terkesan diorent asikan ke satu titik tahta raja.

Strukt ur sem acam itu mengartikan keraton dianggap sebagai pusat mikrokosm os tem pat pulung atau wahyu keraton bersem ayam. Sedang pulung mengandung m akna prinsip kekuasaan dari wangsa yang sedang m em erintah, yang keberadaannya mem ancarkan pengaruh ke segenap penjuru.

Dalam art i lain kerat on dim itoskan sebagai orde kosm is sumber kekuatan sakral transendent al yang berperan menjadi penghubung dengan makrokosmos. Mitos ini menunt ut untuk senant iasa diaktualisasikan dalam bentuk ritual sebagai

perilaku simbolis yang terwujudkan dalam berbagai ragam dan jenis kebudayaan. Mitologisasi dan ritualisasi ini pada gilirannya akan menem patkan keraton sebagai pusat keselarasan antara m ikro dengan m akrokosmos.

Untuk m encapai tingkat tersebut jenjang kom unit as menjadi unsur menent ukan. Penghayatan akan nilai-nilai kedudukan raja, alat-alat upacara, regalia sert a pusaka-pusaka bukan saja perlu ditanamkan. T erlebih juga m enuntut untuk dilem bagakan.

Ragam kesenian dan budaya yang fakt ual bisa ditem ukan dalam daerah persebaran yang luas setidaknya mem buktikan sejauh m ana keraton telah berhasil membumikan aspek etis, estetis maupun ide-ide kebudayaannya dalam kehidupan masyarakat luas.

T ata letak bangunan Keraton Surakart a dilandasi oleh konsep spiritual kosmogoni yang sudah lama dikenal masyarakat Jawa sejak m asa pra-Islam. Int i dari konsep ini ialah kepercayaan adanya keselarasan antara jagad kecil (mikrokosmos berarti dunia manusia) dan jagad besar (makrokosm os berarti alam sem esta).''

Kosm ogoni menurut paham Hindu lebih dipert egas lagi dalam pengertian raja sebagai titisan dewa-dewa penguasa mikrokosm os. Kemudian sert a ketentraman dunia dapat dicapai dengan cara m enyelaraskan keadaan yakni menyusun keraton sebagai gam baran dari alam sem esta dalam bentuk kecil. Karenanya, istana secara fisik diarahkan untuk m em enuhi konsep kosm ogoni.

Nilai-nilai keselarasan ant ara m ikro dengan makrokosm os tersebut banyak yang kem udian dijabarkan dalam pembagian wilayah, ragam hias maupun bent uk-bent uk bangunan. Menurut pandangan tradisi masyarakat Jawa, Bangsal Srim angant i, m isalnya, diibaratkan jalan m enuju surga. Sebab itu, segala bentuk nafsu duniawi harus ditanagalkan sebelum orang masuk ke dalam keraton.

Sementara m enilik perbedaan seni bangun dan seni hias bangsal-bangsal di bagian Utara dibandingkan yang di Selatan menyimpulkan sikap seorang raja yang m endahulukan kepentingan umum. Ini selaras dengan bangunan-bangunan di alun-alun Utara yang rata-rata lebih megah karena berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara bagi m asyarakat. Sedang bangsal-bangsal yang berada di alun-alun Selatan lebih bersifat unt uk mem enuhi kepentingan keraton.

Secara skematis halaman dan bangunan yang terdapat di dalam kompleks keraton m erupakan gambaran m ikrokosmos. Pintu-pint u gerbang tak lain adalah Secara skematis halaman dan bangunan yang terdapat di dalam kompleks keraton m erupakan gambaran m ikrokosmos. Pintu-pint u gerbang tak lain adalah

Nama-nama bangunan di sekitar Probo Suyoso juga disesuaikan dengan nam a-nam a pada pusat kosm os seperti : Junggring Saloka, tak lain adalah istana para dewa dipuncak Meru.

Bangunan-bangunan yang terdapat di halam an keraton penat aannya berderet ke Utara-Selatan dan Tim ur-Barat. Bangunan utama yang berada di tengah diwakili Praba Suyasa, Sasono Sewoko dan Sasana Handrawina. Sisi Tim ur diwakili Kadipat en dan bagian Barat oleh Keputren.

Strukt ur penataan bangunan yang sedimikian ini, lebih banyak dipengaruhi unsur kepercayaan Jawa dari m asa Majapahit. Sesuai m itos, T imur dianggap arah yang paling tua. Arah ini m enempati posisi pent ing, karena berkaitan dengan Dewa Matahari, lam bang awal kehidupan.

T itik sent rum dari seluruh rangkaian bangunan dalam kompleks keraton adalah Panggung Sangga Buwana. Bangunan berbent uk menara ini m em bagi keraton menjadi im bangan dua kekuatan kehidupan dunia-akhirat.

Sisi kiri Sangga Buwana m ewakili konsep rohani hablum inallah. Sebaliknya sebelah kanan panggung melam bangkan aktivitas duniawi habluminannas. It u sebabnya kerat on membangun tempat-t em pat peribadatan keagamaan selalu di

sebelah Barat . Sedang sisi Timur m erupakan kawasan pengem bangan perekonom ian, seperti pasar, pert okoan dan sebagainya.

3. Adat Keagam aan

Masih ada sejumlah upacara adat keraton yang terkait erat dengan keagam aan, dalam hal ini agam a Islam . T radisi ini merupakan warisan sistem syiar Islam yang dilakukan Wali Songo dan juga Sultan Agung. Menurut sejarah. Islamisasi di tanah Jawa diawali setelah runt uhnya kerajaan Majapahit (1518 M) Masih ada sejumlah upacara adat keraton yang terkait erat dengan keagam aan, dalam hal ini agam a Islam . T radisi ini merupakan warisan sistem syiar Islam yang dilakukan Wali Songo dan juga Sultan Agung. Menurut sejarah. Islamisasi di tanah Jawa diawali setelah runt uhnya kerajaan Majapahit (1518 M)

Jadi sejak kerajaan Islam pertama di tanah Jawa berdiri abad ke-16 M, telah terjadi proses akulturasi kebudayaan istana yang bersifat Hindu-Jawa dengan kebudayaan Islam. Proses itu m erupakan Islamisasi budaya istana. Ada em pat pert imbangan yang m elatar belakangi terjadinya proses Islam isasi tradisi lam a di antaranya disebutkan warisan budaya istana yang dinilai am at halus, adiluhung sert a kaya pada zam an Islam tent u bisa dipertahankan dan di masyarakatkan apabila dipadukan dengan unsur-unsur islam.Kem udian pihak istana sendiri sebagai pendukung dan pelindung agama merasa perlu mengulurkan tangan untuk menyemarakkan syiar Islam.

