Peran moderator Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

77 DAFTAR PUSTAKA Aleixandre MPJ, Rodri´Guez AB, Duschl R A. 2000. “Doing the Lesson” or “Doing Science”: Argument in High School Genetics. Science Education, 846:757-792 . Bosman L, Zagenczyk T. 2011. Revitalize Your Teaching: Creative Approaches to Applying Social Media in the Classroom. White, B., King, I., Tsang, P. Eds. Social Media Tools and Platforms in Learning Environtment. London: Springer. Brusell E, Cimino C. 2009. Investigating the Impact of Weekly Weblog Assignments on the Learning Environment of a Secondary Biology Course. Technology Social Media Special Issue, Part 1, 152. Chang SN, Chiu M H. 2008. Lactos’s Scientific Research: Programmes as a Framework for Analysing Informal Argumentation about Sosio-scientific Issues. International Journal of Science Education, 30 17:1753-1773. Cowan J. 2002. PlusMinus Marking: a method of assessment worth considering. The Higher Education Academy. Tersedia secara online di: http:jisctechdis.ac.uk [Akses 6 Febuari 2014] Cross D, Taasoobshirazi G, Hendricks S, Hickey, DT. 2008. Argumentation: a Strategy for improving achievement and revealing scientific identities. International Journal of Science Education, 306, 837-861. Dawson V, Venville G J. 2009. High School Student’s Informal Reasoning and Argumentation about Biotechnology: An Indicator of Science Literacy?. International Journal of Science Education, 3111: 1412-1445. DeBoer GE. 1991. A history of Ideas in Science Education. New York: Teacher College Press. Erduran S, Ardac D. Guzel BY. 2006. Learning to Teach Argumentation: Case Studies Secondary Science Teachers. Eurasia Journal of Matematics Science and Teachnology Eduacation. 22:1-12 Freeley AJ, Steinberg DL. 2009. Argumentation and Debate. Miami: Wadsworth Cengage Learning. Girle RA. 1991. Dialogue and the Teaching of Reasoning. Educational Philosophy and Theory, 23 1:45 – 55. Hakyolu H, Bekiroglu FO. 2011. Assessment of Students’ Science Knowledge Levels and Their Involvement with Argumentation. International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education IJCDSE, 21: 264-270. Harris R. Ratcliffe M. 2005. Socio-scientific Issues of Exploratory Talk-What Can be Learned from School Involved in a ‘Collapsed Day Project’?. The Curriculum Journal. 164: 439-453. Inch ES, Warnick B, Endres D. 2006. Critical Thinking and Communication: The Use of Reason in Argument. Boston: Pearson Education Inc. Khun D, Udell W. 2003. The Development of argumentation Skill. Child Development, 745: 1245-1260. Lee CK. 2008. A Proposed Instructional Model Using Socioscientific Issues to Illustrate the Nature of Science NOS-SSI Instructional Model. Tersedia online di http:aracte.org. [Unduh 3 Maret 2011] Lewis SE. 2003. Issue-Based Teaching in Science Education. American Institute of Biological Sciences. Tersedia online di http:www.actionbioscience.org. [Unduh 3 Juni 2012] Marrero ME, Mensah FMM. 2010. Socioscientific Decision Making the Ocean: The Case Study of 7 th Grade Life Science Students. Electronic Journal of Science Education, 141. Mc Neill K L. 2009. Teachers’ Use of Curriculum to Support Students in Writing Scientific Arguments to Explain Phenomena. Journal of Science Education 93, 223-268. Tersedia online di http:interscience.wiley.com [Unduh 3 Juni 2012] Nuangchalern P. 2010. Engaging Students to Perceive Nature of Science Though Socioscientific Issue-Based Instruction. European Journal of Social Science. 131: 34-37. 78 Osborne J, Eduran S, Simon J. 2005. “The role of argument in Developing Science Literacy”. K. Boesma, M. Goedhart, O. De Jong, H. Eijkelhof [Eds]. Research and Quality of Science Education. Dordrecht, Nederlands: Spinger. Osborne J. 2005. The Role of argument in Science Education. K. Boesma, M. Goedhart, O. De Jong, H. Eijkelhof [Eds]. Research and Quality of Science Education. Dordrecht, Nederlands: Spinger. Ragupathi W. 2011. Facebook for Teaching and Learning. Technology in Pedagogy, 1. Tersedia online di http:www.cdtl.nus.edu.sg. [Unduh 18 April 2013] Robert R, Gott R. 2009. A framework for Practical Work, Argumentation, and Scientific Literacy. G.Cakmaci, MF Tafsar [Eds]. a Collection of papers presented at ESERA 2009 Conference. Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science. pp. 99 –105. Ankara: Pegem Akademi. Sadler TD. 2011. Socio-scientific Issues in The Clasroom: Teaching, Learning, Research. Dordrecht: Springer. Sadler TD, Zeidler DL. 2004. The Morality of Sosioscientific Issues: Construal and resulution on genetic engineering dillemas. Journal of Science Education 88:4-27. Tersedia online di http:interscience.wiley.com. [Unduh 3 Juni 2012] Serrano MJH. 2011. Progressing the Social Dimension Toward the Collaborative Construction of Knowledge in 2.0 Learning Environments: A Pedagogical Approach. White, B., King, I., Tsang, P. Eds. Social Media Tools and Platforms in Learning Environtment. London: Springer. Toulmin SE. 2003. The Uses of Argument. New York: Cambridge University Press. Wahyudi R. 2011. Naik 13 Juta, Pengguna Internet Indonesia 55 Juta Orang. Tersedia online di http:tekno.kompas.com [Unduh 18 April 2013] Yager RE. 1996. Science Technology Society as Reform in Science Education. New York: State University of New York Press. Tersedia online di http:books.google.co.id Zeidler DL, Sadler TD, Simmons ML, Howets SE. 2005. Beyond STS: A Research-Based Framework for Socioscientific Issues Education. Wiley Periodicals, Inc. Tersedia online di http:faculty.education.ufl.edu. [Unduh 12 April 2012] 79 MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA ASPEK PROSES SAINS MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIMEDIA INTERAKTIF Evi Sapinatul Bahriah Dosen Prodi Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta evisapinahyahoo.comevisapinatulgmail.com Abstract This study aims to improve the scientific literacy of students in aspects of the process of science through interactive multimedia based learning on the theme of chemical equilibrium in living creatures and industry. The research method used is weak experimental with The One- Group Pretest-Postest Design. Research instrument in the form of pieces of scientific literacy test in the form of multiple choice questions. The trial results demonstrate scientific literacy of students in every aspect of the process of science has increased with an average value of N- Gain on the indicator Identifying scientific issues of 74.2 high category, indicators of Explaining phenomena scientifically by 72, 5 high category, and indicators of Using scientific evidence of 78.5 high category. Keywords: Science Literacy, Aspects of Process Science, Interactive Multimedia Software, Chemical Equilibrium, Weak Experimental. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini berpengaruh pada berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah proses akademik yang tujuannya untuk meningkatkan nilai sosial, budaya, moral, serta mempersiapkan sumber daya manusia yang melek sains dan teknologi, yang mampu menghadapi tantangan dalam kehidupan nyata baik pada lingkup lokal maupun global. Pendidikan sains memiliki potensi dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab Depdiknas, 2006. Potensi ini akan terwujud jika pendidikan sains mampu melahirkan peserta didik yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi, melek sains, serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman Mudzakir, 2005. Arti lebih lanjut adalah bahwa pendidikan sains harus mampu menghasilkan masyarakat yang literate terhadap sains Hayat Yusuf, 2010. Literate dalam sains ini dikenal dengan literasi sains. PISA Programme for International Student Assesment mendefinisikan literasi sains sebagai kapasitas individu dalam menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan, menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami serta interaksi manusia dengan alam OECD, 2009. Namun, berdasarkan hasil studi penilaian yang dilakukan oleh PISA Programe for International Student Assessment mengungkapkan bahwa pembelajaran sains di Indonesia kurang berhasil meningkatkan kemampuan literasi sains. Hal ini terungkap berdasarkan hasil studi PISA pada tahun 2000 Indonesia berada pada peringkat ke-38 dari 41 negara peserta PISA dengan nilai rerata tes 393; pada tahun 2003 Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 41 negara peserta dengan nilai rerata tes 395; pada tahun 2006 juga menunjukkan tingkat literasi sains anak-anak Indonesia masih rendah, yakni: 29 untuk konten, 34 untuk proses, dan 32 untuk konteks dengan rerata tes 395; dan terakhir pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ke-57 dari 65 negara peserta dengan skor 383 OECD, 2009. 80 Literasi sains terhadap materi pelajaran kimia saat ini juga masih belum menggembirakan salah satu sebabnya adalah proses pembelajaran kimia yang terjadi di Indonesia masih menitikberatkan pada aspek menghafal konsep, teori, dan hukum tanpa diikuti pemahaman yang bisa digunakan siswa dalam kehidupan nyata mereka. Keadaan ini diperparah dengan pembelajaran yang berorientasi pada tes akhir. Akibatnya ilmu kimia sebagai proses, sikap, dan aplikasi belum tersentuh seutuhnya dalam pembelajaran. Implikasi dari kenyataan tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan di sekolah dihadapkan pada tantangan bagaimana pembelajaran kimia dirancang dan diimplementasikan agar aktif, inspiratif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Bagaimanapun pemilihan dan penggunaan metode dan media pembelajaran yang inovatif dan komunikatif dalam penyampaian materi merupakan komponen pembelajaran yang masih perlu diantisipasi oleh guru. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, sangat penting untuk dikembangkan suatu model pembelajaran alternatif yang menyenangkan dan interaktif, yang dapat meningkatkan literasi sains tetapi tidak mengurangi esensi materi pelajaran yang dituntut dalam kurikulum nasional. Salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam mengatasi masalah ini adalah dengan memanfaatkan teknologi komputer dalam bentuk multimedia interaktif. Beberapa pakar multimedia interaktif Muhammad, 2002; Setiawan, 2007 mengemukakan bahwa pembelajaran multimedia interaktif dapat digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar. Bentuk-bentuk media yang ditampilkan harus mencerminkan pengalaman belajar. Peningkatan kualitas pengalaman belajar lebih berarti bagi siswa, sehingga diharapkan berdampak pula pada hasil belajarnya. Penelitian yang mengkaji bagaimana pengaruh penggunaan komputer sebagai multimedia terus berkembang. Hasil penelitian Polla 2000, mengungkapkan bahwa pembelajaran berbantuan komputer mampu menciptakan suatu proses belajar mengajar yang interaktif, sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi siswa dan guru dalam mencapai tujuan pendidikan. Wiratama 2010 mengungkapkan bahwa pemanfaatan laboratorium virtual interaktif pada pembelajaran kesetimbangan kimia dapat meningkatkan kemampuan generik sains dan keterampilan berpikir kritis siswa SMA. Bahriah, E.S 2012 juga mengungkapkan bahwa penggunaan multimedia interaktif dapat meningkatkan literasi sains siswa baik pada aspek konten, proses, konteks, dan sikap sains siswa. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa secara umum pembelajaran dengan multimedia interaktif dapat diterapkan pada berbagai level pembelajaran dan memberikan dampak positif terhadap hasil belajar. Hal ini sejalan dengan hasil studi PISA yang mengungkapkan bahwa penggunaan komputer sebagai produk teknologi informasi dan komunikasi berhubungan erat dengan pencapaian akademik yang tinggi Horrison, et al. dalam OECD, 2009. Oleh karena itu, dipandang perlu adanya penelitian lebih lanjut. Materi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kesetimbangan kimia. Hal ini dikarenakan materi kesetimbangan kimia berkaitan dengan kompetensi proses yaitu pengetahuan tidak hanya mengandalkan daya ingat siswa dan berkaitan hanya dengan informasi tertentu dan merupakan salah satu materi kimia yang bersifat abstrak tetapi sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari karena aplikasinya luas. Oleh karena itu, dalam memahami konsep tersebut, siswa dituntut untuk memiliki pemahaman abstraksi yang baik. Untuk membantu mengembangkan konsep abstraksi tersebut guru harus pandai memilih media. Berdasarkan paparan tersebut, masih jarang peneliti yang mengembangkan pembelajaran multimedia interaktif kesetimbangan kimia untuk meningkatkan literasi sains pada aspek proses sains. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti dan mengembangkan lebih lanjut tentang bagaimana meningkatkan literasi sains siswa pada aspek proses sains melalui pembelajaran berbasis multimedia interaktif. KAJIAN TEORI Literasi Sains Paul de Hart Hurt dari Stamford University menyatakan bahwa Scientific Literacy berarti memahami sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat. Literasi sains menurut National Science Education Standards adalah suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang akan 81 memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya, dan pertumbuhan ekonomi. PISA mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. PISA juga memandang pendidikan sains berfungsi untuk mempersiapkan warga negara masa depan, yakni warga negara yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi. Oleh karenanya pendidikan sains perlu mengembangkan kemampuan peserta didik memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan limitasi sains. Peserta didik perlu memahami bagaimana ilmuwan sains mengambil data dan mengusulkan eksplanasi-eksplanasi terhadap fenomena alam, mengenal karakteristik utama penyelidikan ilmiah, serta tipe jawaban yang dapat diharapkan dari sains. Karakteristik utama sains mencakup: pengumpulan data dipandu oleh gagasan dan konsep, sifat tentatif dari pengetahuan sains, keterbukaan terhadap pengujian dan pengkajian, menggunakan argumen logis, serta kewajiban untuk melaporkan metode dan prosedur yang digunakan dalam pengumpulan bukti. Oleh karena itu, PISA menjadikan proses sains ini sebagai salah satu domain penilaiannya. Namun dalam perkembangan terakhir, PISA memilih istilah “Kompetensi Sains” sebagai pengganti proses sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak di jawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang tersedia. PISA juga menetapkan tiga aspek dari komponen proses dalam penilaian literasi sains, yakni: 1 Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah; yaitu pertanyaan ilmiah meminta jawaban berlandaskan bukti ilmiah. Termasuk di dalamnya mengenal pertanyaan yang mungkin diselidiki secara ilmiah dalam situasi yang diberikan, mengidentifikasi kata-kata kunci untuk mencari informasi ilmiah tentang suatu topik yang diberikan. 2 Menjelaskan fenomena secara ilmiah; dimana peserta didik mendemonstrasikan kemampuan proses sains ini dengan mengaplikasikan pengetahuan sains dalam situasi yang diberikan. Kompetensi ini mencakup mendeskripsikan atau menafsirkan fenomena, memprediksi perubahan. Kompetensi ini melibatkan pengenalan dan identifikasi deskripsi, eksplanasi, dan prediksi yang sesuai. 3 Menggunakan bukti ilmiah; Kompetensi yang menuntut peserta didik memaknai temuan ilmiah sebagai bukti untuk suatu kesimpulan. Multimedia Pembelajaran Interaktif Secara etimologis multimedia berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata yaitu multi yang berarti banyak atau bermacam-macam dan medium yang diartikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju ke penerima Heinich et al., 1996. Konsep multimedia didefinisikan oleh Haffost Munir, 2008 sebagai suatu sistem komputer yang terdiri dari hardware dan software yang memberikan kemudahan untuk menggabungkan gambar, video, fotografi, grafik, animasi, suara, teks, dan data yang dikendalikan oleh komputer. Sejalan dengan hal tersebut, Thomson 1994 mendefinisikan multimedia sebagai suatu sistem yang menggabungkan gambar, video, animasi, suara secara interaktif. Arsyad 2011 juga mengemukakan bahwa multimedia dapat diartikan sebagai lebih dari satu media. Ini bisa kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, atau video, yang mana perpaduan dan kombinasi dua atau lebih jenis media ditekankan pada satu kendali komputer sebagai penggerak keseluruhan gabungan media itu. Multimedia juga merupakan media pengajaran dan pembelajaran yang efektif dan efisien berdasarkan kemampuannya menyentuh berbagai panca indera seperti penglihatan, pendengaran, dan sentuhan, sebagaimana dikemukakan oleh Schade dalam Munir 2008: “Multimedia improves sensory stimulation, particulary due to the inclusion of interactivity”. Penggunaan media pembelajaran dapat mendukung keberhasilan pembelajaran karena menurut Munir 2008 media pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan sebagi berikut: 1 Dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam terhadap materi pembelajaran yang sedang dibahas, karena dapat menjelaskan konsep yang 82 sulit atau rumit menjadi mudah atau lebih sederhana. 2 Dapat menjelaskan materi pembelajaran atau objek yang abstrak menjadi konkrit. 3 Membantu pengajar menyajikan materi pembelajaran menjadi lebih mudah dan cepat, sehingga materi pun mudah dipahami, lama diingat, dan mudah diungkapkan lagi. 4 Menarik dan membangkitkan perhatian, minat, motivasi, aktivitas, dan kreativitas belajar peserta didik, serta dapat menghibur peserta didik. 5 Memancing partisifasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan memberikan kesan yang mendalam dalam peserta didik. 6 Materi pelajaran yang sudah dipelajari dapat diulang kembali playback. 7 Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. 8 Membentuk sikap peserta didik dan meningkatkan keterampilan. 9 Peserta didik dapat belajar sesuai dengan karakteristiknya, kebutuhan, minat, dan bakatnya, baik belajar secara individual, kelompok, atau klasikal. 10 Menghemat waktu, tenaga, dan biaya. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah weak experimental dengan desain The One-Group Pretest- Postest Design Fraenkel, et al., 2006. Desain The One-Group Pretest-Postest Design adalah desain penelitian yang hanya menggunakan satu kelas, dimana sebelum dan setelah perlakuan diberikan tes. Berikut adalah gambaran desain penelitian yang digunakan. Gambar 1. Weak Experimental dengan Desain The One-Group Pretest-Postes Design Dimana: O 1 = Pretes; O 2 = Postes; X = Pembelajaran dengan multimedia interaktif Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA-Reguler Tahun Pelajaran 20112012 di SMA X Jakarta. Subjek penelitian berjumlah 31 siswa yang terdiri dari 17 orang siswa laki-laki dan 14 siswa perempuan dan dipilih dengan cara purposive sampling. Adapun instrumen yang digunakan adalah tes pilihan ganda. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan selama 4 kali pertemuan 6x40‘. Pada pertemuan pertama dilakukan pretes dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan literasi awal siswa. Pertemuan kedua dan ketiga dilakukan implementasi pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif kesetimbangan kimia. Setelah proses perlakuan selesai, kegiatan diakhiri dengan pemberian postes, yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan literasi sains siswa pada aspek proses sains. Dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data skor pretes, postes, dan N-Gain tentang kemampuan literasi sains siswa. Berikut adalah Tabel 1 yang menggambarkan hasil belajar siswa pada aspek proses sains sebelum dan setelah implementasi pembelajaran dengan menggunakan software multimedia interaktif. Tabel 1. Hasil Belajar Siswa pada Aspek Proses Sains Indikator Proses Sains No. Soal Rata-rata N-Gain Pretes Postes Mengidentifikasi isu ilmiah 18, 22 17,7 82,3 74,2 Menjelaskan fenomena ilmiah 1, 2, 3,4,5,6,7,8,9,10,12,1 3,14,15,17,19,21,23, 24,25 52,3 89,7 72,5 Menggunakan bukti ilmiah 11, 16, 20 21,5 84,9 78,5 Rata-rata 30,5 85,6 75,1 Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa secara umum semua aspek proses sains mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai rata-rata N-Gain sebesar 75,1 O 1 X O 2 83 kategori tinggi yang menunjukkan adanya peningkatan rata-rata tes dari 30,5 menjadi 85,6. Peningkatan hasil belajar pada aspek proses sains dapat dilihat juga pada Gambar 2 di bawah ini. Gambar 2. Grafik peningkatan hasil belajar siswa pada aspek proses sains dengan P-1= Mengidentifikasi isu ilmiah; P-2= Menjelaskan fenomena ilmiah; dan P-3= Menggunakan bukti ilmiah Berdasarkan data pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa secara umum semua aspek proses sains mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai rata-rata N-Gain dari masing-masing indikator. Nilai rata-rata N- Gain indikator “Mengidentifikasi isu ilmiah” yaitu sebesar 74,2 kategori tinggi, nilai rata-rata N- Gain indikator “Menjelaskan fenomena ilmiah” yaitu sebesar 72,5 kategori tinggi, dan nilai rata-rata N- Gain indikator “Menggunakan bukti ilmiah” yaitu sebesar 78,5 kategori tinggi. Setiap indikator pada aspek proses sains mengalami peningkatan pada kategori tinggi. Hal ini dikarenakan dalam penyampaian konsep kesetimbangan banyak ditampilkan simulasi, gambar, animasi, dan video yang memuat konteks-konteks yang dekat dengan siswa dan merangsang keingintahuan mereka untuk memperdalam lebih jauh konsep ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Levie dan Lentz 1982 yang mengemukakan bahwa media visual berfungsi untuk atensi, afektif, kognitif, dan kompansatoris. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa literasi sains siswa pada setiap aspek proses sains mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata N-Gain pada indikator “Mengidentifikasi isu ilmiah” sebesar 74,2 kategori tinggi, indikator “Menjelaskan fenomena ilmiah” sebesar 72,5 kategori tinggi, dan indikator “Menggunakan bukti ilmiah” sebesar 78,5 kategori tinggi. SARAN Adapun saran-saran demi perbaikan antara lain: software multimedia yang dihasilkan belum dapat memberikan konstribusi yang maksimal untuk mamantapkan konsep-konsep yang bersifat hitungan sehingga diperlukan penguatan dengan penambahan jam pelajaran. Software multimedia interaktif ini juga masih perlu perbaikan terutama pada simulasi percobaan serta konsep-konsep yang bersifat mikroskopik. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Arsyad A. 2004. Media pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Bahriah ES. 2012. Pengembangan Multimedia Interaktif Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Fraenkel J, Wallen NE. 2006. How to Design and Evaluate Research in Education Seventh Edition. San Francisco: The McGraw-Hill Companies. Holbrook J. 1998. “A Resource Book for Teachers of Science Subjects”. UNESCO. 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 P-1 P-2 P-3 17,7 52,3 21,5 82,3 89,7 85,0 74,2 72,5 78,5 R ata -r ata Aspek Proses Sains PRETES POSTES N-Gain 84 Hayat B, Yusuf S. 2010. Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Heinich R, et al. 1996. Instructional Media and Technology for Learning. New Jersey: Pretince Hall. Inc. Meltzer DE. 2002. “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Grains in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostice Pretest Scores”. American Journal Physics. 70, 12, 1259-1286. Matlin MW. 1994. Cognition. Fort Worth: Harcourt Brace Publishers. Mudzakir A. 2005. Chemie im Kontext Konsepsi Inovatif Pembelajaran Kimia di Jerman. Seminar Nasional Pendidikan Kimia. Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta. OECD-PISA. 2006. Science Competencies for Tomorrow’s World. Volume 1: Analysis. USA. OECD-PISA. OECD. 2009. PISA 2009 Assesment Framework: Key Competences in Reading, Mathematics, and Science. PISA. 2000. The PISA 2000 Assesment of Reading, Mathematical and Scientific Literacy. [Online]. Tersedia: http:www.pisa.oecd.orgdataoecd446333692793.pdf. [26 Februari 2011]. Polla Gerardus. 2000. Buletin Pelangi Indonesia. Jakarta: UNJ. Retmana LR. 2010. Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Siswa SMP. Tesis S2 UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Setiawan A. 2007. Dasar-dasar Multimedia Interaktif MMI. Tesis S2 UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Thiagarajan S, et al. 1974. Intructional Development for Training Teacher of Exceptional Children. Minnesota: Indiana University. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Jakarta: Depdiknas. Wallen NE. 2006. How to Design and Evaluate Research in Education Seventh Edition. San Francisco: The McGraw-Hill Companies. Wiratama BS. 2010. Pemanfaatan Laboratorium Virtual Interaktif Pada Pembelajaran Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Kemampuan Generik Sains dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. 