Distribusi Ikan Bulan-bulan .7. Salinitas ‰

4.5 Distribusi Ikan Bulan-bulan

Berdasarkan analisis distribusi ikan bulan-bulan pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Distribusi Morisita Pada Setiap Stasiun Pengamatan Stasiun Nilai Indeks Morisita Kategori 1 0.299 Seragam 2 0.121 Seragam 3 0.273 Seragam Nilai Indek Morisita pada setiap stasiun pengamatan menunjukan nilai id 1, artinya distribusi ikan bulan-bulan pada ke-3 stasiun menunjukan pola penyebaran seragam. Hal ini diduga karena persaingan terhadap makanan dan perubahan kualitas air. Menurut Pemberton and Frey 1984; Tarumingkeng 1994 pola penyebaran yang seragam disebabkan oleh interaksi negatif antara individu-individu, misalnya kompetisi terhadap makanan. Selain itu menurut Suin 2002 faktor fisika, kimia, dan biologi yang hampir merata pada suatu perairan serta ketersediaan makanan turut mempengaruhi organisme hidup pada habitatnya dan menentukan organisme tersebut hidup berkelompok, acak maupun seragam. Jones et al. 1999 menyatakan bahwa faktor antropogenik seperti alih fungsi lahan di daerah hulu akan memengaruhi distribusi ikan karena menurunkan kualitas perairan. Menurut Simanjuntak 2012 perbedaan distribusi spesies spasial menunjukkan bahwa tersedianya relung habitat dan makanan dan perubahan kualitas perairan. Hal ini diperjelas oleh Jenkins Jupiter 2011; Li et al. 2012 bahwa sebaran ikan lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan kualitas air seperti suhu, pH, oksigen terlarut, kekeruhan, debit air. Universitas Sumatera Utara

4.6 Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Data parameter kualitas air selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Data Rata-rata Hasil Pengamatan Kualitas Air Pada Setiap Stasiun No Parameter Satuan Baku Mutu Stasiun 1 2 3 Fisika 1 Suhu Air o C 28 – 32 29,5 28 27 2 Kecerahan Air Cm - 75 72 76 3 Kecepatan Arus meter detik - 9,5 7,6 5,3 Kimia 4 pH air Unit 7 - 8,5 6,7 6,8 6,6 5 Salinitas ‰ sd 34 15,7 9,9 5,4 6 DO mg liter 5 3,5 3,5 3,4 7 BOD mgliter 20 6,3 0,5 0,7 8 Nitrat mg liter 0,015 3,9 13,1 10,6 9 Posfat mg liter 0,008 0,3 0,44 0,53 Sumber: Data Primer KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Untuk Biota Laut. Keterangan: Stasiun 1 Muara Sungai Baharu, Stasiun 2 Muara Sungai Buluh, Stasiun 3 Muara Sungai Terjun