W ayang sebagai salah satu produk kebudayaan istana yang berbau unsur Hinduisme tidak harus dibuang. W ayang oleh W alisongo tetap dimanfaatkan secara opt imal dalam kegiatan dakwah. Islamisasi wayang ini terlihat dengan masuknya jim at layang kalimosodho (kalimat syahadad) yang dijadikan pusaka Kerajaan Amarta (Pandawa). Jim at ini merupakan pem ikiran dalam mem berikan legalitas Syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas m enjadi inti dari kebudayaan Keraton.

Kreasi para wali dalam bidang pewayangan juga m enghasilkan perlengkapan-perlengkapan kelir (layar) yang melam bangkan langit sert a alam sem esta. Kem udian debog (batang pisang) yang disim bolkan sebagai bumi, balencong (pelita besar) yang m elambangkan matahari dan dalang perlam bang cara T uhan m engatur m akhluk-Nya.Disamping Sunan Kalijaga juga mem berikan warna Islam, terhadap bent uk dan karakter para tokohnya sehingga tidak bert entangan dengan Islam . Sementara Sunan Bonang membuat detail dan bagian seperti hutan dengan aneka m argasatwanya yang m elam bangkan m akhluk Tuhan.

Begitupun Raden Fatah Sultan Demak m enciptakan gunungannya. Kerja kolekt if para wali itu akhirnya melahirkan permainan yang bermutu dan m enarik. Tujuannya tak lain untuk mendidik dan mengajarkan secara tidak langsung nilai-nilai keislaman khususnya m engenai tarekat dan m istik kepada orang Jawa yang m enggem ari wayang.

Sementara Sunan Giri juga melakukan terobosan yang sangat berart i. Ia mengarang kit ab ilm u falak yang disesuaikan dengan alam dan disesuaikan dengan pikiran orang Jawa. Kitab ini dapat dijumpai di m useum Radya Pustaka Solo, suatu kit ab yang digubah Pujangga Ranggawarsita berdasarkan hasil-hasil buah pikiran Sunan Giri II dengan nama kitab atau serat Widya Praddana.

Dalam W idya Praddana dapat dijum pai ilm u falak sebagai astronomi dan memuat penanggalan atau almanak yang berlaku bagi orang Jawa didasarkan atas prinsip-prinsip ilm u falak Islam, ant ara lain m eliputi nam a-nam a hari, tanggal, tahun, windu dan sebagainya. Dari istilah-istilah Hindu Budha, diubah menjadi istilah Islam. Selain m em ugar aspek kebudayaan, tindakan ini menunjukkan suatu proses Islamisasi.

Disam ping itu dikarang juga ilmu falak sebagai astrologi sepert i perhitungan nasib, kitab tentang naas atau apes, nasib malang atau keburuntungan dengan nam a nujum atau ram al dan kitab ilmu Firasat. Masih banyak lagi kreasi Walisongo yang menjadi wasilah (penghubung) m engislam kan tanah Jawa. Misalnya, mengadakan upacara tradisi guna m emeriahkan peringatan-peringatan hari besar Islam. Peringatan tersebut dikemas secara kreatif sehingga menarik perhatian banyak orang.

a. Sekaten

Sekaten.adalah salah satu upacara tradisi peringatan hari besar Islam karya Walisongo yang hingga kini m asih m enarik perhatian m asyarakat. Sekaten diselenggarakan untuk m enyambut peringatan lahirnya Nabi Muham maad Saw

yang jatuh pada tanggal 12 Rabbingul-awal (Robiul Awal). Upacara adat keagam aan tahunan ini dipusatkan di Masjid Agung dari tanggal 5 sam pai dengan

12 Rabbingul awal.

Sekaten berdasarkan tafsir etika m oral berasal dari kata `sekat i' yang memiliki arti setara di dalam m enim bang hal baik atau buruk. Sedangkan berdasarkan tafsir ketaukhidan, berasal dari kat a: Syahadatain yakni m eyakini kebenaran perkara dua: yakin kepada Allah SW T (Syahadat T aukhid) sert a yakin dan percava kepada Nabi Muham mad sebagai utusan Allah (Syahadat Rassul)

Upacara sekat en diawali dengan prosesi turunnya dua perangkat gam elan dari Keraton menuju halam an Masjid Agung. Dua perangkat pusaka gam elan bernam a Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari ini melambangkan kalimat syahadatain (dua kalimat sahadat). Kiai Guntur Madu di sebelah Selatan yang ditabuh pertam a melambangkan Syahadat Taukhid, sedangkan Kiai Gunt ur Sari yang berada di bagian Utara sebagai Syahadat Rassul.

It ulah kreasi peninggalan Walisongo dalam m elakukan Islam isasi di tanah Jawa. Mereka tetap m em pert ahankan unsur-unsur kebudayaan peninggalan lam a untuk kepentingan m asing-m asing dua perangkat gam elan di atas juga mengandung makna Islam. Rambu berasal dari kat a arab Rabbuna (Allah Pangeranku) sedangkan rangkung atau Roukhun jika diartikan menjadi jiwa besar atau jiwa agung.

Saat pert ama gending Rambu akan ditabuh seusai sholat Ashar tanggal 5 Rabbingulawal (Maulud), banyak ibu-ibu yang berduyun-duyun masuk ke halaman m asjid Agung guna m endekati gamelan. Mereka ingin m endengarkan langsung gending pem buka sembari makan sirih. Karena di kaalangan masyarakat sejak lama beredar kepercayaan siapa yang m akan sirih saat gamelan Sekaten diperdengarkan bakal awet muda. Begitu pun petani yang mem beli pecut (cambuk) ternaknya akan cepat berkembang. Dari kepercayaan itu akhirnya turunnya gamelan selalu diikuti datangnya para penjual sirih, pecut dan m akanan khas tradisional nasi liwet, telur asin, wedang ronde dan sebagainya.

Dengan daya tarik perayaan sekaten di atas, masyarakat mau berduyun- duyun menuju masjid kemudian mengert i hari besar Islam khususnya kelahiran Rasulullah Saw. Bahkan ada pula yang langsung bisa mengucapkan dua kalimat Syahadat. sebagai ikrar dirinya mem eluk agam a Islam . Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muham madarrasulullah (Tidak ada Tuhan kecuali

Allah dan Muhammad Rasul utusan Allah). It ulah strategi Walisongo dalam m elakukan Islamisasi. Perjuangan dakwahnya terhadap masyarakat Jawa yang m asih tebal rasa Syiwa dan Budhanya. tidak sekaligus membanjiri Islam dalam format keakraban, m elainkan memberikan keislaman dalam kem asan tradisi Jawa yang banyak dipengaruhi Hindu dan Budha sem uanya tent u dilakukan tetap berdasarkan hukum ketent uan Sunatullah yang telah digariskan dalam Alquran.

b. Grebeg

Setelah sekaten berlangsung tujuh hari, sebagai acara penutup diadakan upacara grebeg, sedekah m akanan dari Sinuhun Pakoe Boewono. Upacara ini juga sering disebut ‘Gunungan’, karena sejumlah makanan disajikan dalam bentuk gunung. Secara rinci Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwijaya m enguraikan bahwa gunungan terdiri 24 jodang (usungan tem pat makanan) besar yang terbagi

12 jodang gunungan laki-laki dan 12 lainnya jodang gunungan perem puan. Selain itu juga diselingi anak-anak (saradan) dan 24 ancak-catoka (jodang ukuran kecil). Gunungan laki-laki berbentuk tumpengan, mengerucut setinggi melebihi orang berdiri. Dipuncaknya dihias ento-ent o (sejenis makanan yang berbentuk bulat) sebanyak 4 buah dan diatasnya lagi satu buah. Ini melam bangkan manunggalnya rasa sejati. Kemudian pada puncaknya ditancapkan bendera kecil gulo-klopo (m erah putih) yang m elam bangkan laki-laki perempuan.