85 KAJIAN EVALUASI HASIL BELAJAR MELALUI PENERAPAN PENILAIAN BERBASIS KELAS PADA PROGRAM STUDI BERBASIS SAINS DI LINGKUNGAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Ai Nurlaela Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan FITK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ai.nurlaelagmail.com Erina Hertanti Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan FITK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ina.asnawiyahoo.co.id Abstrak Penelitian ini mengkaji keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek UIN Syarif Hidayatullah jakarta, semester 1 pada praktikum Fisika Dasar bab Pengenalan Alat Ukur. Keterampilan proses sains yang dinilai adalah keterampilan merencanakan percobaan, mengajukan pertanyaan, menggunakan alatbahan, menerapkan konsep, berkomunikasi, klasifikasi, dan interpretasi. Dari penelitian ini diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK sebesar 87 dan mahasiswa Fisika Saintek sebesar 86. Kedua nilai persentase tersebut setelah dilakukan pengujian selisih antara dua proporsi dengan taraf nyata sebesar α 0,025 menghasilkan nilai z hitung sebesar 0,272978. Nilai z hitung ini lebih rendah dari z α 1,96 sehingga kesimpulannya terima H , yaitu tidak terdapat perbedaan antara nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dengan mahasiswa Fisika Saintek. Apabila ditinjau dari setiap indikator keterampilan proses sains, mahasiswa pendidikan Fisika FITK memiliki nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah keterampilan mengajukan pertanyaan dan interpretasi dengan nilai 100, berkomunikasi 95, klasifikasi 89, menggunakan alatbahan 81,67, merencanakan percobaan 79, dan menerapkan konsep 67. Sementara pada mahasiswa Fisika Saintek diperoleh rata-rata persentase ketercapaian indikator berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah keterampilan mengajukan pertanyaan, berkomunikasi, dan interpretasi dengan nilai 100, klasifikasi 89, menggunakan alatbahan 87,33, menerapkan konsep 77, dan merencanakan percobaan 50. Dari semua keterampilan proses sains hanya keterampilan merencanakan percobaan yang menunjukkan perbedaan yang nyata antara mahasiswa pendidikan Fisika FITK dengan mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai persentase rata-ratanya berturut-turut adalah 79 dan 50. Dalam hal ini, mahasiswa pendidikan Fisika FITK lebih unggul dari mahasiswa Fisika Saintek. Kata Kunci: Keterampilan proses sains, hasil belajar, evaluasi PENDAHULUAN Evaluasi dan penilaian memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Dalam praktek pembelajaran secara umum, pelaksanaan evaluasi menekankan pada evaluasi proses pembelajaran atau evaluasi manajerial, dan evaluasi hasil belajar atau evaluasi substansial. Kedua jenis evaluasi ini dapat dipergunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan pelaksanaan dan hasil pembelajaran. Selanjutnya pada gilirannya dapat dipergunakan sebagai dasar memperbaiki kualitas proses pembelajaran menuju ke perbaikan kualitas hasil pembelajaran. Penilaian assessment adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi rangkaian kemampuan peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif pernyataan naratif dalam kata-kata dan nilai kuantitatif berupa angka. Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balikperbaikan proses belajar mengajar. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan 86 pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, pendidik, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta, serta keberadaan kurikukulum. Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, salah satu diantaranya adalah menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi. Dalam hal ini kompetensi diartikan sebagai 1 Seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu SK. Mendiknas No. 045U2002; 2 Kemampuan yang dapat dilakukan oleh peserta didik yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perilaku; 3 Integrasi domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang direfleksikan dalam perilaku. Mengacu pengertian kompetensi tersebut, maka hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasikan dalam tiga ranahdomain, yaitu 1 domain kognitif pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika, 2 domain afektif sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional, dan 3 domain psikomotor keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, baik di tingkat dasar hingga perguruan tinggi penilaian pembelajaran sains selama ini cenderung lebih difokuskan pada penilaian domain kognitif dan kurang memperhatikan domain afektif dan psikomotor. Saat praktikum, pendidik kerapkali mengabaikan keterampilan dan sikap ilmiah peserta didik dalam melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya. Sesungguhnya menurut Roth, kegiatan praktikum dan eksperimen dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan proses peserta didik, karena dalam kegiatan praktikum peserta didik dituntut untuk merumuskan masalah, membuat hipotesis, merancang eksperimen, merakit alat, melakukan pengukuran secara cermat, menganalisis data, membuat kesimpulan tentang konsep yang dipelajari melalui berbagai fakta langsung sehingga konsep tersebut menjadi lebih nyata dan bermakna bagi peserta didik. Penilaian kegiatan praktikum biasanya lebih ditekankan pada hasil produk dan cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi sedemikian rupa melalui laporan hasil praktikum peserta didik. Hasil penelitian multi kecerdasan menunjukkan bahwa kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika- matematika yang termasuk dalam domain kognitif memiliki kontribusi hanya sebesar 5 terhadap kesuksesan kehidupan seseorang. Kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi yang termasuk domain afektif memberikan kontribusi yang sangat besar, yaitu 80. Kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spatial dan kecerdasan musikal yang termasuk dalam domain psikomotor memberikan sumbangannya sebesar 5. Oleh sebab itu, sudah seharusnya paradigma penilaian berubah dari sesuatu yang mudah dinilai menjadi sesuatu yang penting dinilai. Artinya, kompetensi inti yang harus dimiliki oleh pendidik adalah kompetensi menyelenggarakan penilaian dan evaluasi hasil belajar. Untuk menilai sejauhmana peserta didik telah menguasai beragam kompetensi, tentu saja berbagai jenis penilaian perlu diberikan sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai, salah satunya dengan menerapkan penilaian berbasis kelas. Penilaian berbasis kelas merupakan salah satu pilar dalam kurikulum berbasis kompetensi. Penilaian berbasis kelas adalah proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh pendidik untuk pemberian nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya, sehingga didapatkan potretprofil kemampuan peserta sesuai dengan daftar kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian berbasis kelas dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam penelitian ini akan diterapkan penilaian berbasis kelas, yaitu penilaian unjuk kerja. Penilaian unjuk kerja untuk mengungkap hasil belajar peserta didik dalam domain psikomotorik. Menurut Pusat Kurikulum Balitbang, penilaian unjuk kerja tepat digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta didik melakukan tugas tertentu. Misalnya, tugas untuk melakukan percobaan, pengamatan, hipotesis, ataupun tugas keterampilan proses sains lainnya saat praktikum di laboratorium. Mengingat kegiatan evaluasi yang belum optimal dan kenyataan di lapangan pun menunjukkan adanya kesenjangan antara pembelajaran sains dengan teknik penilaiannya, maka penelitian ini dirasakan sangat penting sebagai upaya terobosan alternatif penilaian komprehensif. Realitas menunjukkan bahwa penilaian dengan cara konvensional belum mampu mengungkap hasil belajar peserta didik dari aspek unjuk kerja peserta didik secara aktual. Oleh sebab itu diperlukan penerapan penilaian yang dapat mengungkap aspek tersebut. Penilaian dengan cara ini dirasakan lebih adil dan fair bagi peserta didik, selain itu juga dapat meningkatkan motivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. 87 METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejasian yang terjadi pada saat sekarang. Sedangkan deskriptif analitik adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Pada penelitian ini obyek yang ditelitinya adalah keterampilan proses sains mahasiswa prodi Fisika fakultas Saintek dan mahasiswa Prodi pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini meliputi dua tahap yaitu tahap persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian Persiapan Penelitian Persiapan yang dilakukan untuk melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:1 Melakukan studi pustaka mengenai teori yang melandasi penelitian; 2 Melakukan survey ke fakultas yang akan dijadikan tempat penelitian; 3 Melakukan konsultasi dengan laboran di tempat dilaksanakannya penelitian; 4 Melakukan penentuan populasi dan sampel; dan 5 Melakukan pembuatan instrument. Pelaksanaan Penelitian Tahap pelaksanaan penelitian meliputi: Pertama, Penilaian terhadap aspek psikomotor terhadap mahasiswa yang melakukan praktikum sains; Kedua, Analisis data terhadap aspek psikomotor mahasiswa dalam melakukan praktikum. Adapun teknik analisis datanya adalah dengan menggunakan uji selisih dua proporsi dengan rumus. Uji ini adalah mencari nilai z hitung melalui persamaan          2 1 2 1 1 1 ˆ ˆ n n q p p p z 1 2 1 2 1 ˆ n n x x p    2 p q ˆ 1 ˆ   3 dengan taraf nyata α = 0,025. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap keterampilan proses sains mahasiswa Fisika Saintek dan mahasiswa Pendidikan Fisika FITK semester 1. Keterampilan proses sains yang diukur pada penelitian ini meliputi enam keterampilan, yaitu merencanakan percobaan, mengajukan pertanyaan, menggunakan alatbahan, menerapkan konsep, klasifikasi, berkomunikasi, dan interpretasi. Pada penelitian ini penilaian dilakukan dengan menggunakan lembar observasi dengan skala penilaian ya dan tidak. Penilaian dilakukan pada saat praktikum Fisika Dasar pada bab pengenalan alat ukur. Observasi dilakukan terhadap enam kelompok mahasiswa, setiap kelompok terdiri dari enam sampai tujuh orang mahasiswa. Observasi dilakukan oleh dua orang observer dengan masing-masing observer mengobservasi tiga kelompok praktikan. Adapun penilaiannya adalah dengan melihat indikator pada masing- masing keterampilan proses sains. Selanjutnya dari lembar observasi masing-masing kelompok dihitung persentase ketercapaian setiap indikator pada masing-masing keterampilan proses sains. Berikut adalah tabel persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek pada praktikum pengenalan alat ukur. Tabel 1. Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Pendidikan Fisika FITK Keterampilan Proses Sains Persentase ketercapaian indikator Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6 Rata-rata Merencanakan percobaan 75 100 75 75 75 75 79 Mengajukan pertanyaan 100 100 100 100 100 100 100 menggunakan alatbahan 83 83 75 83 83 83 81.67 Menerapkan konsep 60 60 80 60 60 80 67 Klasifikasi 100 67 100 67 100 100 89 Berkomunikasi 100 100 67 100 100 100 95 Interpretasi 100 100 100 100 100 100 100 Rata-rata 88 87 85 84 88 91 87 88 Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada Tabel 1, menunjukkan bahwa rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK sebesar 87. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Perolehan persentase tersebut jika dianalisis dari indikator keterampilan proses sains berturut dari tinggi ke rendah adalah kemampuan untuk mengajukan pertanyaan dan interpretasi menempati nilai rata-tata paling tinggi yaitu 100. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Keterampilan proses yang berada di urutan kedua adalah keterampilan berkomunikasi dengan nilai 95. Diikuti oleh keterampilan klasifikasi yang berada di urutan ke tiga dengan nilai rata-rata persentasenya 89. Selanjutnya keterampilan menggunakan alat dan bahan dengan nilai rata-rata persentase 81,67 menempati urutan ke empat. Ketiga nilai rata-rata tersebut apabila ditinjau berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti sangat baik. Selanjutnya keterampilan merencanakan percobaan menempati urutan ke lima dengan nilai rata-rata persentasenya 79. Berdasarkan indikator keberhasilan, nilai persentase tersebut mempunyai arti baik. Dan keterampilan proses dengan nilai rata-rata terendah pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK adalah keterampilan menerapkan kosep dengan nilai rata-rata persentasenya sebesar 67. Nilai rata-rata persentase ini berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti cukup. Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada tabel 2, menunjukkan bahwa rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa Fisika Saintek sebesar 86. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Perolehan persentase tersebut jika dianalisis dari indikator keterampilan proses sains berturut dari tinggi ke rendah adalah kemampuan untuk mengajukan pertanyaan, berkomunikasi dan interpretasi menempati nilai rata-tata paling tinggi yaitu 100. Berdasarkan indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Keterampilan proses yang berada di urutan kedua adalah keterampilan klasifikasi dengan nilai rata-rata 89. Diikuti oleh keterampilan menggunakan alatbahan yang berada di urutan ke tiga dengan nilai rata-rata persentasenya 87,33. Tabel 2. Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Fisika Saintek Keterampilan Proses Sains Persentase ketercapaian indikator Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6 Rata-rata Merencanakan percobaan 50 50 50 50 50 50 50 Mengajukan pertanyaan 100 100 100 100 100 100 100 menggunakan alatbahan 83 83 100 100 75 83 87.33 Menerapkan konsep 80 80 80 80 80 60 77 Klasifikasi 100 100 100 100 67 67 89 Berkomunikasi 100 100 100 100 100 100 100 Interpretasi 100 100 100 100 100 100 100 Rata-rata 88 88 90 90 82 80 86 Kedua nilai rata-rata tersebut apabila ditinjau berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti sangat baik. Selanjutnya keterampilan menerapkan konsep menempati urutan ke empat dengan nilai rata-rata persentasenya 77. Berdasarkan indikator keberhasilan, nilai persentase tersebut mempunyai arti baik. Dan keterampilan proses dengan nilai rata-rata terendah pada mahasiswa Fisika Saintek adalah keterampilan merencanakan percobaan dengan nilai rata-rata persentasenya sebesar 50. Nilai rata-rata persentase ini berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti kurang dari cukup. Kedua tabel 1 dan 2 dapat disajikan dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu dengan mengambil nilai rata-rata persentase ketercapaian keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika Saintek. Seperti terlihat pada tabel 3 keterampilan merencanakan percobaan mahasiswa pendidikan Fisika FITK lebih unggul dari mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai rata-rata 79 untuk mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan 50 untuk mahasiswa Fisika Saintek. Jadi dalam hal ini, keterampilan merencanakan percobaan mahasiswa Fisika Saintek masih kurang dari cukup. Di lain pihak, untuk keterampilan menggunakan alat dan bahan nilai tertinggi dicapai oleh mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator sebesar 87,33, sementara mahasiswa pendidikan Fisika FITK hanya mencapai nilai 81,67. Walaupun demikian keduanya sudah mencapai nilai dengan indikator sangat baik. 89 Tabel 3. Perbandingan Nilai Rata-Rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Pendidikan Fisika FITK dan Mahasiswa Fisika Saintek Keterampilan Proses Sains Persentase ketercapaian indikator FITK Saintek Merencanakan percobaan 79 50 Mengajukan pertanyaan 100 100 menggunakan alatbahan 81.67 87.33 Menerapkan konsep 67 77 Klasifikasi 89 89 Berkomunikasi 95 100 Interpretasi 100 100 Rata-rata 87 86 Keterampilan menerapkan konsep mahasiswa Fisika Saintek lebih unggul dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator sebesar 77 dari mahasiswa pendidikan Fisika FITK yang hanya memiliki nilai rata-rata persentase 67. Dalam hal ini mahasiswa pendidikan Fisika FITK masih memiliki nilai dengan kategori cukup. Demikian pula untuk keterampilan berkomunikasi, mahasiswa Fisika Saintek lebih unggul dari mahasiswa pendidikan Fisika FITK. Namun keduanya sudah menunjukan nilai persentase rata-rata dengan kategori sangat baik. Sementara itu, keterampilan klasifikasi dan interpretasi antara mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek keduanya memiliki nilai pencapaian yang sama yaitu 100. Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana perbedaan persentase ketercapaian indikator dari setiap keterampilan proses sains, dilakukan pengujian selisih antara dua proporsi dengan taraf nyata α 0,025. Untuk taraf nyata 0,025 ini proporsi keberhasilan diuji dengan wilayah kritik z 1,96. Apabila nilai z yang diperoleh lebih besar dari 1,96 maka tolak H0, berarti persentase ketercapaian indikator Keterampilan Proses Sains dari mahasiswa FITK dan Saintek berbeda nyata. Sebaliknya apabila nilai z yang diperoleh lebih kecil dari 1,96 maka terima H0, berarti persentase ketercapaian indikator antara mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika Saintek tidak berbeda nyata. Berikut adalah tabel hasil pengujian selisih antara dua proporsi ketercapaian indikator Keterampilan Proses Sains mahasiswa pendidikan fisik FITK dan mahasiswa fisika Saintek. Tabel 4. Pengujian Selisih antara Dua Proporsi Ketercapaian Indikator KPS Mahasiswa Pendidikan Fisika FITK dan Mahasiswa Fisika Saintek Keterampilan Proses Sains Persentase ketercapaian indikator Uji selisih dua proporsi FITK Saintek Merencanakan percobaan 79 50 2.099411 Tolak H0 Mengajukan pertanyaan 100 100 0.000000 Terima H0 menggunakan alatbahan 81.67 87.33 0.938391 Terima H0 Menerapkan konsep 67 77 0.862582 Terima H0 Klasifikasi 89 89 0.000000 Terima H0 Berkomunikasi 95 100 1.240356 Terima H0 Interpretasi 100 100 0.000000 Terima H0 Rata-rata 87 86 0.272978 Terima H0 Data-data yang tersaji pada tabel 4 memperlihatkan keterampilan merencakan percobaan antara mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek berbeda nyata tolak H0. Sementara untuk keterampilan proses yang lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terima H0. Data-data tersebut dapat disajikan dalam bentuk grafik batang seperti yang terlihat pada Gambar 1. 90 Gambar 1. Perbandingan Nilai Rata-rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Gambar 1 memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan pada keterampilan merencanakan percobaan. Perbedaan yang tidak terlalu signifikan pada keterampilan menggunakan alatbahan, menerapkan konsep, dan berkomunikasi. Keterampilan proses sains merupakan keterampilan-keterampilan yang biasa dilakukan ilmuwan untuk memperoleh pengetahuan. Keterampilan proses ini perlu untuk dikaji karena sangat bermanfaat bagi mahasiswa. Mahasiswa yang terlatih menggunakan keterampilan proses ini akan mudah menerapkan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa keterampilan proses sains pada penelitian ini hanya mengambil tujuh keterampilan proses sains yang diobservasi pada mahasiswa saat melakukan praktikum pengenalan alat ukur. Berikut akan dijelaskan hasil observasi pada masing-masing keterampilan proses sains Merencanakan Percobaan Keterampilan merencanakan percobaan pada penelitian ini meliputi beberapa indikator yang harus dipenuhi oleh mahasiswa pada saat memulai praktikum pengenalan alat ukur. Adapun beberapa indikator tersebut adalah: 1. Membaca buku panduan praktikum dengan baik sebelum praktikum dimulai 2. Menyiapkanmemeriksa alat dan bahan sesuai yang tercantum dalam buku panduan praktikum 3. Melakukan kalibrasi sederhana sebelum melaksanakan praktikum 4. Melakukan aspek-aspek keamanan diri, alat, dan lingkungan sesuai dengan pedoman kerja Berdasarkan Tabel 1, hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK diperoleh nilai persentase ketercapaian indikator rata-rata sebesar 79. Dari ke enam kelompok mahasiswa pendidikan fisika FITK yang diobservasi, tidak melakukan indikator ke 3 yaitu melakukan kalibrasi sederhana sebelum melaksanakan praktikum. Sedangkan hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa fisika saintek dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel terlihat nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator untuk mahasiswa saintek sebesar 50. Semua kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu melakukan kalibrasi sederhana sebelum melaksanakan praktikum dan indikator ke 4 yaitu melakukan aspek-aspek keamanan diri, alat, dan lingkungan sesuai dengan pedoman kerja. Pengujian selisih dua proporsi untuk nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator pada keterampilan merencanakan percobaan antara mahasiswa Pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai taraf nyata α 0,025 menghasilkan nilai z sebesar 2.099411. Keputusannya adalah tolak H0 karena nilai z hitung lebih besar dari z α , hal ini mengindiasikan bahwa mahasiswa pendidikan Fisika FITK lebih unggul ketercapaian indikator merencanakan percobaanya daripada mahasiswa Fisika Saintek. Apabila dilihat secara keseluruhan baik mahasiswa pendidikan Fisika FITK maupun mahasiswa Fisika Saintek belum memperhatikan pentingnya kalibrasi alat sebelum melakukan pengukuran. Pada saat mereka menggunakan jangka sorong, mikrometer skrup dan neraca analitik semua kelompok langsung menggunakan alat-alat ukur tersebut tanpa memastikan bahwa skala pada alat tersebut benar-benar sudah berada di posisi nol. Keterampilan merencanakan percobaan ini penting karena dari pengukuran keterampilan ini dapat dilihat kesiapan mahasiswa untuk melakukan percobaan dalam hal ini penggunaan alat ukur. Apabila mahasiswa sudah mengalami kesalahan pada tahap ini maka akan berakibat pada kesalahan selanjutnya. Mengenai kalibrasi alat sebelum digunakan, pada buku panduan praktikum Fisika Dasar Pendidikan Fisika FITK itu 91 sudah tercantum dengan jelas pada langkah pertama baik itu untuk penggunaan alat ukur mikrometer sekrup, jangka sorong maupun neraca analitik. Namun pada saat praktikum kemungkinan mahasiswa tidak menyadari bahwa kalibrasi itu benar-benar penting dan harus selalu dilakukan di awal pengukuran. Dalam hal ini peran asisten lab diperlukan untuk selalu mengingatkan praktikan agar melakukan kalibrasi. Sementara itu, pada buku panduan praktiukum Fisika Dasar mahasiswa Fisika Saintek tidak dicantumkan tahap kalibrasi ini. Ini bisa dijadikan masukan kepada tim penyusun buku panduan praktikum bahwa tahap kalibrasi harus dinyatakan secara eksplisit dalam buku panduan praktikum. Adapun mengenai aspek-aspek keselamatan diri mahasiswa masih terlihat tidak terlalu memperhatikan hal ini karena mereka menganggap bahwa praktikum Fisika tidak sebahaya praktikum Kimia. Akibatnya mereka terlihat tidak hati-hati dalam menggunakan alat bahkan ada beberapa orang yang justeru memainkan beberapa alat ukur, becanda dengan teman dan masih ada beberapa tidak menggunakan jas lab. Petunjuk praktikum fisika dasar yang sudah ada, menyebutkan tujuan, alat dan bahan praktikum serta langkah kerja dengan rinci, sehingga mahasiswa tinggal melaksanakan praktikum, tanpa membuat perencanaan percobaan terlebih dahulu. Sehingga dalam pelaksanaan, petunjuk praktikum yang digunakan selama ini kurang mengembangkan keterampilan ilmiah. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wawan Kuriawan dan Diana Endah H mengenai pembelajaran fisika dengan metode inquiry terbimbing untuk mengembangkan keterampilan proses sains menjelaskan bahwa buku panduan praktikum dapat dibuat sedemian rupa sehingga menuntut mahasiswa calon guru untuk dapat mengembangkan keterampilan ilmiah. Wawan Kurniawan juga memaparkan dalam jurnalnya bahwa yang jadi penyebab rendahnya keterampilan merencanakan percobaan salah satunya dimungkinkan karena mahasiswa belum memiliki persiapan dalam menghadapi praktikum. Hal ini disebabkan mungkin karena mahasiswa saat belajar di sekolah menengah jarang atau belum pernah melakukan praktikum fisika. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wawan Kurniawan tersebut keterampilan merencanakan percobaan hanya mencapai nilai rata-rata persentase pada siklus satu sebesar 60,01 yang berarti kategori nilai tersebut masih kurang dari cukup. Mengajukan pertanyaan Keterampilan mengajukan pertanyaan merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki peserta didik sebelum mempelajari suatu masalah lebih lanjut. Pertanyaan yang diajukan dapat meminta penjelasan, tentang apa, mengapa, bagaimana, atau menanyakan latar belakang hipotesis. Hasil observasi terhadap mahasiswa secara keseluruhan mahasiswa sudah menunjukkan keterampilan untuk bertanya dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator sebesar 100. Berdasarkan indikator keberhasilan, nilai tersebut mempunyai arti sangat baik. Sebelum praktikum mahasiswa menanyakan beberapa pertanyaan terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan praktikum. Rata-rata mereka menanyakan apa saja yang akan diukur. Menggunakan alatbahan Keterampilan menggunakan alat dan bahan merupakan keterampilan proses selanjutnya yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Pada keterampilan ini menurut Zulfiani aspek-aspek yang diukur antara lain adalah keterampilan untuk memkai alatbahan, mengetahui alasan mengapa menggunakan alatbahan, mengetahui bagaimana menggunakan alatbahan. Karena pada penelitian ini peneliti mengukur aspek psikomotor mahasiswa selama melakukan praktikum pegenalan alat ukur, maka peneliti menentukan beberapa indikator yang harus dipenuhi dalam pengukuran keterampilan menggunakan alatbahan. Indikator-indikator tersebut adalah: 1. Menggunakan jangka sorong ketika mengukur diameter dalam, luar dan kedalaman 2. Menempatkan jangka sorong tegak lurus dengan benda yang diukur 3. Menempatkan sedekat mungkin benda yang diukur dengan skala utama pada jangka sorong 4. Mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas 5. Memperhatikan angka pada skala utama dan skala nonius pada jangka sorong ketika melakukan pengukuran 6. Menggunakan mikrometer skrup ketika mengukur ketebalan suatu benda 7. Menjepit benda yang diukur diantara poros tetap dan poros geser sampai terjepit dengan tepat 8. Memutar pengunci poros penggeser pada mikrometer skrup sampai terdengar bunyi klik agar tidak bisa bergerak lagi 9. Memperhatikan angka pada skala utama dan skala putar pada mikrometer ketika mengukur 10. Meletakkan benda yang diukur massanya pada neraca analitik 11. Menggeser skala neraca analitik dimulai dari skala besar kemudian skala kecil 12. Membaca hasil pengukuran neraca analitik ketika dua garis sejajar sudah seimbang panah sudah berada di titik setimbang 0 92 Hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK menghasilkan data rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alatbahan sebesar 81,67 seperti tertera pada Tabel 1 di atas. Semua kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu penggeser pada micrometer skrup sampai terdengar bunyi klik agar tidak bisa bergerak lagi. Dan satu kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu menempatkan sedekat mungkin benda yang diukur dengan skala utama pada jangka sorong. Sementara itu untuk mahasiswa Fisika Saintek, hasil observasi terhadap enam kelompok diperoleh data rata-rata persentase ketercapaian indikator pada keterampilan menggunakan alatbahan seperti terlihat pada Tabel 2, yaitu sebesar 87,33. Ada 4 kelompok yang tidak melakukan indikator ke 2 yaitu menempatkan jangka sorong tegak lurus dengan dengan benda yang diukur, 2 kelompok tidak melakukan indikator ke 4 yaitu mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas, 2 kelompok tidak melakukan indikator ke 11 yaitu menggeser skala neraca analitik dimulai dari skala besar kemudian skala kecil, 1 kelompok tidak melakukan indikator ke 12 yaitu membaca hasil pengukuran neraca analitik ketika dua garis sejajar sudah seimbang. Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alatbahan pada mahasiswa fisika Saintek sedikit lebih unggul dibandingkan mahasiswa pendidikan Fisika FITK seperti dapat dilihat pada grafik Gambar 1. Namun demikian, nilai pengujian selisih antara dua proporsi menghasilkan nilai z hitung sebesar 0,938391, nilai ini lebih kecil dari z α sehingga keputusannya adalah terima H0 berarti perbedaan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alatbahan untuk mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek tidak berbeda secara nyata. Apabila dikaji lebih lanjut kelemahan yang terjadi pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek berbeda. Mahasiswa pendidikan Fisika FITK lemahnya pada penggunaan jangka sorong, mereka tidak melakukan pengukuran diameter dalam, luar dan kedalaman. Hal ini memang terjadi karena di buku pedoman praktikum tidak dinyatakan secara eksplisit perintah untuk melakukan pengukuran diameter dalam, luar dan kedalaman. Adapun pada mahasiswa fisika saintek kelemahanya adalah pada penggunaan jangka sorong, mahasiswa tidak menempatkan jangka sorong tegak lurus dengan benda yang diukur dan tidak mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas. Pada tahun 2010 Wawan Kurniawan dan Diana Endah dalam jurnal penelitiannya mengenai pembelajaran fisika dengan metode inkuiri terbimbing untuk mengembangkan keterampilan proses sains menemukan hasil pengukuran terhadap keterampilan proses melaksanakan pada siklus I dengan nilai rata-rata presentase keberhasilan indikator sebesar 63,43. Nilai tersebut berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti cukup. Pengukuran terhadap mahasiswa tersebut dilakukan pada saat praktikum fisika dasar dengan materi fluida. Wawan Kurniawan mengemukakan bahwa rendahnya nilai tersebut dimungkinkan akibat mahasiswa kurang mengenal alat ukur yang digunakan. Kemungkinan yang lain mahasiswa juga kurang memahami dalam penggunaan alat ukur tersebut. Sehingga mahasiswa menjadi kurang teliti dalam membaca alat ukur. Hasil temuan tersebut apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa keterampilan menggunakan alatbahan dalam hal ini adalah alat ukur merupakan keterampilan yang sangat penting untuk melakukan praktikum-praktikum lebih lanjut. Apabila penggunaan alat ukur dasar mahasiswa lemah, maka pada saat praktikum berikutnya mahasiswa akan kesulitan dalam melakukan pengukuran. Menerapkan Konsep Keterampilan menerapkan konsep ini menurut Zulfiani meliputi keterampilan menggunakan konsep- kosep yang telah dipahami untuk menjelaskan peristiwa baru, menerapkan konsep yang dikuasai pada situasi baru atau menerapkan rumus-rumus pada pemecahan soal-soal baru. Pada penelitian ini indikator-indikator untuk keterampilan menerapkan konsep disesuaikan dengan praktikum yang dilakukan yaitu pengenalan alat ukur, adapun indikator-indikatornya ntara lain: 1. Melakukan pengukuran dan pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali 2. Membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 60 detik 3. Menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka penting 4. Mengetahui nilai skala terkecil nst dari jangka sorong, micrometer skrup, dan neraca analitik 5. Menjawab pertanyaan yang tercantum dalam buku panduan praktikum Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menerapkan konsep pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK seperti terlihat pada Tabel 1 adalah sebesar 67. Keenam kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka penting, 3 kelompok tidak melakukan indikator ke 2 yaitu membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 60 detik dan 1 kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu melakukan pengukuran dan pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali ulangan. Ketercapaian indikator keterampilan menerakan konsep ini termasuk ke dalam kategori cukup. 93 Sementara itu, hasil yang diperoleh dari observasi terhadap mahasiswa fisika saintek diperoleh nilai rata- rata persentase ketercapaian indikator ketempilan menerapkan konsep sebesar 77. Semua kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka penting, 3 kelompok tidak melakukan indikator ke 2 yaitu membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 60 detik, 1 kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu melakukan pengukuran dan pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali. Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator untuk keterampilan menerapkan konsep pada mahasiswa fisika saintek sedikit lebih unggul dibandingkan mahasiswa pendidikan fisika FITK. Dapat dilihat pada grafik nilai rata-rata untuk mahasiswa fisika saintek grafik batangnya lebih tinggi dari mahasiswa pendidikan fisika FITK. Namun dari pengujian selisih dua proporsi nilai z hitung yang didapat sebesar 0,862582 lebih kecil dari z α , hal ini berarti perbedaan antara keduanya tidak nyata. Apabila dibandingkan dengan keterampilan proses lainnya, keterampilan menerapkan konsep ini berada pada nilai yang paling rendah baik pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK maupun mahasiswa fisika Saintek. Gambar 1 memperlihatkan grafik batang untuk keterampilan menerapkan konsep ini paling rendah dibandingkan keterampilan lainnya. Rata-rata kelompok belum bisa menerapkan konsep penulisan angka penting. Selain itu, masih ada beberapa kelompok yang tidak dapat membaca hasil pengukuran dengan cepat. Masih ada beberapa kelompok yang terlalu lama dalam menentukan berapa nilai hasil pengukuran yang didapat dari masing-masing alat ukur terutama pada neraca analitik. Klasifikasi Dasar keterampilan mengklasifikasikan adalah kemampuan mengidentifikasi perbedaan dan persamaan anatara berbagai objek yang diamati, atau bisa juga disebut sebagai keterampilan dalam mengelompokkan atau menggolong-golongkan. Dasar yang perlu diperhatikan dalam membuat klasifikasi, seperti mencari perbedaan, mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan, dan mencari dasar pengelompokan. Indikator-indikator yang dibuat pada saat penilaian keterampilan mengklasifikasi pada penelitian ini disesuaikan dengan praktikum pengenalan alat ukur. Adapun indikator-indikatornya adalah: 1. Mencatat hasil pengukuran jangka sorong dalam satuan cm 2. Mencatat hasil pengukuran mikrometer skrup dalam satuan mm 3. Mencatat hasil pengukuran neraca analitik dalam satuan gram Dari hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan fisika FITK diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan mengklasifikasi adalah 89. Masih ada kelompok yang salah dalam menuliskan satuan hasil pengukuran. Demikian pula hasil observasi terhadap mahasiswa fisika Saintek diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator dengan nilai yang sama yaitu 89. Hampir sama dengan mahasiswa pendidikan Fisika FITK, masih ada beberapa kelompok yang salah dalam penulisan satuan. Berkomunikasi Berkaitan dengan keterampilan berkomunikasi ini menurut Zulfiani meliputi keterampilan menginformasikan hasil pengamatan, hasil prediksi atau hasil percobaan kepada orang lain. Bentuk komunikasi ini bisa dalam bentuk lisan dan tulisan. Jenis komunikasi dapat berupa paparan sistematis laporan atau transformasi parsial, menggambarkan data empiris dengan tabel, grafik atau diagram. Pada penelitian ini, indikator-indikator keterampilan berkomunikasi yang dinilai selama praktikum pengenalan alat ukur adalah: 1. Mendiskusikan hasil pengukuran dengan teman sekelompok 2. Menyajikan semua data hasil pengukuran pada sebuah tabel 3. Menyusun laporan praktikum secara sistematis Hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan berkomunikasi adalah 100. Begitu pula hasil yang didapat dari observasi terhadap enam kelompok mahasiswa fisika Saintek sebesar 100. Ini mengindikasikan keterampilan mahasiswa dalam berkomunikasi sudah sangat baik. Semua mahasiswa mendiskusikan semua yang mereka dapatkan dari hasil pengukuran, setiap anggota kelompok terlihat saling bekerja sama dengan baik pada saat praktikum. Semua mahasiswa juga melakukan serta menyajikan hasil pengukuran dalam tabel. Mereka pun sangat rapi dalam menyusun laporan dan menyajikannya secara sistematis sesuai denga petunjuk yang ada pada buku panduan praktikum. Hal ini tentunya merupakan hasil kerjasama antara dosen pengajar dengan asisten praktikum yang memotivasi mahasiswa untuk sungguh-sungguh dalam penyusunan laporan. Interpretasi Keterampilan interpretasi merupakan keterampilan dalam menafsirkan. Keterampilan interpretasi meliputi keterampilan mencatat hasil pengamatan, menghubung-hubungkan hasil pengamatan, dan 94 menemukan pola keteraturan dari satu seri pengamatan hingga memperoleh kesimpulan. Pada penelitian indikator keterampilan interpretasi ini adalah membuat kesimpulan hasil praktikum. Hasil observasi pada enam kelompok mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika Saintek diperoleh nilai rata-rata ketercapaian indikator 100. Semua mahasiswa sudah sangat baik dalam menuangkan sebuah hasil praktikum dalam sebuah laporan serta membuat kesimpulan hasil praktikum dengan baik. Hal tersebut tentunya didukung oleh adanya buku panduan praktikum yang baik. Pada buku panduan praktikum fisika dasar mahasiswa pendidikan fisika FITK maupun buku panduan praktikum fisdas mahasiswa fisika saintek telah mencantumkan cara-cara pembuatan laporan disertai dengan contoh format laporannya. Nilai Rata-Rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Hasil observasi secara keseluruhan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan fisika FITK adalah sebesar 87 sementara untuk mahasiswa fisika Saintek 86. Diantara keduanya memiliki perbedaan yang sangat kecil. Berdasarkan pengujian selisih dua proporsi antara nilai rata-rata persentase keduanya diperoleh nilai z hitung 0,272978. Nilai z hitung ini lebih kecil dari z α , sehingga perbedaan antara keduanya tidak nyata. Dengan demikian, penilaian berbasis kelas yang berupa penilaian kinerja pada praktikum pengenalan alat ukur ini secara umum telah dapat mengukur hasil pembelajaran mahasiswa khususnya mengenai alat ukur dan konsep-konsep penting di dalam pengukuran seperti penulisan angka penting, penggunaan alat ukur yang benar, nilai skala terkecil suatu alat ukur dan besaran serta satuan. Dari penilaian ini terlihat aspek-aspek mana saja yang telah memenuhi indikator keberhasilan dan aspek mana yang belum memenuhi indikator keberhasilan. Dari penelitian ini diperoleh gambaran bahwa pada umumnya mahasiswa telah menunjukkan keterampilan proses yang baik terutama pada praktikum pengenalan alat uku. Adapun mengenai beberapa aspek yang belum dipenuhi dengan baik, dimungkinkan karena praktikum pengenalan alat ukur merupakan praktikum pertama dan mahasiswa belum memiliki pengalaman praktikum sebelumnya. SIMPULAN Penelitian ini memperoleh hasil yang mengindikasikan keterampilan proses sains antara mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika saintek tidak berbeda nyata. Mahasiswa fisika FITK memiliki nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator 87 dan mahasiswa fisika Saintek nilai rata-rata persentase ketercapaiannya sebesar 86. Namun demikian, apabila dilihat dari setiap indikator mahasiswa pendidikan Fisika memiliki keterampilan proses sains dengan urutan persentase keberhasilan dari tinggi ke rendah meliputi keterampilan mengajukan pertanyaan dan interpretasi dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator 100, keterampilan berkomunikasi 95, keterampilan klasifikasi 89, keterampilan menggunakan alatbahan 81,67, keterampilan merencanakan percobaan 79, dan keterampilan menerapkan konsep 67. Sementara itu, untuk mahasiswa fisika Saintek jika dilihat dari setiap indikator memiliki keterampilan proses dengan urutan persentase keberhasilan dari tinggi ke rendah meliputi keterampilan mengajukan pertanyaan, berkomunikasi, dan interpretasi dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator 100, keterampilan klasifikasi 89, keterampilan menggunakan alatbahan 87,33, keterampilan menerapkan konsep 77, dan keterampilan merencanakan percobaan 50. Dari beberapa indikator keterampilan proses sains, untuk mahasiswa pendidikan fisika FITK keterampilan menerapkan konsep menempati pada posisi nilai ketercapaian indikator paling bawah dengan nilai 67, sementara untuk mahasiswa fisika Saintek keterampilan dengan pencapaian indikator paling rendah adalah keterampilan merencanakan percobaan yaitu 50. Adapun hasil pengujian selisih antara dua proporsi, hanya keterampilan untuk merencanakan percobaan yang menunjukkan perbedaan yang nyata. Mahasiswa pendidikan fisika FITK lebih tinggi ketercapaian indikator keterampilan merencanakan percobannya dengan nilai 79 dari mahasiswa fisika saintek dengan nilai 50. Sedangkan untuk keterampilan proses lainnya tidak berbeda nyata. Hampir semua kelompok mahasiswa belum memperhatikan pentingnya kalibrasi alat ukur sebelum digunakan. Dan ada beberapa kelompok belum memperhatikan pentingnya aspek-aspek keamanan dan keselamatan diri, alat dan lingkungan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wawan Kurniawan dan Diana Endah H yang memaparkan penemuannya pada penilaian keterampilan proses sains mahasiswa saat praktikum fisika dasar dengan materi fluida, bahwa nilai persentase ketercapaian indikator merencanakan percobaan masih menunjukkan ketercapaian yang kurang dari cukup dikarenakan mahasiswa tidak siap untuk melakukan percobaan, karena pada saat mereka belajar di sekolah menengah jarang melakukan praktikum atau bahkan mungkin belum pernah sama sekali. 95 SARAN Dari penelitian yang telah dilakukan ini, maka disarankan : 1. Perlunya penelitian lanjutan terhadap keterampilan proses sains untuk materi-materi fisika dasar yang lain seperti gerak harmonik sederhana, mesin atwood, dan fluida 2. Agar dapat lebih memperlihatkan pencapaian hasil belajar data penilaian kinerja ini perlu didukung oleh data tes tertulis mengenai kemampuan kognitif mahasiswa agar dapat diketahui apakah hasil yang diperoleh dari penilaian unjuk kerja berbanding lurus atau tidak tingkat pemahaman mahasiswa pada materi tersebut 3. Bagi tim pembuat buku panduan praktikum fisika dasar, agar membuat buku panduan praktikum yang dapat lebih mengeksplore keterampilan proses sains mahasiswa tanpa harus menuangkan semua langkah- langkah kerja praktikum 4. Bagi asisten praktikum, agar lebih memberikan pengarahan yang baik mengenai pentingnya menjaga tata tertib pelaksanaan praktikum serta perlunya menjaga keselamatan diri, alat dan lingkungan. 5. Bagi dosen pengampu mata kuliah fisika dasar dan alat ukur agar memberikan pemahaman yang lebih baik lagi kepada mahasiswa mengenai penggunaan alat ukur yang baik serta mengenai penulisan angka penting. DAFTAR PUSTAKA Arifin Z. 2011. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Rosdakarya. Bambang S. 2011. Pengukuran Kreativitas Keterampilan Proses Sains dalam Konteks Assesment for Learning. Cakrawala Pendidikan, Februari 2011, Th. XXX, No. 1 Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas. 2008. Sistem Penilaian Kelas SD SMP SMA dan SMK, Kompetensi Supervisi Akademik: Stategi Pembelajaran MIPA. Jakarta. http:elearning.unesa.ac.idmetode-pembelajaran-dengan-penilaian Majid A. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. Muslich M. 2009. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah PP Nomor 19 Tahun 2005. Standar Nasional Pendidikan Semiawan C. 1992. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia Sofyan A, dkk. 2006. Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Sudjana N, Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Surapranata S. 2007. Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT. Rosdakarya Wawan K, Diana EH. Pembelajaran Fisika dengan Metode Inquiry Terbimbing untuk Mengembangkan Keterampilan Proses Sains. JP2F, Volume 1 Nomor 2 September 2010 Zulfiani, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta 96 EFEKTIVITAS PENERAPAN PEMBELAJARAN AKTIF TIPE MIND MAPS UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA MAHASISWA DALAM KULIAH FISIKA TEKNIK Usmeldi Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang usmeldyyahoo.co.id Abstrak Fisika Teknik merupakan salah satu mata kuliah pendukung di Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang FT UNP. Survei awal menunjukkan bahwa mahasiswa kurang menguasai konsep fisika, sehingga sulit menerapkannya dalam mata kuliah keahlian yang relevan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan efektivitas penerapan pembelajaran aktif tipemind mapsuntukmeningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswadalam kuliah Fisika Teknik. Penelitian menggunakan metode eksperimenkuasi dengan desain satu grup pre- testpost-test. Subyek penelitian adalah mahasiswa program studi Pendidikan Teknik Elektro FT UNP yang mengikuti kuliah Físika Teknik, sebanyak 36 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan format observasi, format penilaian pelaksanaan pembelajaran, dan tes penguasaan konsep fisika.Untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran disusun satuan acara perkuliahan, handout,media pembelajaran berupa program powerpoint dan macromedia flash.Hasil penelitian menunjukkan bahwapembelajaran aktif tipe mind mapsefektif untuk meningkatkanpenguasaankonsepfisika mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh;1 kemampuan mahasiswa dalam membuat mind maptermasuk kategori baik, 2 kemampuan berdiskusi dalam kelompoktermasuk kategori baik, 3kemampuan mempresentasikan hasilmind maptermasuk kategori sangat baik, 4 kemampuan menguasai konsep fisika termasuk kategori baik, 5 peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa termasuk kategori sedang.Saran diajukan kepada dosen fisika teknik untuk dapat menggunakan pembelajaran aktif tipe mind mapsuntuk meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa. Kata Kunci:pembelajaran aktif, mind maps,penguasaan konsep fisika. PENDAHULUAN Peningkatan mutu pendidikan sangat penting untuk mengantipasi perkembangan teknologi.Perkembangan teknologi tidak terlepas dari perkembangan fisika.Fisika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi.Untuk dapat menguasai dan mencipta teknologi diperlukan penguasaan fisika dan matematikayang kuat sejak dini Depdiknas, 2004.Sejalan dengan perkembangan teknologi, pendidikan banyak menghadapi berbagai tantangan, diantaranya adalah peningkatan mutu pendidikan.Rendahnya mutu pendidikan dapat dilihat dari kemampuan peserta didik, mereka kurang mampu menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor penyebabnya adalah proses pembelajaran yang bersifat informatif sehingga pelajaran kurang bermakna. Peserta didik kurang dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran.Pembelajaran adalah suatu proses yang rumit karena tidak sekedar menyerap informasi dari dosen, tetapi juga melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan terutama bila diinginkan hasil belajar yang baik. Rendahnya hasil belajar fisika mahasiswa diduga disebabkan oleh kesulitan memahami konsep fisika.Fakta menunjukkan pada saat pembelajaran berlangsung sebagian besar mahasiswa kurang antusias menerimanya, mahasiswa bersifat pasif, tidak berani mengemukakan pendapatnya. Mata kuliah Fisika Teknikdi Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang FT UNP berfungsi sebagai mata kuliah pendukung bagi mata kuliah keahlian MKK yang relevan. Diharapkan mahasiswa dapat menguasai konsep fisika dan memiliki keterampilan dalam melakukan kegiatan praktikum fisika teknik. Kemampuan menguasai konsep fisika dan melakukan praktikum fisika teknik diperlukan oleh mahasiswa pada saat mengikuti MKK yang relevan. Dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep fisika, telah dilakukan survei terhadap perkuliahan fisika teknik bagi mahasiswa jurusan Teknik Elektro FT UNP. Hasil survei menunjukkan bahwa: 1 Perkuliahan fisika teknik dilaksanakan secara teori. 2 Dosen lebih dominan menggunakan metode ceramah, diskusi, dan tanya jawab. 3 Dosen menyajikan pelajaran dengan media power point. 4 Penguasaan konsep fisika mahasiswa masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata nilai fisika teknik adalah C 55-59. Untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep fisika,salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah pembelajaran aktif tipe mind maps peta pikiran.Menurut Buzan 97 2004 mind map adalah metode untuk menyimpan suatu informasi yang diterima oleh seseorang dan mengingat kembali informasi yang diterima tesebut. Mind map merupakan teknik meringkas bahan yang akan dipelajari dan memproyeksikan masalah yang dihadapi ke dalam bentuk peta atau grafik sehingga lebih mudah memahaminya. Mind map merupakan metode belajar yang efektif untuk memahami kerangka konsep suatu materi pelajaran. Menurut Buzan 2004 mind map dapat menghubungkan konsep yang baru diperoleh mahasiswa dengan konsep yang sudah didapat dalam proses pembelajaran, sehingga menciptakan hasil peta pikiran berupa konsep materi yang baru. Mind map merupakan salah satu produk kreatif yang dihasilkan oleh mahasisw dalam kegiatan belajar. Buzan 2006 menyatakan bahwa pembelajaran fisika dengan menggunakanmetode mind mapdapat meningkatkan daya hafal dan motivasibelajar siswa yang kuat, serta mahasiswa menjadi lebih kreatif. Selanjutnya menurut Buzan 2008 bahwa pembelajaran denganmenggunakan metode mind map dapat membantu mahasiswa: 1 Mudah mengingat sesuatu; 2 Mengingat fakta, angka, dan rumus dengan mudah;3 Meningkatkan motivasi dan konsentrasi; 4 Mengingat dan menghafalmenjadi lebih cepat. Menurut Pandley 1994 tahap-tahap pembelajaran dengan menggunakan metode mind map adalah: 1 Dosen menyampaikan tujuan dan materi pembelajaran. 2 Mahasiswa mempelajari konsep tentang materi pelajaran dengan bimbingan dosen. 3 Setelah mahasiswa memahami materi yang telah dijelaskan, dosen mengelompokkan mahasiswa ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan tempat duduk yang berdekatan. Kemudian mahasiswa diminta untuk membuat mind map dari materi yang dipelajari. 4 Untuk mengevaluasi mahasiswa tentang pemahaman terhadap konsep-konsep yang dibahas, dosen menunjuk beberapa mahasiswa untukmempresentasikan hasil mind map yang telah dibuat. 5 Dari hasil presentasi yang disajikan oleh mahasiswa, dosen membimbing mahasiswa untuk membuat kesimpulan. 6Dosen memberikan soal latihan tentang materi yang telah dipelajarikepada siswa untuk dikerjakan secara individu. 7 Pada akhir pembelajaran, dilaksanakan tes untuk mengetahui penguasaankonsep fisika mahasiswa.Penilaian mind map menggunakan rubrik yang terdiri atas delapan aspek penilaian, yaitu: 1 gambar ditengah mind map, 2 struktur mind map, 3 kesesuaian kata kunci kode dan simbol, 4 kesesuaian kata kunci istilah, 5 pemilihan warna, 6 pemilihan sub tema, 7 pemilihan keterangan tambahan, 8 pemilihan kata sambung Tee, 2009. Berdasarkan pada kondisi perkuliahan fisika teknik yang telah diuraikan di atas maka dilakukan penelitian tentang penerapan metode pembelajaran aktif tipe mind mapuntuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam menguasai konsep fisika. Masalah dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana efektivitas pembelajaran aktif tipe mind maps untuk meningkatkan penguasaan konsep fisika mahasiswa? Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan efektivitas pembelajaran aktif tipe mind maps untuk meningkatkan penguasaan konsep fisika mahasiswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimenkuasi dengan desain one group pretest-posttest Creswell, 1994. Pre-test dan post-test diberikan pada mahasiswa kelas eksperimen dengan menggunakan soal yang setara. Penelitian dilaksanakan pada mahasiswa jurusan Teknik Elektro FT UNP yang mengikuti kuliah Fisika Teknik yang berjumlah 36 orang. Materi fisika teknik yang disajikan dalam penelitian adalah konsep listrik arus searah, rangkaian listrik, dan hukum dasar rangkaian. Langkah-langkah pelaksanaan penelitian adalah: 1 melakukan survei pendahuluan, 2 menyiapkan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, 3 memvalidasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, 4 melakukan ujicoba instrumen penelitian, 5 menganalisis data ujicoba, 6 memberikan pre-test, 7 memberikan perlakuan dengan melaksanakan pembelajaran aktif tipe mind map, 8 memberikan post-test9 menganalisis data, dan 10 menginterpretasi hasil yang diperoleh. Untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran disusun satuan acara perkuliahan, handout,media pembelajaran berupa program powerpoint dan macromedia flash. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa: lembaran observasi, lembaran penilaian proses pembelajaran, dan tes penguasaan konsep fisika. Lembaran observasi digunakan dalam survei pendahuluan. Lembaran penilaian proses pembelajaran digunakan untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam membuat mind map, berdiskusi dalam kelompok, dan mempresentasikan hasil mind map. Tes penguasaan konsep fisika berbentuk tes esei dengan mengutamakan pertanyaan konsep fisika daripada penyelesaian soal berupa perhitungan dengan menggunakan rumus-rumus fisika. Naskah soal ini disusun oleh peneliti dengan bantuan penimbang ahli expert judgment untuk mengetahui validitas isi tes. Validitas konstruksi dan reliabilitas tes diperoleh melalui ujicoba instrumen penelitian. Data penilaian proses pembelajaran dan penguasaan konsep fisika dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui efektivitas pembelajaranaktif tipe mind maps. Data penilaian proses pembelajaran dianalisis dengan membandingkan rata-rata skor dengan kategori skor. Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa dianalisis dengan menghitung rata-rata skor gain dinormalisasi dari skor pre-test dan post-test. 98 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Efektivitas pembelajaran aktif tipe mind mapsuntuk meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa dalam kuliah Fisika Teknik ditinjau dari kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran, kemampuan menguasai konsep fisika, dan peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa. Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran Dalam pembelajaran aktif tipe mind mapdilakukan penilaian proses dan hasil belajar. Hasil penilaian proses pembelajaran digunakan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran, yakni kemampuan dalam; 1 membuat mind map, 2 berdiskusi dalam kelompok, 3 mempresentasikan hasil mind map. Data yang diperoleh melalui lembaran penilaian proses pembelajaran dikelompokkan berdasarkan pada aspek kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran. Rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran No. Aspek Kemampuan Rata-rata Standar Deviasi 1 Membuat mind map MM 68,15 11,14 2 Berdiskusi dalam kelompok BK 72,23 6,21 3 Mempresentasikan hasilmind map MH 82,27 5,53 Merujuk pada Tabel 1 dan kategori penilaian dalam buku pedoman akademik Universitas Negeri Padang dapat dinyatakan bahwa kemampuan mahasiswa dalam: 1 membuat mind map termasuk kategori baik, 2 berdiskusi dalam kelompok termasuk kategori baik, 3mempresentasikan hasil mind maptermasuk kategori sangat baik. Rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran dalam Tabel 1 dapat divisualisasikan dengan grafik Gambar 1. Gambar 1. Grafik Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran Kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran denganmetode mind map secara keseluruhan termasuk kategori baik. Namun demikian ditemukan sejumlah mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam membuat mind map. Faktor penghambat dalam pembuatan mind mapping yang berasal dari kesalahan mahasiswa adalah: 1 Pusat mind map. Mahasiswa malas membuat gambar dan lebih memilih menuliskan langsung judulnya. 2 Cabang Utama. Mahasiswa kesulitan mencari cabang utama jika struktur materi tidak terlalu sistematis. 3 Kata Kunci. Kesulitan mahasiswa mencari kata kunci suatu kalimat untuk dituliskan di atas cabang mind map. 4 Cabang-cabang.Mahasiswa membuat cabang-cabang dalam mind map tidak menyebar ke segala arah. 5 Warna.Mahasiswa malas menggunakan beberapa warna karena merasa repot mewarnai. 6 Gambar.Mahasiswa malas menggunakan atau menambahkan gambar dalam mind map. Mereka tidak tahu apa yang harus digambar. 7 Tata Ruang. Ketidakrapian mahasiswa dalam hal tata ruang dalam membuat mind map. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Kemampuan mahasiswa menguasai konsep fisika diperoleh melalui tes penguasaan konsep fisika. Rata- rata skor pre-test adalah 62,52 dengan standar deviasi 6,85. Rata-rata skor post-test adalah 71,48 dengan standar deviasi 7,76. Kemampuan mahasiswa dalammenguasai konsep fisikasetelah pembelajaran dengan mind maptermasuk kategori baik. Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa dapat diketahui dengan menghitung rata-rata skor gain dinormalisasi NG dari skor pre-test dan post-test Tabel 2. Setelah melalui proses analisis data diperoleh rata-rata skor NG sebesar 0,43. Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa termasuk kategori sedang. 20 40 60 80 100 MM BK MH R a ta -ra ta Aspek Kemampuan 99 Tabel 2. Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa No. Kelompok Uji Rata-rata Standar Deviasi 1 Pre-test 62,52 6,85 2 Post-test 71,48 7,76 3 NG 0,43 0,54 Rata-rata skor penguasaan konsep fisika mahasiswa dalam Tabel 2 dapat divisualisasikan dengan grafik Gambar 2. Grafik Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode mind map dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika mahasiswa. Adanya peningkatan penguasaan konsep mahasiswa disebabkan oleh beberapa hal yang merupakan kelebihan dalam metode pembelajaran Mind Mapping. Penggunaan metode pembelajaran aktif tipemind mapping memiliki serangkaian proses yang membuat mahasiswa memiliki pengalaman belajaryang baik dan mandiri. Selain itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berpikir dan mengolah materi pelajaran bukan dengan cara menghafal tetapi menyimpan dan meringkas materi dengan ingatan. Dalam pembelajaran Mind Mapping, mahasiswa dituntun untuk menemukan dan mengelola pengetahuan secara mandiri yaitu mendapatkan pengetahuan dengan mengkaji berbagai sumber yang relevan. Mahasiswa membuat ide dasar untuk topik sentral, biasanya adalah judul bab atau sub bab dari materi yang mereka pelajari. Mahasiswa melengkapi ide dasardengan cabang-cabang yang berisi data-data pendukung yang terkait, seluruh data-data harus ditempatkan dalam setiap cabang ide dasar.Setiap cabang dilengkapi oleh siswa dengan gambar atau simbol yang membuat mind mapping tersebut menjadi menarik sehingga lebih mudah untuk dimengerti dan diingat.Menurut Sugiarto 2004 mind map merupakan suatu metode pembelajaran yang sangat baik digunakan untuk meningkatkan daya hafal, pemahaman konsep, dan daya kreativitas mahasiswa melalui kebebasan berimajinasi. Connor 2011 menyatakan bahwa mind map memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menunjukkan tingkat pemahamannya. Metode pembelajaran aktif tipe mind maps dapat membentuk pola pikir kreatif bagi mahasiswa dengan aktivitas belajar mandiri untuk menghasilkan ide-ide, mengeluarkan informasi dengan bahasa sendiri, menemukan contoh dan mencatat pelajaran dengan cara yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Silberman 2009 yang menyatakan bahwa metode pembelajaran aktif tipe mind maps dapat melatihkretivitas mahasiswa secara individual untuk menghasilkan ide-ide, mencatat pelajaran, atau merencanakan penelitian baru.Mind map dapat membantu mahasiswa mengembangkan potensi berpikir secara kreatif. Melalui mind map mahasiswa dapat memfokuskan perhatian pada masalah atau materi yang dipelajari, mengembangkan imajinasi, dan memberikan penguasaan konsep yang lebih utuh. Mustami 2007 dalam penelitiannya menemukan bahwa metode pembelajaran aktif tipe mind maps memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif, sikap kreatif, dan penguasaan materi pelajaran. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran aktif tipe mind maps efektif untuk meningkatkanpenguasaankonsepfisika mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh; 1 kemampuan mahasiswa dalam membuat mind map termasuk kategori baik, 2 kemampuan berdiskusi dalam kelompok termasuk kategori baik, 3 kemampuan mempresentasikan hasil mind map termasuk kategori sangat baik, 4 kemampuan menguasai konsep fisika termasuk kategori baik, 5 peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa termasuk kategori sedang. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pre-test Post-test NG R a ta -r a ta 100 SARAN Saran diajukan kepada dosen fisika teknik untuk dapat menggunakan pembelajaran aktif tipe mind maps untuk meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa. DAFTAR PUSTAKA Buzan T. 2004.Mind Map untuk Meningkatkan Kreativitas. Jakarta: Gramedia. Buzan T. 2006.Mind Map: The Ultimate Thinking Tool. London: Thorson. Buzan T. 2007.Buku Pintar Mind Map untuk Anak. Jakarta: Gramedia. Buzan T. 2008. The Buzan Study Skills Handbook: The Shortcut to Success in Your Studies with Mind Mapping, Speed, Reading and Winning Memories Tchniques. China: BBC Active. Connor R. 2011. “The Used on Mind Maps as an Assessment Tool”.International Conference on Engaging Pedagogy. Dublin, Inland. December 16, 2001. Creswell JW. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. New Delhi: SAGE Publications. Depdiknas. 2004. Model Pembelajaran Matematika. Jakarta: Gramedia. Mustami. 2007. “PengaruhModel Pembelajaran Synectics Dipadu Mind Maps Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Sikap Kreatif dan Penguasaan Materi Biologi”. Lentera Pendidikan, edisi X No. 2. p. 173-184. Silberman, M Sarjuli dkk. 2009. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif.. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Sugiarto I. 2004. Mengoptimalkan Daya Kerja Otak dengan Berfikir Holistik dan Kreatif. Jakarta: Gramedia. Tee TK, Jailani, Baharom, Widad, Yee MH. 2009. “Pengintegrasian Kemahiran Berfikir Aras Tinggi Menerusi Peta Minda bagi Mata Pelajaran Kemahiran Hidup”. Persidangan Kebangsaan Pendidikan Sains dan Teknologi 2009. p.114-121. 101 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN GAME TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP MOMENTUM DAN IMPULS Ilusi Pangarti Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ilusipangartigmail.com Erina Hertanti Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ina.asnawiyahoo.co.id Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Penelitian dilakukan di kelas X IPA 2 dan X IPA 4 MAN 4 Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada bulan Januari sampai Februari 2014. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes berupa soal-soal pilihan ganda dan instrumen non tes berupa lembar observasi dan angket. Berdasarkan analisis data tes, diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Hal tersebut didasarkan pada hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t. Hasilnya adalah nilai t hitung = 2,59 sedangkan nilai t tabel = 2,00. Terlihat bahwa nilai t hitung  t tabel . Selain itu, pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe STAD dengan game terbukti unggul dalam meningkatkan kemampuan mengingat C 1 , memahami C 2 , menerapkan C 3 , dan menganalisis C 4 . Selanjutnya, berdasarkan analisis data non tes berupa lembar observasi, penerapan game pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD berada pada kategori baik. Hasil analisis angket pun menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game berada pada kategori baik sekali. Kata kunci: STAD, Game, Hasil Belajar, Lembar Observasi, Angket. PENDAHULUAN Sekitar tahun 1960-an, belajar kompetitif dan individualis telah mendominasi pendidikan di Amerika Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetisi. Siswa mendapatkan tekanan dari orang tua untuk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan individualis, guru menempatkan siswa pada tempat duduk yang terpisah dari siswa lain. Kata-kata dilarang mencontoh, geser tempat dudukmu, kerjakan tugasmu sendiri, dan jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri, sering digunakan dalam belajar kompetitif dan individualis. Proses belajar seperti itu masih terjadi dalam pendidikan di Indonesia sampai sekarang. Kelebihan dari belajar kompetitif dan individualis adalah dapat memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik dalam kegiatan pembelajaran. Namun, belajar kompetitif dan individualis memiliki kelemahan yaitu: pertama, menimbulkan kompetisi antar siswa yang tidak sehat. Kedua, siswa yang berkemampuan rendah kurang termotivasi. Ketiga, siswa yang berkemampuan rendah sulit untuk sukses dan semakin tertinggal. Keempat, dapat menimbulkan frustasi pada siswa lain. Kelima, siswa sulit untuk bersosialisasi dan bekerjasama. Kurangnya motivasi dalam belajar, keadaan frustasi dan ketertinggalan dalam pelajaran dapat berdampak pada rendahnya hasil belajar. Tujuan dari pendidikan bukan hanya mencerdaskan siswa, tetapi juga membentuk budi pekerti yang baik. Melahirkan generasi yang mempunyai kepedulian yang tinggi, mampu bersosialisasi, bekerjasama dengan baik dan dapat berkompetisi dengan sehat. Untuk itu perlu sebuah cara yang dapat meningkatkan kemampuan dalam bersosialisasi, kerjasama, dan berkompetisi sekaligus meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan 102 bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa untuk bersosialisasi, bekerjasama dan lebih bergairah dalam belajar. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD Student Teams Achievement Divisions. STAD terdiri atas lima komponen utama yaitu: presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, dan rekognisi tim. Dengan menggunakan model pembelajaran STAD, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran yang memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi antar siswa. Hal tersebut dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Namun dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD banyak masalah yang timbul pada tahapan tim yaitu: pertama, perilaku siswa yang melalaikan tugas dalam kelompok. Kedua, gagal untuk mencapai kebersamaan. Dan ketiga pemanfaatan waktu kelompok yang tidak efektif. Untuk itu perlu sebuah inovasi untuk mengatasi masalah yang sering terjadi pada tahapan tim. Tahapan tim dapat dimodifikasi dengan game atau permainan yang menggunakan komputer. Game yang dapat dimasukkan pada tahapan ini adalah game Who Wants to be a Winner. Game Who Wants to be a Winner adalah game yang diadopsi dari kuis Who Wants to be Millionaire. Pada game Who Wants to be a Winner siswa secara berkelompok akan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru dengan waktu tertentu dan secara acak anggota kelompok harus menjelaskan jawaban kelompok mereka. Apabila jawaban dari kelompok tersebut salah, maka akan digantikan oleh kelompok lain yang memiliki skor tertinggi. Dengan menggunakan game tidak ada siswa yang melalaikan tugas dalam kelompoknya karena setiap siswa berpeluang untuk menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Masalah dalam mencapai kebersamaan pun dapat teratasi karena ketika anggota kelompok tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan guru, maka tim mereka akan gugur. Dengan begitu setiap anggota kelompok akan lebih termotivasi untuk membantu mengatasi kesulitan anggota kelompoknya. Selain itu, dengan menggunakan game masalah dalam pemanfaatan waktu dalam kelompok ketika berdiskusi dapat teratasi karena game membuat tim lebih termotivasi untuk lebih cepat mengerjakan tugas yang diberikan. Dengan aturan yang ada pada game Who Wants to be a Winner diharapkan dapat mengatasi permasalahan pada tahapan tim. Adapun dipilihnya konsep momentum dan impuls dalam penelitian ini karena pada konsep ini diperlukan kemampuan matematis yang baik. Namun, tidak semua siswa mempunyai kemampuan matematis yang baik. Misalnya dalam menghitung kecepatan setelah tumbukan diperlukan kemampuan matematis seperti subsitusi dan eliminasi. Terbatasnya waktu membuat guru tidak mungkin menjelaskan aturan subsitusi atau eliminasi karena masih banyak materi yang harus dijelaskan. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa yang mempunyai kemampuan matematis yang baik dapat membantu teman sekelompoknya. Selain itu, pada konsep momentum dan impuls banyak sekali perhitungan yang membuat siswa jenuh. Game membuat siswa tidak merasa bahwa dirinya sedang mengerjakan soal, sehingga membuat siswa menjadi betah belajar. Betah belajar inilah yang membuat siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Berdasarkan permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls? Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat beberapa fokus pertanyaan penelitian meliputi: 1 Bagaimana hasil belajar siswa di setiap ranah kognitif setelah diberi perlakuan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game? 2 Bagaimana aktivitas siswa saat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game? 3 Bagaimana respon siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls, dan secara khusus yaitu: 1 Untuk mengetahui hasil belajar siswa di setiap ranah kognitif setelah diberi perlakuan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game. 2 Untuk mengetahui aktivitas siswa saat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game. 3 Untuk mengetahui respon siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game. 103 Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Pembelajaran kooperatif berasal dari kata “cooperative” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dengan sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Menurut Effandi Zakaria, pembelajaran kooperatif dirancang bagi tujuan melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran menerusi perbincangan dengan rekan-rekan dalam kelompok kecil. Pembelajaran ini memerlukan siswa bertukar pendapat, memberi tanya-jawab serta mewujudkan dan membina proses penyelesaian kepada suatu masalah. Anita Lie menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Tipe STAD Student Team Achievement Division merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Tipe STAD adalah model pembelajaran kooperatif yang mengelompokkan siswa secara heterogen dan melibatkan pengakuan tim serta tanggung jawab kelompok untuk pembelajaran setiap anggota. Permainan adalah sebuah aktivitas peserta yang mengikuti peraturan yang telah ditetapkan yang berbeda dari kehidupan nyata, mereka berusaha untuk mencapai tujuan yang menantang. Permainan adalah kegiatan yang kompleks yang didalamnya terdapat peraturan, play dan budaya. Sebuah permainan adalah sebuah sistem yang pemainnya terlibat dalam konflik buatan, disini pemain berinteraksi dengan sistem dan konflik dalam permainan merupakan rekayasa atau buatan, dalam permainan terdapat peraturan yang bertujuan untuk membatasi perilaku pemain dan menentukan permainan. Permainan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh beberapa anak untuk mencari kesenangan yang dapat membentuk proses kepribadian anak dan membantu anak mencapai perkembangan fisik, intelektual, sosial, moral dan emosional. Beberapa kelebihan dari metode permainan adalah 1 siswa dirangsang untuk aktif, berfikir logis, sportif dan merasa senang dalam proses belajar mengajar. 2 Materi pembelajaran dapat lebih cepat dipahami. 3 Kemampuan memecahkan masalah pada siswa dapat meningkat. Belajar adalah suatu upaya pembelajar untuk mengembangkan seluruh kepribadiannya, baik fisik maupun psikis. Belajar juga dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh aspek inteligensi sehingga anak didik akan menjadi manusia yang utuh, cerdas secara inteligensi, cerdas secara emosi, cerdas psikomotornya, dan memiliki keterampilan hidup yang bermakna bagi dirinya. Proses belajar menimbulkan hasil yang disebut dengan hasil belajar. Menurut Nana Sudjana hasil belajar siswa adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. METODE Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap Tahun Ajaran 2013-2014. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2014. Adapun tempat penelitiannya di MAN 4 Jakarta yang berlokasi di Jalan Pondok Pinang Raya, Jakarta Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment dengan Nonequivalent Control Group Design. yaitu desain penelitian yang dilakukan pada dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random. Sebelum diberikan perlakuan, pada kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui keadaan awal, adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, serta untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dasar siswa pada konsep momentum dan impuls. Kemudian keduanya diberikan perlakuan yang berbeda, yaitu kelompok eksperimen akan diberikan 104 perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game, sedangkan kelompok kontrol akan diberikan perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Setelah diberikan perlakuan, kedua kelompok diberikan posttest untuk mengetahui sejauh mana pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa MAN 4 Jakarta dengan populasi sasarannya adalah seluruh siswa kelas X di sekolah tersebut. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purpossive sampling dan terpilih kelas X IPA 2 sebagai kelas kontrol dan kelas X IPA 4 sebagai kelas eksperimen. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini berupa tes dengan instrumen berupa soal tes objektif tipe pilihan ganda, dan nontes berupa lembar observasi dan angket. Instrumen tes penelitian ini diuji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Sedangkan pengujian instrumen nontes dilakukan dengan pertimbangan ahli. Pertimbangan para ahli ini berhubungan dengan validitas isi yang bekaitan dengan butir-butir pernyatan yang terdapat pada lembar observasi dan angket. Analisis data tes, dilakukan dua tahapan, yaitu uji prasyarat analisis dan uji hipotesis. Sebelum melakukan uji hipotesis, perlu dilakukan uji prasyarat analisis untuk menentukan rumus statistik yang akan digunakan dalam uji hipotesis. Uji prasyarat analisis yang digunakan adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji t, prinsip uji t ini yaitu membandingkan rata-rata mean kelompok kontrol dan eksperimen. HASIL DAN PEMBAHASAN Rekapitulasi Hasil Belajar Hasil belajar siswa untuk setiap jenjang kognitif dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 1. Diagram Hasil Pretest dan Posttest pada Jenjang kognitif Berdasarkan diagram Gambar 1, terlihat bahwa hasil belajar akhir posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen mengalami peningkatan dari hasil pretest. Pada saat pretest kemampuan kelas kontrol dalam mengingat C 1 31, memahami C 2 34, menerapkan C 3 40, dan menganalisis C 4 16. Pada saat posttest kemampuan kelas kontrol dalam mengingat C 1 93, memahami C 2 77, menerapkan C 3 86, dan menganalisis C 4 57. Sementara kemampuan kelas eksperimen pada saat pretest dalam hal mengingat C 1 27, memahami C 2 30, menerapkan C 3 29, dan menganalisis C 4 21. Pada saat posttest kemampuan kelas eksperimen dalam mengingat C 1 98, memahami C 2 83, menerapkan C 3 89, dan menganalisis C 4 71. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 C1 C2 C3 C4 31 34 40 16 93 77 86 57 27 30 29 21 98 83 89 71 Pe rsent a se Ranah Kognitif Pretest Kontrol Posttest Kontrol Pretest Eksperimen Posttest Eksperimen 105 Pengujian normalitas dilakukan terhadap dua buah data, yaitu hasil pretest dan posttest kedua kelas, dengan menggunakan rumus uji kai kuadrat chi square. Berikut ini adalah hasil yang diperoleh dari perhitungan tersebut: Tabel 1. Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kai Kuadrat Pretest dan Posttest Statistik Pretest Posttest Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Nilai X 2 hitung 9,177 3,758 4,620 10,469 Nilai X 2 tabel 11,070 Keputusan Data terdistribusi normal Data terdistribusi normal Data terdistribusi normal Data terdistribusi normal Pengujian homogenitas dilakukan pada kedua data pretest dan posttest. Berikut adalah hasil yang diperoleh dari uji homogenitas. Tabel 2. Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Pretest dan Posstest Statistik Pretest Posttest Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Nilai Varians , , , , Nilai F hitung , , Nilai F tabel 1,88 Keputusan Kedua data homogen Kedua data homogeny Berdasarkan uji prasyarat analisis statistik, diperoleh bahwa kedua data terdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan menggunakan analisis tes statistik parametrik. Perhitungan untuk menentukan nilai t hitung disajikan pada lampiran. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Pretest dan Posttest Statistik Pretest Posttest t hitung , , t tabel 2,00 Keputusan H a ditolak H a diterima Hasil Analisis Data Lembar Observasi Hasil observasi direkapitulasi dan dijumlahkan skor masing-masing kelompok untuk setiap indikator. Skor yang diperoleh kemudian dihitung persentasenya dan dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Lembar Observasi Aktivitas Pembelajaran No. Indikator Lembar Observasi Diskusi Kelompok Game Persentase Kesimpulan Persentase Kesimpulan 1 Bekerja sama dengan teman satu tim untuk menyelesaikan tugas 82 Baik sekali 83 Baik sekali 2 Mengerjakan tugas yang diberikan guru 99 Baik sekali 88 Baik sekali 3 Bertukar pendapat antar teman dalam tim 74 Baik 78 Baik 4 Kepedulian terhadap kesulitan sesama anggota tim 63 Baik 83 Baik sekali 5 Mengumpulkan tugas tepat waktu 25 Kurang 58 Cukup 6 Menggunakan waktu untuk mengerjakan tugas 79 Baik 82 Baik sekali Rata-rata 70 Baik 79 Baik 106 Hasil Analisis Data Angket Hasil data angket direkapitulasi dan dijumlahkan skor masing-masing siswa untuk setiap indikator. Skor yang diperoleh kemudian dihitung persentasenya dan dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Angket Respon Siswa No Indikator Angket Diskusi kelompok Game Persentase Kesimpulan Persentase Kesimpulan 1 Bekerja sama dengan teman satu tim untuk menyelesaikan tugas 85 Baik sekali 86 Baik sekali 2 Mengerjakan tugas yang diberikan guru 80 Baik 81 Baik sekali 3 Bertukar pendapat antar teman dalam tim 87 Baik sekali 90 Baik sekali 4 Kepedulian terhadap kesulitan sesama anggota tim 80 Baik 86 Baik sekali 5 Mengumpulkan tugas tepat waktu 79 Baik 84 Baik sekali 6 Menggunakan waktu untuk mengerjakan tugas 72 Baik 89 Baik sekali 7 Senang belajar 77 Baik 84 Baik sekali 8 Aktif dalam pembelajaran 83 Baik sekali 84 Baik sekali 9 Memahami materi 76 Baik 79 Baik Rata-rata 79 Baik 84 Baik sekali Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Hal tersebut didasarkan pada hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t terhadap data posttest. Hasilnya adalah nilai t hitung = 2,59 sedangkan nilai t tabel = 2,00. Terlihat bahwa nilai t hitung  t tabel . Dilihat dari nilai rata-rata mean pun siswa kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran STAD dengan game lebih tinggi dibandingkan siswa pada kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran STAD. Selisih nilai rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol sebesar 10,00. Keadaan ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa, pada konsep momentum dan impuls lebih baik menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aji Anugrah Wijaya dan J.A. Pramukantoro yang berjudul ”Pengaruh Pembelajaran Aktif dengan Strategi Who Wants To Be Smart untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Standar Kompetensi Menerapkan Dasar- dasar Elektronika Kelas X Di SMK Negeri 1 Blitar”, menunjukkan bahwa pengaruh pembelajaran aktif dengan strategi who wants to be smart dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Jika dilihat lebih rinci, game lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar pada semua jenjang kognitif dibandingkan dengan diskusi kelompok . Peningkatan hasil pretest dan posttest menunjukkan bahwa game dapat meningkatkan kemampuan mengingat C 1 sebesar 71, memahami C 2 sebesar 53, menerapkan C 3 sebesar 60, dan menganalisis C 4 sebesar 51. Hal tersebut sejalan dengan hasil 107 penelitian dari beberapa peneliti dan psikolog pendidikan yang menyatakan bahwa game dapat membangun kemampuan kognitif siswa. Game who wants to be a winner mampu meningkatkan kemampuan mengingat C 1 . Ketika siswa belajar menggunakan game siswa berusaha mengingat materi untuk memenangkan game. Siswa menjadi aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini terbukti dari angket respon siswa yang menyatakan bahwa game mendorong siswa untuk aktif dalam pembelajaran dengan sangat baik. Sejalan dengan pendapat Neville Bennet yang mengatakan bahwa game dapat meningkatkan mutu pembelajaran karena game mampu membuat siswa mengingat hal-hal yang dilakukan, dibandingkan dengan mengerjakan tugas yang membuat siswa merasa terbebani. Granic juga menyatakan bahwa game dapat meningkatkan kemampuan navigasi, berpikir, mengingat, dan menerima informasi baru. Game who wants to be a winner juga mampu meningkatkan kemampuan memahami C 2 . Animasi yang terdapat dalam game who wants to be a winner menurut ahli materi telah sesuai dengan konsep momentum dan impuls, sehingga mampu membantu siswa dalam memahami pertanyaan dalam game. Animasi membantu siswa dalam memvisualisasikan hal yang sulit dibayangkan oleh siswa. Hasil angket siswa pun mendukung bahwa game who wants to be a winner mampu membuat siswa memahami materi momentum dan impuls dengan baik. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Slamet Anwar yang berjudul ”Pengaruh Media Animasi pada Kompetensi Sistem Bahan Bakar Motor Bensin Terhadap Pemahaman Siswa” menunjukkan bahwa penggunaan animasi membuat siswa lebih memahami materi yang diberikan. Kemampuan menerapkan C 3 juga dapat ditingkatkan dengan menggunakan game who wants to be a winner. Game ini mendorong siswa untuk menerapkan pengetahuan yang dimilikinya. Penerapan ini dilakukan ketika siswa menjawab soal dalam game. Hasil angket pun mendukung hal tersebut, terlihat pada indikator siswa mengerjakan tugas, memperoleh persentase sebesar 81 baik sekali. Artinya, game mampu mendorong siswa mengerjakan tugas yang diberikan guru. Mengerjakan tugas berarti siswa telah menerapkan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, hasil angket pada indikator bekerja sama dengan teman satu tim memperoleh persentase sebesar 86 baik sekali. Hal tersebut menunjukkan bahwa game mendorong siswa untuk bekerja sama dengan teman satu tim. Bekerja sama membuat siswa saling membantu menerapkan kemampuan yang dimiliki untuk memenangkan game. Senada dengan penelitian BBC News dan TEEM Teachers Evaluating Educational Media yang menunjukkan bahwa game dapat mengembangkan kemampuan matematis menerapkan rumus atau pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengambil keputusan dalam menjawab pertanyaan dalam game. Game who wants to be a winner pun mampu meningkatkan kemampuan menganalisis C 4 . BBC News dan TEEM Teachers Evaluating Educational Media juga berpendapat bahwa game berkontribusi dalam kurikulum dengan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Game menyediakan tantangan yang harus di atasi siswa untuk menyelesaikan game dengan sukses. Jika siswa telah berhasil memecahkan masalah, tentu siswa juga telah berhasil dalam menganalisis tantangan yang ada pada game. Salah satu tantangan yang terdapat dalam game adalah menjawab soal analisis. Soal analisis termasuk soal yang sulit untuk dikerjakan, soal yang sulit cenderung membuat siswa untuk malas mengerjakan. Namun, game dapat membuat siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil observasi dimana pada indikator mengerjakan tugas yang diberikan guru, memperoleh persentase sebesar 88 baik sekali. Selain itu, hasil angket pun menunjukkan bahwa game mampu mendorong siswa dengan sangat baik 90 untuk bertukar pendapat dengan teman satu tim. Saling bertukar pendapat membuat siswa mampu untuk menganalisis soal yang diberikan. Game pun sangat baik dalam mendorong siswa untuk memiliki kepedulian terhadap kesulitan sesama anggota. Dengan begitu, siswa yang berkemampuan rendah pun dapat terbantu dalam menganalisis soal yang diberikan dalam game. Selain kelebihan game yang telah dijelaskan di atas, game juga memiliki kelebihan lain dibandingkan dengan diskusi kelompok, yaitu: pertama, game who wants to be a winner juga unggul dalam pemanfaatan waktu dibandingkan dengan diskusi kelompok. Tantangan pada game berupa waktu yang terbatas untuk menjawab pertanyaan, membuat siswa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Selain itu, tantangan tersebut membuat siswa berlomba-lomba dalam mengumpulkan jawaban agar dapat memenangkan game. 108 Kedua, berdasarkan angket siswa, game juga mampu untuk memotivasi siswa dan membantu siswa dalam menguasai materi dibandingkan dengan diskusi kelompok. Hal ini terlihat pada saat pelaksanaan game siswa tampak sangat antusias. Game dapat membangun motivasi siswa yang tidak didapatkan dari pembelajaran lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas, secara keseluruhan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game dapat meningkatkan hasil belajar. Selain itu, inovasi penggunaan game pada tahapan tim lebih baik dibandingkan dengan diskusi kelompok. Namun, game juga memiliki kelemahan dibandingkan dengan diskusi kelompok, yaitu pada indikator mengerjakan tugas yang diberikan guru. Hal ini mungkin disebabkan siswa terlalu terfokus untuk memenangkan game, sehingga lupa untuk menulis jawaban pada lembar kegiatan mereka sendiri. Senada dengan pendapat Sharon, Deborah, dan James dalam buku Instructional Technology Media for Learning yang menyebutkan bahwa game memiliki kelemahan yaitu tujuan belajar tugas mungkin terlupakan karena adanya keinginan menang dibandingkan sekedar belajar. Untuk itu, agar pelaksanaan game dalam pembelajaran dapat berjalan lebih baik, sebaiknya guru berupaya mengingatkan siswa untuk mengerjakan tugas. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Pengaruh tersebut terlihat dari nilai t hitung  t tabel . Dilihat dari nilai rata-rata pun hasil belajar siswa kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game lebih tinggi dibandingkan siswa kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terbukti lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan mengingat C 1 , memahami C 2 , menerapkan C 3 , dan menganalisis C 4 . Ditinjau dari proses pembelajaran, game pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD berada pada kategori baik dengan persentase 79. Selain itu, respon siswa terhadap game pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD berada pada kategori baik sekali. SARAN Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan. Pertama, pada pelaksanaan game. Agar pelaksanaan game who wants to be a winner dapat berjalan lebih baik, sebelum penelitian dimulai, guru harus memastikan bahwa siswa telah memahami tata cara dan aturan dalam game. Kedua, tampilan game yang kurang menarik. Solusi untuk kelemahan ini adalah menyesuaikan warna animasi dengan keadaan sebenarnya. Jika penelitian ini akan dilanjutkan, maka sebaiknya software game who wants to be a winner dilengkapi materi agar pengguna dapat lebih memahami tentang momentum dan impuls. DAFTAR PUSTAKA Anugrah W, Aji, JA Pramukantoro. 2013. Pengaruh Pembelajaran Aktif dengan Strategi Who Wants To Be Smart untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Standar Kompetensi Menerapkan Dasar-dasar Elektronika Kelas X di SMK Negeri 1 Blitar. Jurnal Pendidikan.Teknik Elektro Volume 01 Nomor 1. Anwar S. Pengaruh Media Animasi pada Kompetensi Sistem Bahan Bakar Motor Bensin Terhadap Pemahaman Siswa. Jurnal IKIP Veteran Semarang. Arikunto S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Slavin ER. 2008. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Hamalik O. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Putro WE. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Huda M. 2013. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Isjoni. 2011. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi antar Peserta Didik cet. III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jacobsen, David A., Eggen, Paul, Kauchak, Donald. 2009. Methods for Teaching Edisi ke-8. Jakarta: Pustaka Pelajar. 109 Lestari, Dewi. Definisi Game. Artikel Game Universitas Muhammadiyah Sukabumi. Neville Bennet, Liz Wood, dan Sue Rogers. 2005. Teaching Through Play Teachers Thinking and Classroom Practice. Jakarta: Grasindo. Nikmah S. 2012. Penggunaan Metode Permainan Dalam Pembelajaran IPA Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 11 Sungai Melayu Rayak. Artikel Penelitian pada Universitas Tanjungpura Pontianak. Rahmawati I. “Media Permainan Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa”, http:suaraguru.wordpress.com , 24 Agustus 2013. Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sharon, Deborah, James. 2005. Instructional Technology and Media for Learning. Amerika: Pearson, Sharon, Deborah, James. 2011. Instructional Technology Media for Learning: Teknologi Pembelajaran dan Media untuk Belajar, Terj. Arif Rahman. Jakarta: Kencana. Suciati. Implementing Computer Games in Formal Learning. Artikel Universitas Negeri Yogyakarta. Sudijono A. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sudjana N. 1992. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana. Usman, Husaini, R. Purnomo S. 2006. Pengantar Statistik Cet. I. Jakarta: Bumi Aksara. Dahar RW. 2006. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Winkel WS. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi. “Ini Nilai Positif Bermain Game”, Tempo online, 27 November 2013. 110 PERBEDAAN PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN ANIMASI DAN KOMIK TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP SISTEM PENCERNAAN Lola Novitasari Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta lola_novyahoo.com Meiry F. Noor, Ahmad Sofyan Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar biologi pada siswa yang diajar menggunakan media animasi dan media komik pada konsep sistem pencernaan. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Parung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan rancangan penelitian two group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling sampel bertujuan dan penentuan kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II secara acak. Sampel penelitian yang pertama berjumlah 35 siswa untuk kelas eksperimen I dengan menggunakan media animasi. Sampel yang kedua berjumlah 33 siswa untuk kelas eksperimen II dengan menggunakan media komik. Instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa berupa tes pilihan ganda dan angket. Analisis data tes kedua kelompok menggunakan uji t pada taraf signifikan α = 0.05, diperoleh hasil t hitung 3.84 dan t tabel sebesar 1.67, maka t hitung lebih besar dari t tabel. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar secara signifikan, sehingga H ditolak dan H 1 diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar biologi siswa yang diajar dengan menggunakan media animasi berbeda dengan siswa yang diajarkan dengan menggunakan media komik. Kata Kunci: Media Animasi, Media Komik, Sistem Pencernaan, Hasil Belajar PENDAHULUAN Pembelajaran sebagai perwujudan real dari proses pendidikan menempati posisi strategis dalam mengupayakan perubahan kearah yang lebih baik dari kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki akal sudah sewajarnya memikirkan pemecahan masalah berdasarkan informasi yang dicapainya sehingga kehidupan menjadi lebih dinamis. Generasi baru yang lahir akan terus terlibat dalam proses transformasi dengan belajar pada generasi sebelumnya dan mengupayakan kondisi yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Oleh karena itu pendidikan menjadi komponen yang mutlak adanya. Proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi yang berkaitan dengan segala usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Proses komunikasi yang dimaksud adalah proses penyampaian pesan atau informasi dari sumber belajar kepada penerima untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Berkaitan dengan hasil belajar, berbagai survei nasional dan internasional menunjukan bahwa pencapaian hasil belajar Indonesia masih di bawah Negara-negara tetangga. Berdasarkan analisis Direktorat Perguruan Tinggi DIKTI rendahnya pencapaian hasil belajar dikarenakan tenaga pendidik Indonesia masih menggunakan pembelajaran konvensional dan bersifat verbalistik Asyhar, 2011. Verbalistik disini berarti guru menyampaikan informasi kepada peserta didik hanya dengan berbicara Asnawir dan Usman, 2002. Tidak akan menjadi suatu masalah apabila kata verbal mengungkapkan sebuah benda, akan tetapi apabila ia merujuk pada sebuah peristiwa, konsep, hubungan, dan lain-lain seperti yang menjadi tujuan dalam pembelajaran biologi maka akan memunculkan masalah komunikasi yang lebih rumit, sehingga dapat saja komunikasi bersifat tak efektif Munadi, 2008. Banyak pembicaraan yang sering diucapkan oleh seseorang tidak efektif, termasuk seorang pendidik. Oleh karena itu, untuk menghindari komunikasi yang tidak efektif dalam proses pembelajaran hendaknya guru disamping mengetahui karakteristik simbol bahasa verbal juga dapat membantu siswa pada pemahaman kata-kata verbal dengan cara menunjukan referennya yakni menghadirkan simbol-simbol non 111 verbal dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah gambar, grafik, diagram, bagan, dan peta yang dituangkan dalam berbagai penyalur pesan visual media visual secara variatif Munadi, 2008 Ada dua faktor yang turut mempengaruhi proses dan hasil belajar, faktor-faktor tersebut berasal dari dalam diri manusia itu sendiri atau yang disebut faktor internal, dan faktor yang berasal dari luar diri manusia itu atau yang disebut faktor eksternal. Salah satu aspek penting dalam perkembangan kognitif yang berkaitan erat dengan faktor eksternal adalah perseps i. “Persepsi merupakan interpretasi seseorang tehadap sebuah rangsangan” Trianto, 2010. Setelah individu mengindrakan objek di lingkungannya, kemudian informasi ini diproses sampai timbulah makna tentang objek. Kurang lebih 90 hasil belajar seseorang diperoleh melalui indra penglihatan, dan hanya 5 diperoleh melalui indra dengar, dan 5 lainnya diperoleh melalui indra yang lain Munadi, 2008. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan seseorang paling banyak diperoleh indra pengelihatan. Dengan demikian, penggunaan media pembelajaran, khususnya media pembelajaran yang dapat dilihat visual menjadi poin penting dalam kegiatan pembelajaran. Media visual adalah media yang melibatkan indera pengelihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film strip film bingkai, foto, gambar atau lukisan, cetakan. Tetapi ada pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film bisu, film kartun Faturrahman dan Sutikno, 2007. Media grafis termasuk kedalam media visual, dimana pesan disampaikan dengan menggunakan lambang atau simbol komunikasi visual Asnawir dan Usman, 2002. Dua diantara media grafis ialah media komik dan media animasi. Media komik dan animasi memilki kesamaan yakni menampilkan informasi dalam bentuk gambar, selain itu keduanya juga memiliki fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris sebagai media pembelajaran. Akan tetapi disamping sejumlah persamaan tersebut, kedua media ini berbeda dalam hal penyajiannya. Jika media animasi disajikan dalam bentuk penggambaran yang bergerak visual gerak, berbeda halnya dengan media komik, media komik menyajikan informasi dalam bentuk gambar yang diam visual diam. Dalam kerucut pengalaman Edgar Dale, 30 informasi yang diperoleh oleh siswa berasal dari media visual, akan tetapi media yang bergerak animasi lebih dapat diingat dan dipahami oleh siswa dibandingakan denga gambar yang tidak bergerak komik. Berdasarkan hasil observasi di SMP Negeri 1 Parung, diketahui bahwa hasil belajar siswa pada konsep sistem pencernaan masih tergolong rendah hal ini didasarkan pada hasil belajar siswa yang hampir 50 di bawah KKM. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui perbedaan media animasi berkarakter dengan penyajian gambar yang bergerak, dan media komik dengan penyajian gambar yang diam pada konsep sistem pencernaan terhadap hasil belajar siswa. Melalui penelitian ini, penggunaan kedua media ini diharapkan dapat menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem pencernaan. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode ini dinamakan metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistic Sugiono, 2010. Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen eksperimen semu, yaitu penelitian yang tidak dapat memberikan kontrol penuh. Analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik komparasi. Dalam penelitian ini sampel yang telah diambil dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II. Kelompok eksperimen I diberikan perlakuan dengan menggunakan menggunakan media pembelajaran berupa animasi, dan kelompok Eksperimen II diberi perlakuan dengan menggunakan media komik. Adapun desain penelitian menggunakan Two Group Pretest-Postest Design. Untuk hasil kognitif, pada awal kegiatan penelitian, siswa akan dikenakan test awal pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Pada penelitian ini terdapat dua kelompok yang sama-sama diberi perlakuan.Kelompok I atau kelas eksperimen I merupakan kelas yang diberi perlakuan pengajaran dengan menggunakan media animasi, sedangkan kelompok II atau kelas eksperimen II adalah kelas yang diberikan perlakuan pengajaran dengan menggunakan media komik. Kedua variabel tersebut merupakan variabel X. pada akhir penelitian kedua 112 kelompok ini akan dikenakan test akhir posttest. Hasil kedua penelitian tersebut akan dipakai sebagai data penelitianuntuk diolah dan dibandingkan hasilnya. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 1 Parung. Populasi terjangkau adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 1 Parung sebanyak 9 kelas. Teknik yang digunakan dalam penentuan sampel dilakukan dengan dua cara. Penentuan sampel mula-mula menggunakan teknik purposive sampling. Sampel diambil dari VIII-1 yang terdiri atas 33 siswa dan VIII-2 yang terdiri atas 35 siswa. Tujuan pengambilan kelas VIII-1 dan VIII-2 berdasarkan kebijakan guru karena memiliki tingkat pemahaman sama. Selanjutnya penentuan sampel untuk dijadikan kelas eksperimen I dan eksperimen II dilakukan secara acak random sampling. Dalam hal ini kelas VIII-2 sebagai kelas eksperimen I dan kelas VIII-1 sebagai kelas eksperimen II. Penentuan secara acak ini dimaksudkan agar peneliti dalam menentukan kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II tidak bersikap subjektif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes dan non-tes. Tes berupa pilihan ganda sebanyak 25 dengan empat pilihan jawaban. Test ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu dengan cara pengambilan soal pretest dan posttest. Soal pretest diberikan kepada siswa sebelum pembelajaran, test berupa soal pilihan ganda. Sementara soal posttest diberikan kepada siswa setelah pembelajaran. Sedangkan instrument nontes berupa angket. Angket mengukur tingkat persepsi siswa terhadap media yang digunakan oleh guru, angket terdiri dari sebelas pernyataan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda dengan empat pilihan. Soal test disusun berdasarkan ruang lingkup materi serta disesuaikan dengan pengukuran ranah kognitif, yang meliputi aspek ingatan, pemahaman, aplikasi, dan analisis siswa pada konsep pencernaan. Selain menggunakan tes tertulis, penelitian ini juga menggunakan angket sebagai alat bantu dalam mendukung penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini disajikan data dari dua kelompok subjek penelitian, yaitu kelompok yang menggunakan media animasi eksperimen I dan kelompok yang menggunakan media komik eksperimen II yang diambil dari hasil pretest dan posttest. Tabel 1. Data Pretest dan Postest Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II Deskripsi Pretes Postes Eks. I Eks. II Eks. I Eks. II Nilai terkecil 32 32 52 48 Nilai terbesar 64 64 96 96 Mean 44.44 47.77 83.16 74.55 Median 45 47.83 85.37 75.94 Modus 46.5 47 87.71 79.7 Standar deviasi 8.24 9.58 9.57 11.58 Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa nilai mean pretest eksperimen I dan eksperimen II memiliki selisih 3.33, ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelas. Setelah diberi perlakuan, nilai mean posttest kelas eksperimen I lebih besar dari pada kelas Eksperimen II dan memiliki selisih yang cukup besar, yaitu 8.61. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang dijar dengan menggunakan media animasi dan media komik Hal ini sejalan dengan pengujian hipotesis data pretest yang dilakukan, diperoleh bahwa t hitung t tabel 1.51 1.67 , dapat diartikan bahwa t hitung berada diluar daerah penolakan H atau dengan kata lain H diterima. Sehingga pernyataan hipotesisnya adalah tidak terdapat perbedaaan antara hasil belajar siswa yang menggunakan media animasi dengan media komik. Hal ini menunjukan bahwa kelas yang menggunakan media animasi eksperimen I dan kelas yang menggunakan media komik eksperimen II, kedua kelas terebut sudah memiliki kemampuan awal yang sama sehingga memenuhi persyaratan sebagai sampel penelitian. 113 Setelah diberi perlakuan pada kedua kelas dalam proses pembelajaran, hasil uji hipotesis data posttest diperoleh bahwa t hitung t tabel 3.84 1.67 , dapat diartikan bahwa t hitung berada diluar daerah penerimaan H atau dengan kata lain H ditolak. Maka , hipotesis alternatif H a yang menyatakan bahwa rata-rata hasil belajar biologi siswa yang diajar dengan menggunakan media animasi lebih tinggi dibandingkan dengan rata- rata hasil belajar biologi yang diajar dengan menggunakan media komik diterima pada taraf signifikansi 5. Dengan demikian terdapat perbedaan hasil belajar dari kedua kelas. Tabel 2. Nilai N-gain Hasil Belajar Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II Deskripsi Eks. I Eks. II N 35 33 Rendah 2.86 15.15 Sedang 45.71 69.70 Tinggi 51.48 15.15 Rata-rata 0.68 0.52 Untuk mengetahui keunggulan dari kedua media maka dilakukan pengukuran peningkatan hasil belajar, berdasarkan penghitungan N-gain hasil belajar. Didapatkan kriteria N-gain kelas eksperimen I dan eksperimen II dalam kategori sedang, akan tetapi, nilai N-gain kelas eksperimen I mendekati kiteria tinggi 0.63 jika dibandingkan dengan kelas eksperimen II dalam nilai N-gain kelas eksperimen II 0.58. Tingginya nilai N-gain pada kelas eksperimen I dikarenakan sebanyak 51.43 siswa mengalami peningkatan ke kriteria tinggi, bila dibandingkan dengan kelas eksperimen II yang hanya 15.15 siswa yang dapat mengalami peningkatan ke kriteria tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa media animasi lebih baik dibandingkan dengan media komik. Tabel 3. Nilai Rata-Rata Gain Hasil Belajar Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II Kelas Rata-rata Gain C1 C2 C3 C4 Eks. I 2.171 2.6 2.486 2.3429 Jumlah 4.771 4.829 Eks.II 2.152 2.485 1.242 0.9697 Jumlah 4.637 2.212 Agar dapat mengetahui lebih lanjut mengenai peningkatan hasil belajar siswa, maka peneliti mengukur empat jenjang pengetahuan yang digunakan dalam penelitian, yaitu jenjang C1 mengingat, C2 memahami, C3 menerapkan, dan C4 menganalisis. Hal ini bertujuan untuk mengetahui jenjang pengetahuan yang mengalami peningkatan tertinggi. Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa peningkatan gain pada kelas eksperimen I berbeda dengan kelas eksperimen I, baik pada jenjang C1, C2, C3, maupun C4. Kelas eksperimen I memiliki nilai gain yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas eksperimen II. Khususnya pada jenjang C3 dan C4. Hal ini dikarenakan jenjang C3 dan C4 mewakili soal-soal yang berhubungan dengan sebuah peristiwa, konsep dan hubungan, sehingga siswa yang diajarkan dengan menggunakan media animasi cenderung lebih dapat mengingat informasi karena informasi disajikan secara lebih konkret dan dapat menghindari salah persepsi oleh siswa. Tabel 4. Data Angket Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II Deskripsi Eks. I Kriteria Eks. II Kriteria Menyerap 80 Amat baik 75 Baik Memahami 82 Amat baik 76 Baik Menilai 84 Amat baik 75 Baik Rata-rata 82 - 75 - 114 Kelebihan media animasi sejalan dengan hasil angket yang diisi oleh siswa. Siswa yang diajarkan dengan menggunakan media animasi memiliki tingkat penyerapan dan pemahaman materi yang sangat baik jika dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan menggunakan media komik. Pada Tabel 4 terlihat bahwa rata-rata persepsi siswa terhadap media animasi sebesar 82 , hal ni berbeda nyata dengan siswa yang diajarkan dengan media komik yang memiliki rata-rata sebesar 75 . Terkait dari hasil persentase yang diperoleh, hasil penelitian Rotbain, dkk dalam artikel yang berjudul Using a Computer Animation to Teach High School Molecular Biology, mengindikasikan bahwa kelompok siswa yang menggunakan animasi komputer memperlihatkan pemahaman konsep yang signifikan Robtain et al., 2008 Selain mengukur daya serap dan tingkat pemahaman siswa, hasil angket ini juga mengukur penyajian kedua media, berupa bahasa yang digunakan, alur, kesesuaian media dengan materi pembelajaran serta daya humor kedua media. Berdasarkan hasil penghitungan angket didapatkan bahwa isi media animasi lebih baik dibandingkan dengan media komik. Perbedaan ini disebabkan oleh banyaknya siswa yang menganggap komik tidak terlalu mengandung unsur humor, sehingga mempengaruhi hasil penghitungan angket. Pada media aniamasi unsur humor dapat tergambar baik melalui gerakan-gerakan, yang tidak dapat digambarkan oleh media komik. Sebagai bentuk umpan balik untuk mengukur pemahaman siswa dalam menerima informasi dibagian eksplorasi, kedua kelas diberikan lembar kerja siswa LKS yang dielaborasikan dengan pembelajaran kooperatif tipe think, pairs and share TPS. Adapun tahap-tahap TPS yang digunakan di kdua kelas adalah sebagai berikut; Tahap think, siswa di kedua kelas mengerjakan LKS secara individu. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan setiap siswa dalam menerima informasi yang diberikan melalui media. Berdasarkan observasi peneliti, baik siswa yang diajarkan dengan menggunakan media animasi ataupun dengan menggunakan media komik tidak memiliki kesulitan yang berarti ketika mengerjakan LKS; Tahap pairs, siswa berpasangan dengan teman sebangku untuk mendiskusikan jawaban dari LKS yang telah diisi secara individu. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat saling mencocokkan jawaban dan mengetahui jawaban yang tepat dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di LKS melalui kegiatan diskusi;Tahap share, beberapa siswa diminta untuk menginformasikan jawaban dari LKS tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan jawaban yang telah dikerjakan secara individu dan diskusi bersama teman sebangku terhadap siswa lain, sehingga menjadi bahan diskusi bersama terkait jawaban yang paling tepat. Setelah dilakukan penghitungan nilai LKS yang menjadi alat ukur umpan balik media, kelas eksperimen I memperoleh nilai yang lebih tinggi 82 dibandingkan kelas eksperimen II 80. Hal tesebut menunjukan bahwa pembelajaran konsep sistem pencernaan manusia yang dieksplorasikan dengan menggunakan media animasi dapat memudahkan siswa untuk memahami berbagai proses yang terjadi selama berlangsungnya pencernaan pada manusia. Animasi menjelaskan konsep sistem pencernaan manusia menjadi lebih rinci khususnya pada proses pencernaan karena animasi menampilkan efek berupa gerakan. Sehingga video animasi mampu membuat suatu konsep yang sifatnya abstrak menjadi konkret. Hal ini didasarkan pada kerucut pengalaman cone of experience yang di kemukakan oleh Dale Arsyad, 2010 Berbeda dengan siswa yang diajarkan dengan media komik, yang tidak menampilkan efek berupa gerakan. Tentu selama pembelajaran berlangsung, siswa masih agak kesulitan memahami bagaimana proses mencerna makanan. Sekalipun gambar didukung dengan adanya panah-panah yang menandakan bahwa gambar tersebut menunjukkan makna sebuah gerakan, namun siswa masih merasa kesulitan untuk dapat memahami proses pencernaan pada manusia. Menurut kerucut pengalaman Dale, bahwa media gambar komik yang hanya mengedepankan efek visual diam, tentu masih membuat konsep sistem pencernaan manusia terlihat abstrak Arsyad, 2010 Dilihat dari kaidah pembelajaran, meningkatkan kadar hasil belajar yang tinggi sangat ditunjang oleh peggunaan media pembelajaran. Melalui media potensi indra peserta didik dapat diakomodasi sehingga kadar hasil belajar akan meningkat Asyhar, 2011. Namun penggunaan media tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan penyampaian informasi terhadap konsep. Media Animasi sebagai media pendidikan, memiliki kemampuan untuk dapat memaparkan sesuatu yang rumit atau kompleks, yang sulit untuk dijelaskan hanya dengan gambar atau kata-kata saja menjadi lebih sederhana dan mudah untuk dipaparkan. Dengan kemampuan ini media animasi sangat baik digunakan untuk 115 materi-materi yang secara nyata tidak dapat terlihat oleh mata menjadi lebih tergambarkan dalam bentuk visual. Dengan visualisasi, materi yang dijelaskan dapat tergambarkan dengan baik oleh siswa. Bahkan Hofler dan lautner dalam jurnalnya yang berjudul Instructional animation versus static pictures juga mengidentifikasikan bahwa animasi dapat membantu otak untuk memproses informasi lebih baik, dibandingkan dengan gambar statis yang dapat menimbulkan salah persepsi Hoffler dan Lautner, 2007. Pemanfaatan media animasi dalam menjelaskan materi yang berhubungan dengan kerja tubuh manusia, seperti halnya pada sistem pencernaan manusia dapat memudahkan siswa untuk menangkap pesan atau informasi selama kegiatan belajar mengajar. Selain itu, media animasi dapat menarik minat dan motivasi siswa selama pembelajaran berlangsung, sehingga memudahkan siswa dalam memahami konsep. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Miri Barak, Tamar Ashkar, dan Yhudit J Dori yang dituliskan dalam jurnal yang berjudul Teaching Science via Animated Movies: It’s Effect on Students Learning Outcomes and Motivation, bahwa media animasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan dapat memotivasi siswa dalam belajar Barak, 2010. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa penggunaan media animasi pada konsep sistem pencernaan memberikan nilai yang lebih baik daripada penggunaan media komik. Hal ini didukung dengan pencapaian nilai rata-rata keseluruhan hasil belajar siswa yang menggunakan media animasi sebesar 83.16. Keberhasilan prestasi siswa dalam proses pembelajaran sangat didukung oleh penggunaan media pembelajaran yang dapat menampilkan suatu proses secara lebih rinci, sehingga konsep-konsep yang tadinya bersifat abstrak menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang diajar dengan menggunakan media animasi dengan siswa yang diajar dengan menggunakan media komik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penghitungan uji hipotesis hasil belajar dengan taraf signifikansi 95 didapat t-hitung sebesar 3.84. Nilai ini berada pada daerah penolakan H . Berdasarkan perbedaan nilai rata-rata posttest antara kelompok eksperimen I media animasi dan kelompok eksperimen II media komik, kelompok eksperimen I mendapatkan nilai lebih baik daripada kelompok eksperimen II yakni 83.16 74.55. Pengaruh dari perlakuan juga terlihat dari rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen I sebesar 0,68 dan untuk kelas Eksperimen II sebesar 0,52. Selain itu, hasil angket menunjukan bahwa persepsi siswa terhadap media animasi menunjukan hasil yang amat baik jika dibandingkan dengan persepsi siswa yang menggunakan media komik yang menunjukan hasil baik. DAFTAR PUSTAKA Arsyad A. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Asnawir, Basyiruddin U. 2002.Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press. Asyhar R. 2011.Kreatif mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: GP press. Barak M.2010. Teaching Science via Animated Movies. Fathurrohman, Pupuh, Sobry S. 2007.Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama. Hoffler, Tim N, Detlev L. 2007.Instructional animation versus static picture, Learning and Instruction. Munadi Y. 2008. Media Pembelajaran. Ciputat: Gaung Persada Press. Rotbain, Yosi, Marbach-Ad, Ruth Stavy. 2008. Using a Computer Animation to Teach High SchoolMolecular Biology, Journal of Science Educational Technology, 17. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan RD. Bandung:CV. Alfabeta, 2010. 116 PERBEDAAN HASIL BELAJAR BIOLOGI ANTARA PENGGUNAAN KARTU CARD SORT DENGAN INDEX CARD MATCH PADA KONSEP SISTEM REPRODUKSI MANUSIA Titik Kadarsih Pendidikan Biologi, Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tickha_lesbluesyahoo.com Meiry Fadilah Noor, Nengsih Juanengsih Pendidikan Biologi, Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abstrak Teknik Card Sort dan Index Card Match dapat digunakan untuk pembelajaran aktif di kelas. Kedua teknik ini dapat membuat siswa aktif berpikir mental dan aktif bergerak fisik secara berkelompok dalam proses pembelajaran, sehingga siswa memperoleh pemahaman dan menguasai konsep yang dipelajari. Namun, pada Card Sort keaktifan siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil, sedangkan Index Card Match dibentuk dari kelompok besar menjadi kelompok kecil berpasangan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengukur perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang diajar melalui strategi pembelajaran aktif teknik card sort dengan teknik index card match pada konsep sistem reproduksi. Populasi penelitian ini adalah siswa SMAN 05 Depok. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain Two Group Pretest-postest design. Sampel ditentukan dengan teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen satu dengan kelas eksperimen dua. Hasil ini diperoleh dari thitung 2,98 dan ttabel 1,99 2,98 1,99 pada taraf signifikansi 5. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar biologi antara siswa yang diajar melalui strategi pembelajaran aktif teknik card sort lebih baik 90,50 dibandingkan dengan teknik index card match 88 pada konsep sistem reproduksi manusia. Kata kunci: Pembelajaran Aktif, Hasil Belajar, Card Sort dan Index Card Match PENDAHULUAN Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memiliki tujuan untuk membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam mengemban amanat tersebut, pemerintah harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi dalam pendidikan baik dalam hal manajemen maupun komponen-komponen yang terkait dalam pendidikan. Salah satu upaya pendidikan nasional dalam pemerataan pendidikan adalah dengan dibangun program wajib belajar 9 Sembilan tahun. Sistem pendidikan nasional terus menerus berupaya memberikan inovasi dalam kegiatan kependidikan BNSP, 2006. Sekolah sebagai salah satu lembaga yang penting dalam upaya mencerdaskan bangsa dan meningkatkan sumber daya manusia, sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang terdapat didalamnya. Kualitas pendidikan di sekolah terlihat dari komponen-komponen yang terkait dalam suatu sistem yaitu guru, metode pembelajaran, kurikulum, siswa, sarana dan prasarana sekolah dan lain sebagainya. Komponen penting dalam sistem pendidikan di sekolah adalah kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar di sekolah, para guru cenderung belum mengoptimalkan pemilihan strategi pembelajaran baik bahan ajar, metode, teknik, maupun media pembelajaran. Ketidakoptimalan menjadikan pembelajaran tidak kreatif dan tidak menarik. Apalagi pembelajaran yang tidak menuntun siswa ikut serta aktif dalam proses belajar. Padahal kesuksesan siswa disertai dengan keaktifannya dalam berfikir, menyusun konsep, dan kebermaknaan dalam belajar Warsita, 2008. 117 Keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas menjadikan mereka lebih mudah untuk memahami dan membuat materi pelajaran dapat lebih lama berada dalam memorinya. Salah satu strategi yang diharapkan dapat melibatkan lebih banyak kegiatan pembelajaran siswa secara komprehensif adalah strategi pembelajaran aktif Rusdiana, 2006; Silberman, 2007. Proses belajar yang mengaktifkan siswa tidak hanya mengandalkan guru dalam mendapatkan materi pembelajaran, namun dibutuhkan teknik yang tepat untuk mendukung aktivitas belajar didalamnya. Penggunaan teknik sebagai suatu cara untuk menyampaikan informasi dalam suatu pembelajaran diperlukan kreativitas guru, sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien sesuai dengan kesederhanaan fasilitas sekolah. Teknik yang dapat digunakan dengan fasilitas yang memadai adalah teknik card sort dan teknik index card match. Kedua tehnik ini menggunakan kartu sebagai alat bantu dalam pembelajaran Silberman, 2007. Keduanya juga membantu siswa dalam memperkuat daya ingat setelah materi diberikan Hamruni, 2011. Namun pada Card sort kartu dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori mengenai materi pelajaran Hamruni, 2011. Sehingga, siswa diaktifkan dengan mencari kartu yang memiliki kategori yang sama dengan memilah-milah kartu yang berada di tangan siswa lain Kadir, 2008. Sedangkan kartu pada index card match dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok yang berisikan pertanyaan dan kelompok yang berisikan jawaban Yasin, 2008. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka diperlukan pengujian untuk membedakan efektifitas kedua tehnik ini dalam mempengaruhi hasil belajar. Oleh karena itu, dilakukannya perbandingan hasil belajar siswa antara teknik pembelajaran aktif teknik card sort dan index card match. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen jenis quasi experimental. Metode ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel- variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen Arikunto, 2005. Dalam penggunaan metode penelitian ini, peneliti meniadakan kelas kontrol tetapi memberikan perlakuan kepada kedua kelas dan kemudian membandingkannya. Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan two group pretest and postest design, dimana penentuan kelompok eksperimen satu E1 maupun kelompok eksperimen duaE2 dipilih secara random Sugiyono, 2007. Variabel penelitian dengan dua variabel, yaitu strategi pembelajaran dengan card sort sebagai variabel bebas satu variabel X E1 dan index card match sebagai variabel bebas dua variabel X E2. Sedangkan hasil belajar biologi siswa sebagai variabel terikat variabel Y. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan seluruh siswa SMAN 5 Depok yang terdaftar dalam semester 2 pada tahun ajaran 2012-2013 sebagai populasi target. Adapun untuk populasi terjangkaunya adalah SMAN 5 Depok kelas XI semester 2 tahun ajaran 2012-2013. Kemudian yang dijadikan sampel adalah dua kelas dari seluruh kelas XI yang ada di SMAN 5 Depok pada semester 2 tahun ajaran 2012-2013, dimana kelas XI A 5 sebagai kelas yang diajar dengan teknik card sort E1 dan kelas XI A 4 sebagai kelas yang diajar dengan teknik index card match E2. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tes tertulis berupa pilihan ganda yang ditujukan untuk mengukur hasil belajar siswa. Sedangkan lembar observasi digunakan untuk mengamati keterlaksanaan strategi pembelajaran aktif oleh guru dan partisipasi siswa dalam pembelajaran di kelas. Teknik analisis data dalam penelitian ini diawali dengan pensekoran bentuk soal pilihan ganda sejumlah 35 soal. Adapun indikator hasil belajar merujuk pada Taksonomi Bloom pada tingkat pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Penskoran data bentuk soal pilihan ganda yaitu setiap butir soal yang dijawab benar diberi skor 1, dan untuk butir soal yang dijawab dengan salah diberi skor 0. Kemudian data diuji kenormalitasannya dengan uji Liliefors, dan dengan uji Fisher untuk menguji kehomogenannya pada taraf signifikansi 0,05 . Selanjutnya pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t Sudijono, 2010. Pada penelitian ini juga menggunakan lembar observasi yaitu mengamati keterlaksanaan penerapan Penggunaan kartu oleh peneliti. Lembar observasi ini digunakan oleh pengamat pada setiap kali pertemuan 118 proses pembelajaran. Adapun hasil pengamatan lembar observasi tersebut diolah dengan menghitung persentasenya. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dikumpulkan dua jenis data yakni kuantitatif dan kualitatif. Adapun data kuantitatif berupa tes bentuk pilihan ganda sejumlah 35 soal. Kemudian data kualitatif berupa lembar observasi keterlaksanaan proses pembelajaran. Berdasarkan hasil dari pengolahan data berupa tes kognisi dalam bentuk pilihan ganda kepada kedua kelas sebelum dan setelah perlakuan didapatkan statistik kemampuan siswa pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Data Sebelum dan Setelah Perlakuan Data Statistik Eksperimen 1 Eksperimen 2 Pretes Postes Pretes Postes Nilai tertinggi 28 60 28 73 Nilai Terendah 60 100 63 97 Rata-rata 44 90,5 43 88 Simpangan baku 9,40 7,7 7,48 6,42 Jumlah siswa 45 45 44 44 Berdasarkan data rata-rata pretest di kedua kelas menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang jauh di antara keduanya. Setelah diberikan perlakuan, didapatkan perbedaan hasil belajar dengan kelas yang menggunakan teknik card sort lebih baik dibandingkan ICM. Berdasarkan hasil penghitungan uij-t pada data pretest diperoleh t hitung t tabel , 1,281,99 maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima. Dengan demikian bahwa hasil pretest kelas yang diajar dengan teknik card sort E1 dan kelas yang diajar dengan teknik index card match E2 tidak berbeda nyata. Maka dapat dinyatakan bahwa kemampuan awal siswa di kelas yang diajar dengan teknik card sort E1 dan dan kelas yang diajar dengan teknik index card match E2 sebelum proses pembelajaran tidak ada perbedaan yang signifikan. Namun setelah diberi perlakuan, maka hasil uji hipotesis pada skor posttest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor kelas yang diajar dengan teknik card sort E1 dan kelas yang diajar dengan teknik index card match E2, dimana nilai t hitung lebih dari t tabel 2,981,99. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hasil belajar biologi siswa antara kelas kelas yang diajar dengan teknik card sort E1 dan kelas yang diajar dengan teknik index card match E2 dalam pembelajaran aktif terdapat perbedaan yang signifikan, dimana penggunaan teknik card sort lebih baik dibandingkan dengan teknik index card match dalam strategi pembelajaran aktif. Hasil belajar biologi siswa yang menggunakan teknik card sort lebih tinggi dari pada hasil belajar biologi siswa yang menggunakan teknik index card match sebesar 90,5 88. Walaupun peningkatan hasil belajar di kedua kelas ini dalam kategori tinggi, namun rata-rata ketercapaian penggunaan teknik belajar di kelas E2 lebih tinggi. Kondisi demikian juga dapat terlihat pada aktifitas siswa pada lembar observasi, dimana kelas E1 aktifitas siswa lebih tinggi dibandingkan dengan kelas E2. Hal tersebut dikarenakan dalam pembelajaran menggunakan teknik card sort siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar di kelas. Keaktifan tersebut ditunjukan pada saat siswa bersama-sama mencari kartu dengan kategori yang sama kemudian membentuk kelompok-kelompok kecil yang memiliki kategori yang sesuai. Hal ini sejalan dengan Widiastusi 2010, dari hasil penelitiannya menunjukan bahwa dengan menggunakan pembelajaran aktif teknik card sort memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif baik aktif fisik yang ditunjukan dengan pencarian kartu yang satu kategori maupun aktif berkomunikasi yang ditunjukan dengan diskusi kelompok, memberikan pertanyaan maupun menyajikan hasil kerja kelompok melalui presentasi. Menurut Roziq 2012 yang dalam penelitiannya mengatakan bahwa card sort lebih mengutamakan pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan cara membuat kelompok-kelompok kecil, sehingga memungkinkan siswa untuk mendapatkan kelompok yang bervariatif dan lebih mudah dalam proses pembelajaran. Proses pelaksanaan pembelajaran dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil merupakan salah satu tujuan yang membuat siswa lebih mudah berdiskusi, dimana diskusi kelas merupakan aspek yang sangat penting dari pembelajaran aktif. Dari faktor-faktor tersebut maka dapat dikatakan bahwa penggunaan teknik card sort lebih efektif dibandingkan menggunakan teknik index card match. 119 Keefektifan kelas card sort dari pada index card match dapat dilihat dari hasil uji Peningkatan hasil belajar N-Gain yang menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan teknik card sort dengan siswa yang menggunakan teknik index card match, hasil yang diperoleh adalah bahwa kelas card sort lebih baik dari kelas index card match. dapat diamati dalam Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Persentase Peningkatan Hasil Belajar N-Gain Kelas Berteknik Card Sort E1 dan Kelas Berteknik Index Card Match E2 Kategori Persentase EI E2 Tinggi 86,70 77,30 Sedang 13,30 22,70 Rendah Kategori Tinggi Tinggi Selama proses pembelajaran dilakukan penilaian aktifitas siswa oleh guru mata pelajaran sebagai observer, penilaian aktifitas siswa dalam pembelajaran mengacu pada lembar observasi dalam bentuk persentase nilai rata-rata kelompok dengan nilai maksimal 100 yang berkategori sangat baik. Hasil pengamatan dari tiga pertemuan oleh observer diperoleh nilai rata-rata pada kedua kelompok baik kelompok kelas yang diajar dengan teknik card sort E1 maupun kelompok kelas yang diajar dengan teknik index card match E2. Adapun persentase hasil penilaian aktifitas siswa dalam pembelajaran diperoleh data yang digambarkan pada Tabel 2. Tabel 3. Data Persentase Hasil Penilaian Aktifitas Siswa Kelas Berteknik Card Sort E1 dan Kelas Berteknik Index Card Match E2 Aktifitas Siswa Persentase Aktifitas Siswa E1 E2 Mendengarkan dengan aktif 80 79 Membaca buku siswa 93,3 80 Mengajukan pertanyaan seputar materi 82 80 Berdiskusi dengan anggota kelompok 90 82,3 Mengerjakan Lembar Kerja Siswa 82,3 80,7 Melakukan permainan kartu 100 90 Presentasi 77 79 Membuat Kesimpulan 87 79 Rata-rata 86,45 81,25 Kategori Baik Baik Berdasarkan Tabel 3, persentase ketercapaian hasil penilaian aktifitas siswa dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran. Hasil observasi tersebut, rata-rata yang diperoleh untuk kelas yang diajar dengan teknik card sort E1 lebih tinggi dari kelas yang diajar dengan teknik index card match E2 yaitu sebesar 86,45 termasuk ke dalam kategori baik. Sedang kelas berteknik index card match E2 sebesar 81,25 dan juga dalam kategori baik. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya kedua teknik ini dapat membuat siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Seluruh indikator dicapai oleh kedua kelas, persentase setiap indikator di kelas eksperimen satu E1 selalu lebih tinggi dari kelas eksperimen dua E2. Bahkan pada indikator melakukan permainan kartu mencapai nilai 100, hal ini menunjukan bahwa saat melakukan kegiatan pelaksanaan teknik card sort semua siswa terlibat dengan antusias yang tinggi. Tetapi pada indikator pelaksanaan presentasi, kelas yang diajar dengan teknik card sort E1 memiliki nilai lebih kecil di bandingkan dengan kelas yang diajar dengan teknik index card match E2 yakni sebesar 77 dan 79. Hal ini disebabkan siswa kelas eksperimen dua E2 lebih siap dan lebih baik dalam melaksanakan presentasi di kelas. Terdapat perbedaan dari hasil penilaian observasi aktifitas siswa untuk kedua kelas, kelas yang menggunakan teknik card sort lebih tinggi dengan perolehan persentase 86,45 dari pada kelas yang menggunakan teknik index card match dengan perolehan persentase 81,25 86,45 81,25 , meski 120 memiliki kategori yang juga baik. Hal ini dikarenakan semua siswa mengikuti semua aspek dan indikator yang rata-rata memperoleh nilai 4 dari skor ideal 5 pada kelas yang menggunakan teknik card sort berbeda dengan kelas yang menggunakan teknik index card match rata-rata perolehan nilai 3,2 dari skor ideal 5. Kondisi ini menunjukan partisipasi siswa lebih baik pada kelas berteknik card sort dibandingkan dengan kelas berteknik index card match. Diketahui pula pada aspek mendengarkan dengan aktif, membaca buku siswa, mengajukan pertanyaan seputar materi, berdiskusi dengan anggota kelompok, mengerjakan lembar kerja siswa, melakukan permainan kartu dan membuat kesimpulan kelas yang menggunakan teknik card sort lebih tinggi pencapaiaannya dibandingkan dengan kelas yang berteknik index card match. Dalam kegiatan pembelajaran menggunakan teknik card sort dan index card match peneliti menggunakan metode diskusi kelompok kecil yang disertai kartu sebagai alat bantu dari teknik yang digunakan. Tujuan penggunaan metode diskusi kelompok kecil yang membagi siswa ke dalam berbagai kelompok untuk lebih memfokuskan siswa pada kerja kelompok dan mengikuti langkah-langkah pembelajaran. Langkah pertama siswa menyimak materi yang disampaikan guru, setelah pemberian materi selesai, guru memberikan arahan untuk melakukan teknik pembelajaran menggunakan kartu, setelah siswa merasa siap melakukan permainan kartu, guru memberikan Lembar Kerja Siswa yang akan dikerjakan siswa setelah melakukan permainan kartu. Pada saat pelaksanaan teknik card sort siswa mencari kategori yang sesuai dengan kartu yang dimilikinya dan duduk bersama dalam satu kelompok kemudian mengerjakan LKS yang telah disediakan melalui proses diskusi bersama. Kemudian setelah diskusi selesai siswa diperkenankan melakukan presentasi hasil kerja kelompok masing-masing. Pada pelaksanaan pembelajaran kelas E1 yang menggunakan teknik card sort terlihat siswa antusias melihat kartu-kartu yang dibawa oleh guru. Kemudian ketika siswa dijelaskan tentang mekanisme penggunaan teknik card sort awalnya siswa merasa bingung dan banyak bertanya yang menimbulkan suasana kelas menjadi gaduh. Tetapi setelah guru menerangkan penggunaan teknik card sort siswa mulai mengerti dan siswa mulai fokus menjalankan kegiatan pembelajaran. Pada saat pertemuan pertama siswa masih banyak yang harus mengingat mekanisme penggunaan teknik card sort terlebih jika siswa belum membaca materi yang akan dipelajari sebelumnya, sehingga pada saat pencarian teman dengan kategori yang sama, siswa kebingungan karena tidak dapat menentukan kategori kartu yang dimilikinya. Pertanyaan pun bermunculan dari para siswa mengenai teknik permainan kartu tersebut, guru sebagai fasilitator memberi arahan kepada siswa untuk dapat menemukan kelompoknya. Tetapi pada pertemuan selanjutnya siswa mulai beradaptasi dengan teknik pembelajaran card sort, siswa mulai kompak, antusias mencari teman dengan kategori yang sama, kelas lebih kondusif karena siswa fokus melaksanakan kegiatan pembelajaran. Hal yang berbeda terjadi pada kelas E2, pada pertemuan pertama, setelah guru menjelaskan mekanisme pelaksanaan teknik index card match siswa langsung mengerti dan suasana pembelajaran lebih kondusif. Karena pelaksanaan teknik index card match lebih mudah, hanya mencari pasangan jawaban atau pertanyaan yang sesuai dengan kartu yang didapat masing-masing siswa. Pelaksanaan perlakuan pada kelas E1 siswa bekerja sama dengan kelompok dengan kategori yang sama, berdiskusi untuk mengisi LKS dan sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum dipahami, berbeda dengan kelas E2, siswa bekerja sama dengan kelompok dan jarang mengajukan pertanyaan kepada guru. Hal ini dikarenakan pada kelas E2, setiap kelompok sudah memegang kartu masing-masing yang sudah terdapat pertanyaan dan jawaban yang sesuai. Pada kelas E2 interaksi kelompok tergolong rendah, masih ada beberapa siswa yang mengandalkan teman satu kelompok dalam mengisi LKS, sehingga hanya mengkopi pekerjaan teman satu kelompoknya. Berbeda dengan kelas E1, interaksi antar kelompok tergolong lebih baik, karena setiap siswa dalam kelompok aktif mengerjakan LKS dengan kemampuannya masing-masing. Pada aspek presentasi, siswa kelas E2 lebih baik dan lebih memiliki persiapan dalam hal penguasaan materi hal tersebut terbukti ketika kelompok presentator mempresentasikan hasil kerja kelompok, mereka dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Berbeda dengan kelas E1, berdasarkan hasil observasi, satu-satunya aspek yang memiliki presentase lebih kecil dibandingkan kelas E2 adalah pada aspek presentasi, hal ini dikarenakan kebanyakan kelompok presentator belum mampu menjawab pertanyaan kelompok lain dengan baik. 121 Secara umum dari berbagai aspek yang diteliti, mulai dari aktifitas siswa dalam kelas melalui lembar observasi oleh guru mata pelajaran, kemudian hasil posttest dan N-Gain yang menghasilkan perolehan angka yang signifikan, kelas yang diajar menggunakan card sort lebih baik dibandingkan dengan kelas yang diajar menggunakan teknik index card match terhadap hasil belajar biologi siswa pada konsep sistem reproduksi. Rusdiana dalam jurnalnya mengatakan belajar aktif bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif untuk mengembangkan kemampuan daya pikir dan daya ciptanya yang terlibat langsung dalam proses belajar mengajar, salah satunya melalui teknik card sort Rusdiana, 2010. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar biologi siswa antara siswa yang diajar melalui teknik card sort dengan teknik index card match pada konsep sistem reproduksi manusia kelas XI semester 2 SMA Negeri 5 Depok tahun ajaran 20122013. Perbedaan tersebut lebih baik pada penggunaan teknik card sort berdasarkan rata-rata hasil belajar dan aktivitas siswa. SARAN Penerapan teknik card sort dan index card match disamakan jumlah kategorinya. Sehingga pada index card match terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan kategori yang selanjutnya ditiap kategori tersebut dibagi kembali menjadi 2 kelompok kartu, yaitu kartu pertanyaan dan kartu jawaban. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. _____________ . 2010. Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktik, Jakarta: Rineka Cipta. BSNP. 2006.. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Balitbang Depdiknas. Hamruni. 2011. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani. Kadir SF. 2008. Ragam Strategi Pembelajaran. Jurnal Al- Ta’Dib Vol 1 No.1, Rusdiana. 2006. Penerapan Belajar Aktif Dalam Pembelajaran. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Vol 4 No.5. Silberman ML. 2007..Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Sudijono A. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RD. Bandung: Alfabeta. Warsita B. 2008. Teknologi Pembelajaran dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Widiastuti K. Peningkatan Keaktifan Bertanya Siswa Melalui Strategi Motivasi Dalam Model Pembelajaran Aktif Tipe Card Sort di kelas RSBIXI IPA SMAN 01 Surakarta. Skripsi FKIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. Tidak dipublikasikan Uzlul RA. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Dengan Strategi Kartu Sortir Card Sort Terhadap Prestasi Belajar Fisika Pada Materi Fluida Statis. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisik. Yasin FA. 2008. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang press. 122 PENGARUH MEDIA AUDIO-VISUAL VIDEO TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI PADA KONSEP ELASTISITAS Ika Risqi Citra Primavera Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ikarisqicitra14gmail.com Iwan Permana Suwarna, M.Pd Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media audio-visual video terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Media audio-visual video ini dibuat menggunakan software AVS Video Editor. Penelitian ini dilakukan di kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3 SMA Negeri 87 Jakarta. Penelitian berlangsung pada bulan November 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain nonequivalent control group design dan teknik pengambilan sampel purpossive sampling. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes berupa soal pilihan ganda dan instrumen nontes berupa angket. Data hasil instrumen tes dan nontes dianalisis secara kuantitatif, namun hasil data nontes dikonversi ke dalam bentuk kualitatif. Berdasarkan analisis data, diperoleh hasil terdapat pengaruh media audio-visual video terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Hasil uji hipotesis terhadap data posttest menunjukkan nilai � ℎ� �� = ,4 dan nilai � �� = ,99. Nilai � ℎ� �� � �� , sehingga � ditolak. Rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan media audio-visual video lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih unggul pada jenjang kognitif C 2 , C 3 , dan C 4 . Pembelajaran menggunakan media audio-visual video ini memiliki daya dukung terhadap proses pembelajaran pada kategori baik dengan persentase sebesar 79. Kata kunci: AVS Video Editor, media audio-visual video, hasil belajarsiswa, elastisitas. PENDAHULUAN Fisika adalah salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam IPA yang mempelajari gejala alam secara keseluruhan. Fisika mempelajari materi, energi, dan fenomena atau gejala alam, baik yang bersifat makroskopis berukuran besar maupun yang bersifat mikroskopis berukuran kecil. Gejala-gejala alam tersebut pada mulanya adalah apa yang tertangkap oleh alat indera, misalnya penglihatan, pendengaran, dan indera peraba. Kemudian diolah menjadi suatu konsep-konsep yang bisa menjelaskan kenapa suatu gejala alam bisa terjadi dan berdampak pada gejala alam lainnya. Dengan kata lain, fisika memungkinkan manusia memperoleh kebenaran ilmiah dari gejala-gejala alam, sehingga memudahkan dalam menggambarkan dan mengatur alam. Namun beberapa siswa masih kesulitan mengolah konsep-konsep tersebut. Hal ini tidak lain karena proses pembelajaran terkadang tidak berjalan dengan baik. Ditambah lagi kecenderungan beberapa siswa yang menganggap bahwa fisika adalah pelajaran yang sulit, mereka akan mulai kesulitan saat dihadapkan pada soal-soal yang berisi banyak notasi matematis. Padahal mempelajari fisika bukan hanya menyelesaikan soal-soal yang rumit namun juga pemahaman konsep yang tepat, sehingga dari pemahaman tersebut siswa dapat mengembangkan konsep dan mengaitkannya dengan konsep-konsep lain. Konsep fisika dapat diamati pada fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan maupun lingkungan sehari-hari. Beberapa fenomena dapat dengan jelas terlihat dan dirasakan oleh alat indera. Namun beberapa lagi terjadi secara cepat, sehingga tidak dapat tertangkap secara langsung karena keterbatasan 123 indera manusia,. Jika tidak menggunakan alat bantu dalam mempelajarinya, siswa akan kesulitan mengamati fenomena yang sedang dipelajari. Dengan demikian siswa hanya mengetahui fenomena tersebut dari penjelasan verbal guru. Padahal penjelasan verbal diterima dan diproses oleh siswa secara berbeda-beda. Bagi siswa yang sulit berimajinasi, dia hanya akan terbiasa menghafal konsep fisika tanpa tahu gambaran prosesnya secara nyata. Siswa yang mampu berimajinasi tidak berarti menjadi lebih paham, karena penjelasan tersebut akan divisualisasikan secara berbeda-beda oleh tiap siswa sesuai tingkat imajinasinya masing-masing. Dengan begitu, siswa tidak dapat menguasai konsep secara tepat. Konsep yang tidak tepat itu kemudian akan mengakibatkan miskonsepsi. Dari ketidaktepatan konsep, siswa akan lebih kesulitan lagi meyelesaikan persoalan-persoalan fisika baik secara teori ataupun matematis. Jika dibiarkan terus menerus akan berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa. Diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat menggambarkan konsep fisika secara nyata. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan adalah video. Video merupakan media audio-visual yang dapat mengungkapkan objek dan peristiwa seperti keadaan sesungguhnya. Dengan menggunakan video, siswa mampu memahami pesan pembelajaran secara lebih bermakna sehingga informasi yang disampaikan melalui video tersebut dapat dipahami secara utuh. Video jarang digunakan dalam pembelajaran fisika, keberadaannya mulai tergeser dengan multimedia lain yang berisi animasi ataupun simulasi. Padahal penggunaan video dapat memudahkan guru menyampaikan materi secara sederhana karena memberi gambaran nyata yang biasa terjadi di kehidupan ataupun lingkungan sehari-hari. Tampilan video juga dapat menjadi daya tarik sehingga mampu mempertahankan perhatian siswa selama video tersebut diputar. Dengan melihat karakteristik media tersebut, salah satu konsep yang sesuai untuk disampaikan menggunakan video adalah elastisitas. Elastisitas merupakan salah satu konsep fisika yang diajarkan di jenjang SMA kelas XI. Materi elastisitas sangat berkaitan erat dengan kehidupan sehari -hari, terlihat dari subkonsep elastisitas yaitu susunan pegas seri paralel yang aplikasinya digunakan dalam shockbreaker, spring bed, dan lain-lain. Beberapa subkonsep lagi berisi banyak notasi matematis yang berasal dari fenomena pegas. Namun beberapa fenomena sulit diamati karena pergerakan pegas berlangsung sangat cepat. Karakteristik dari konsep elastisitas tersebut dapat dijelaskan oleh video. Video dapat memperlambat tampilan gerakan objek dan menampilkan suatu peristiwa seperti keadaan sesungguhnya, contohnya peristiwa gerak harmonis sederhana pada pegas, saat gaya pemulih bekerja pada pegas dan mendorong benda ke posisi kesetimbangan. Peristiwa kembalinya pegas pada keadaan setimbang seringkali sulit diamati. Namun dengan bantuan video, dapat tervisual isasikan besaran- besaran simpangan, amplitudo, satu gelombang, dan lain -lain yang terkait ketika pegas itu digetarkan, sehingga proses penyerapan materi elastisitas dapat berlangsung secara maksimal. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh media audio-visual video, dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media audio-visual video terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Menurut Munadi 2010, media audio-visual merupakan peralatan suara dan gambar dalam satu unit, seperti film bersuara, televisi, dan video. Namun, ada pengelompokan lain dari media audio-visual yaitu peralatan visual seperti slide dan OHP yang diberi unsur suara dari rekaman kaset yang dimanfaatkan secara bersamaan dalam satu waktu atau satu proses pembelajaran. Video merupakan salah satu jenis media-audio visual yang merupakan serangkaian gambar gerak yang disertai suara yang membentuk satu kesatuan yang dirangkai menjadi sebuah alur, dengan pesan-pesan di dalamnya untuk ketercapaian tujuan pembelajaran yang disimpan dengan proses penyimpanan pada media pita atau disk.Video memiliki banyak kelebihan yang dapat mengatasi keterbatasan dalam pembelajaran diantaranya, menampilkan suatu objek atau peristiwa seperti keadaan sesungguhnya. Sudjana 2009 menyatakan bahwa hasil belajar siswa adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Pada hakikatnya kemampuan-kemampuan tersebut berupa perubahan tingkah laku yang berdasarkan klasifikasi Bloom mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kemampuan-kemampuan yang berupa perubahan tingkah laku yang ditunjukkan oleh siswa, 124 diukur oleh guru berdasarkan klasifikasi tertentu. Perubahan tingkah laku ini berupa peningkatan atau pengembangan yang lebih baik dari sebelumnya dan dapat dijadikan tolak ukur oleh guru maupun siswa untuk pembelajaran selanjutnya. Pada penelitian ini, peneliti hanya akan mengukur hasil belajar pada ranah kognitif C1-C4. Dengan menggunakan video, memvisualisasi konsep-konsep fisika yang terjadi terlalu cepat diharapkan dapat tervisualisasi sehingga siswa dapat memahami konsep tersebut dengan baik dan hasil belajarnya meningkat. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen semu quasi experiment. Desain yang digunakan yaitu Nonequivalent Control Group Design.Pengambilan kelompok tidak dilakukan secara acak, namun dipilih dengan pertimbangan tertentu agar memiliki homogenitas yang relatif sama. Kemudian diberikan pretest untuk mengetahui keadaan awal kemampuan siswa pada konsep elastisitas. Setelah didapatkan hasil pretest-nya barulah masing-masing kelas diberikan perlakuan berbeda. Kelas kontrol diberikan perlakuan pembelajaran konvensional, sedangkan kelas eksperimen diberikan perlakuan menggunakan media audio-visual video. Setelah itu dilanjutkan dengan memberikan posttest untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa pada konsep elastisitas setelah diberikan perlakuan. Desain penelitiannya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Desain Penelitian Kelompok Pretest Perlakuan Posttest A Y X Y B Y X Y Keterangan: A= Kelas eksperimen B = Kelas kontrol X = Perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen berupapenggunaan media audio-visual video X = Perlakuan yang dilakukan pada kelompok kontrol berupa pembelajarankonvensional, Y = Pretest Y = Posttest. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 87 Jakarta dengan populasi sasarannya adalah seluruh siswa kelas XI di sekolah tersebut. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purpossive sampling. Data diambil dari hasil pretest dan posttest menggunakan soal pilihan ganda dan data penunjang diambil dari angket respon siswa. Data hasil tes kemudian dianalisis dengan menggunakan uji prasyarat analisis dan uji hipotesis dengan menggunakan uji t. sedangkan respon angket siswa dianalisis secara kuantitatif dan hasilnya dikonversi ke dalam bentuk kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Belajar Siswa Berdasarkan data hasil pretest siswa, diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 22,96 dan nilai rata-rata kelas kontrol 23,55. Meskipun demikian, hasil uji homogenitas dari rata-rata hasil pretest menunjukkan bahwa kedua kelas homogen, artinya tidak ada perbedaan hasil belajar yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen mengenai konsep elastisitas sebelum diberikan perlakuan. Setelah masing-masing kelas diberikan perlakuan yang berbeda, diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 65,82 dan nilai rata-rata kelas kontrol 57,68. Hasil analisis data menunjukkan nilai t hi ng = ,4 dan nilai t el = ,99, artinya nilai t hi ng lebih besar dibanding nilai t el . Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh media audio-visual video terhadap hasil belajar siswa pada konsep elastisitas. Hasil ini pun didukung oleh selisih nilai rata- rata posttest dengan pretest antara kedua kelas, kelas eksperimen yang menggunakan media audio-visual video lebih unggul sebesar 8,73 dibanding kelas kontrol yang hanya menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil belajar siswa pada ranah kognitif dapat dilihat pada diagram berikut: 125 Gambar 1. Diagram Hasil Belajar Siswa Pretest dan Posttest Kedua Kelas pada Ranah Kognitif Berdasarkan diagram di atas, terlihat bahwa hasil belajar akhir posttest kedua kelas mengalami peningkatan dari hasil pretest. Pada saat pretest, kemampuan kelas kontrol dalam mengingat C 1 13, memahami C 2 23, menerapkan C 3 27, dan menganalisis C 4 26. Sementara kemampuan kelas eksperimen pada saat pretest dalam mengingat C 1 21, memahami C 2 28, menerapkan C 3 23, dan menganalisis C 4 21. Pada saat posttest kemampuan kelas kontrol dalam mengingat C 1 53, memahami C 2 58, menerapkan C 3 58, dan menganalisis C 4 61. Sementara kemampuan kelas eksperimen dalam mengingat C 1 53, memahami C 2 67, menerapkan C 3 67, dan menganalisis C 4 67. Diagram di atas juga menunjukkan bahwa setelah diberikan perlakuan yang berbeda terhadap kedua kelas, hasil belajar siswa posttest kelas eksperimen lebih unggul pada kemampuan berpikir C 2 , C 3 , C 4 , sedangkan pada kemampuan berpikir C 1 , kedua kelas memiliki kemampuan yang sama. Jika ditinjau dari segi peningkatan, hasil peningkatan dari masing-masing ranah kognitif dapat dilihat pada Gambar 2 berikut: Gambar 2. Diagram Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kedua Kelas pada Ranah Kognitif Hasil peningkatan ini didapatkan dari selisih hasil pretest dan posttest masing-masing kelas. Kelas kontrol unggul dalam meningkatkan kemampuan berpikir C 1 meningkat 40. Sementara kelas eksperimen lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan berpikir C 2 meningkat 39, C 3 meningkat 44, C 4 meningkat 46. Respon Siswa terhadap Penggunaan Media Audio-Visual Video Hasil data angket yang telah diperoleh selanjutnya dihitung secara kuantitatif, menghasilkan data berupa persentase kemudian dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 2 berikut: 10 20 30 40 50 60 70 C1 C2 C3 C4 13 23 27 26 53 58 58 61 21 28 23 21 53 67 67 67 Pe rsent a se Ranah Kognitif Pretest Kontrol Posttest Kontrol Pretest Eksperimen 10 20 30 40 50 C1 C2 C3 C4 40 35 31 35 32 39 44 46 Pe rsent a se Ranah Kognitif Kontrol Eksperimen 126 Tabel 2. Hasil Angket Penggunaan Media Audio-Visual Video Indikator Angket Kelas Eksperimen Persentase Kesimpulan Perpaduan antara suara dan tampilan 79 Baik Tampilan warna dan desain secara keseluruhan 81 Baik Sekali Kemudahan isi pesan untuk dipahami 81 Baik Sekali Kesesuaian isi video dengan materi pelajaran 75 Baik Kesesuaian media dengan pengguna siswa 80 Baik Rata-Rata 79 Baik Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa secara keseluruhan penggunaan media audio-visual video dalam pembelajaran fisika konsep elastisitas mendapatkan respon yang baik dari para siswa. Artinya, penggunaan media audio-visual video menarik bagi para siswa dan mampu membantu siswa dalam memahami materi. Namun pada indikator keempat, didapat persentase sebesar 75. Hal itu mengindikasikan bahwa sebagian kecil siswa menganggap isi video tidak sesuai dengan materi pelajaran. Meskipun begitu, indikator tersebut tetap berada dalam kategori baik. Pembahasan Dalam penelitian ini, kelas eksperimen unggul dalam meningkatkan kemampuan memahami C2 sebesar 39, menerapkan C3 sebesar 44, menganalisis C4 sebesar 46. Pembelajaran dengan menggunakan media audio-visual video memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional diantaranya, dengan melihat program video bersama-sama, sekelompok siswa yang berbeda- beda bisa membangun kesamaan pengalaman untuk membahas sebuah isu secara efektif, dengan kata lain setiap siswa memiliki pemahaman yang seragam terhadap suatu materi, dalam hal ini pada konsep elastisitas. Hal tersebut menyebabkan kelas eksperimen yang menggunakan media ini memiliki peningkatan kemampuan dalam memahami C 2 yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional yang menekankan pada penyampaian materi secara verbal. Hal ini didukung oleh angket siswa, yaitu sebesar 81 siswa memberi respon yang baik sekali mengenai kemudahan isi pesan untuk dipahami. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryoko 2009, ia menyatakan bahwa media audio-visual video dapat memperlancar pemahaman sehingga para siswa dapat mengoptimalkan kemampuan dan potensinya. Media audio-visual video juga menyajikan materi secara bertahap, dimana gerakan ditampilkan secara berurutan Smaldino, 2011. Dengan begitu, siswa mendapatkan gambaran yang nyata terhadap konsep elastisitas dan mampu menerapkan kembali materi yang telah dipelajarinya, sehingga kemampuan menerapkan C 3 siswa di kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan dalam pembelajaran konvensional dimana siswa hanya dapat membayangkan apa yang disampaikan oleh guru. Hal ini didukung oleh hasil angket siswa yang menolak pernyataan “cuplikan video tidak dapat menggambarkan konsep elastisitas secara nyata”. Artinya, 75 siswa beranggapan bahwa cuplikan video dapat menggambarkan materi secara nyata. Hasil validasi ahli materi pun pada indikator kesesuaian cuplikan video dalam menggambarkan aplikasi dari konsep elastisitas mendapat skor 4 kategori baik, keterwakilan penjelasan konsep oleh cuplikan video dalam media mendapat skor 5 kategori sangat baik. Penampilan video yang dapat diulang sesuai dengan keinginan, membuat para siswa termotivasi untuk mengamati dan menganalisis fenomena dalam kehidupan sehari-hari Smaldino, 2011. Walaupun diulang, siswa tidak mengalami kejenuhan, sebaliknya, siswa dapat lebih paham dengan pengulangan tampilan video dalam cuplikan tertentu. Hal ini didukung oleh angket siswa yang menunjukkan 81 siswa beranggapan bahwa tampilan media menarik sehingga tidak membosankan. Ditambah lagi, cuplikan video berisi beberapa 127 fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya gambaran terhadap fenomena tersebut dan disajikan dengan tampilan menarik, siswa akan lebih termotivasi karena konsep yang sedang ia pelajari itu ada di sekitarnya, sehingga siswa mampu menganalisis konsep tersebut. Hal itu yang menyebabkan hasil belajar siswa pada ranah kognitif dalam tingkatan menganalisis C 4 yang menggunakan media audio-visual video lebih unggul dibanding kelas kontrol yang hanya didominasi oleh ceramah. Namun pada kemampuan mengingat C 1 , hasil belajar siswa yang menggunakan media audio-visual video lebih rendah meningkat sebesar 32 dibandingkan dengan kelas kontrol yang diberikan perlakuan pembelajaran konvensional meningkat sebesar 40. Pembelajaran konvensional cenderung berorientasi pada target penguasaan materi dengan cara menghapal karena pembelajaran didominasi oleh ceramah. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Haryoko dalam penelitiannya. Dari sisi penguasaan materi, menghapal terbukti berhasil dalam meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam jangka panjang dan juga proses pembelajaran membutuhkan waktu yang relatif lama Haryoko, 2009. Penyajian materi melalui ceramah pun hanya akan mempermudah siswa yang memiliki tipe belajar auditif, karena mereka terbiasa memahami materi pembelajaran dengan mengandalkan pendengaran. Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang didominasi oleh ceramah, keberhasilan media audio- visual video salah satunya disebabkan karena siswa menyerap materi lebih banyak saat menyaksikan video. Hal ini juga dikemukakan oleh Porter 2010, penggagas Quantum Learning, bahwa manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70 dari apa yang dilakukan, 50 dari apa yang didengar dan dilihat audio-visual, 30 dari yang dilihat, 20 dari yang didengar, dan hanya 10 dari apa yang dibaca. Hasil pengamatan dalam proses pembelajaran menunjukkan bahwa beberapa siswa memiliki tipe belajar auditif, dan sebagian lagi memiliki tipe visual. Dengan begitu pembelajaran menggunakan media audio-visual video dapat menyentuh gaya belajar setiap siswa. Siswa yang terbiasa mengandalkan pendengaran dalam pembelajaran tipe auditif akan terbantu dengan adanya narasi dan backsound di dalam video. Sedangkan siswa yang mengandalkan penglihatan tipe visual akan terbantu dengan gambaran yang ditampilkan oleh video. Terbukti respon siswa terhadap perpaduan antara suara dan tampilan video berada dalam kategori baik 79 serta tampilan warna dan desain secara keseluruhan berada dalam kategori baik sekali 81. Hasil validasi ahli media pada indikator keterlibatan beberapa indera mendapatkan skor 4 kategori baik. Berdasarkan penjelasan di atas, pembelajaran menggunakan media audio-visual video memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Oleh sebab itu dapat diambil kesimpulan bahwa media audio-visual video berpengaruh positif dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep elastisitas. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh media audio-visual video terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Pengaruh tersebut terlihat dari: 1. Pembelajaran menggunakan media audio-visual video terbukti lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan memahami C 2 , menerapkan C 3 , dan menganalisis C 4 . Sedangkan pembelajaran di kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan mengingat C 1 . 2. Respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan media audio-visual video berada pada kategori baik. SARAN Pada penelitian ini terdapat dua kelemahan. Pertama, tampilan video kurang membangun interaktivitas siswa dalam pembelajaran, solusi untuk kelemahan ini adalah dibutuhkan desain dan skenario yang matang untuk membuat video yang dapat berinteraksi dengan siswa serta membuat siswa tidak sadar sedang belajar dan mampu bertahan dalam menonton video yang ditampilkan. Kedua, kurang mendalamnya materi yang disajikan, sehingga saran yang dapat diajukan untuk penelitian ke depan, yaitu menambahkan materi ke dalam video secara efektif sehingga durasinya tidak menjadi terlalu lama. 128 DAFTAR PUSTAKA A Sahertian P. 2008.Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Afifah N, dkk. 2013. Penerapan Pendekatan Kontekstual Menggunakan Media Video untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Kelas XI RPL 1 SMKN 8 Semarang. Seminar Nasional 2 nd Lontar Physics Forum. Ariani N, Haryanto D. 2010.Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Arikunto S. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IX. ------------------------. 2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. XII. Arsyad A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XV. Daryanto. 2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. V. Dimyati. Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III. E. Barron A, et al. 2002.Technologies for Education. United States: Libraries Unlimited, Fourth Edition. E Smaldino S, et a.l. 2011.Instructional Technology and Media for Learning. Jakarta: Kencana Prenada Group, Cet. I. Fansuri H. 2013. Penerapan Video Pembelajaran untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas X Teknik Fabrikasi Logam pada Mata Pelajaran Teori Las Oxy-Acetylene di SMK Negeri 1 Seyegan. Jurnal Skripsi UNY. Fechera B, dkk. 2012.Desain dan Implementasi Media Video Prinsip-Prinsip Alat Ukur Listrik dan Elektronika. Portal Jurnal UPI. 8. George M, Nalliveettil, Odeh H, Ali. 2013.A Study on the Usefulness of Audio-Visual Aids in EFL Classroom: Implication for Effective Instruction. Sciedu Press. 2. Hamalik O. 2008.Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara, Cet. VIII. Haryoko S. 2009. Efektivitas Pemanfaatan Media Audio-Visual sebagai Alternatif Optimalisasi Model Pembelajaran. Jurnal Edukasi Elektro. 5. Ikrayenti Y, dkk. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbentuk Video Tutorial Berbahasa Inggris pada Pembelajaran Fisika SMA. Pillar of Physics Education. 