4.6.1. Suhu

o C. Data hasil pengamatan suhu air pada setiap stasiun adalah sebagai berikut: Stasiun1 suhu rata-rata 29,5 o C, Stasiun 2 suhu rata-rata 28 o C, dan Stasiun 3 suhu rata- rata 28 o C. Jika dibandingkan antara hasil pengukuran lapangan dengan baku mutu air menurut KepMen LH No.51 suhu air di Perairan Sungai Belawan masih sesuai. Tingginya hasil pengamatan suhu air pada stasiun 1, hal ini diduga karena pada stasiun 1 merupakan perairan yang terbuka, badan sungainya lebih lebar, dan sedikit ditumbuhi oleh pepohonan sehingga cahaya matahari langsung menembus badan air. Stasiun 2 dan stasiun 3 merupakan perairan yang lebih sempit dan banyak ditumbuhi vegetasi nipah Nypah fruticans sehingga cahaya matahari tidak langsung menembus badan air terlebih dahulu terhalang oleh pepohonan. Universitas Sumatera Utara Menurut Odum 1998 suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, ketinggian geografis, dan faktor penutupan pepohonan kanopi dari vegetasi yang tumbuh disekitarnya. Menurut Suriadarma 2011 perbedaan lainnya disebabkan karena adanya perbedaan waktu pengukuran, juga diduga disebabkan karena adanya perbedaan kandungan nutrient atau ion-ion garam yang secara fisik dapat meningkatkan daya hantar panas. Barus 2004 menyatakan pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh faktor anthropogen yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti limbah panas, yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan hutan yang menyebabkan hilangnya perlindungan badan air. Kantun 2012 menyatakan bahwa bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di dunia mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai toleransi yang besar terhadap suhu, disebut eurytermal. Sebaliknya ada pula toleransinya kecil, disebut stenotermal. Menurut Chac όn- Chaverri dan McLarney 1992 juvenil tarpon biasanya ditemui bergerombol, ukuran kecil, dan pada daerah rawa payau yang memiliki kisaran suhu yang luas 12-36 C. 4.6.2. Kecerahan cm. Pengamatan kecerahan air pada setiap stasiun diperoleh data pada stasiun 1 berkisar 75 cm, stasiun 2 berkisar 72 cm, dan stasiun 3 berkisar 66 cm. Rendahnya nilai pengamatan kecerahan air pada setiap stasiun diduga karena banyaknya sedimen lumpur dan partikel lainya, tingginya kandungan limbah organik, dan limbah domestik. Hal ini diduga karena tiap-tiap stasiun pengamatan letaknya di daerah muara sungai-sungai kecil yang mengarah ke Perairan Sungai Belawan yang lebih besar, sehingga semua kompenen partikel tersebut menumpuk di daerah muara sungai. Perbedaan jarak antara satu stasiun dengan stasiun lainnya dari arah pantai mempengaruhi tingkat kecerahan perairan tersebut. Universitas Sumatera Utara Menurut Suriadarma 2011 tingkat kecerahan air akan semakin tinggi dengan semakin jauhnya jarak dari pantai. Tingkat kecerahan yang rendah di perairan sungai dan laut yang berdekatan dengan pantai di duga akibat banyak terdapatnya partikel tersuspensi yang terbawa aliran sungai dari lahan atas dan adanya proses sedimentasi serta abrasi pantai. Barus 2004 menyatakan bahwa bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme air dalam habitatnya. Apabila intensitas cahaya matahari berkurang, hewan air akan dirangsang untuk melakukan ruaya migrasi.

4.6.3. Kecepatan Arus meterdetik

Data hasil pengukuran kecepatan arus pada stasiun yaitu stasiun 1 berkisar 6,7 meterdetik, stasiun 2 berkisar 5,9 meterdetik, dan stasiun 3 berkisar 5,3 meterdetik. Kecepatan arus pada masing-masing stasiun pengamatan nilainya bervariasi karena pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1. Posisi Perairan Sungai Belawan yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka menjadikan pola arus dan massa air sangat di pengaruhi oleh fenomena yang terjadi di selat tersebut; 2. Pengaruh arus pasang surut pasut; 3. Pergerakan angin; 4. Selain itu kondisinya Perairan Sungai Belawan dipengaruhi oleh beberapa aliran sungai, sehingga karena pola arus yang terjadi cenderung bergerak sepanjang tahun dan membentuk sedimentasi baik dari hulu maupun ke arah muara. Menurut Nontji 2002 arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan dalam densitas air laut atau disebabkan oleh gerakan gelombang. Pada dasar perairan yang dangkal arusnya yang tinggi. Nugroho et al.2007 secara umum, arus laut yang mempengaruhi karakteristik perairan di Indonesia adalah arus laut yang berasal dari angin dan pasut. Universitas Sumatera Utara

4.6.4. pH

Hasil pengukuran pH pada masing-masing stasiun yakni stasiun 1 6,7 stasiun 2 6,8 dan stasiun 3 6,6. Berdasarkan pengamatan, menunjukan nilai pH masih mendekati nilai pH netral 7 dan masih dalam kisaran sesuai baku mutu KepMen KLH No. 51. Diduga rendahnya nilai pH karena dipenangaruhi oleh buangan limbah bahan organik dan anorganik melalui sungai sehingga terjadi penimbunan di muara sungai. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuliastuti 2011 fluktuasi pH dipengaruhi oleh adanya buangan limbah organik dan anorganik ke sungai. Menurut Meilawati et al 2005 jika nilai pH berada di bawah standar baku mutu maksimum maka kualitas air sedimen bersifat acid asam. Begitupun jika nilai pH berada di atas standar baku mutu maksimum maka kualitas air sedimen bersifat alkali basa. pH air semakin ke muara semakin asam karena adanya pertambahan bahan-bahan organik yang kemudian membebaskan Karbondioksida CO 2 apabila terurai. Barus 2004 menyatakan bahwa perairan yang mengandung kapur akan mempunyai nilai pH yang relatif lebih stabil, sedangkan perairan yang mengandung sedikit kapur akan mempunyai nilai pH yang berfluktuasi sesuai dengan dinamika fotosintesis yang terjadi. Hal ini merujuk penelitian yang dilakukan Fadil 2011 k isaran pH 6,15 – 6,78 masih dalam rentang pH baku mutu air baik untuk air kelas I maupun kelas II. Menurut Chac όn- Chaverri dan McLarney 1992 juvenil tarpon dapat hidup pada kisaran pH 5,7 -8.8. Universitas Sumatera Utara