Sedangkan gunungan perem puan bent uknya seperti gender (instrumen gam elan), karenanya juga disebut ‘gegenderan’. Segala sesuatunya tak beda dengan gunungan laki-laki.

Prosesi ‘Gunungan’ dari keraton m enuju masjid Agung dipimpin patih dengan diiringi pembesar keraton. Dalam memim pin prosesi ini patih selalu tam pil tegap dan berwibawa, m enghindar dari segala pandangan yang mengganggu pelaksanaan hajat raja. Dan unt uk menguji iman di depannya

ditampilkan tarian lucu “cantang balung”. T arian yang dulu dilakukan para Brahmana ini memang sengaja untuk m enguji, jika tertawa pertanda masih dapat tergoda.

Form asi iring-iringan Gunungan dari halam an Kamandungan menuju masjid, yang paling depan Gunungan laki-laki diikuti anak-anak dan Gunungan perempuan. Berikutnya adalah acak catoka dalam formasi berjajar dua-dua diapit abdi dalem diiringi gending Munggang, sedangkan pada rombongan ancak- cant oka gending Kodok Ngorek.

Sesam painya Gunungan di serambi m asjid Agung dibacakan doa oleh Kiai Penghulu T apsiranom. Setelah itu Gunungan dan tum peng sewu dibagi- bagikan kepada semua hadirin termasuk dikirim kepada Sinuhun. Namun karena banyak pengunjung yang ingin m endapat kan tuah dari berkat hajad Raja tersebut, seringkali abdi dalem kewalahan membendung serbuan orang yang berebut makanan.

Sebagai pendukung dan pelindung agam a kerat on wajib m enyem arakkan syiar Islam . Para Sunan/Sultan senantiasa rasa sejati berusaha menyelaraskan lingkungan budaya dengan membangun berbagai sarana, baik yang bersifat struktural maupun kultural demi tercapainya syiar Islam. Sehinga sejak zaman Dem ak telah bermunculan upacara-upacara keagamaan sepert i sekat en, Grebeg Maulud. Grebeg Syawal. Dalam setahun Keraton setidaknva melangsungkan tiga kali Grebeg dan yang paling besar Grebeg Maulud. Apalagi bert epat an dengan tahun Dal Grebeg dirayakan secara besar-besaran.

c. Malam Selikuran

Bulan Puasa juga tak luput dari perhatian Keraton. Bulan suci Ram adan adalah bulan yang mulia yang penuh berkah. Di dalam Al Qur’an telah ditegaskan bahwa dalam bulan ini terdapat satu malam yang amat utama yang disebut Malam Lailatul Qadar atau m alam kemuliaan.

"Sesungguhnya Kam i telah menurunkan (A1 Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah engkau apakah malam kem uliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun m alaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan ijin Allah untuk m engatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS Al Qadar 1-5)

Surat Al Qodar tersebut secara jelas m enunjukkan keistimewaan Lailatul Qodar. Keistimewaan pert am a. malam diturunkannya kit ab Al Quran. Kedua, malam penuh berkat, di mana ibadah yang dilakukan pada m alam itu m endapat gangjaran jauh lebih besar dari ibadah yang dikerjakan selam a seribu bulan. Ketiga, pada m alam itu malaikat-m alaikat dan rahmat bert ebaran di muka bumi. Keempat, sepanjang malam sampai terbit fajar penuh diliputi kedam aian. kebahagiaan dan kenikmatan.

Malam Lailatul Qodar baik untuk beribadah dan memanjatkan doa meminta kepada Allah SWT tentang hajat yang didam bakan. Rasulullah Saw. menganjurkan kepada um at Islam agar menyambut dan menghidupkan malam Lailatul Qodar di penghujung bulan. atau sepuluh hari terakhir dari bulan Ram adhan. Karena itu pula Sinuhun Pakoe Boewono yang juga m endapat sebutan Waliyullah dengah gelar Sayidin Panatagam a (kerabat nabi penata agama Islam) memiliki tradisi Malam Selikuran (Malam 21). Sebuah tradisi peninggalan Wali Sanga untuk m enyambut turunnya wahyu A1 Quran.

T radisi itu diawali dengan pisowanan patih dan seluruh bawahannya sert a abdi dalem penghulu, penasehat urusan agama Islam, kepada Sinuhun di Pagelaran Sasana Sum awa pada malam 21 mengadakan acara hajatan Maleman yang lebih sering disebut selamatan “Rosulan”. Acara makan bersama ini sebagai tanda syukur kepada Allah atas rohm at dan anugerah yang telah diturunkan kepada Rosulullah Saw. Jenis makanan yang dihidangkan yakni nasi uduk lengkap dengan lauknya sert a sejumlah panganan Baladan. Disebut demikian karena dibuat di kam pung Baladan tepatnya dibarat masjid Agung sisi Selatan. Jenis panganan yang dibuat setahun sekali itu diant aranya kuping gajah dan kue kem bang jambu.

Sepert i yang telah dianjurkan Rasulullah Saw, upacara adat menyambut turunnya Lailatul Qodar masih berlanjut setiap malam ganjil. Untuk malam 23 khusus bagi putra-putri dan sent ana, kemudian m alam 25 jadwal untuk patih, malam 27 kem bali unt uk putra-putri dan kerabat sedangkan m alam ganjil terakhir

29 seluruh rakyat. Selam a itu tem pat tinggal sent ana m aupun gapura keraton diberi tambahan lampu penerang.

