Berdasarkan tabel
diatas, dapat
diketahui bahwa
keharmonisan pernikahan paling banyak berada pada kategori sangat tinggi sebanyak 21 pasangan 36.84, selanjutnya terdapat
pada kategori tinggi sebanyak 20 pasangan 35.08, berada pada kategori sedang sebanyak 13 pasangan 23, dan kategori rendah
sebanyak 3 pasangan 5.26.
D. HASIL TAMBAHAN PENELITIAN
Hasil analisis korelasi aspek-aspek keharmonisan pernikahan dengan kecemasan menghadapi masa pensiun terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 10. Hasil Analisis Korelasi antara Aspek-aspek Keharmonisan Pernikahan dengan Kecemasan
No. Aspek-aspek Keharmonisan
Pernikahan Kecemasan
Pearson Correlation
Sig. 2-tailed
1. Resolusi konflik
-.601 .000
2. Komunikasi
-.643 .000
3. Pembagian peran yang
seimbang -.532
.000 4.
Kecocokan kepribadian -.458
.000 5.
Pemanfaatan waktu luang -.498
.000 6.
Pengelolaan keuangan -.435
.000 7.
Relasi seksual -.708
.000 8.
Pengasuhan anak -.484
.000 9.
Hubungan dengan keluarga dan teman
-.574 .000
10. Nilai-nilai dan kepercayaan
keagamaan -.385
.000
Universitas Sumatera Utara
Hasil analisis
korelasi antara
aspek-aspek keharmonisan
pernikahan dengan kecemasan pada tabel diatas memperlihatkan ada hubungan negatif yang signifikan dari tiap-tiap aspek dengan variabel
kecemasan. Hal ini terlihat dari nilai keseluruhan aspek pada nilai p = 0.000 0.01.
E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 57 karyawan BUMN yang akan pensiun menunjukkan adanya hubungan negatif antara
keharmonisan pernikahan dan kecemasan menghadapi masa pensiun. Hasil penelitian ditunjukkan melalui koefisien korelasi yang signifikan sebesar -
0.739. Hal ini berarti jika tingkat keharmonisan pernikahan tinggi maka tingkat kecemasan menghadapi masa pensiun rendah, dan sebaliknya jika
keharmonisan pernikahan rendah maka kecemasan menghadapi masa pensiun tinggi.
Alasan pertama yang dapat menjelaskan adanya hubungan negatif antara dua variabel diatas karena transisi menuju pensiun bukanlah hal
yang mudah, banyak perubahan yang terjadi pada masa ini. Pensiun bukan pula yang melibatkan satu individu saja, melainkan juga dengan
keluarganya. Untuk menghadapi masa ini, keluarga memiliki andil besar untuk menyiapkan individu menghadapi masa pensiun Papalia dkk,
2009. Keluarga adalah orang-orang terdekat yang ada saat individu membutuhkan dukungan untuk melewati masa-masa krisis termasuk masa
transisi menuju pensiun.
Universitas Sumatera Utara
Dukungan dari keluarga terutama pasangan berdampak besar dalam menciptakan kesiapan psikologis saat menghadapi masa pensiun,
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Moen 2002. Penelitian yang dilakukan oleh Osborne 2012 juga menyatakan hal
senada bahwa hubungan yang baik dengan pasangan dan keluarga akan membuat calon pensiunan mampu menghadapi masa pensiun dengan baik
jika dibandingkan dengan individu yang hubungannya tidak begitu baik dengan pasangan. Pernikahan yang harmonis dicirikan dengan keadaan
rumah tangga penuh kasih sayang, adanya hubungan interpersonal yang baik dan orang-orang di dalamnya merasa terlindungi dan dapat menjalani
kehidupannya dengan tenang dan tentram tanpa rasa takut Kustini, 2011. Dengan
demikian, keadaan
keluarga yang
harmonis mampu
menghindarkan seseorang dari perasaan cemas dan takut mengenai hal-hal tertentu, tidak terkecuali masa pensiun yang merupakan salah satu
peristiwa besar dalam fase kehidupan seseorang. Di sisi lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek
penelitian memiliki tingkat kecemasan rendah sebanyak 37 orang 65 dan sedang sebanyak 13 orang 22.8 dan tinggi sebanyak 7 orang
12.2. Jika dikaitkan dengan keharmonisan pernikahan, tentu saja kecemasan yang muncul juga akan berada dalam taraf rendah sampai
sedang, karena tingkat keharmonisan pernikahan subjek penelitian mayoritas berada pada level sangat tinggi sebanyak 21 pasangan 36.84,
dan selanjutnya kategori tinggi sebanyak 20 pasangan 35.08, kategori
Universitas Sumatera Utara
sedang sebanyak 13 pasangan 23, dan kategori rendah sebanyak 3 pasangan saja 5.26.
