Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian yaitu menyangkut asas pembuktian yang dianut dalam undang-
undang tersebut menggunakan asas pembuktian terbalik, sehingga pihak pelaku usaha yang harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan melawan
hukum yang menyebabkan kerugian yang diderita oleh konsumen. Hal ini berbeda denganketentuan pembuktian dalam Hukum Acara Perdata yang mana tetap berlaku asas haknya
itu, sehingga di sini konsumen yang harus membuktikan kesalahan pada pelaku usaha.
C. Akibat Hukum dan Penyelesaian Dalam Hal Adanya Kelalaian Kesalahan Informasi Kepada Konsumen
Membicarakan perlindungan hukum terhadap pasien kita tidak dapat memisahkan diri dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen, karena pada
dasarnya UU inilah yang dijadikan bagi perlindungan konsumen termasuk halnya pasien apotek. Perlindungan hukum bagi pasien apotek selaku konsumen mempunyai hak untuk
melakukan pengaduan serta menggunakan forum mediasi untuk mendapatkan penyelesaian sengketa secara sederhana, murah dan cepat.
Apabila hak dan kewajiban apoteker sudah sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka akan dapat menjalankan aktifitas di dalam apotek tersebut. Diantaranya adalah
hak mendapatkan informasi yang jelas dan akurat dan hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur. Dan kewajibannya adalah mengikuti petunjuk informasi dan prosedur yang dijalankan oleh
apoteker
54
54
Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung: Universitas Lampung. 2007
.
Apoteker harus merespon setiap keluhan dan pengaduan konsumen. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan dan pengaduan pasien diperlukan standar waktu yang jelas dan
berlaku secara umum di setiap apotek dalam menyelesaikan setiap pengaduan pasien. Apabila tidak dapat diselesaikan juga maka perlu disediakan media yang dapat
menampung penyelesaian sengketa antara pasien dengan apoteker. Penyelesaian sengketa pasien harus dapat memenuhi unsure sederhana, murah dan cepat. Pertanggungjawaban Apoteker di
apotek Umi Farma apabila pasien mengalami kerugian yaitu dengan cara melakukan perdamaian berupa pengaduan langsung kepada apoteker yang bersangkutan apabila terjadi kekeliruan untuk
selanjutnya diproses untuk dibuktikan guna pemberian ganti rugi. Banyaknya kasus kesalahan apoteker yang terjadi terkait erat dengan hak bagi anggota
masyarakat khususnya pasien yang berperan sebagai konsumen kesehatan. Salah satu hak yang dimiliki oleh anggota masyarakat ialah memperoleh perlindungan dalam kedudukannya sebagai
konsumen. Hal ini sangat wajar mengingat kedudukan tersebut terjadi akibat dari adanya interaksi pihak lain, yang antara lain di antara para pihak secara prinsip mempunyai kepentingan
berbeda. Dalam hal ini, pihak konsumen berkepentingan untuk memperoleh manfaat yang sebaik mungkin atas barang dan jasa yang dikonsumsinya, terkait dalam hal ini adalah jasa di bidang
medis, sedangkan produsen barang maupun pemberi jasa atau pelaku usaha berkepentingan untuk memperoleh keuntungan dari produk atau jasa yang dijualnya. Berdasarkan perbedaan
dasar kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha maka kemungkinan timbulnya persoalan akibat adanya benturan kepentingan menjadi terbuka
55
Dalam kesalahan dan kelalaian yang dilakukan apoteker terhadap konsumen, selain aspek hukum perdata, juga melekat di dalamnya aspek hukum pidana. Meskipun dalam hal
.
55
Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung: Universitas Lampung. 2007
perlindungan konsumen cenderung berkaitan dengan segi perdata. Untuk dapat dikatakan telah terjadi malapraktek medik menurut hukum perdata adalah telah terjadi penyimpangan dari
standar profesi kedokteran. Namun sayangnya, hingga saat ini Peraturan Pemerintah PP tentang Standar Profesi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
belum ada. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen kesehatan dalam hal
terjadi malpraktek perlu dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut : 1.
Perlindungan Hak Atas Ganti kerugian Bagi Konsumen Kesehatan; Setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberlakukan, maka prinsip
tanggungjawab yang dianut di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah prinsip tanggungjawab atas dasar praduga rebuttable presumption of liability principle.
Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat 1 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat digugat untuk
mengganti kerugian. Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara produsen, tetapi semua yang dinyatakan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen
sebagai pelaku usaha, termasuk di dalamnya adalah apoteker yang dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa kepada pasien selaku konsumen
kesehatan.
Selanjutnya, Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha. Pasal 19 ayat 1 Pasal 28 undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pelaku usaha akan membayar ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerugian jika ia tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan suatu kesalahan.
Namun, konsumen yang dirugikan tidak akan mendapat ganti rugi sedikitpun jika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kerugian yang ditimbulkan bukan merupakan
kesalahannya. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang memasukkan
pelayanan kesehatan sebagai objek hukum perlindungan konsumen, dan menempatkan penerima layanan kesehatan sebagai konsumen serta tenaga kesehatan sebagai pelaku
usaha dalam hubungan hukumnya. Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya UUPK telah ada beberapa UU yang materinya melindungi konsumen, seperti UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung hukum umbrella act bagi peraturan perundangan-undangan lainnya yang berhubungan dengan konsumen.
Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap hukum
dan etika tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya. Untuk lebih jelasnya maka dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatur secara tegas mengenai tanggungjawab pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen.
Apoteker dapat dimintakan tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa
pelayanan kesehatan. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan atau kelalaian apoteker yang menimbulkan kerugian terhadap
pasien menimbulkan hak bagi konsumen untuk menggugat ganti rugi. Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen atau penerima jasa
pelayanan kesehatan terhadap apoteker terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan ini
mengatur mengenai perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu apoteker berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar
perawatan kesehatan. Begitu pula untuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan,
maka ganti rugi diberikan dengan syarat yang sama dengan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan orang mati
sebagaimana di atas. Hanya saja ganti rugi yang dapat dituntut dalam hal menyangkut perbuatan melawan hukum yang berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan
luka atau cacatnya anggota badan adalah penggantian biaya penyembuhan dan ganti rugi yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut Pasal 1371 KUH Perdata. Penilaian
terhadap ganti rugi inilah yang biasanya akan dipakai oleh hakim dalam memberikan
keputusan menyangkut ganti rugi yang dimintakan oleh pasien selaku konsumen kesehatan apabila terjadi kasus malpraktek
56
Lain halnya dengan pemberian ganti rugi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pemberian ganti rugi
menurut Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu
ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga
kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan. Pemberian ganti kerugian juga dalam tenggang waktu 7 tujuh hari sejak terjadinya transaksi Pasal 19 ayat 3 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999. .
2. Kendala Pemenuhan Hak Atas Ganti Kerugian Bagi Konsumen Kesehatan;
Kata malpraktek tidak ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 55 ayat 1 UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, hanya
menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal 50 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran berbunyi: dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur
operasional. Adapun pasal 359-360 Kitab Undang Undang Hukum Pidana KUHP menyebutkan kelalaian medis yang dianggap tindak pidana hanyalah yang culpa lata atau
kelalaian besar. Kelalaian di sini berarti harus ada kewajiban yang dilanggar dan harus ada cedera atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran tersebut. Syarat lainnya,
56
Soekantao. Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV. Ramadya Karya. 2005
cedera atau kerugian tersebut sudah diketahui dan akibat ketidak hati-hatian yang nyata di mana tidak terdapat factor pemaaf atau faktor pembenar
57
Di lain sisi pasien sendiri mengalami kesulitan untuk menuntut apoteker secara hukum, sebab tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktek,
kecelakaan dan kelalaian. Ganti rugi hanya diberikan bila terbukti ada kerugian yang ditanggung pasien. Sedangkan beban pembuktian itu sendiri ada pada pasien. ”Hukum
pidana dan atau perdata dapat dilakukan pada apoteker hanya bila terjadi kecacatan atau kematian atau reaksi tubuh yang tidak diharapkan akibat dari pelayanan yang tidak sesuai
dengan kaidah medis”. Malpraktek yang dapat digugat pasien hanya kelalaian medik yang dilakukan apoteker yang menimbulkan kerugian
.
58
Dalam dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yaitu
dalam Pasal 22 dan 28, kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal yang demikian, selama pelaku
usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan
wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut. .
3. Penyelesaian Hukum Dalam Hal Adanya Kelalaian Kesalahan Informasi Kepada
Konsumen
57
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hal. 6.
58
Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001
Kesalahan yang umumnya terjadi yang dilakukan apoteker di Apotek Umi Farma terhadap konsumen adalah kesalahan akibat pemberian obat dengan nama obat yang
sama namun kualitas berbeda, kesalahan dalam membaca resep. Biasanya hal ini dikarenakan konsumen yang tidak menjelaskan mengenai keluhan yang ia derita.
Keluhan ini menurut apoteker terbagi menjadi dua yaitu keluhan biasa dan keluhan yang berbahaya. Keluhan biasa yaitu mengenai kulaitas obat dan pelayanan terhadap
konsumen. Akibat yang timbul dari keluhan biasa adalah konsumen akan pindah ke apotek lain. Sedangkan keluhan berbahaya adalah keluhan konsumen setelah membeli
dan menggunakan obat dari apotek, seperti kualitas obat dan efek samping obat. Akibat yang timbul dari keluhan berbahaya adalah apoter dapat dituntut oleh konsumen sampai
ke pengadilan. Selain itu, pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker belum
dilaksanakan dengan maksimal dimana kehadiran seorang apoteker berada di apotek cukup rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, secara umum apotek
yang mereka kelola adalah apotek milik PSA pemilik sarana apotek dimana pemilik apotek cenderung mengutamakan untung atau sisi bisnis mereka. Secara tidak langsung
atau mendorong apoteker mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, kebanyakan resep yang masuk setiap hari adalah kurang dari 20 lembar dan
biasanya resep yang masuk pada jam tertentu sehingga pelayanan di apotek lebih dilakukan oleh asisten apoteker.
