80
sudah berhasil membina hingga beberapa sekolah imbasnya maju pada Adiwiyata tingkat Adiwiyata
Provinsi. Namun hal tersebut belum cukup untuk menjadikannya sebagai sekolah Adiwiyata Mandiri,
karena belum semua sekolah imbasnya berhasil menjadi sekolah Adiwiyata.
Pada bagian ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai
model pembinaan
Adiwiyata yang
dilaksanakan, mulai
dari tahap
perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, hingga
tahap evaluasinya. Data didapatkan melalui wawancara
dengan ketua Adiwiyata sekaligus sebagai pembina Adiwiyata SD Marsudirini 77 yaitu Bapak Fx.
Ernasyono, S.Pd.SD pada tanggal 01 November 2016 bertempat di sekolah induk dan juga beberapa
pengurus Adiwiyata dari sekolah imbas pada tanggal 03 November 2016 yaitu Bapak Yaroni dan 07
November 2016 yaitu Bapak Heri Sutanto, S.Pd yang bertempat di masing-masing sekolah imbas. Selain
itu, data juga didapatkan dari hasil Focus Group Discussion FGD yang dilaksanakan pada tanggal 06
Mei 2017 bertempat di SD Marsudirini 77 Salatiga.
1. Analisis Kebutuhan Pembinaan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, ditemukan bahwa dalam menjalankan
81
pembinaan belum dilakukan analisis kebutuhan untuk
masing-masing sekolah
imbas secara
terstruktur dan merata. Selama ini pembinaan dilakukan hanya berdasar pada kebutuhan spontan
dari sekolah imbas. Hal ini diungkapkan oleh ketua Adiwiyata sekolah induk yang mengatakan bahwa:
“Biasanya saya datang ke sekolah imbas untuk melihat keadaan
lingkungan disana,
kemudian memberitahukan kepada sekolah imbas apa yang
diperlukan atau dibutuhan sekolah untuk mencapai Adiwiyata.
” sumber: wawancara tanggal 01 November 2016
Hal serupa juga diungkapkan oleh 2 dua sekolah
imbas yang
ketika diwawancarai
mengatakan bahwa:
“Yang saya tahu adalah pembina pernah datang ke sekolah untuk melihat kondisi lingkungan sekolah
kami dan memberitahukan apa saja yang dibutuhkan oleh sekolah kami dalam rangka mewujudkan sekolah
Adiwiyata. ” sumber: wawancara tanggal 03 November
2016 “Saya kurang begitu paham untuk itu, mungkin
dilakukan analisis kebutuhan, namun itu antara kepala sekolah dengan Pembina.
” sumber: wawancara tanggal 07 November 2016
Hal ini juga kemudian diperkuat kembali oleh pembina pada saat FGD yang menegaskan kembali
bahwa:
82
“Selama ini ketika saya melakukan pembinaan, tidak ada analisis khusus bagaimana kebutuhan sekolah
imbas, saya melakukan pembinaan ketika ada permintaan dari sekolah imbas.” sumber: FGD tanggal
06 Mei 2017
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, selama ini dalam pelaksanaan pembinaan hanya
berdasarkan kepada kebutuhan sekolah imbas secara spontan pada saat meminta kepada Pembina
agar diadakan pembinaan kepada sekolah imbas tersebut dan belum pernah dilakukan analisis
kebutuhan di
awal perencanaan
pembinaan. Langkah analisis kebutuhan yang dilakukan adalah
hanya melalui observasi langsung ke sekolah pada saat tengah pembinaan. Padahal, setiap sekolah
imbas memiliki kekhasannya masing-masing. Oleh karena itu, mengetahui apa yang sangat dibutuhkan
oleh masing-masing sekolah pada awal pembinaan tentunya akan sangat membantu agar Pembina
dapat dengan segera memberikan masukan atau saran-saran lainnya untuk pemecahan masalah
kebutuhan tersebut.
2. Perumusan Tujuan Pembinaan