13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian, Dan Azas-Azas
Hukum Perjanjian
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, pengertian perjanjian dapat didefinisikan sebagai berikut “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
10
Bahwa dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain.
Dalam hal ini dari suatu perjanjian lahir kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang pihak kepada satu atau lebih orang pihak lainnya yang berhak atas
suatu prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi dalam hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu terdapat dua pihak, dimana satu pihak
adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi debitor dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi tersebut kreditor.
11
Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menurut penulis adalah sebagai berikut:
“Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan
10
Handri Raharjo, Hukum perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2009, hal. 41
11
Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian , Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 92
Universitas Sumatera Utara
di antara mereka para pihaksubjek hukum saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
12
” Pembedaan perjanjian secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat
hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.
2. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Misalnya, perjanjian bernama.
13
Dalam perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Dalam perjanjian dikenal adanya 3 unsur yang merupakan perwujudan dari asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu:
a. Unsur esensilia
Unsur esensilia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak, yang
mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.
12
Handri Raharjo, Op. Cit., hal. 42
13
Ibid., hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
b. Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensilianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian
yang mengandung unsur esensilia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari
cacat-cacat tersembunyi. c.
Unsur aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan
khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.
14
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian,
diperlukan empat syarat, yaitu
15
: 1
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3
Suatu pokok persoalan tertentu; 4
Suatu sebab yang tidak terlarang. Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam: a
Dua unsur pokok yang menyangkut subyek pihak yang mengadakan perjanjian unsur subyektif, dan
14
Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 85.
15
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
b Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek
perjanjian unsur obyektif. Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari
para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan
yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap
unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif, dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut
tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Sebagai berikut adalah penjelasan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif yaitu :
ad.a Syarat Subyektif
Seperti telah dikatakan di atas bahwa syarat subyektif sahnya perjanjian, digantungkan pada dua macam keadaan:
1 Terjadinya kesepakatan secara bebas di antara para pihak yang mengadakan
atau melangsungkan perjanjian. Salim H. S mengatakan : “kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang dengan atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai
Universitas Sumatera Utara
itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat diketahui orang lain”.
16
Kesepakatan bebas di antara para pihak di antara para pihak ini pada prinsipnya adalah pengejawantahan dari asas konsensualitas yang telah penulis
bahas dalam uraian Bab II di atas. Dalam uraian Bab ini akan dibahas masalah pelanggaran terhadap kesepakatan lisan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1321
sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yang lengkapnya
berbunyi
17
: “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua
atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan
siapa yang harus melaksankan. Dalam perjanjian konsensuil, KUHPerdata menentukan bahwa segera
setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menerbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji
tersebut. Dengan lahirnya perikatan di antara para pihak yang bersepakat tersebut, KUHPerdata membebankan kewajiban kepada debitor dalam perikatan untuk
memberikan penggantian berupa, rugi dan bunga atas ketidakpemenuhannya, menurut pasal-pasal berikut di bawah ini.
16
Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2004, hal. 23
17
Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1236 “Debitor wajib member ganti biaya, kerugian dan bunga kepada
kreditor bila ia menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya dengan sebaik-
baiknya untuk menyelamatkannya.” Pasal 1239
Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian
biaya, kerugian dan bunga, bila debitor tidak memnuhi kewajibannya.
Pasal 1242 Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka
pihak mana pun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu, karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya,
kerugian dan bunga.
18
2 Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji.
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan
bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda,
namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat
18
Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan
hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Sebaliknya seorang yang
dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada
dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak.
Tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian-perjanjian adalah: a
Anak yang belum dewasa. Pada dasarnya setiap orang, sejak dilahirkan, adalah subyek hukum, suatu
persona standi in judicio, dengan pengertian bahwa setiap orang adalah pendukung hak dan kewajibannya sendiri. Walau demikian tidaklah berarti setiap
orang yang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330 Kitab
KUHPerdata dinyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.”
19
Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan oarng tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam
bagian ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini”.
19
Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:
1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia:
a. Telah berumur 21 tahun; atau
b. Telah menikah;
Hal kedua tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum
ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 2.
Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:
a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama; b.
Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja.
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang dalam rumusan Pasal 50 dinyatakan bahwa:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Universitas Sumatera Utara
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan
tindakan hukum ditentukan sebagai berikut: 1.
Jika seseorang a.
Telah berumur 18 tahun; atau b.
Telah menikah; c.
Seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah
dewasa. 2.
Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:
a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama; b.
Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja.
b Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
20
: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu,
sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.
20
Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya”
Selanjutnya ketentuan Pasal 436 KUHPerdata dinyatakan bahwa “segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang
mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.”
21
ad.b Syarat Obyektif
Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam: 1.
Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.
Mengenai syarat ketiga ini, undang-undang menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
perjanjian. Selanjutnya, dikatakan bahwa, barang itu harus barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya atau een bepaalde onderwerp. Bagaimana
halnya apabila barang yang dijadikan objek perjanjian itu jumlahnya belum tentu, misalnya hasil panen padi suatu sawah di musim panen pada tahun mendatang.
Menurut undang-undang hal ini tidak tidak menjadi halangan, asalkan jumlah barang itu kemudian ditentukan atau dihitung.
Bahkan hasil panen ini merupakan barang yang baru akan ada kemudian, namun dapat dijadikan objek perjanjian dan ini adalah sah. Tentu saja dalam hal
ini, sawah yang dimaksud sekurang-kurangnya sudah ditentukan letak dan luasnya serta saat panennya tiba. Jadi, suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah paling
sedikit ditentukan jenisnya, atau asalkan kemudian jumlahnya dapat ditentukan
21
Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
atau dihitung. Sebab apabila suatu objek perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya, perjanjian yang demikian adalah tidak sah.