Anak-anak pun menyambut dengan suka ria. Mereka berjalan beriringan menuju taman Sriwedari dengan m embawa lampu m inyak yang disebut “ting” pawai thing-thing. Untuk lebih menyemarakkan acara di tam an Sriwedari dibuat keramaian pasar malam. Pasar malam itu hingga sekarang m asih berlanjut dan oleh Dinas Pariwisata Pemerintah Daerah T ingkat II Surakarta diberi nam a Pekan Pariwisata Malem an Sriwedari (PPMS)

Perubahan nama m enjadi (PPMS) tak lain untuk menarik m inat pem asang stand, pedagang m aupun penonton. Melalui tradisi tahunan ini Pemda dapat meraup pemasukan lumayan. Sehingga unt uk lebih menarik perhatian masyarakat. Dinas Pariwisata bersam aan pihak kerat on juga menggarap prosesinya Perjalanan dari Keraton Kasunanan hingga Sriwedari dikemas sedemikian rupa sehingga m enarik sebagai suguhan wisatawan salah satu upaya yang ditempuh dalam m eningkatkan penampilan adalah dengan mengadakan lom ba ting, lent era yang dihias kertas warna-warni.

d. Peringatan 1 Suro/1 Muharam

T radisi 1 Suro adalah perpaduan antara warisan nenek m oyang Jawa dan Hindu. Kemudian keduanya dijalin dengan unsur Islam . Warna Islam m erasuki tradisi pergant ian tahun (tanggap warsa), setelah Sultan Agung Anyakrakusuma bert ahta sebagai raja Mataram . Raja yang terkenal patuh kepada agam a Islam ini mengubah kalender Saka (perpaduan Jawa-Hindu) menjadi kalender Sultan Agung.

Perhit ungan kalender Sultan Agung berlandaskan sistem Komariah (perjalanan rembulan m engitari bumi) sepert i halnya yang diikuti kalender Hijriyah atau kalender Islam . Sedangkan perhitungan kalender Saka m engikuti sistem solar atau Syam siyah (perjalanan m atahari mengitari bumi). Meski perhitungannya berbeda, tapi Sultan Agung dalam m emberlakukan kalendernya melanjutkan angka tahun Saka. Perubahan ini dimulai dengan 1 Sura tahun Alip

1555 yang bert epatan tanggal 1 M uharam tahun 1043 Hijriyah atau 8 Juli 1633. Kebiiakan Sultan Agung diatas di antaranya bermaksud untuk memperluas pengaruh agama Islam . Karena awal tahun baru Islam 1555 yang bert epatan tanggal 1 M uharam tahun 1043 Hijriyah atau 8 Juli 1633. Kebiiakan Sultan Agung diatas di antaranya bermaksud untuk memperluas pengaruh agama Islam . Karena awal tahun baru Islam

Mem peringati 1 SuroTahun Baru Jawa dengan demikian merupakan peringatan yang Islam i yakni m engenang kem bali hijrah Nabi Muhamm ad Saw. Dalam bulan Suro/Muharam terdapat hari yang disebut Asyura, yang berasal dari kata Arab berarti hari kesepuluh atau tanggal 10 bulan Muharam . Pada hari kesepuluh ini umat Islam disunat kan berpuasa. Dalam hadits yang diriwayat kan Abu Gatadah al-Anshari ra, disebutkan ketika Nabi ditanya tentang puasa Asyura (10 Muharam) Nabi mengatakan: ‘Puasa itu menghapuskan dosa setahun yang lalu’.

Jadi tahun baru Hijriyah mempunyai m akna yang lebih dalam . Berbicara tahun baru Hijriyah berart i m engingat akan hijrahnya Rasulullah. Di sini m em iliki satu perjuangan dan satu m akna. Sebuah kesempatan yang paling tepat untuk melakukan instrospeksi dan penilaian diri terhadap kehidupan setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dari sini kita diharapkan dapat m ensyukuri segala nikmat yang dilimpahkan Allah, sehingga senant iasa menjadi orang yang takwa

Bersyukur dapat dengan bert afakur, takarruf kepada Allah di masjid atau di mana pun tem patnya. Bagi Keraton Surakart a, upacara spiritual bert afakur dan takarruf dipusatkan di Masjid Pujosono, sejauh ini upacara tradisi penyam butan 1 Suro yang agamis ini kurang terpublikasi kepada m asyarakat. Sehingga yang lebih banyak diketahui adalah tradisi kirab pusaka.

Bagi keraton Surakarta upacara kirab pusaka 1 Suro tergolong tradisi baru, karena dimulai sekitar tahun 1973. Tradisi kirab 1 Suro dilaksanakan setelah menerima pesan Presiden Soeharto. Pesan yang disampaikan lewat, Soediono Hoemardani (alm arhum) kepada Sinuhun Pakoe Boewono XII ini, int inya meminta agar keraton m engadakan tirakatan (laku batin) dem i keselamatan dan keutuhan bangsa.

Pesan presiden setelah diolah dan direnungkan Sinuhun akhirnya muncul Pesan presiden setelah diolah dan direnungkan Sinuhun akhirnya muncul

T ernyata tradisi baru produk Sinuhun Pakoe Boewono XII m endapat sam butan m asyarakat. Setiap menjelang datangnya tahun baru 1 Suro/1 M uharam , masyarakat tumpah-ruah di jalan-jalan. Mereka ada yang sekedar ingin melihat prosesi kirab pusaka kerat on, tapi ada juga yang menjalankan laku batin. Jadi meski di jalan-jalan banyak orang, namun suasananya cukup hening. Apalagi disaat rombongan kirab lewat. Diam dan prihatin m emang menjadi ciri orang Jawa dalam menyambut tahun barunya.

Prosesi kirab pusaka pada tengah m alam ini berlangsung cukup unik, karena diawali barisan kawanan kerbau bule Kiai Slam et. Menurut cerita kerbau ini term asuk hewan piaraan kesayangan raja yang memiliki turunan lansung dari hewan sejenis milik keraton Mataram. Jadi kerbau Kiai Slamet dipercaya berbeda dengan kerbau kebanyakan. Pada hari-hari biasa, ia lebih banyak m eninggalkan kandangnya di kampung Gurawan, sebelah Timur alun-alun Selatan. Namun di saat m enjelang datangnya 1 Suro kerbau itu kembali menetap di alun-alun Selatan.

W alau kerbau tersebut banyak hidup di tengah kot a, namun sejauh ini tak seorang pun m encoba m engganggu apalagi meyakit inya. Para bakul sayuran dan buah di sepanjan jalan Veteran Pasar Gading sepert inya lebih bersikap ngem ong. Art inya sebelum kerbau itu menyerbu barang dagangannya, para pedagang lebih dulu m enyisihkan sebagian sayur atau buahnya untuk diberikannya. Ada kepercayaan dengan m emberikan pelayanan baik pada kerbau nant inya dagangannya akan laris.

Kerbau m enjadi dikultuskan. Sehingga m engikuti kirab 1 Suro, sering muncul pemandangan penonton berebut kot oran kerbau. Masyarakat tradisi dari daerah pinggiran yang selalu datang berbondong m enyaksikan Kirab Suro, sangat mempercayai adanya tuah dari kerbau. Tindakan musyrik inilah yang kemudian sering disayangkan para ulam a dan dijauhi umat Islam.