4.6.5 Oksigen Terlarut mgliter

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut pada stasiun 1 3,5 mgl, stasiun 2 3,5 mgl, dan stasiun 3 3,4 mgl. Nilai tersebut bila dibandingkan dengan nilai baku mutu jauh lebih rendah. Diduga kelarutan oksigen yang rendah ini, karena saat pengambilan sampel air dilakukan pada musim kemarau sehingga proses oksidasi oleh bakteri pengurai meningkat. Mikroorganisme akan mengoksidasi Amonium menjadi Nitrat. Proses ini dikenal sebagai proses nitrifikasi. Borneff 1982; Schoerbel 1987; Hὒtter 1990 dalam Barus 2004. Proses oksidasi amonium menjadi nitrit oleh aktivitas kelompok bakteri Nitrosomonas dapat dilihat di bawah ini: NH 4 + O 2 --------- › NO 2 Amonium Nitrosomonas Nitrit Selanjutnya proses oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh aktivitas kelompok bakteri Nitrobacter dapat dilihat di bawah ini: NO 2 + O 2 --------- › NO 3 Nitrit Nitrosomonas Nitrat Barus 2004 berpendapat proses oksidasi akan menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menjadi rendah, terutama pada musim kemarau saat curah hujan sangat sedikit dimana volume aliran air sungai menjadi rendah. Dibarengi dengan tingginya suhu dan apabila volume air limbah tidak berkurang akan menyebabkan laju oksidasi tersebut meningkat tajam. Ikan bulan-bulan termasuk ikan dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian Wells et al. 2007 yang melakukan pengamatan terhadap ikan bulan-bulan tentang hubungan kecepatan renang dan kebutuhan oksigen terlarut yakni dengan kisaran 0,8 – 5 mmolliter. Kelarutan oksigen mempengaruhi kehidupan organisme di suatu perairan, karena oksigen terlarut disuatu perairan merupakan faktor pembatas. Jika kadar oksigen terlarut terlalu rendah bisa mengakibatkan biota air akan mati Fardiaz, 1992. Universitas Sumatera Utara Menurut Udi Putra 2008 kebutuhan oksigen terlarut yang diperlukan oleh ikan atau organisme air lainnya sangat bergantung pada faktor-faktor suhu, pH, CO 2 dan kecepatan metabolik ikannya. Kebutuhan oksigen meningkat dengan meningkatnya suhu air.

4.6.6. BOD mgliter

Hasil uji laboraorium diperoleh nilai BOD pada stasiun 1 6,3 mgliter, stasiun 2 0,5 mgliter dan stasiun 3 0,7 mgliter. Berdasarkan KepMen KLH No. 5 nilai baku mutu air untuk BOD maksimum 20 mgliter, jika dibandingkan dengan nilai hasil uji dari masing-masing stasiun pengamatan sangat jauh berbeda, namun masih layak. Nilai BOD yang tinggi dinilai merupakan pencemaran di suatu perairan. Perbedaan nilai ini diduga karena dipengaruhi adanya perbedaan buangan limbah bahan organik telah terakumulasi muara sungai, dan aktivitas perombakan bahan organik oleh bakteri pengurai. Nilai BOD rendah mengindikasikan perairan ini belum tercemar. Ali et al 2013 menyatakan BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bakteri pengurai untuk menguraikan bahan organik di dalam air. Rahayu dan Tantowi 2009 menyatakan bahwa semakin besar kadar BOD di perairan sungai menandakan bahwa perairan tersebut telah tercemar yang diakibatkan oleh buangan limbah domestik dan pertanian. Selanjutnya menurut Yudo 2010 semakin besar konsentrasi BOD suatu perairan, menunjukan konsentrasi bahan organik juga tinggi. Lee, et al. 1978 menerangkan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD 5 dimana kandungan ≤ 2,9 mgl merupakan perairan yang tidak tercemar, kandungan 3,0 - 5,0 mgl merupakan perairan yang tercemar ringan, kandungan 5,1 – 14,9 mgl merupakan perairan yang tercemar sedang dan kandungan ≥ 15,0 mgl merupakan perairan yang tercemar berat. Universitas Sumatera Utara

