60
7. Berdirinya PPPI Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia
Popularitas The Jakarta Admen Club bahkan melebihi organisasi resmi
yang sebetulnya lebih dulu terbentuk pada tahun 1972, yaitu Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia PPPI. Seperti telah dikemukakan pada Bab 1, asosiasi
perusahaan periklanan yang pertama berdiri di Indonesia pada tahun 1949 dengan nama Bond van Reclame Bureaux in Indonesia atau dalam bahasa Indonesia
disebut Persatuan Biro Reklame Indonesia PBRI. Nama resminya justru yang berbahasa Belanda, karena pada waktu itu sebagian besar pelaku di industri
periklanan adalah orang-orang Belanda maupun keturunan Belanda. Demikian juga para pengurusnya adalah orang-orang belanda dan keturunannya. Baru
setelah PBRI diketuai oleh orang Indonesia, Muh.Napis,maka pada tahun 1957 diputuskan perhgantian namanya resmi menjadi PBRI. Dengan nama baru itu juga
dilekukan penyesuaian istilah dari “perserikatan” menjadi “persatuan”. Napis adalah seorang tokoh periklanan Indonesia yang ternyata berhasil memimpin
PBRI secara terus-menerus hingga memasuki dasawarsa 1970-an. Napis sendiri ternyata sudah jenuh menjadi Ketua PBRI selama belasan tahun, dan menganggap
bahwa situasi seperti itu dapat mengarah kepada hal-hal yang tidak demokratis. Pada tahun 1971, Napis menyelenggarakan referendum di antara anggota
PBRI untuk memilih ketua yang baru, di samping juga meminta usulan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta usulan perubahan kebijakan
dan strategi. Namun, ternyata referendum itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Napis tetap secara aklamasi diterima sebagai ketua PBRI.
Universitas Sumatera Utara
61 Pada tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia tiba-tiba merasa perlu
untuk mengatur industri periklanan. Harsono yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Dirjen PPG Departemen
penerangan, memprakarsai diselenggarakannya Seminar Periklanan-forum nasional resmi pertama yang diselenggarakan di Indonesia untuk membicarakan
arah industri periklanan. Seminar ini diseenggarakan di restoran Geliga, Jalan wahid Hasyim, Jakarta Pusat, dengan ketua penyelenggaraan H.G. Rorimpandey,
Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar SPS yang ketika itu juga Pemimpin Umum Harian Sinar Harapan. catatan penulis: sebetulnya, Christianto Wibisono
yang ketika itu menjadi Direktur Majalah Tempo pada tahun 1971 telah menyelenggarakan sebuah seminar periklanan untuk mendiskusikan dalam
menyikapi masuknya elemen asing ke dalam industri perikalanan Industri Indonesia. Tetapi, lingkup seminar ini masih bersifat terbatas di tataran pelaksana
periklanan-bukan pengambil keputusan di tingkat asosiasi dan regulator. Dalam kesempatan itu pemerintah menyatakan bahwa PBRI adalah satu-
satunya wadah perusahaan periklanan yang diakui Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan ini tampaknya didorong oleh kenyataan telah hadirnya
berbagai perusahaan periklanan yang disponsori pihak asing, dan tidak merasa berkepentingan untuk menjadi anggota PBRI. Sekalipun pada tahun 1970 Menteri
Perdagangan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo telah menerbitkan surat keputusan yang melarang kehadiran perusahaan periklanan asing di Indonesia,
namun kenyataannya praktik “Ali Baba” tetap menghadirkan banyak negara asing di industri periklanan Indonesia. Pernyataan Pemerintah itu membuat hampir
Universitas Sumatera Utara
62 semua perusahaan periklanan yang baru didirikan sekitar 1970-an kemudian
mendaftar-kan diri menjadi anggota PBRI. Seminar periklanan itu juga memuncukan napas dan harapan baru akan munculnya generasi modern
periklanan Indonesia. Keinginan untuk berorganisasi secara serius pun mulai tampak hidup. Napis pun semakin berharap bahwa penggantinya akan segera
muncul. Kebetulan, pada tahun 1972 itu juga berlangsung Asian Advertising
Congress AAC VIII di Bangkok. Masih dengan semangat Seminar Periklanan, beberapa tokoh periklanan Indonesia pun segera berangkat menghadiri kongres
tersebut. Mereka antara lain adalah: Christian Wibisono, Ken Sudarto, Sjahrial Djalil, Ernst Katoppo, Abdul Moeid Chandra, Jacoba Muaja, Usamah, dan Yo
Wijayakusumah. Tidak tanggung-tanggung, delegasi Indonesia pada waktu itu secara nekat juga menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah AAC IX pada tahun
1974. hebatnya lagi, usulan itu ternyata diterima. Pertumbuhan pesat industri periklanan Indonesia tentulah menjadi faktor pembobot yang menghasilkan
keputusan itu.Semangat untuk menjadi tuan rumah Aac IX itulah yang membuat insan periklanan Indonesia semakin membulatkan tekad untuk berorganisasi
secara rapi. Pada tanggal 20 Desember 1972, bertempat di restoran Chez Mario milik Muhammad Napis di jalan Ir. H. Juanda III23, jakarta Pusat,
diselenggarakan Rapat Anggota PBRI. Rapat itu juga dihadiri Direktur Bina Pers dari Direktorat Jenderal
Pembinaan Pers dan Grafika Departmen Penerangan, Drs. Tjoek Atmadi. Rapat
Universitas Sumatera Utara
63 itu mengagendakan pemilihan pengurus baru, serta membahas kemungkinan
dibentuknya sebuah asosiasi periklanan dengan visi dan lingkup yang lebih luas. Abdul Maeid Chandra, seorang putra Madura aktivis PBRI yang memiliki
stasiun radio Trinanda Chandra dan perusahaan perilanan dengan nama yang sama, akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum. Di jajaran pengurus tercatat
beberapa orang tokoh periklanan Indonesia, seperti: Savrinus Suardi, Usamah, Sjahrial Djalil, dan Yo Wijayakusumah. Mereka adalah muka-muka baru yang
sebelumnya bukan merupakan aktivis PBRI. Rapat Anggota juga menyepakati pembubaran PBRI dan pembentukan asosiasi yang baru dengan nama Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia PPPI. Dengan pembentukan PPPI, secara resmi hilang pula istilah ”biri reklame” yang berbau kebelanda-belandaan,
digantikan dengan istilah yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman: ”perusahaan periklanan”. Desakan untuk mengganti istilah ”biro reklame” juga didasari pada
kenyataan bahwa tukang pembuat stempel di pinggir jalan pun menyebut diri mereka sebagai biro reklame.
Pada saat didirikan, PPPI beranggotakan 30 perusahaan periklanan. Sahrial Djalil AdForce menyumbangkan logo bagi asosiasi yang baru itu. PPPI juga
segera merumuskan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga yang baru untuk menampung aspirasi periklanan modern.
1. Jenis – Jenis Iklan