Pasal 1243 “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
periktan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau di buat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”.
C. Subjek Dan Objek Perjanjian
Subjek perjanjian dalam tiap-tiap perjanjian ada dua macam subjek, yaitu kesatu seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban
untuk sesuatu dan kedua seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu.
35
Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa,
sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau diperbatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah, seperti pailit, peraturan tentang orang
perempuan berkawin menurut KUHPerdata Pasal 108 dan Pasal 109 dan sebagainya.
Sebagai ukuran, bahwa seorang adalah sudah dewasa, Hukum Adat tidak mengenal suatu umur tertentu, melainkan pada umumnya memakai pengertian
“dapat hidup sendiri” atau “akil-balig”, dan biasanya orang-orang yang dianggap
35
Ibid. , hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
“akil-balig” ini, berumur 16 atau 18 tahun atau sudah kawin dan berdiam sendiri, tidak bersama-sama dengan orang tuanya.
Bagi orang Indonesia asal ada suatu ordonansi, termuat dalam Staatsblad 1931-54, yang menetukan:
1. Kalau dalam peraturan undang-undang wettelijke voorschriften terpakai
perkataan “minderjarig” belum dewasa, maka ini bagi orang-orang Indonesia asli berarti “berumur kurang dari 21 tahun dan belum kawin.
2. Apabila perkawinan terjadi sebelum usia 21 tahun dan kemudian dipecahkan
sebelum usia itu juga, yang bersangkutan tetap dianggap sudah dewasa. 3.
Perkawinan antara kanak-kanak kinderhuwelijk tidak masuk istilah “perkawinan”.
36
Sebabnya orang yang belum dewasa dan orang yang tidak sehat pikirannya dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, ialah bahwa pada
umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap yang disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan
orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidak sanggupan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah. Dan juga mereka toh membikin suatu perjanjian
dengan orang lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan diberikan hak untuk minta pembatalan dari perjanjian itu. Dengan demikian persetujuan
semacam itu pelaksanaannya selalu tergantung dari apa maunya pihak yang belum dewasa atau pihak yang berada dalam pengawasan curatele yaitu mau
36
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung : CV. Mandar Maju, 2011, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan atau mau minta pembatalan dari persetujuan yang bersangkutan. Kontrak semacam ini dinamakan kontrak pincang hinkend contract.
Menurut Dr. L. C. Hofmann dalam buku karangannya “het Nederlandsch Verbintenissenrecht” jilid ke-1 cetakan ke-6 halaman 242, hanya satu kali undang-
undang menentukan pencabutan ini, yaitu dalam Pasal 432 ayat 2 BW yang menentukan, apabila seorang yang berusia 20 tahun, dengan Penetapan
Pemerintah disamakan dengan orang dewasa, tetapi maka pencabutan ini tidak berlaku bagi seorang ketiga, artinya: persetujuan yang diadakan antara orang
dewasa ini dan orang ketiga itu, tidak dapat diminta pembatalannya.
37
Objek perjanjian adalah kebalikannya dari subjek. Kalau dari uraian diatas kiranya dapat terang, bahwa subjek dalam suatu perjanjian anasir, yang bertindak,
yang actief, maka objek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlukan oleh subjek itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang
dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian. Oleh karena itu, objek dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialah: hal yang diwajibkan kepada pihak-
berwajib debitur, dan hal, terhadap mana pihak-berhak kreditur mempunyai hak.
Kalau perhubungan hukum perihal perjanjian ini mengenai suatu benda, misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, gadai-menggadai,
pinjam-meminjam pemberian hadiah dan lain sebagainya, maka objek dari berbagai perjanjian itu lebih terang terwujudnya, yaitu benda yang bersangkutan
itu. Contoh-contoh dari perjanjian yang objeknya tidak berupa suatu benda, adalah
37
Ibid, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
perjanjian-perburuhan pemeliharaan anak verzorgingscontract dari daerah Minahasa, penanggungan borgtocht, “dading” dari Pasal 1851 KUHPERDATA,
penyuruhan lastgeving. Tetapi secara tidak langsung perjanjian-perjanjian ini sedikit banyak juga mungkin sekali mengenai harta benda juga.
