Perkembangan Menuju Inklusi Abad XXI

pendidikan semi kejuruan setingkat SMP selama 3 tahun, dan SMLB pendidikan kejuruan Setingkat SLTA. Dengan kurikulum baru, pada tingkat SLTLP dan SLTA, ALB yang mempunyai potensi akademik tinggi tampaknya harus didorong untuk berintegrasi di SMP umum, karena pada kedua jenjang pendidikan ini kurikulum PLB lebih banyak menyediakan pendidikan ketrampilan. Kedua, ditingkatkannya jenjang pendidikan calon guru PLB dari 2 tahun sesudah SLTA menjadi program sarjana di IKIPFKIP universitas. Sebagai akibat dari kebijakan ini, beberapa SGPLB dialihfungsikan menjadi sekolah lain Solo dan Yogyakarta, beberalapa lagi diintegrasikan ke JurusanPrigram studi S1 PLB IKIP dan FKIP seperti Bandung, surabaya, Padang dan Makasar SLTA lain, beberapa lagi diintegrasikan ke jurusan PLB pada IKIPFKIP universitas terdekat, sedangkan kurikulum S 1 PLB yang ada lebih disempurnakan untuk juga dapat menghasilkan calon guru PLB yang berkualitas. Elaborasi sekolah terpadu HKI – braillo sos inklusi dan berbakat Æ akselerasi

D. Perkembangan Menuju Inklusi Abad XXI

Elaborasi ulang rativikasi-braillo-balitbang-dirPSLB Istilah inklusif semakin popular dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan luar biasa PLB. Pengembangan pendidikan inklusif menjadi salah satu program Direktorat Pendidikan Luar Biasa mulai tahun 2001 Nasichin, 2001. Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir, Pusat Penelitian Balibangdiknas mengadakan ujicoba pendidikan inklusif di Wonosari, Gunungkidul, Yogjakarta Suroto, 2002. Ceramah, diskusi, dan tulisan juga telah banyak dibuat tentang pendidikan inklusif. Yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah ada kesamaan persepsi mengenai istilah inklusi sendiri, karena di negara asal konsep inklusi sendiri, masih ada perbedaan pengertian. Perlu dimengerti bahwa pendidikan inklusif memerlukan satu prasyarat, yaitu pengakuan secara responsive terhadap perbedaan individu. Pelaksanaan pendidikan inklusif juga memerlukan modifikasi administrasi 27 pendidikan dan pembelajaran terhadap administrasi pendidikan konvensional yang sekarang dipakai di sekolah-sekolah. Secara resmi, pendidikan inklusif diakui di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 5 disebutkan bahwa hak memperoleh layanan pendidikan khusus dijamin bagi warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial, yang harus disediakan di sekolah khusus atau secara inklusif. Pendidikan inklusif kemudian dirintis secara resmi pada tahun 2003 melalui Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 C.66MN2003, 20 Januari 2003 perihal Pendidikan ABK di sekolah umum bahwa di setiap KabupatenKota di seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara pendidikan inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah. Puncak dari kebijakan dalam pendidikan inklusif adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Menurut pasal 2 peraturan tersebut, pendidikan inklusif bertujuan: a. memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; b. mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a. 28 Sedangkan pada pasal 3 disebutkan bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Selanjutnya pada pasal 4 diatur bahwa pemerintah kabupatenkota menunjuk minimal satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Respon masyarakat terhadap pendidikan inklusif sangat positif terbukti sampai akhir tahun 2008 telah dirintis sekitar 925 sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif di Indonesia dengan perincian pada tabel berikut. Data Jumlah Sekolah dan Siswa ABK di Indonesia SEKOLAH TK SD SMP SMA JUMLAH 1. SLB Cacat 498 1.176 521 433 2.627 2. Sek. Inklusi ABK Cacat 17 641 75 57 790 3. Sek. Inklusi ABK Aksel - 25 49 61 135 SISWA TK SD SMP SMA JUMLAH 1. SLB Cacat 7.982 44.724 9.381 4.338 66.425 2. Sek. Inklusi ABK Cacat 67 9.264 879 195 10.405 3. Sek. Inklusi ABK Aksel - 441 1.969 2.261 4.671 Sumber : Direktorat Pembinaan SLB Depdiknas, 2008 29 Dari data tersebut diketahui bahwa jumlah sekolah inklusi sebanyak 925 sekolah, terdiri dari 790 sekolah inklusi ABK Cacat dan 135 sekolah inklusi ABK Akselerasi. 30 KURIKULUM 1977

A. Latar Belakang