Pada masa dewasa tengah 40-65 tahun, tingkat keharmonisan pernikahan berada pada kondisi baik. Kurva pernikahan berbentuk U,
mencapai bawah pada awal usia paruh baya dan mencapai puncak tertingginya pada saat anak-anak dewasa atau saat memasuki usia pensiun
Orbruch dalam Papalia dkk, 2009. Senada pula dengan yang dikemukakan Santrock 2009 bahwa kasih sayang dan perasaan cinta
akan meningkat kembali pada masa ini. Hal ini dikarenakan pada masa paruh baya, pasangan tidak lagi begitu khawatir mengenai keuangan, lebih
sedikit pekerjaan, serta lebih banyak waktu yang bisa dihabiskan bersama pasangan. Alasan ini masuk akal jika dikaitkan dengan pensiun, bahwa
pernikahan sudah dalam kondisi yang stabil sehingga keluarga terutama pasangan dapat memberikan dukungan bagi individu yang akan pensiun.
Kondisi pernikahan yang harmonis dipengaruhi oleh kondisi mental masing-masing pasangan Papalia dkk, 2009. Kecemasan dan
depresi bisa menyebabkan kondisi pernikahan menjadi tidak harmonis. Jika dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, keluarga bisa dianggap
sebagai salah satu variabel penyebab munculnya kecemasan. Di sisi lain keluarga bisa pula menjadi variabel yang dikenai dampak dari munculnya
kecemasan. Pengalaman-pengalaman psikologis yang dialami oleh calon pensiunan bisa mempengaruhi anggota keluarga yang lain Nuttman-
Shwartz dalam Osborne, 2012. Jika calon pensiunan merasa dan
Universitas Sumatera Utara
memikirkan hal-hal negatif berkaitan dengan pensiun, hal ini akan membawa suasana yang kurang baik dan akan mempengaruhi anggota
keluarga yang lain sehingga menyebabkan kondisi rumah tangga menjadi tidak harmonis. Interaksi kedua variabel ini memungkinkan adanya
hubungan timbal-balik antara kecemasan dan keharmonisan pernikahan. Alasan kedua yang mendukung rendahnya tingkat kecemasan pada
subjek penelitian adalah karena mayoritas subjek sudah mampu menerima keadaan bahwa ia akan berhenti bekerja dalam waktu yang tidak lama lagi,
subjek dapat memahami bahwa pensiun merupakan salah satu fase hidup yang harus dilalui. Hal ini sejalan dengan penelitian Fretz dalam Foster,
2008 yang menyatakan bahwa sikap mengenai pensiun merupakan prediksi yang kuat terhadap munculnya kecemasan menghadapi masa
pensiun. Mayoritas sikap subjek penelitian tentang masa pensiun adalah positif, mereka tidak menganggap pensiun sebagai momok masa tua
melainkan cenderung merasa bahagia karena bisa menyelesaikan amanah pekerjaan hingga masa pensiun. Sikap positif ini sehingga mampu
menghindarkan subjek penelitian dari rasa cemas menjelang pensiun dan tersisa segelintir orang saja yang berada dalam tingkat kecemasan yang
sedang dan tinggi. Alasan ketiga adalah subjek penelitian tidak mengalami kecemasan
yang tinggi adalah karena mereka dalam keadaan yang sehat, memiliki pendapatan yang memadai selama bekerja, memiliki perencanaan matang
setelah pensiun, memiliki jaringan pertemanan yang luas dan hubungan
Universitas Sumatera Utara
kekeluargaan yang baik, serta merasa puas dengan kehidupannya saat itu Santrock, 2009. Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan saat
pengambilan data, dapat dikatakan para subjek penelitian memenuhi syarat-syarat diatas. Dalam bekerja, hampir keseluruhan subjek terlihat
bekerja tanpa tekanan, adanya hubungan yang baik dengan rekan kerja karena sudah bekerja dalam waktu yang cukup lama serta jika ditanyai,
rata-rata subjek penelitian sudah memiliki rencana saat masa pensiunnya tiba. Nilai kecemasan yang rendah pada subjek penelitian disebabkan
oleh pemilihan subjek penelitian yang masih kurang sesuai dengan criteria maksimal dua tahun sebelum pensiunnya terhitung sejak pengambilan data
dilakukan. Alasan lain pula pada penggunaan alat ukur kecemasan yang belum sesuai bersifat simtomatik.
Universitas Sumatera Utara
60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN