49 mengkhususkan pada iklan-iklan buku ini dilakukan, untuk menyesuaikan diri
dengan suratkabar Medan Moeslimin yang memang dikhususkan untuk pembaca orang Jawa yang baru melek huruf. Itu pun terbatas pada bacaan yang
menggunakan aksara Jawa. Misi yang diemban Medan Moeslimin tampaknya tidak dapat sepenuhnya ditunjang dari penghasilan usaha periklanan. Karena
tercatat adanya dukungan keuangan dari beberapa perusahaan batik di Solo. Salah satu pendukung utama keuangannya adalah perusahaan batik milik Hadji
Misbach. M. Sastrositojo adalah lulusan HIS, yang kemudian magang selama 2 tahun di perusahaan periklanan NV Doenia Bergerak, sebagai penulis naskah
iklan.
3. Perusahaan Periklanan Perintis
Salah satu perusahaan consumer products yang aktif beriklan pada masa itu adalah Unilever-amalgamasi perusahaan Margarine Union Belanda dan
Lever Brothers Inggris- yang sejak tahun 1933 telah membangun pabrik sabun di Bacherachtsgracht, Batavia sekarang Angke, Jakarta Barat. Setelah berdirinya
pabrik sabun itu,Unilever juga membangun pabrik margarin. Sebelumnya, produk-produk Unilever diimpor langsung dari Negeri Belanda. Hadirnya
Unilever juga kemudian membawa masuknya cikal bakal Lintas singkatan dari Lever International Advertising Services ke Nusantara. Semula, Lintas adalah
divisi periklanan dari Lever Brothers, sebelum kemudian berdiri sendiri menjadi perusahaan periklanan independen. Apa yang dilakukan Lintas yang berlogo bola
dunia pada masa-masa awal itu sebetulnya tidak lain adalah melakukan adaptasi bentuk-bentuk iklan yang telah mereka luncurkan terhadap produk-produk serupa
Universitas Sumatera Utara
50 di bagian dunia lainnya, serta melakukan media placement. Perlu dicatat bahwa
Lintas pada saat itu sudah memiliki keberanian membuat iklan dalam bahasa daerah. Misalnya, iklan Margarine Blue Band dalam bahasa Sunda memakai judul
”Pamoeda Sehat… Rajat Kiat” Pemuda Sehat…Rakyat Kuat, dengan tagline ”Blue Band Mengandoeng Seueur Vitamin”
Mengandung Banyak Vitamin. ”Model organisasi” seperti Lintas itulah yang agaknya kemudian ditiru oleh
beberapa usahawan di Batavia dan kota-kota besar Indonesia lainnya. Sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa perusahaan periklanan ketika
itu disebut reclamebureau atau advertentiebureau sudah beroperasi di Indonesia. Hingga masa pendudukan Jepang, beberapa perusahaan periklanan ynag terkenal
di Jakarta adalah, antara lain: • A de la Mar, di Koningsplein sekarang Jalan Medan Merdeka Utara, dekat
Istana Merdeka, • Aneta sebagai bagian dari kantor berita bernama sama, di Passer Baroe
sekarang Museum LKBN Antara di Jalan Antara, • Globe, di Jalan Kali Besar Timur,
• IRAB Indonesia Reclame en Advertentiebureau, semula berkantor di Molenvliet sekarang Jalan Hayam Wuruk, tetapi kemudian pindah ke Asem
Reges kemudian menjadi Sawah Besar, sekarang Jalan KH Samanhudi, • Preciosa, di Gang Secretarie kantor Sekretariat Negara sekarang, Jalan
Veteran IV , • Elite
15
15
Sam August Himawan, Asmono Wikan, dan Moh. Ridwan “30 Tahun Periklanan Indonesia”draft naskah.
Universitas Sumatera Utara
51 Hampir semua perusahaan periklanan itu dipimpin oleh orang-orang
Belanda, kecuali IRAB dan Elite yang diselenggarakan oleh kaum Bumiputra. Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan lanskap periklanan Indonesia.