1. Kanginan M. 2002. Fisika 2A untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga. M Soelarko, R. 1980. Audio Visual: Media Komunikasi Ilmiah Pendidikan Penerangan. Bandung: Binacipta, Cet. I. Munadi Y. 2010.Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. 3. Munir. 2012. Multimedia: Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Quarcoo NR., et al. 2012.Impact of Audio- Visual Aids on Senior High School Student’s Achievement in Physics. Eurasian Journal of Physics and Chemistry Education. Rusman, dkk. 2012.Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Rawajali Press, Cet. II. S Sadiman A, dkk. 2011.Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. XV. Sudijono A.2008.Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sudijono A.2009. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudjana N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. XIV. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito, Cet. I. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 129 Trianto. 2010.Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Kencana, Cet. I. Usman H, Setiady A, Purnomo.1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. WA Lorin, R Krathwohl, David. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: a revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Zhang D, et al.2006.Instructional Video in E-Learning: Assessing the Impact of Interactive Video on Learning Effectiveness. Elsevier. 130 PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA LKS UNTUK MENGOPTIMALKAN PRAKTIKUM VIRTUAL LABORATORY MATERI INDUKSI ELEKTROMAGNETIK Novitasari Pendidikan Fisika, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia Email: p1p1n0v1t4s4r1gmail.com Agus Suyatna dan I Dewa Putu Nyeneng Dosen Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lampung Abstrak Perubahan medan magnetik dijadikan objek yang ditinjau dalam Materi Induksi Elektromagnetik. Alat praktikum nyata sulit menvisualisasikan perubahan medan magnetik terjadi saat magnet bergerak terhadap kumparan. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan praktikum visrtual laboratory menjadi pilihan yang tepat untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Salah satu upaya guru agar siswa tidak hanya mencapai tujuan pembelajaran kognitif produk tetapi juga proses KPS siswa, guru membutuhkan LKS untuk mengoptimalkan praktikum virtual laboratory. Tujuan penelitian pengembangan ini untuk mengetahui bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi Induksi Elektromagnetik, mengetahui hasil belajar ranah kognitif produk dan KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan. Subjek penelitian dalam penelitian pengembangan ini adalah siswa kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung. Penelitian pengembangan ini memiliki tujuh tahapan pengembangan yang terdiri dari analisis kebutuhan, identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan, identifikasi spesifikasi produk, pengembangan produk, uji internal uji materi, uji desain, uji kesesuaian RPP dengan LKS yang dikembangkan dan alat praktikum virtual laboratory, uji kualitas LKS, dan uji satu lawan satu, uji eksternal uji kelompok kecil, uji kemenarikan dan kemudahan LKS, dan produksi. Berdasarkan penelitian pengembangan ini, dapat disimpulkan bahwa bentuk LKS yang dikembangkan dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi Induksi Elektromagnetik. Hasil belajar kognitif produk setelah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan telah dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS. Kata Kunci: LKS, praktikum virtual laboratory, Induksi Elektromagnetik, KPS, Hasil belajar PENDAHULUAN Pembelajaran fisika tidak hanya menekankan pada suatu penguasaan kumpulan pengetahuan, tetapi juga suatu proses penemuan. Hal ini mengakibatkan proses penguasaan kumpulan pengetahuan dalam kegiatan pembelajaran ditekankan pada pemberian pengalaman langsung. Oleh karena itu, pembelajarannya dilaksanakan dengan menggunakan model inkuiri dan metode eksperimen. Model inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran berpusat pada siswa Student Center Learning. Model inkuiri cocok digunakan dalam kegiatan pembelajaran karena pembelajarannya menekankan pada proses penemuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Suyanto 2006:11 yang menyatakan bahwa esensi dari model pembelajaran inkuiri untuk melibatkan siswa dalam masalah yang sesungguhnya dengan cara memberikan tantangan kepada suatu area lingkup penyelidikan, membantu mereka untuk mengidentifikasi suatu masalah secara konseptual atau bersifat metodologis, dan merekayasa mereka untuk merancang cara pemecahan masalah tersebut. Pernyataan tersebut secara impilit mengungkapkan bahwa materi pelajaran tidak diberikan secara langsung dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model tersebut. Melainkan siswa dituntut untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan pembimbing. Model inkuiri terbagi menjadi berbagai jenis inkuiri. Tentunya, pemilihan jenis inkuiri yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran bergantung pada kondisi siswa yang ada di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara tak langsung dengan guru yang mengajar di kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung, guru belum pernah menggunakan model pembelajaran inkuiri. Model inkuiri yang belum pernah digunakan dalam proses 131 pembelajaran di kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung mengakibatkan siswa belum berpengalaman belajar dengan model inkuiri sehingga guru perlu menyediakan bimbingan dan petunjuk dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, model yang cocok digunakan dalam penelitian pengembangan yang dilaksanakan di IX SMPN 1 Bandar Lampung adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing guided inquiry. Keunikan dari model pembelajaran tipe inkuiri terbimbing dibandingkan dengan tipe lainnya menurut Trowbridge dalam Sahrul 2009:1 adalah guru dapat memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran. Selain itu, Inkuiri terbimbing biasanya digunakan terutama bagi siswa-siswa yang belum berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Oleh karena itu, pembelajaran di SMPN 1 Bandar Lampung yang belum terbiasa dengan penggunaan model inkuiri membuat jenis inkuiri terbimbing menjadi pilihan. Metode yang sesuai dengan model inkuiri terbimbing dan tepat digunakan dalam pembelajaran fisika adalah metode eksperimen. Hal ini dikarenakan cara penyajian pembelajarannya bersifat pemberian pengalaman langsung. Djamarah Zain 2010:84 mengungkapkan bahwa cara penyajian pembelajaran dalam metode eksperimen berkarakteristik siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Selain itu, sejumlah kegiatan mengekspesikan pengalaman langsung didalam metode eksperimen di mana siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen sendiri berdasarkan langkah-langkah yang telah ditentukan, yaitu mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan, dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu obyek, keadaan atau proses sesuatu. Pemilihan dan penyelenggaraan metode pembelajaran tidak hanya memperhatikan karakteristik siswa dan jenis pelajaran yang dibelajarkan, namun materi pembelajaran yang dibelajarkan perlu diperhatikan. Garis medan magnetik yang merupakan objek yang akan ditinjau dalam Materi Induksi Elektromagnetik membuat guru dituntut dapat menyelenggarakan praktikum di mana garis medan magnetik seolah-olah dapat diamati. Alat praktikum nyata belum tentu dapat memvisualisasikan garis medan magnetik agar dapat terlihat sehingga praktikum dilakukan bersifat virtual yang diselenggarakan dalam laboratorium virtual atau virtual laboratory. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI 2008:851 dan 1801, laboratorium virtual adalah ruangan yang dilengkapi dengan peralatan khusus untuk melakukan percobaan maya. Peralatan tersebut software dan hardware yang mendukung percobaan maya. Software dapat berupa suatu multimedia interaktif dan hardware dapat berupa seperangkat komputer, LCD, dan sebagainya yang dapat mendukung dilakukannya percobaan maya. Berdasarkan hasil observasi secara langsung di SMP N 1 Bandar Lampung mengungkapkan bahwa SMPN 1 Bandar Lampung sudah memiliki LCD dan seperangkat komputer yang ada di dalam laboratorium multimedia. Hal ini menjadikan penyelenggaraan praktikum virtual laboratory dalam kegiatan pembelajaran adalah pilihan yang tepat. Selain karakteristik siswa, jenis pelajaran yang dibelajarkan, dan materi pembelajaran, Trianto 2011:137 juga mengungkapkan bahwa beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pelaksanaan praktikum adalah pengadaan alat dan bahan dan ketersediaan waktu. Dari segi alat dan bahan, jumlah alat dan bahan di dalam melakukan sebuah percobaan harus cukup untuk tiap siswa sehingga siswa dapat merasakan sendiri pengalaman dari kegiatan percobaan yang dilakukan. Selain itu, kondisi alat dan bahan yang akan digunakan harus baik dan bersih sehingga sebelum melakukan praktikum atau percobaan diperlukan persiapan untuk mengecek masing-masing alat dan bahan. SMPN 1 Bandar Lampung yang sudah memiliki satu LCD di setiap kelas dan laboratorium, jumlah perangkat komputer yang sesuai dengan rombel siswa dalam laboratorium multimedia, dan setiap siswa juga telah memiliki laptop, menjadikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyeleggaraan pelaksanaan praktikum tidak perlu dikhawatirkan dan dapat dipastikan penyelenggaraan praktikum dalam berjalan dengan lancar dan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP. Banyak sekali jenis sajian multimedia yang dapat mendukung metode eksperimen. Salah satunya adalah format sajian multimedia. Tujuan format sajian ini adalah pengguna diharapkan dapat menjelaskan suatu konsep atau fenomena tertentu berdasarkan eksperimen yang dilakukan secara maya. Format sajian ini lebih ditujukan kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat eksperimen, seperti kegiatan praktikum dalam laboratorium fisika. Format sajian ini menyediakan serangkaian alat dan bahan yang kemudian dilanjutkan dengan 132 kegiatan eksperimen berdasarkan petunjuk yang telah disediakan Daryanto, 2010:54. Contoh sajian multimedia yang menampilkan cara eksperimen adalah berbagai eksperimen maya yang dikembangkan Universitas Colorado dalam bentuk program PhET. Siswa seolah-olah melakukan serangkaian kegiatan eksperimen mulai dari menyiapkan dan merangkai alat dan bahan sampai melakukan percobaan dalam sajian multimedia percobaan. Penyelenggaraan praktikum belum cukup dengan mengandalkan adanya media. Perlu adanya Lembar Kerja Siswa LKS yang dapat mengoptimalkan media tersebut sehingga siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Hal ini dikarenakan LKS memuat sekumpulan kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh siswa, membuat penilaian tidak hanya dilihat dari segi hasil belajar kognitif produk tetapi juga proses Keterampilan proses sains siswa Trianto, 2010:222. Selain itu, belum ada LKS yang dapat mendukung program PhET yang digunakan dalam kegiatan praktikum. Menindaklanjuti kondisi tersebut, Penulis mencoba memberikan alternatif dengan membuat LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory Materi Induksi Elektromagnetik. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian pengembangan dengan judul “Pengembangan Lembar Kerja Siswa LKS untuk Mengoptimalkan Praktikum Virtual Laboratory pada Materi Induksi Elektromagnetik.” Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi Induksi Eketromagnetik, hasil belajar kognitif produk dan KPS siswa yang menggunakan LKS yang telah dikembangkan. METODE Subjek penelitian dalam penelitian pengembangan ini adalah seluruh siswa kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung pada semester ganjil Tahun Pelajaran 20122013 yang terdiri dari 6 kelas dengan masing-masing kelas berjumlah 24 orang. Penelitian pengembangan dalam penelitian ini berpedoman pada prosedur pengembangan Suyanto dan Sartinem 2009:322. Prosedur pengembangan ini memiliki tujuh tahap pengembangan produk, yaitu: 1 analisis kebutuhan, 2 identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan, 3 identifikasi spesifikasi produk yang diinginkan pengguna, 4 pengembangan produk, 5 uji internal: uji kelayakan produk, 6 uji eksternal: uji kemanfaatan produk oleh pengguna, dan 7 produksi. Tahap analisis kebutuhan dilakukan dengan cara wawancara langsung terhadap salah satu orang guru Fisika SMPN 1 Bandar Lampung. Tahap identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dilakukan dengan cara observasi langsung di SMPN 1 Bandar Lampung. Tahap identifikasi spesifikasi produk diawali dengan melakukan analisis kurikulum, kemudian menyusun peta kebutuhan LKS, menentukan jumlah LKS, dan menentukan format LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory dengan memperhatikan hasil analisis kebutuhan dan hasil identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan. Hasil dari identifikasi sumber daya dijadikan sebagai panduan untuk tahap pengembangan produk. Tahap pengembangan produk dilakukan dengan cara merancang produk berdasarkan tahap sebelumnya yang disesuaikan dengan KPS yang dapat dimunculkan dalam LKS yang dikembangkan. Hasil dari pengembangan produk ini menjadi prototipe I. Tahap uji internal dilakukan dengan cara menguji prototipe I melalui uji materi, uji desain, uji kualitas LKS, uji kesesuaian RPP dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory, dan uji satu lawan satu. Kelima uji tersebut menghasilkan data kualitatif. Selanjutnya dilakukan revisi berdasarkan hasil yang telah diperoleh. Hasil revisi uji internal dijadikan sebagai prototipe II. Tahap uji eksternal dilakukan dengan cara menggunakan LKS dalam kondisi pembelajaran yang sebenarnya untuk melihat hasil belajar kognitif produk, KPS, keefektifan produk, kemenarikan, dan kemudahan menggunakan produk. Hasil prototipe II akan dikenakan uji eksternal yaitu uji kebermanfaatan produk oleh pengguna. Pada uji ini, produk diberikan kepada siswa untuk digunakan sebagai media belajar. Desain penelitian yang digunakan dalam uji kebermanfaatan produk oleh pengguna adalah desain one shot study case di mana sampel diberikan treatment yaitu penggunaan produk di dalam pembelajaran kemudian sampel diberi soal posttest dilihat dalam segi ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk. Gambar Desain one shot study case dapat dilihat pada gambar 1. Sebelum posttest dilakukan, instrumen soal posttest diuji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. Setelah valid dan reliabil, uji Keefektivan produk LKS dilihat dari segi 133 ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dilakukan di kelas IX.3 yang berjumlah 24 orang siswa. Tentunya penilaian tidak hanya dilakukan dengan memberikan soal posttest, namun penilaian KPS siswa juga dilakukan selama proses pembelajaran. Gambar 1. Desain One Shot Case Study Di mana X: Treatment, penggunaan produk O: Hasil belajar siswa, posttest Selain uji coba kemanfaatan produk oleh pengguna dari segi keefektivan produk dilihat dalam segi ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa, uji coba kemanfaatan produk oleh pengguna juga dilihat dalam segi kemenarikan dan kemudahan menggunakan produk. Kemudian dilakukan revisi berdasarkan hasil dari uji eksternal dan dijadikan sebagai prototipe III. Prototipe III merupakan produk yang diproduksi dalam penelitian pengembangan ini. Secara keseluruhan, data, jenis data, sumber data, dan jenis instrumen penilaian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data, Jenis Data, Sumber Data, dan Jenis Instrumen Penilaian No Data Jenis data Sumber Data Jenis Instrumen Penilaian 1. Uji desain Data Kualitatif Satu orang dosen yang ahli desain Lembar angket 2. Uji materi Data Kualitatif Satu orang dosen yang ahli materi Lembar angket 3. Uji kesesuaian RPP dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory Data Kualitatif Dua orang dosen yang ahli dalam bidang sains Lembar angket 4. Uji Kualitas LKS Data Kualitatif Dua orang guru fisika SMPN 1 Bandar Lampung Lembar angket 5. Uji kemanarikan dan kemudahan Data Kuantitatif siswa-siswa kelas IX.3 Lembar angket 6. Uji keefektivan dalam segi ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk Data Kuantitatif siswa-siswa kelas IX.3 Tes Hasil Belajar 7. Uji keefektivan dalam segi KPS Siswa Data Kuantitatif siswa-siswa kelas IX.3 Lembar Observasi Teknik analisis data penilaian untuk uji materi, uji desain, uji kualitas LKS, dan uji kesesuaian RPP dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory memiliki 2 pilihan jawaban sesuai konten pertanyaan, yaitu: “Ya” dan “Tidak”. Revisi dilakukan pada konten pertanyaan yang diberi pilihan jawaban “Tidak”, atau para ahli memberikan masukan khusus terhadap LKS yang sudah dibuat. Sedangkan teknik analisis instrumen penilaian uji kemudahan dan uji kemenarikan LKS memiliki 4 pilihan jawaban sesuai konten pertanyaan, misalnya: “sangat menarik”, “menarik”, “kurang menarik” dan “tidak menarik” atau “sangat mudah”, “mudah”, “sulit” dan “sangat sulit”. Skor penilaian dari tiap pilihan jawaban ini dapat dilihat dalam Tabel 2. Data kemenarikan dan kemudahan LKS sebagai sumber belajar diperoleh dari siswa sebagai pengguna. Angket respon terhadap penggunaan produk. X O 134 Tabel 2. Skor Penilaian terhadap Pilihan Jawaban Pilihan Jawaban Pilihan Jawaban Skor Sangat menarik Sangat mudah 4 Menarik Mudah 3 Kurang menarik Sulit 2 Tidak menarik Sangat sulit 1 Rumus yang digunakan untuk menentukan kemenarikan dan kemudahan LKS yang dikembangkan adalah sebagai berikut: 1 dengan 2 Keterangan: = rata-rata akhir = nilai uji operasional angket tiap siswa banyaknya siswa yang mengisi angket Hasil penilaian uji ahli desain dan isi diinterpretasikan ke dalam kriteria pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria Penilaian untuk Uji Kemenarikan dan Kemudahan dalam Tahap Eksternal Skor Kualitas Pernyataan kualitas aspek kemenarikan Pernyataan kualitas aspek kemudahan 3,26-4,00 Sangat menarik Sangat mudah 2,51-3,25 Menarik Mudah 1,76-2,50 Kurang menarik Sulit 1,01-1,75 Tidak menarik Sangat sulit Sumber: Suyanto Sartinem 2009:227 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis kebutuhan dalam penelitian pengembangan ini adalah dibutuhkannya LKS dalam kegiatan pembelajaran yang mengacu pada model inkuiri terbimbing dan metode eksperimen dengan memberdayakan sumber, media, dan fasilitas belajar yang disediakan sekolah agar pembelajaran berpusat pada siswa, memudahkan guru untuk memonitor kegiatan, mengembangkan keterampilan proses siswa, dan mengarahkan siswa dalam menemukan konsep. Hasil identifikasi sumber daya berdasarkan kebutuhan adalah dibutuhkannya perangkat komputer atau laptop untuk melaksanakan praktikum virtual laboratory dan sumber belajar yang dapat mendukung LKS. Berdasarkan hasil identifikasi sumber daya, SMPN N 1 Bandar lampung memiliki potensi yang besar dalam pelaksanaan praktikum virtual laboratory. Hal ini dikarenakan sekolah telah memiliki la-boratorium komputer yang lengkap, jaringan hotspot, setiap siswa memiliki laptop, ruang kelas yang telah dilengkapi perlengkapan multimedia, dan setiap siswa telah memiliki sumber belajar pendukung LKS. Hasil identifikasi spesifikasi produk yang diinginkan pengguna adalah Materi yang menjadi pokok bahasan dalam LKS yang dikembangkan adalah Materi Induksi Elektromagnetik, LKS yang dikembangkan berjumlah empat LKS dengan judul-judul LKS meliputi: GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi, generator dan transformator, LKS yang dikembangkan mengacu pada model inkuiri terbimbing dengan metode eksperimen, dan penugasan disetiap kegiatan dalam LKS yang dikembangkan dapat memunculkan KPS siswa. Hasil pengembangan produk mengacu pada hasil identifikasi spesifikasi produk yang diinginkan pengguna. Hasil pengembangan produk dijadikan prototipe I. Hasil Uji internal dalam penelitian pengembangan ini adalah tidak adanya revisi LKS dari segi materi dan adanya revisi LKS dari segi desain, kualitas LKS, keterbacaan produk, dan kesesuaian RPP dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory. Hasil revisi LKS dijadikan sebagai prototipe II. 135 Hasil uji eksternal dalam penelitian pengembangan ini berupa bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory, data hasil belajar kognitif produk dan KPS siswa setelah menggunakan produk, data keefektifan LKS dilihat dari segi pencapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa, data kemenarikan dan kemudahan menggunakan produk. Tabel 4. Rangkuman Hasil Belajar Kognitif Produk No. Jenis LKS Nomor Soal Nilai Rata- rata siswa Jumlah Siswa yang lulus KKM 80 Persentase siswa yang lulus KKM Ketuntasan tujuan pembelajaran 1. LKS GGL induksi 1, 2, 7 79 2 8,3 Tujuan pembelajaran belum tuntas 2. LKS Faktor-faktor GGL Induksi 3 86 16 67 Tujuan pembelajaran belum tuntas

3. LKS Generator

4 47 5 21 Tujuan pembelajaran belum tuntas

4. LKS Transformator

5, 6 54 1 4,1 Tujuan pembelajaran belum tuntas Hasil hasil belajar kognitif produk siswa dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran setelah menggunakan LKS GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi, generator, dan transformator ≤ 75 siswa. Oleh karena itu, hasil belajar kognitif produk siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. Hasil belajar KPS siswa dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran setelah menggunakan LKS GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi, generator, dan transformator ≥ 75 siswa. Oleh karena itu, hasil belajar KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan sudah dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS siswa. Tabel 5. Rangkuman Hasil Belajar KPS Siswa No. Jenis LKS Persentase ketercapaian tujuan pembelajaran KPS Ketuntasan tujuan pembelajaran KPS 1. LKS GGL Induksi 83 Tujuan Pembelajaran KPS tuntas

2. LKS Faktor-faktor GGL

Induksi 88 Tujuan Pembelajaran KPS tuntas

3. LKS generator dan LKS

transformator 75 Tujuan Pembelajaran KPS tuntas Hasil keefektifan LKS dilihat dari segi pencapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa dapat dilihat dari Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, LKS tidak efektif dilihat dari pencapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa. Tabel 6. Rangkuman Hasil Uji Keefektifan Produk dari Segi Ketercapaian Tujuan Pembelajaran KPS Siswa dan Kognitif Produk No. Jenis LKS Persentase ketercapaian tujuan pembelajaran KPS dan kognitif produk Hasil kualitas Keefektifan LKS dalam segi KPS dan kognitif produk

1. LKS GGL Induksi

33 LKS belum efektif 2. LKS Faktor-faktor GGL Induksi 58 LKS belum efektif 3. LKS generator dan LKS transformator 4,1 LKS belum efektif Hasil uji kemudahan dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, didapatkan kesimpulan bahwa seluruh LKS yang dikembangkan memiliki nilai kuantitas kemudahan 3,26 dengan kategori sangat mudah. 136 Tabel 7. Rangkuman Hasil Uji Kemudahan Menggunakan LKS No. Aspek Kriteria Nilai Kuantitas Kemudahan LKS Nilai Kualitas Kemudahan LKS 1. Isi Petunjuk dalam LKS 3,08 Mudah Kejelasan Isi 3,38 Sangat Mudah 2. Kebahasaan Kejelasan Penggunaan Bahasa 3,33 Sangat Mudah Hasil uji kemenarikan dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, secara garis besar LKS yang dikembangkan memiliki nilai kuantitas 3,24 dengan kategori menarik. Tabel 8. Rangkuman Hasil Uji Kemenarikan Menggunakan LKS No. Aspek Kriteria Nilai Kuantitas Kemenarikan LKS Nilai Kualitas Kemenarikan LKS 1. Tampilan Desain Cover 3,33 Sangat Menarik Kemenarikan Tulisan Jenis Font dan Ukuran 3,29 Sangat Menarik Pemilihan Ilustrasi Gambar 3,17 Menarik Desain Lay Out 3,38 Sangat Menarik Penggunaan Warna 3,46 Sangat Menarik 2. Isi Kesesuaian permasalahan dengan materi 3,04 Menarik Petunjuk dalam LKS 3,08 Menarik Alur PenyajianFormat Keseluruhan Media 3,21 Menarik Berdasarkan ketujuh hasil penelitian pengembangan ini, didapat bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory, meliputi: 1 Judul berupa judul materi yang akan dipraktikumkan, 2 Pengantar berupa gambar yang didukung dengan wacana yang berisi apersepsi untuk membuat siswa tertarik melaksanakan kegiatan selanjutnya di dalam LKS, 3 Tujuan percobaan berupa pe- maparan tujuan dari percobaan yang akan dipraktikumkan sehingga siswa mengetahui tujuan dari percobaan yang akan dipraktikumkan, 4 Bekal awal berupa penugasan yang menuntun siswa untuk memiliki kemampuan-kemampuan awal sebelum melakukan kegiatan praktikum. Bentuk penugasan berupa tugas membaca yang kemudian diberi tagihan berupa beberapa pertanyaan yang jawabannya didapatkan dari bacaan dan dan tugas mengenai penggunaan alat sebelum melakukan kegiatan praktikum agar siswa mengenal dan mengetahui cara-cara penggunaan alat dari percobaan yang akan dipraktikumkan, 5 Kegiatan I: Penyajian Masalah berupa penyajian serangkaian pertanyaan berbasis masalah dan siswa memprediksi jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan disajikan secara terarah yang akhirnya akan membuat siswa dapat merumuskan dugaan sementara dari prediksi jawaban pertanyaan. Selain itu, kegiatan memprediksi juga bertujuan agar siswa dapat mengajukan pemikiran tentang sesuatu yang belum terjadi berdasarkan kecenderungan sehingga siswa memunculkan keterampilan memprediksi, 6 Kegiatan II: Merumuskan dugaan sementara berupa penyajian pertanyaan mengenai hubungan antara dua variabel dan penjelasan dari hubungan tersebut. Jawaban siswa dalam kegiatan ini ada dua macam, yaitu jawaban siswa berdasarkan kegiatan memprediksi dan jawaban siswa berdasarkan kegiatan kajian teoritis. Siswa diharapkan dapat menyatakan hubungan dua variabel atau memperkirakan penyebab sesuatu terjadi dan mengajukan penjelasan yang konsisten beserta bukti-bukti sehingga memunculkan keterampilan berhipotesis, 7 Kegiatan III: Merancang Percobaan berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing menentukan alat dan bahan, variabel-variabel yang diamati, dan langkah percobaan. Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan menuntun siswa dalam melakukan percobaan. Perangkat komputer atau laptop boleh digunakan dalam kegiatan ini. Siswa diharapkan dapat menentukan alat dan bahan, menentukan