4.6 .7. Salinitas ‰

Hasil rata-rata pengukuran salinitas pada stasiun 1 15, 7‰, stasiun 2 9,9‰, dan stasiun 3 5,4 ‰. Perbedaan ini diduga disebabkan karena stasiun pengamatan merupakan beberapa muara sungai, karena salinitas menjadi berbeda karena salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan jumlah partikel di perairan dan jarak antara sungai ke laut. Selain itu diduga pengambilan sampel air pada saat musim kemarau, sebab musim juga mempengaruhi salinitas. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi 2003 bahwa perairan estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Lebih lanjut menurut Nybakken 1992 perbedaan lainnya adalah tergantung musim dan topografi. Boeuf Payan 2001 menyatakan bahwa ikan yang hidup pada salinitas yang lebih rendah menghabiskan lebih sedikit energi untuk osmoregulasi. Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun horizontal Effendi,2003; Fadil 2011. Ikan bulan-bulan merupakan jenis ikan euryhaline. Ikan ini beruaya mencari habitat yang sesuai siklus hidupnya. Menurut Chac όn- Chaverri dan McLarney 1992 juvenil tarpon dapat hidup pada salinitas 5- 40 ppt. 4.6.8. Nitrat NH 3 dan Fosfat PO 4 Hasil pengukuran kadar nitrat pada stasiun 1 3,9 mgl, stasiun 2 13.1 mgl, dan stasiun 3 10,6 mgl. Kadar fosfat pada stasiun 1 0,3 mgl, stasiun 2 0,44 mgl , dan stasiun 3 0,53 mgl. Jika dibandingkan nilai nitrat dan posfat pada stasiun pengamatan sangat berbeda jauh dan nilainya di bawah nilai baku mutu air berdasarkan KepMen LH No.5 tahun 2004. Universitas Sumatera Utara Hal ini diduga aliran sungai menjadi sumber pembawa limbah buangan untuk unsur nitrat dan fosfat ke badan sungai yang kemudian tertimbun di muara sungai, karena sumber nitrat dan fospat berasal dari limpasan lahan pertanian dan limbah rumah tangga. Jika nilainya tinggi nitrat dan fosfat berarti mendapat mendapat sumber pasokan limpasan yang tinggi yang terbawa aliran sungai dan begitu pula sebaliknya yang pada akhirnya semua sumber limpasan nitrat dan fosfat tersebut terakumulasi di daerah muara sungai. Menurut Effendi 2003 sumber utama peningkatan kadar nitrat diperairan berasal dari limpasan pupuk pertanian. Risamasu dan Hanif 2011 menyatakan konsentrasi nitrat di lapisan permukaan yang lebih rendah dibandingkan di lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat di lapisan permukaan lebih banyak dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh fitoplankton. Selain itu, konsentrasi nitrat yang sedikit lebih tinggi di dekat dasar perairan juga dipengaruhi oleh sedimen. Di dalam sedimen nitrat diproduksi dari biodegradasi bahan-bahan organik menjadi ammonia yang selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat Seitzinger, 1988 Boyd 1982 menyatakan bahwa fosfat terbentuk sebagai hasil perombakan bahan organik dalam kondisi aerobik. Keberadaan orthophosphate di perairan, dengan segera dapat diserap oleh bakteri, fitoplankton dan makrofita. Fitoplankton dapat menyerap orthophosphate lebih cepat dibandingkan dengan makrofita, tetapi makrofita mempunyai kemampuan menyimpan fosfor lebih besar dari pada fitoplankton. 4.7 Korelasi Kepadatan Dengan Faktor Fisik Kimia Perairan. Korelasi kepadatan ikan bulan-bulan dengan faktor fisika kimia mempunyai berhubungan searah + dan hubungan berlawan arah -. Data analisis korelasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 6. Universitas Sumatera Utara Tabel 6. Korelasi Kelimpahan Ikan Dengan Faktor Fisika Kimia Perairan No Parameter r 1 Suhu Air - 0.971 2 Kecerahan Air - 0.500 3 Kecepatan Arus - 0.681 4 pH air 0.240 5 Salinitas - 0.769 6 DO - 0.227 7 BOD - 0.978 8 Nitrat 1.000 9 Posfat 0.801 Keterangan: - Arah Korelasi Berlawanan; + Arah Korelasi Searah Nilai rata-rata nitrat 1,000 dan fosfat 0,801, hal ini berkolerasi searah dengan kelimpahan ikan bulan-bulan artinya semakin tinggi nilai nitrat, fosfat maka semangkin tinggi pula kelimpahan ikan bulan-bulan. Tingginya nilai nitrat dan fosfat, diduga karena semua stasiun merupakan muara sungai sudah tentu menjadi sumber limpasan berbagai limbah daratan yang akhirnya mengendap dan