T erlepas dari itu, jalannya prosesi kirab sejauh sekitar 5 kilom eter sangat dramatik. Begitu pancaran sinar petromak m enerangi jalan dan kerbau melangkah pelan, suasananya menjadi khidm at. Pawai bergerak pelan keluar Kori Brojonolo menuju alun-alun Utara-Gladak-Mayor Kusmanto-Jalan Kapten Mulyadi-Jalan Veteran-Jalan Yos Sudarso-Jalan Slamet Riyadi kem bali ke Keraton. Banyak pusaka yang diikutkan dalam kirab termasuk jenis pusaka tertentu disesuaikan kebutuhan. Ketika m enghadapi musim kemarau panjang pernah dikeluarkan seolah tom bak pemanggil hujan. Dan, berkat rahmat Allah hujan pun m endadak turun sepert i dicurahkan dari langit.

4. Adat Istiadat Keraton

Masih banyak upacara lain yang m enjadi adat istiadat dalam kehidupan keraton sepert i jam asan atau memandikan pusaka. Secara lahiriah jam asan dim aksudkan untuk m enghilangkan kot oran yang melekat pada pusaka-pusaka. Dari sisi m istis bermaksud m em uliakan pusaka yang dianggap memiliki tuah dan daya m agis. Dari jam asan diharapkan mem berikan keselamatan seluruh keraton beserta isinya termasuk m asyarakat diluar tem bok keraton. Secara tamsil dim aksudkan agar seseorang membersihkan batin atau nuraninya sebagai pusaka diri yang paling utama, dan secara historis memelihara warisan leluhur.

Jenis pusaka yang disucikan terdiri dari tom bak, pedang, bendera (pataka), kereta dan sebagainya. Di ant aranya keret a Kiai Retna Pembagya, Kiai Raja Peni, Kiai Retna Sewaka, Kiai Mara Seba, Kiai Siswanda, Kiai Retna Juwita, Kiai Manik Kum ala, Kiai Garuda Putra sert a Kiai Garudha Kencana yang berfungsi untuk kirap jum enengan. Sedangkan pusaka berupa gam elan di antaranya Kiai Gunt ur Sari dan Kiai Gunt ur Madu.

Upacara pisowan an ngabekten, memberikan tanda bakti dan mohon berkah kepada raja. Acara yang dilangsungkan 1 Syawal diikuti putra-putri, para

pejabat di dalam kerat on dan kerabat. Sedangkan halal bihalal dengan masyarakat umum dilakukan di Sasana Mulya. Ngabekten masa lalu dilaksanakan secara utuh dan m eriah, sekarang dikemas dalam kesederhanaan meski m akna yang pejabat di dalam kerat on dan kerabat. Sedangkan halal bihalal dengan masyarakat umum dilakukan di Sasana Mulya. Ngabekten masa lalu dilaksanakan secara utuh dan m eriah, sekarang dikemas dalam kesederhanaan meski m akna yang

Upacara lainnya adalah Labuhan yaitu upacara membuang sajian atau barang yang dianggap keram at. Upacara ini dilakukan di em pat tempat yakni Gunung Lawu mewakili arah T im ur, Parangtritis (Selatan), Hutan Krenda Wahana (Utara) dan gunung m erapi (Barat). Benda-benda yang dilabuh diantaranya berupa pakaian lengkap, pot ongan ram but, kuku, minyak wangi, sutera. Upacara ini dilakukan pada waktu-wakt u tert entu dengan m aksud m em ohon keselamatan dari para t okoh penjaga em pat mat a angin.

Pada Tinggalan Jum eneng ke-57, 31 November 2000, Sinuhun kem bali melakukan udik-udik, adat para raja Jawa menyebar uang kepada kawula. Sedikitnya Rp 5 Juta dalam bent uk uang receh kepingan Rp 500 dan Rp 1000 di tebar di tengah m asyarakat yang sudah berkumpul sejak pagi di depan Kam andungan.

Sepert i para pendahulunya tradisi ini sempat dilakukan Pakoe Boewono

XII di tahun-t ahun awal penobatannya. Setiap Jumat m alam ia berkeliling keraton membagi uang kepada rakyat. Nam un adat ini terhent i ketika Belanda kem bali menjajah.

Upaya m enghidupkan lagi udik-udik mm punyai tujuan ganda. Selain sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang memberinya kesempatan panjang menjadi raja pewaris dinasti Mataram , sekaligus juga untuk mengingatkan kepada seluruh kalifat ullah fil ardhi, seluruh pemangku jagad atau rad pemegang filosofi keratuan, kepada seluruh pemim pin bangsa, agar sungguh- sungguh dengan segala daya upaya m enyejahterakan rakyat.

5. Aspek sim bolis pada Pola bangunan Keraton

Bangunan keraton Kasunanan Surakart a sebagai salah satu hasil karya Bangunan keraton Kasunanan Surakart a sebagai salah satu hasil karya

a. Simbolisme pada Bagian Tata Ruang Ban gunan Keraton

Bangunan keraton adalah merupakan susunan kosm is dengan bagian- bagiannya. Setiap bagian tata ruang m empunyai sim bolisme. Pada hakekatnya

yang m elekat pada bagian tata ruang bangunan keraton adalah merupakan proses perjalanan manusia dalam m encapai kesem purnaan hidup. Oleh karena itu bagian tata ruang bangunan keraton adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Bangunan paling luar dari komplek Keraton Kasunanan Surakart a adalah berbent uk gapura. Gapura tersebut terdiri atas bangunan yang pada awalnya berbent uk pilar di atasnya terdapat besi melengkung. Gapura tersebut disebut

disebut dengan Gapura Gladak. Gladak berart i Giring. Jadi di sekitar gapura Gladak tersebut adalah m erupakan suatu tempat unt uk mengum pulkan hewan buruan yang di Gladak (digiring) atau diseret dengan gerobak. Hal tersebut mengandung m akna bahwa manusia dalam m enuju ke kam ulyan jati atau ke pangkuan T uhan Yang Maha Esa, harus mampu mengendalikan dan m enaklukkan dalam arti menguasai nafsu-nafsu jahat yang melekat pada diri manusia yang oleh Tuhan juga sebenarnya telah dilarang untuk dilakukan setiap m anusia. Dalam bangunan gapura gladak tersebut terdapat arca Brahmana Yaksa yang menakutkan. Makna dari arca arca Pandita Yaksa tersebut adalah bahwa setiap perjalanan menuju ke Kam ulyanjati akan selalu menghadapi rintangan. Oleh disebut dengan Gapura Gladak. Gladak berart i Giring. Jadi di sekitar gapura Gladak tersebut adalah m erupakan suatu tempat unt uk mengum pulkan hewan buruan yang di Gladak (digiring) atau diseret dengan gerobak. Hal tersebut mengandung m akna bahwa manusia dalam m enuju ke kam ulyan jati atau ke pangkuan T uhan Yang Maha Esa, harus mampu mengendalikan dan m enaklukkan dalam arti menguasai nafsu-nafsu jahat yang melekat pada diri manusia yang oleh Tuhan juga sebenarnya telah dilarang untuk dilakukan setiap m anusia. Dalam bangunan gapura gladak tersebut terdapat arca Brahmana Yaksa yang menakutkan. Makna dari arca arca Pandita Yaksa tersebut adalah bahwa setiap perjalanan menuju ke Kam ulyanjati akan selalu menghadapi rintangan. Oleh