Seperti halnya seorang manusia harus memenuhi syarat-syarat untuk menjadi subjek dari suatu perjanjian, maka suatu benda juga harus memenuhi
syarat untuk dapat menjadi objek dari suatu perjanjian. Sampai dimana sebidang tanah dapat menjadi objek suatu perjanjian di daerah pedalaman tergantung pada
kuat atau kurang kuatnya kekuasaan desa terhadap tanah didalam lingkungannya beschikking strecht. Yang sama sekali tidak dapat menjadi objek suatu
perjanjian ialah tanah-tanah yang oleh desa diperuntukkan guna kepentingan umum seperti jalan raya, tanah kuburan, tanah di sekitar mesjid, tanah di sekitar
Balai-desa untuk rapat-desa dan lain-lain sebagainya. Juga ada perbedaan, apabila perjanjian diadakan antara orang-orang warga dari desa itu atau orang-orang
bukan warga. Burgerlijk wetboek dalam Pasal 1332 menentukan, bahwa hanya benda
yang dalam perdagangan in de handel dapat menjadi objek suatu persetujuan, dengan tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan istilah tersebut. Pasal ini
lazimnya ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa benda-benda yang dipergunakan guna kepentingan umum, harus dianggap sebagai barang-barang “diluar
perdagangan” buiten de handel jadi yang tidak dapat menjadi objek suatu persetujuan, dan sebagai contoh disebut barang-barang tak bergerak milik Negara
yang dimaksudkan dalam Pasal-pasal 521 dan 532 KUHPERDATA, yaitu jalan-
Universitas Sumatera Utara
jalan raya, pantai, sungai-sungai, pulau, pulau-pulau dalam sungai, pelabuhan dan berbagai bangunan yang diperlukan untuk pertahanan Negara.
Pasal 1333 KUHPERDATA menyebutkan suatu syarat lagi bagi benda agar dapat menjadi objek suatu perjanjian, yaitu benda itu harus tertentu, paling
sedikit tentang jenisnya. Jumlah benda itu tidak perlu ditentukan dahulu, asal saja kemudian dapat ditentukan.
Menurut Pasal 1334 ayat 1 KUHPERDATA barang-barang yang seketika belum ada teekomstige zaken dapat menjadi objek suatu perjanjian. Istilah
“belum ada” dapat berarti mutlak absolut seperti halnya orang menjual padinya yang baru akan ditanam dalam tahun depan.
Ayat 2 dari Pasal 1334 KUHPERDATA melarang seorang membikin suatu perjanjian tentang barang-barang yang akan masuk hak warisnya, kalau
seorang lain akan meninggal dunia, meskipun dengan izin orang yang akan meninggalkan barang-barang warisan itu. Agaknya kesusilaanlah yang
mendorong Pembentuk undang-undang untuk mengadakan larangan ini. Larangan ini merupakan suatu kekecualian dari penuntutan ayat 1, yang memperbolehkan
persetujuan tentang barang-barang yang “belum ada”. Burgerlijk Wetboek dalam Pasal 503 mengenal pembagian benda menjadi benda bertubuh lichamelijke
zaken dan benda tak bertubuh onlichamelijke zaken. Istilah benda tak bertubuh ini baru terang, setelah orang membaca Pasal 503 KUHPerdata, yang
menyebutkan benda tak bertubuh yang tak bergerak dan Pasal 511 KUHPerdata, yang menyebutkan benda tak bertubuh yang bergerak. Dari Pasal-pasal ini
Universitas Sumatera Utara
ternyata, bahwa yang dinamakan benda tak bertumbuh itu ialah hak atas barang bertubuh.
38
D. Berakhirnya Suatu Perjanjian