22
KUHPerdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut
23
: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian
berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu,
asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUHPerdata,
hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan debitor pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan
berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat
sesuatu, KUHPerdata, juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik
yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur mengenai
kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setia perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa:
22
I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Jakarta : Kesaint Blanc, 2007, hal. 49
23
Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan.” KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang
dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:
1. Bukan tanpa sebab;
2. Bukan sebab yang palsu;
3. Bukan sebab yang terlarang.
Oleh karena itu, maka selanjutnya dalam Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan lebih lanjut bahwa:
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan
itu adalah sah.” Dengan membatasi sendiri, rumusan mengenai sebab yang halal menjadi
hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa
24
: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-
undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Salim H. S menyatakan : syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut
24
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan
kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Akan tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap
dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
25
Dengan demikian berarti apa yang disebut dengan sebab yang halal dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUHPerdata tidak lain dan tidak bukan adalah
prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut,
maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak.
26
Di dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa azas-azas hukum perjanjian yaitu, sebagai berikut:
1. Azas kebebasan mengadakan perjanjian partij otonomi;
2. Azas konsensualisme persesuaian kehendak;
3. Azas kepercayaan;
4. Azas kekuasaan mengikat;
5. Azas persamaan hukum;
6. Azas keseimbangan;
7. Azas kepastian hukum;
8. Azas moral;
25
Salim H. S. Op. Cit, hal. 25
26
Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 161
Universitas Sumatera Utara
9. Azas kepatutan;
10. Azas kebiasaan.
27
Ad. 1. Asas kebebasan berkontrak “Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah azas esensial dari
Hukum Perjanjian. Azas ini dinamakan juga azas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan adanya perjanjian.
Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik KUHPerdata, akan tetapi bersifat universal. Asas konsensualisme yang terdapat di
dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” will para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.
Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak contractvrijheid dan asas kekuatan mengikat yang
terdapat di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit
dilihat dari beberapa segi yaitu: -
Dari segi kepentingan umum -
Dari segi perjanjian baku standard -
Dari segi perjanjian dengan pemerintah.
27
Mariam Darus Bardrulzaman, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Bandung : Alumni, 2001, hal. 108
Universitas Sumatera Utara
Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan. Istilah “semua” di dalamnya terkandung – asas
partij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract vrijheid – memasang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun
bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk kontrak standar.
28
Ad. 2. Konsensualisme Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 1 BW yang menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah garis bahwa oleh penulis berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Di dalam Pasal 1320
BW terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada”-nya perjanjian raison d’etre, het
bestaanwaarde. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan vertrouwen di antara para
pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan vertrouwenleer merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.
Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan Pasal 1320 BW angka 1 tentang kesepakatan atau toestemming, yang
menyatakan bahwa perjanjian itu lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman
asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang
28
Dawson, John P., et al. Contracts Cases and Comment, The Foundation Press, Inc. , New York, 1982, hal. 261
Universitas Sumatera Utara
menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan.”
Pada akhirnya pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan pada kata sepakat saja, tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320
BW dianggap telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.
29
Ad. 3. Asas kepercayaan vertrouwensbeginsel Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus saling
dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di
belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
Ad. 4. Asas kekuatan mengikat Kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas
kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan di dalamnya. Menurut Eggens manusia
terhormat akan memelihara janjinya. Sedang Grotius mencari dasar konsensus dalam ajaran Hukum Kodrat bahwa “janji itu mengikat” Pacta Sunt Servanda,
karena “kita harus memenuhi janji kita” Promissorum implendorum obligatio.
30
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi
29
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta : Prenada Media Group, 2011, hal. 120
30
Meriam Darus Bardrulzaman, Op. Cit, hal. 114
Universitas Sumatera Utara
juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
Ad. 5. Asas persamaan hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dll. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan
kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Ad. 6. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan.
Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul
pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya
untuk memperhatikan iktikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
31
Ad. 7. Asas kepastian hukum Asas ini menghendaki bahwa perjanjian sebagai suatu figure hukum harus
mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
31
Ibid, hal. 114
Universitas Sumatera Utara
Ad. 8. Asas moral Asas ini menghendaki bahwa dalam perjanjian terdapat suatu perikatan
yang wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra-prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini
terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela moral yang bersangkutan mempunyai kewajiban
hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya dan asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
Ad. 9. Asas kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, Asas kepatutan di sini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Dan asas kepatutan di sini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan
juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Ad. 10. Asas kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa
yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.
Menurut Pasal 1339 KUHPerdata maka persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1347 KUHPerdata mengatakan pula hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan bestendig gebruikelijk beding dianggap secara diam-
diam dimasukan di dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Dari kedua ketentuan ini dapatlah disimpulkan bahwa elemen-elemen dari
perjanjian adalah: 1.
Isi perjanjian itu sendiri 2.
Kepatutan 3.
Kebiasaan 4.
Undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUHPerdata adalah kebiasaan
pada umumnya gewoonte dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUHPerdata ialah kebiasaan setempat khusus atau kebiasaan yang lazim berlaku
di dalam golongan tertentu bestending gebruikelijk beding.
32
B. Pengertian Perjanjian Kerjasama Dan Pengaturan Hukum Tentang