Salah satu penerapan standar kefarmasian di apotek adalah mewujudkan adanya apoteker pendamping sehingga apotek tidak akan ditinggalkan oleh apoteker dan
pelayanan dapat tercapai, tetapi dari data yang diperoleh penulis menunjukkan apoteker
pendamping secara umum di apotek belum ada. Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang
apotek pasal 4 ayat 1 dinyatakan bahwa pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa banyaknya
apoteker hanya berperan sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan bekerja hanya sebagai pekerjaan sambilan bukan sebagai pekerjaan pokok dimana kehadiran mereka
tidak pada sepanjang jam buka apotek. Konsumen dapat langsung menuntut apoteker untuk mengganti obat atau
mengembalikan uang pembeliannya. Hal ini harus diselesaikan dalam jangka waktu tujuh hari setelah terjadinya transaksi tersebut, yang berarti juga konsumen harus dengan
segera mengajukan tuntutannya. Cara yang dimaksud oleh Pasal 19 ayat 1 UUPK tidak jelas. Akan tetapi dengan menyimak Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, pastilah yang dimaksud bukan melalui suatu badan dengan acara pemeriksaan tertentu. Dengan penetapan jangka waktu tujuh hari setelah transaksi
sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat 3 UUPK konsumen, maka dapat diduga penyelesaian sengketa yang dimaksudkan disini adalah penyelesaian sederhana dan
praktis yang ditempuh dengan jalan damai. Dengan ini berarti bahwa sengketa konsumen diselesaikan terlebih dahulu dengan
pertemuan langsung antara apoteker dengan konsumen atau melalui bantuan pihak ketiga. Dengan negosiasi, terjadi proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan terhadap
penyelesaian konsumen yang terjadi antara apoteker dengan konsumen.
Pada penyelesaian seperti ini, kerugian yang dapat dituntut sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 UUPK terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran dan kerugian lain
akibat dari mengkonsumsi obat. Bentuk penggantian kerugiannya dapat berupa: 1.
Pengembalian uang seharga pembelian obat 2.
Penggantian obat sejenis atau setara nilainya 3.
Perawatan kesehatan 4.
Pemberian santunan yang sesuai Pilihan bentuk penggantian kerugian bergantung pada kerugian yang sungguh
sungguh diderita oleh konsumen dan disesuaikan dengan hubungan hukum yang ada diantara mereka. Dalam hal ini misalnya konsumen dapat menuntut supaya uangnya
dikembalikan atau obat yang telah dibeli diganti dengan obat yang sejenisnya. Namun demikian, tuntutan penggantian kerugian ini bukan atas kerugian yang
timbul karena kesalahan apoteker sendiri. Dalam hal ini Undang-Undang memberi kesempatan kepada apoteker untuk membuktikan bahwa konsumen telah bersalah dalam
hal timbulnya kerugian itu. Kalau apoteker berhasil membuktikannya, ia bebas dari kewajiban membayar ganti kerugian. Misalnya, konsumen sakit karena salah memakai
obat, yaitu tidak menaati aturan pakai yang tertera di dalam pembungkus obat tersebut. Jika apoteker tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut atau diantara
mereka tidak ada penyelesaian, konsumen dapat mengajukan kasusnya ke Badan Penyelesain Sengketa Konsumen BPSK atau ke pengadilan. Mengikuti ketentuan Pasal
23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ini dapat ditempuh yaitu jika penyelesaian secara damai di luar proses pengadilan
tidak berhasil, baik karena apoteker menolak atau tidak member tanggapan maupun tidak tercapai kesepakatan.
Penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan melaui tiga tahapan, yaitu
59
1. Upaya penyelesaian secara mediasi
:
Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK. Penyelesaian sengketa menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan
sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk dan upaya lainnya. Hasil
musyawarah dikeluarkan sebagai keputusan BPSK. 2.
Upaya penyelesaian melalui konsiliasi Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK.
Penyelesaian sengketa menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK bertindak pasif sebagai
konsiliator. 3.
Upaya penyelesaian melalui proses arbitrase Para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada majelis BPSK untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi. Para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Selanjutnya arbiter
yang dipilih para pihak kemudian memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Maka sengketa konsumen masih dapat
diserahkan ke pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan
59
Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007
mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan
Herziene Inlands Regeling HIR yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura atau Rechtsreglemen Buitengewesten RBg yang berlaku bagi daerah luar Jawa dan
Madura. Keduanya tidak mempunyai perbedaan yang mendasar prinsipil Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ancaman sanksi
administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak dua 2 Ratus Juta Rupiah dan sanksi pidana berupa ancaman pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana
denda paling banyak dua 2 Milyar Rupiah apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan apoteker sebagai pelaku usaha atas ketentuan yang berlaku.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan