30
3.5.1 Masukan Pusat Kajian Khebinekaan, Universitas Maranatha – Pendeta Leonardus
Banyak orang memiliki penafsiran yang berbeda tentang pancasila. Pemaknaan
terhadap pancasila pada masa orde baru p4, agak otoriter namun memberikan kerangka
pemikiran yang jelas tentang pancasila. Secara substantif GBHN sangat terlepas dari
pemaknaan
yang lain. Pancasila dahulu adalah asas tunggal namun selakarang menjadi pilar
yang dapat diartikan bahwa pilar berarti bukan satu‐satunya yang menjadi dasar. Sebaikanya 4
pilar tetap dimasukan dan bukan hanya pancasila karena berguna untuk mempertegas
penyelesaian
konflik ataupun dengan masalah disintegrasi bangsa.
Kalau menjalankan 4 pilar berarti sebenarnya tidak perlu ada previlage yang diberikan
bagi
daerah tertentu di Indonesia. Kalau hanya pancasila, maka harus diberikan batasan dalam
ruang
lingkup, namun jika tidak berarti dapat memasukan 4 pilar. Status intoleransi saat ini
hanya didasarkan by kasus. Namun yang paling mendesak adalah bagaimana pola pikir orang
terkait
intoleransi perlu diubah. Pernyataan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa perlu
diperjelas. Strategi
1, poin 1, bila dillakukan akan menjadi langkah yang tidak popular. Contoh. Penafsiran
peraturan SK 2 menteri, diartikan hanya pada aparat pusat namun didaerah tidak dilaksanakan
di tingkat pemda. Konflik dimulai dengan cara berpikir setiap orang yang berbeda. Disiyalir,
para radikalis muncul dilingkungan pendidikan, sehingga harus segera dipikirkan cara implementasi
pada lingkungan pendidikan sehingga dapat dilakukan dideteksi dini pencegahan potensi
konflik. Strategi
1, poin 4: Perlu mempromosikan role model dalam hal keagamaan akan bagus di
satu sisi namun akan bertabrakan dalam hubungan HAM. Orang dengan SDM yang bagus akan
menghasilkan peningkatan kualitas hidup terkait toleransi. Strategi
2, poin 2 aspek regulasi: peraturan dibuat namun tidak ada institusi yang mampu
mengeksekusi dalam hal reward and punishment. Pendidikan HAM penting agar pola pikir
orang dapat fix dan klik serta dapat berpengaruh mengurangi intoleransi yang tertanam pada
pola pikir. Internalisasi nilai‐nilai pancasila, harus dipikirkan baik. Sedapat mungkin harus dibangun
kurikulum. Internalisasi pancasila dan HAM dapat dibuat dalam hal‐hal informal, kreatif
dan menarik. Kita belum pandai memainkan isu mengedepankan good news. Terkait
31
aparat keamanan, perlu dipikirkan caranya agar aparat tidak menggunakan status nya untuk
mengintimidasi masyarakat. Perlu dipikirkan bagaimana menjadikan parpol tidak berbasis
tokoh namun berbasis pendidikan.
Masalah intoleransi, mungkin dapat disetujui bahwa kita salah memahami Binekha
Tunggal Ika. Bukan tidak boleh meniadakan dialog agama, namun tetap di bina karena kontak
dengan dengan komunitas berbeda akan menumbuhkan sikap dan pola pikir intoleransi.
Konsep transaksional bukan suatu keharusan namun tetap harus mempertimbangkan metode
yang digunakan. Perlu diingat bahwa jangan sampai stranas ini terjebak seperti revolusi
mental”Pak Jokowi” yang menekankan etika public, karena etika public tidak akan terbentuk
bila etika pribadi tidak dibentuk yang tentu tidak akan menyelesaikan masalah.
Pendekatan dengan anak muda, sedapat mungkin mengurangi formalitas. Diperlukan
cara untuk mengintegrasikan dengan stranas pada setiap kalangan, sampai pada masyarakat
tingkat bawah. Terkait pengimplementasian pada ASN, memang sangat penting agar stranas ini
dapat diiplementasilan bagi ASN. Harus bisa mendata ASN, kemudian dipetakan dan berapa
banyak yang masih memiliki mindset keliru sehingga dapat diberikan treatment yang tepat.
Masyarakat saat ini telah terbentuk untuk melihat hasil daripada proses sehingga stranas yang
perlu didefinisikan menjadi mudah dipahami dan diimplementasikan.
3.5.2 Pendapat Akademisi Unpad – Dr. Arry Bainus