Setelah melewati Gapura Gladak terus mem asuki gapura yang kedua yaitu gapura Pam urakan. Gapura Pamusakan tersebut mempunyai art i bahwa di tem pat tersebutlah hewan-hewan disembelih dan dibagi-bagikan kepada yang wajib menerima. Adapun art i sim boliknya adalah m erupakan suatu lam bang bagaimana beratnya seseorang menguasai hawa nafsu hewani tersebut. Nafsu hewani tersebut m erupakan godaan yang berat bagi setiap manusia yang ingin ke kam ulyan jati.

Proses selanjutnya apabila orang sudah berhasil m elewati Gapura Gladak dan Gapura Pamurakan, secara lahiriyah memasuki alun-alun Utara. Pada awalnya alun-alun utara tersebut m erupakan padang pasir yang rata, sehingga setiap orang yang berjalan siang hari akan m erasakan panas. Namun apabila m alam hari tiba, akan terasa sejuk dan nyam an. Kesem uanya itu adalah merupakan sim bolisme, yaitu keadaan alam yang agung. Alam atau dunia yang merupakan cipt aan T uhan yang di dalam nya terdapat dua hal yang selalu betentangan dan harus selalu dialami oleh setiap umat m anusia. Pada alun-alun utara juga terdapat dua buah pohon beringin kurung yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru. Kedua buah pohon beringin tersebut m erupakan sim nbolism e pengayoman, kewibawaan, kesejukan, hayem dan hayu.

Perjalanan selanjutnya setelah melewati alun-alun Utara akan dijumpai sebuah bangunan yang dinam akan Pagelaran Sasono Sum ewo. Sewaktu Keraton Surakart a menjadi pusat pemerintahan, Sasono Sum ewo tersebut berfungsi sebagai tempat duduk Pepatih Dalem atau Pepatih Kerajaan bersama seluruh staf bawahannya. Dalam masa kerajaan ini, Sasana Sumewa bersam a “Perdana Menteri bersama stafnya” merupakan sim bolism e penguasa. Oleh karena itu pagelaran Sasana Sum ewa dan perdana ment eri merupakan simbolisme penguasa yang menjalankan pem erintahan.

Perjalanan selanjutnya setelah melewati pagelaran Sasana sum ewa, orang akan m em asuki keraton m elalui siti hinggil. Di dalam siti hinggil tersebut terdapat Perjalanan selanjutnya setelah melewati pagelaran Sasana sum ewa, orang akan m em asuki keraton m elalui siti hinggil. Di dalam siti hinggil tersebut terdapat

Setelah m elewati m anguntur tangkil, perjalanan mem asuki kraton akan sam pai ke kori m angu. Kori mangu tersebut terletak disebelah selatan siti hinggil. Sam pai di kori m angu, perjalanan tersebut akan berhenti sejenak. Bangunan kori mangu tersebut adalah merupakan simbolisme bahwa setiap orang selalu dihadapkan pada pem ikiran yang ganda untuk m enuju kehidupan yang kekal. Sehingga selalu terdapat keragu-raguan dalam dirinya. Ditempat ini orang tidak akan berhenti lama sebab didesak waktu dalam m engarungi kehidupannya.

Kemudian perjalanan dilanjutkan melewati kori Brojonolo, di tempat inilah dalam batin m anusia terjadi pembersihan atau saringan. . Maksud dari saringan di sini adalah untuk m enilai hal-hal apa saja yang dapat dibawa dalam perjalanan menuju proses kehidupan selanjutnya. Kem udian perjalanan dilanjut- kan dengan harus melalui sebuah pint u yang dinamakan dengan Kori Kam andungan. Dalam Kori Kamandungan tersebut orang m asih dapat melihat pada dirinya sendiri, apakah busananya sudah sesuai dengan kesusilaan atau sopan sant un. Hal ini m engandung sim bolisme bahwa cipt a, rasa, dan karsa masih me- ngelom pok m enjadi satu dan belum berubah m eskipun nafsu sudah mereda. Dalam suasana sepert i itu perjalanan sudah mendekati pada suasana yang heneng- hening sert a hawas-heling, yaitu mendekati suasana yang hening/sunyi, awas dan waspada yang berarti selalu ingat kepadaNya.

Dalam m elanjutkan perjalanan menuju Kerat on, orang pasti melihat Panggung Songgo Buwono, Panggung Songgo Buwono tersebut dibangun berdekat an dengan Kori Sri Mangant i. Bent uk Panggung dan kori Sri Mangant i tersebut diibaratkan sebagai 1ingga dan yoni yang m elam bangkan bahwa lingga Dalam m elanjutkan perjalanan menuju Kerat on, orang pasti melihat Panggung Songgo Buwono, Panggung Songgo Buwono tersebut dibangun berdekat an dengan Kori Sri Mangant i. Bent uk Panggung dan kori Sri Mangant i tersebut diibaratkan sebagai 1ingga dan yoni yang m elam bangkan bahwa lingga

Setelah melewati Kori Sri Mangant i, m aka akan sam pai pada pelataran dalam dim ana disitu terdapat Pendhopo Agung Sasono Sewoko yang sangat megah, anggun dan berwibawa. Bangunan tersebut m em punyai sim bolisme bahwa orang harus waspada dan berhati-hati dalam bert indak bila menghadapi hal-hal yang serba gem erlapan.

Dem ikianlah arti simbolisme dari bagian-bagian bangunan Keraton Surakart a. Apabila diperhat ikan m aka setiap bangunan tersebut m erupakan proses kehidupan manusia.

b. Aspek seni dan Budaya pada Bangunan Tradisional Jawa.

Hasil seni dan budaya pada m asyarakat Jawa, tidak bisa lepas dari konteks masyarakat. Masyarakat Jawa m em punyai pandangan hidup yang sinkritisme. Hal ini mempengaruhi orang Jawa unt uk m ewujudkan bentuk bangunan tradisionalnya sehingga tidak mengherankan bila adanya beberapa unsur pengaruh yang datang dari luar.

Dalam pembahasan berikut ini akan dipaparkan mengenai hasil kebudayaan di atas pada bangunan Keraton Surakarta yang merupakan

perwujudan dari hasil percam puran ant ara kebudayaan asli (animisme) dengan kebudayaan-kebudayaan luar, ant ara lain kebudayaan Hindhu-Budha, Islam dan Eropa.

1) Unsur Hindhu-Budha pada bangunan Keraton Surakarta.

Hasil percam puran antara kepercayaan asli Jawa (anim isme) dan agama Hindhu-Budha yang datang dari India disebut sebagai kebudayaan Hindhu-Jawa. Kebudayaan tersebut berkem bang di tanah Jawa antara abad

VIII sampai dengan abad XV. Adapun hasil karya yang dihasilkan oleh kebudayaan tersebut ant ara lain berupa candi-candi dan tempat pemujaan. Bentuk-bentuk candi inilah yang kemudian dijadikan inspirasi dalam VIII sampai dengan abad XV. Adapun hasil karya yang dihasilkan oleh kebudayaan tersebut ant ara lain berupa candi-candi dan tempat pemujaan. Bentuk-bentuk candi inilah yang kemudian dijadikan inspirasi dalam

Pada bangunan-bangunan yang ada dilingkungan Keraton Surakarta, unsur-unsur tradisi tersebut tercerm in pada beberapa bagian bangunan yang penting yang ada dalam kompleks bangunan Keraton, antara lain yang paling utama tampak pada Pendhapa Agung Sasono sewoko dan Dalem Ageng Probosuyoso.

Dilain pihak unsur-unsur animisme masih nam pak kuat dalam setiap benda-benda Kerat on yang dikeramat kan. Juga setiap pohon yang ditanam di lingkungan Keraton, kesem uanya itu m engandung unsur-unsur anim isme yang sulit dim engert i oleh orang awam . Dengan jelas nampak bahwa unsur- unsur anim isme tercermin dalam pemberian nama-nama pada beberapa benda kerajaan yang dianggap keramat . Lain dari pada itu benda-benda yang ada di lingkungan Kerat on, senant iasa m engandung m akna yang m agis. Sikap animistik ini yang m asih jelas nam pak, ant ara lain adanya m eriam. Meriam yang ada di lingkungan Keraton m asih dikeramatkan dan diberi nam a Nyai Satom i, terletak di Siti Hinggil Lor, dianggap mempunyai sifat-sifat seorang wanita yang mem iliki sifat dapat memberikan berkah kepada setiap orang yang datang kepadanya. Sejumlah pohon beringin yang ditanam di Alun-alun Utara, diantaranya dianggap keramat adalah sepasang pohon beringin kurung yang diberi nama Dewa-daru dan Jaya-daru, dianggap mem iliki kekuatan atau yang dapat melindungi setiap orang yang benaung di bawahnya.

Ha1-hal yang telah diuraikan di atas setidak-tidaknya m enunjukkan betapa kuatnya pengaruh kepercayaan Hindhu-Jawa pada bangunan Kerat on. Dalam kehidupan orang Jawa, khususnya di lingkungan Keraton, pengaruh

Hindhu-Jawa telah berakar dan menjadi adat turun-temurun. Bagaim ana pun juga Keraton Surakart a adalah kelanjutan dari dinasti Mataram yang m em iliki sert a m em egang teguh adat tatacara kerajaan dimasa-m asa sebelum nya.

2) Pengaruh Islam pada Bangunan Keraton Surakarta.

Sampai sekarang belum ada kesepakat an kapan masuk dan berkem bangnya Islam di Indonesia, namun ada beberapa ahli yang mengemukakan, bahwa Islam mulai m em asuki Indonesia pada akhir abad

XIII dan berkem bang di tanah Jawa sekitar pada abad XV. Pada dasamya kebudayaan Islam m asuk ke Indonesia tidak melalui dominasi politik, melainkan m elalui lalu-lintas perdagangan, yaitu dibawa oleh para pedagang Gujarat India. Oleh karena itu kebudayaan Islam di Jawa, berm ula dari daerah-daerah pesisir utara, ant ara lain Kasultanan Demak, Cirebon dan Banten.

Dilihat dari segi bangunannya hal-hal yang khas pada kebudayaan Islam, pada umumnya terbatas pada bangunan tem pat ibadah, istana dan makam -m akam raja. Walaupun dem ikian ditinjau dari segi bentuknya, bangunan-bangunan tersebut tetap tidak lepas dari unsur-unsur ke-candi-an. Hal tersebut dapat diterima karena disamping kebudayaan Hindhu-Jawa telah menjadi tradisi yang sangat kuat, juga masalahnya Islam masuk ke Indonesia itu bersam aan dengan masa-m asa dimana bangsa-bangsa barat (Port ugis, Belanda dan Inggris) juga m ulai berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Tekanan sert a int rik-intrik dari bangsa-bangsa barat tersebut membuat Islam tidak dapat berkembang secara leluasa, khususnya di tanah Jawa.

Semenjak masuknya Islam di lingkungan kerajaan-kerajaan Jawa, mesjid atau tempat-tempat ibadah menjadi salah satu unsur atau bagian yang tak dapat dipisahkan dari kompleks bangunan Keraton. Pada umumnya mesjid ini dibangun atau didirikan di sisi sebelah barat. Alun-alun,

sehubungan dengan falsafah yang m endasari tata bangunan Keraton, bangun- an mesjid yang ada di lingkagan kosmis paling luar (samodra raya dan tanah sabrang) m erupakan perlambang tanah suci Mekah yang letaknya di sebelah sehubungan dengan falsafah yang m endasari tata bangunan Keraton, bangun- an mesjid yang ada di lingkagan kosmis paling luar (samodra raya dan tanah sabrang) m erupakan perlambang tanah suci Mekah yang letaknya di sebelah

Bangunan Masjid di lingkungan Keraton Surakart a tersebut apabila ditinjau dari segi bangunan Islam fungsinya sama yaitu sebagai tempat ibadah, namun masing-masing m em punyai peranan sendiri. Bangunan- bangunan tersebut m asih m em egang pola unsur lam a (Hindhu-Jawa), yaitu memakai bent uk rum ah adat Jawa. Bahkan menurut informasi dari salah satu Abdi Dalem Keraton Surakarta, yang dikat akan sebagai Masjid Bandhengan fungsinya lebih m enyerupai tempat pemujaan. Karena disam ping bentuknya terla1u kecil unt uk ukuran sebuah masjid, bangunan tersebut tertutup dan berada di tengah kolam . Masjid Agung atau masjid Gede berbentuk T ajug Mangkurat dengan empat buah soko guru (tiang utama). Atapnya dibangun bersusun sepert i pada um um nya masjid-masjid yang dibangun di Jawa sekitar pada abad XVII, yaitu m enyerupai bentuk pagoda.

Pengaruh Islam yang nam pak disini adalah bentuk disini adalah bentuk gapuranya, yaitu terdiri dari pilar-pilar tinggi yang pada puncaknya dibentuk seperti kubah. Pintu-pint unya dibuat melengkung sepert i pada um um nya pada bangunan m asjid di daerah Jawa T engah. Namun ada sesuatu yang menarik pada bangunan Masjid Agung tersebut, yaitu adanya sepasang bangsal tempat untuk mempergelarkan gamelan sekaten.