Karena banyak warga Belanda yang mengungsi-sebagian lagi ditawan maka kondisi vakum itu diisi dengan munculnya berbagai perusahaan periklanan baru
milik kaum pribumi. Sayangnya, tidak cukup catatan tentang kehadiran perusahaan periklanan yang dijalankan etnis Tionghoa. Padahal, dari mulut ke
mulut kita sering mendengar bukti-bukti peran mereka dalam perintisan periklanan Indonesia. Yang jelas, etnis Tionghoa sangat berperan dalam
menumbuhkan dunia persuratkabaran di Indonesia, sehingga dengan demikian dapat dilihat pula keterlibatan mereka dalam periklanan secara langsung maupun
tidak. Sekalipun kebanyakan perusahaan periklanan baru itu berukuran kecil, tetapi tercatat lima perusahaan periklanan yang berskala cukup besar, yakni Elite,
RAB, Korra, Pikat, Tandjoeng. Selama masa pendudukan Jepang, merosotnya aktivitas ekonomi ikut mengkerdilkan dunia periklanan Indonesia. Setelah
proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kepercayaan kepada Republik yang muda ini tampak dengan kembali bergairahnya kehidupan perekonomian.
Sayangnya, kecenderungan itu tidak berlangsung lama karena Belanda mulai menggelar aksi militernya terhadap Indonesia. Keadaan perekonomian pun redup
kembali. Pemerintah Republik Indonesia sempat hijrah ke Yogyakarta selama empat tahun. Keadaan ini berakhir setelah dicapainya kesepakatan pengakuan
kedaulatan dalam KMB pada akhir tahun 1949.
Universitas Sumatera Utara
52 Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Jakarta menandai
kebangkitan baru perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan nasional mulai bertumbuhan, seiring dengan masuknya kembali beberapa perusahaan
multinasional. Perusahaan-perusahaan Belanda yang semula mengungsi, pun kembali lagi melakukan usahanya. Salah satunya adalah Unilever. Era baru itu
juga disambut oleh Unilever dengan meluncurkan berbagai produk baru. Dunia periklanan seakan berdarah kembali. Beberapa perusahaan periklanan yang
tercatat hadir di Jakarta pada masa itu antara lain adalah: Azeta, Contact, Cotecy, De Unie, Elite, IRAB, Studi Berk, dan Titi. Pada awal dasawarsa 1950’an yang
paling banyak ditempatkan di dunia cetak adalah iklan obat-obatan. Sayangnya, menjamurnya iklan obat-obatan itu tidak dibarengi dengan etika dan tanggung
jawab para insan periklanan. Banyak obat-obatan yang diiklankan itu sebetulnya diragukan manfaatnya, atau malah membahayakan kesehatan penggunanya.
Keadaan yang nyaris lepas kendali ini akhirnya ditata dengan terbitnya ketentuan Menteri Kesehatan pada tahun 1954 yang mengatur keharusan untuk mendapatkan
lisensi manfaat dan keselamatan obat sebelum dipasarkan, dan ketentuan agar iklan obat harus menjelaskan manfaat obat secara jelas.
4.
Kebangkitan Asosiasi Periklanan Indonesia
Menurut catatan, pada tahun 1951, istilah periklanan pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers indonesia, Soedarjo Tjokrosisworo, untuk
menggantikan istilah reklame atau advertensi yang ke belanda-belandaan. Senapas dengan semangat kebangsaan itu, sebuah biro reklame di bandung yang
sebelumnya bernama Medium, juga mengubah nama menjadi Balai Iklan. Atas
Universitas Sumatera Utara
53 prakarsa beberapa perusahaan periklanan yang berdomisili di Jakarta dan
Bandung, pada awal September 1949 dilembagakan sebuah asosiasi bagi perusaaan-perusahaan periklanan. Asosiasi ini diberi nama Bond van
Reclamebureaux in Indonesia atau dalam bahasa indonesia Perserikatan Biro Reklame Indonesia PBRI. Nama asosiasi yang masih menggunakan bahasa
Belanda ini tidak lain karena mayoritas anggotanya adalah memang perusahaan- perusahaan periklanan yang dimiliki oleh orang Belanda.
Sebelas perusahaan periklanan tercatat sebagai anggota PBRI, yaitu: Budi Ksatria, Contact, De Unie, F. Bodmer, Franklijn, Grafika, Life, Limas, Lintas,
Rosada, dan Studio Berk. Akan tetapi, kehadiran PBRI dianggap hanya mewakili perusahaan-perusahaan periklanan besar khususnya yang dimiliki atau dikuasai
oleh orang-orang Belanda. Perusahaan-perusahaan periklanan kecil merasa bahwa aspirasi mereka tidak memukau jalan untuk disampaikan ke dalam PBRI. Suasana
seperti itu kemudian memicu lahirnya sebuah asosiasi perusahaan periklanan nasional yang dimliki dan diawaki oleh orang-orang Indonesia. Serikat Biro
Reklame Nasional SBRN dibentuk pada tahun 1953, dan sertamerta menjadi organisasi tandingan bagi PBRI. Tidak jelas mengapa semangat nasionalisme di
dalam SBRN tidak memunculkan istilah iklan yang sudah dikenal sejak dua tahun sebelumnya, dan masih menggunakan istilah biro reklame yang berbau Belanda.
Anggota SBRN yang tercatat adalah 13 perusahaan periklanan: Azeta, Elite, Garuda, IRAB, Kilat, Kusuma, Patriot, Pikat, Reka, Lingga, Titi, dan Trio. Tidak
semua perusahaan perilanan bersedia bergabung ke dalam asosiasi. Contonya adalah Medium yang telah bertukar nama menjadi Balai Iklan. Ia memilih untuk
Universitas Sumatera Utara
54 tidak bergabung dengan salah satu dari dua asosiasi tersebut. Tjetje Senaputra,
pemiliknya berdalih bahwa Balai Iklan tidak menangani iklan display dan karena itu tidak menganggap perusahaan sebagai full-service agency. Balai Iklan
memang mengkhususkan diri pada iklan-iklan klasika berukuran kecil tentang lowongan kerja dan berita keluarga. Ada pula dugaan bahwa terbentuknya SBRN
diilhami oleh keterbelahan penerbit surat kabar yang juga memiliki dua asosiasi, yaitu: Perserikatan Persuratkabaran Indonesia PPI, dan Serikat Penerbit
Suratkabar SPS, PPI merupakan kelanjutan dari Verenigde Dagblad Pers di masa Hindia Belanda. Tentu saja keterbelahan perusahaan-perusahaan periklanan
itu membuat prihatin F. Berkhout, Ketua PBRI pada saat itu. Ia kemudian menghubungi beberapa pimpinan SBRN dan mnawarkan dibentuknya fusi atau
peleburan dari kedua asosiasi tersebut. Bila tujuannya sama, mengapa harus memakai dua kendraan yang justru menyulitkan pembinaan ke luar maupun ke
dalam, di samping juga tidak mencuatkan kesan persatuan. Gagasan fusi itu tampaknya diterima secara umum oleh kedua belah pihak.
Orang-orang Belanda yang semula menguasai berbagai posisi dan fungsi di PBRI sepakat untuk mengundurkan diri agar digantikan oleh orang-orang Indonesia.
Tetapi fusi itu secara organisatoris ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Dalam tubuh SBRN terjadi perpecahan, sehingga semua anggotanya
mengundurkan diri dan bergabung ke dalam PBRI. Baru pada tahun 1956, melalui forum rapat umum anggota, secara aklamasi Muhammad Napis dikukuhkan
sebagai ketua PBRI. Pada tahun 1957, PBRI menyelenggarakan Kongres Reklame
Universitas Sumatera Utara
55 seluruh Indonesia yang pertama. Dalam kongres tersebut, kata ”perserikatan”
diubah menjadi ”persatuan”.
5. Awal Artis Memasuki Periklanan Indonesia