tertimbun di daerah muara sungai. Hal ini menyebabkan perairan tersebut menjadi subur dan kaya akan zat hara. Kesuburan suatu perairan mengindikasikan tingginya produktivitas primer, hal ini mendukung ketersedian makanan yang melimpah sehingga menarik biota aquatik termasuk ikan bulan-bulan untuk mencari makanan ke daerah tersebut. Effendi 2000 menyatakan di perairan bentuk dan unsur fosfat secara terus menerus berubah akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Perubahan ini tergantung kepada suhu. Pada kondisi suhu yang mendekati titik didih perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Hal ini didukung pendapat Chester 2003 proses penguraian senyawa organik oleh aktivitas bakteri dan organisme pengurai lainnya, proses dekomposisi ini mengubah senyawa anorganik yang dimanfaatkan oleh organisme autrotrof. Nitrat dan fosfat adalah merupakan zat hara ini mempunyai peranan penting dalam mata rantai kehidupan di perairan, karena bisa dimanfaatkan oleh phytoplankton sebagai sumber bahan makanan. Universitas Sumatera Utara Hal ini sejalan yang dikatakan Ferianita dkk 2005 nitrat dan fosfat merupakan zat hara yang penting bagi pertumbuhan dan metabolisme phytoplankton yang merupakan indikator untuk mengevaluasi kualitas air dan tingkat kesuburan. Kondisi ekosistem yang kompleks, pola arus yang dinamis, serta aktivitas di suatu kawasan mempunyai pengaruh terhadap kandungan unsur hara, kelarutan oksigen, dan pH yang merupakan indikator kesuburan perairan Simanjuntak, 2012. Nilai BOD - 0,987 dan suhu - 0,971 menunjukan korelasi berlawanan arah -, artinya semangkin tinggi nilai BOD maka semangkin rendah kepadatan populasi ikan bulan-bulan. Tinggi rendahnya nilai BOD diduga karena dimanfaatkan organisme untuk proses respirasi dan mikroorganisme termasuk bakteri di dalam proses penguraian bahan organik di suatu perairan serta dipengaruhi air laut. Suriadarma 2011 mengatakan kadar BOD yang tinggi di perairan ini diduga sebagai akibat banyaknya bahan organik dari sungai bagian hulu. Dibandingkan dengan kadar BOD di daerah hulu sungai, kadar BOD di daerah hilir ternyata lebih tinggi. Perbedaan ini mungkin disebabkan buangan bahan organik telah terakumulasi di daerah hilir yang berdekatan dengan muara sungai di samping adanya pengaruh dari laut. Menurut Graham 1997 dalam Geiger et al. 2000 proses biotik dan abiotik dapat mengpengaruhi kadar oksigen menjadi rendah pada lingkungan perairan serta sirkulasinya terbatas. Ada sekitar 374 spesies ikan atau kurang dari 2 spesies ikan yang ada diketahui telah mengembangkan kemampuannya untuk mengunakan oksigen bebas dari fluktuasi oksigen terlarut yang tersedia. Johansen 1966 dalam Geiger et al. 2000 menyatakan organ pernapasan tambahan termasuk mulut, rongga perut, saluran pencernaan, dan gelembung udara. Menurut Bone et al. 1995 ikan bulan-bulan salah satu ikan laut yang mempunyai gelembung udara yang digunakan dalam sistem respirasinya. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengamatan di lapangan ikan bulan-bulan memang sering kali muncul kepermukaan air untuk melakukan pernapasan dengan cara mengambil udara bebas langsung dari atmospher. Kemungkinan inilah bentuk adaptasi ikan bulan- bulan pada kondisi oksigen yang rendah. Suhu air berkorelasi negatif - dengan kepadatan populasi ikan bulan-bulan. Artinya semangkin tinggi suhu air kepadatan ikan semakin rendah. Hal ini diduga karena ikan bulan-bulan menyukai kondisi suhu yang normal. Menurut Geiger 2000 suhu normal yang disukai ikan bulan-bulan yakni 22-33 o C. Udi Putra 2011 ikan adalah binatang yang bersifat poikilothermik, suhu tubuhnya akan kurang 0.5 o C atau lebih dari suhu lingkungan yang ia tempati. Menurut Malone dan Burden 1988; Svobodova, et al. 1993 metabolik ikan akan berkurangberhenti ketika suhu tidak optimum atau perubahannya terlalu ekstrim. Anwar 2008 menyatakan kondisi perairan sangat menentukan kepadatan populasi dan penyebaran organisme pada habitatnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan kecenderungan lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka disimpulkan :