Pengaruh Islam dalam bangunan di lingkungan Keraton Surakart a sejauh ini pengaruh unsur tersebut hanya terdapat di sebagian bangunan masjid yang berada di lingkungan Keraton Surakarta. Bentuk bangunan itu tidak sepenuhnya sepert i gaya bangunan m asjid asli yang berasal dari negeri Arab. Namun sudah di sesuaikan dengan kondisi masyarakat Jawa pada Pengaruh Islam dalam bangunan di lingkungan Keraton Surakart a sejauh ini pengaruh unsur tersebut hanya terdapat di sebagian bangunan masjid yang berada di lingkungan Keraton Surakarta. Bentuk bangunan itu tidak sepenuhnya sepert i gaya bangunan m asjid asli yang berasal dari negeri Arab. Namun sudah di sesuaikan dengan kondisi masyarakat Jawa pada

3) Unsur Barat pada Bangunan Tradisional Jawa

Kebudayaan barat masuk di Indonesia adalah sekitar abad XVI, yaitu pada wakt u bangsa Belanda dan Portugis berlayar ke Indonesia pada tahun 1509 Masehi dengan tujuan perdagangan. Sasaran yang utama pada waktu itu, adalah kepulauan Maluku, karena kepulauan tersebut merupakan penghasil rem pah-rem pah.

Adanya persaingan Perdagangan yang semakin keras mendorong mereka (Belanda dan Port ugis) untuk mendirikan bent eng-bent eng pert ahanan. Dari sini lah awal berdirinya bangunan-bangunan kolonial yang makin m eluas ke beberapa kepulauan di Indonesia, dan akhimya VOC membangun pusat perdagangan di pulau Jawa dan mendirikan benteng di Batavia. Setelah kerajaan Mataram , m engalami kem unduran, maka bukan hanya secara politis dibawah pengaruh Belanda, nam un juga gaya bangunan Eropa mulai m em asuki di lingkungan Keraton.

Keraton Surakart a sebagai kelanjutan dari rajakulo (dinasti) Mataram secara langsung tidak lepas dari kebudayaan Eropa. Karena sejak berakhirnya pemerintahan Susuhunan Paku Buwana II, Keraton Surakarta secara langsung berada dibawah pemerint ahan Hindia Belanda. Dalam beberapa hal pengaruh Eropa tersebut nampak jelas pada kehidupan Keraton, antara lain tatacara kerajinan, susunan organisasi pemerintahan, dan dalam hal-hal yang menyangkut bangunan. Dalam hal bangunan ini akan m em bahas m engenai pengaruh unsur kebudayaan Eropa terhadap bangunan Kerat on Surakart a.

Keraton Surakart a pada dasarnya m erupakan terjemahan dari falsafah Hindhu-Jawa, dengan bentuk asal bangunan adat Jawa. Nam un sejalan dengan perkembangan m asyarakat, bangunan Kerat on mengalam i perubahan atau penambahan bentuk-bentuk unsur-unsur dari luar. Dalam hal ini adalah

perubahan sert a penambahan bangunan dibawah pengaruh Eropa (kolonial).

Pengaruh Eropa nam pak jelas terutama dalam hal pemakaian bahan bangunan, bentuk bangunan, penerapan Sriwidya (estetik). Dalam hal ini Pengaruh Eropa nam pak jelas terutama dalam hal pemakaian bahan bangunan, bentuk bangunan, penerapan Sriwidya (estetik). Dalam hal ini

Dilihat dari bahan bangunan Keraton Surakart a, sebagian besar menggunakan bahan bangunan dari Eropa. Sebelum pengaruh Eropa tersebut masuk ke Indonesia, bahan-bahan bangunan yang biasanya dipakai adat Jawa adalah menggunakan tanah bakar atau batu m erah yang digunakan sebagai tembok. Bahan perekatnya adalah pasir yang telah dicampur dengan putih t e- lor atau cairan gula, sedangkan yang lainnya menggunakan gebyok dan gedheg atau bilik bam bu.

Sejalan dengan kemajuan teknik bangunan yang dibawa bangsa Eropa khususnya Belanda, sebagian besar dinding bangunan Keraton dibuat dengan menggunakan batu bata yang direkat dengan adukan semen, pasir dan kapur. Pada bangunan lantai khususnya di bagian bangunan resmi digunakan batu pualam putih yang didatangkan dari Italia.

Dari sisi bent uk bangunan Kerat on, sebagian dari bangunan Keraton merupakan perpaduan adat Jawa dan bangunan gaya Eropa. Sebagai contoh dapat dilihat pada bangunan Kori Sri Mangant i. Pada dasarnya atap dari Sri Manganti berbent uk Semar T inandhu dengan m enggunakan genting sirap bersisik lebar, sedangkan tiang-tiangnya dibuat sepert i pada bangunan- bangunan Eropa Klasik yaitu meniru bentuk Korint a.

Bangunan yang lain dapat dilihat pada beberapa bent uk bangunan yang ada di pelataran, antara lain pada Paningrat Pendhapa Agung Sasono sewoko dan Sasana Hondrowino. Pendhapa Agung adalah pendhapa utama yang berbentuk

Joglo Pangrawit lengkap dengan ragam khasnya yang bercorak Hindhu-Jawa. Paningrat atau Seram binya bercorak Eropa dengan menggunakan atap seng gelombang dan disangga oleh tiang-t iang bulat dari besi cor. Kesan Eropa diperkuat dengan ditempat kannya pat ung-pat ung m anusia gaya It ali di sepanjang Paningrat, menghadap ke arah pelataran. bentuk-bentuk bangunan yang lain dapat dilihat pada bangunan Sasana Hondrowino. Sasana Handrawina tersebut adalah bangunan yang berbentuk Lim asan Klabang Nyander. Sekeliling pendhapa tersebut diberi dinding kaca bening dengan rangka kayu. Pengaruh Eropa tersebut Joglo Pangrawit lengkap dengan ragam khasnya yang bercorak Hindhu-Jawa. Paningrat atau Seram binya bercorak Eropa dengan menggunakan atap seng gelombang dan disangga oleh tiang-t iang bulat dari besi cor. Kesan Eropa diperkuat dengan ditempat kannya pat ung-pat ung m anusia gaya It ali di sepanjang Paningrat, menghadap ke arah pelataran. bentuk-bentuk bangunan yang lain dapat dilihat pada bangunan Sasana Hondrowino. Sasana Handrawina tersebut adalah bangunan yang berbentuk Lim asan Klabang Nyander. Sekeliling pendhapa tersebut diberi dinding kaca bening dengan rangka kayu. Pengaruh Eropa tersebut