Pengaturan Tugas Apoteker Tanggung Jawab Apoteker

BAB IV TANGGUNG JAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengaturan Tugas Apoteker Dan Dasar Hukum Serta Bentuk-Bentuk Kelalaian Yang Sering Dilakukan Apoteker Yang Merugikan Konsumen Dalam Menjalankan Tugas.

1. Pengaturan Tugas Apoteker

Pembatasan pengkajian hukum yang diantaranya menyangkut tenaga farmasi dalam hal ini adalah apoteker, beranjak dari tenaga kesehatan yang sangat mudah ditemui di seluruh pelosok tanah air dan wilayah hukum Indonesia, menyangkut farmasi. Bahkan produk-produk farmasi, baik berupa obat-obatan dan peralatan kesehatan lainnya, semakin mudah diperoleh di berbagai tempat. Sejarah pendidikan tenaga farmasi, sebagai bagian tidak terpisahkan dari tenaga kesehatan, tidak ada perubahan yang signifikan. Persyaratan untuk menjadi apoteker harus melalui saringan yang ketat, dan nilai-nilai matematika harus tinggi. Demikian pula halnya dalam Stara S1 dan S2 pendidikan farmasi tetap melakukan seleksi yang sangat ketat baik terhadap nilai akademis dari para calon, serta persyaratan kesehatan lainnya. Risiko yang sangat tinggi bagi profesi tenaga farmasi menyangkut keselamatan dan kesehatan pasien serta warga masyarakat luas, menyebabkan informasi tentang tenaga farmasi beserta organisasi profesi kode etik, menjadi sangat terbatas. Walaupun demikian, aspek pembinaan dan pembinaan berjalan sesuai dengan sistem yang berlaku 45 Selama proses pendidikan, biasanya selalu diseleksi secara alami sehingga bagi yang nilai akademisnya rendah, otomatis mereka akan berhwenti di tengah jalan. Pada jenjang keserjanaan, . 45 Rini Sasanti. Persepsi Konsumen Di Apotek Terhadap Pelayanan Apotek Di Tiga Kota Indonesia. Jakarta: www.sasantilitbang.depkes.go.id tenaga farmasi, adalah mereka yang masuk dalam fakultas farmasi. Dan sampai saat ini, masih sangat terbatas jumlah fakultas farmasi di pendidikan tinggi negeri. Keterbatasan Fakultas farmasi di universitas negeri, tentu saja juga terbatas pula fakultas farmasi di universitas swasta lainnya di Indonesia. Dalam perspektif keilmuan, sangat terbatasnya pendidikan farmasi di tingkat universitas, disamping proses seleksi yangs angat ketat, juga untuk menjaga kualitas lulusan sarjana farmasi, yang terus menerus dipertahankan sepanjang masa. Disamping itu, instansi pendukung seperti laboratorium dan peralatannya untuk menghasilkan tenaga farmasi yang professional, juga sangat mahal dan terbatas 46 Dalam perkembangan sekarang, tenaga farmasi di berbagai apotek dan toko obat, mulai melakukan penjualan obat yang seharusnya melalui resep, secara bebas. Warga masyarakat sangat diuntungkan dengan keadaan ini. Namun warga masyarakat sesungguhnya dirugikan dengan adanya penjualan obat yang secara bebas, karena menyangkut dosis, resistensi obat dan bahaya-bahaya yang lain. . Sesuai kode etik, standard profesi dan peraturan perundang-undangan yang ada, apoteker bekerja sesuai kompetensinya. Saat ini semakin banyak ditemui apoteker langsung memberikan obat, walaupun tanpa resep dokter, meskipun ada buku panduan terhadap penyakit tertentu dari Dirjenbinfar. Pengaturan kedudukan hukum dan pengaturan tugas apoteker dalam menjalankan tugasnya yaitu 47 a. Aspek Hukum : 46 Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo. http:www.ums.ac.id 47 Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, 2009 Tenaga kesehatan yang tercakup dalam pengkajian ini, berkenaan bahwa Indonesia adalah Negara hukum, sudah barang tentu, semua sikap dan tindak dalam menjalankan profesinya, harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, dalam rangka memberikan perlindungan hukum pada saat menjalankan profesinya, hukum, juga selalu dan harus melihat standard profesi, kode etik, dan dalam keadaan bagaimana tenaga kesehatan tersebut dalam bersikap tindak. 1. Pidana Secara umum, dalam aspek hukum tentang tenaga kesehatan, sesuai perkembangan hukum di Indonesia, diantaranya adalah beberapa pasal dalam KUHP, yaitu pasal 263, 267, 294 ayat 2, 249, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531. Penafsiran dan penerapan pasal-pasal tersebut, harus dilakukan secara ekstra hati-hati, professional, dan melalui pendapat pakar di bidang kedokteran dan kesehatanh lainnya, apakah sesuai dan selaras standard profesi. Apakah memenuhi unsur kelalaian dan kesalahan atau tidak. Ataukah memang keadaan umum pasien yang sudah tidak ada harapan. 2. Perdata Menurut hukum perdata, dalam pertanggungjawaban perdata profesi tenaga kesehatan, diatur dalam pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata. Tenaga medis, tenaga keperawatan, dan tenaga farmasi, dapat dipertanggungjawabkan sesuai pasal-pasal tersebut. Pada pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”. Pada pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Pada pasal 1367 KUHP “Seseorang harus memberikan pertanggung- jawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dan tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. 3. Administratif Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aspek hukum pidana, dan hukum perdata, aspek administratif dari pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, merupakan suatu kelengkapan nyang sangat komprehensif. b. Aspek Fasilitasi Profesi tenaga farmasi selalu taat asas, teliti dan hati-hati setiap bersikap tindaki. Tenaga farmasi selalu berdasarkan rumusan-rmusan, serta dalil-dalil yang baku, setelah melalui penelitian yang cermat, terbuka, dan telah melalui proses penggunaan obat secara universal. Dari aspek kebebasan profesi, tenaga farmasi, tidak diberikan kebebasan menurut perkiraan mereka sendiri. Semuanya serba terukur, sesuai standar yang bersifat universal dan juga ada ketentuan tentang masa berlakunya. Perubahan dan pencampuran komposisi obat yang telah lama diberlakukan, bisa dihentikan atau dilarang kalau berdasarkan hasil penelitian utamanya di berbagai Negara yang sudah maju dan modern dengan budaya penelitian obat yang sudah diakui oleh organisasi kesehatan sedunia World Health Organization WHO. Dalam profesi sehari-hari yang dilakukan di apotek, tenaga farmasi dilarang mengganti obat dari dokter yang memberikan resep. Kecuali obat tersebut sama dan dari pabrikprodusen yang berbeda. Dalam hal tenaga farmasi tersebut ragu terhadap penulisan resep dokter, baik menyangkut kemungkinan pemberian resep dokter ternyata pada jenis obat yang sama, dan hanya produsennya berbeda, tenaga farmasi harus menghubungi dokter untuk menanyakan hal itu 48 Khusus untuk pemberian obat jenis narkotika dengan golongan yang tinggi, dan penggunaannya harus diawasi secara ekstra ketat, tenaga farmasi dimungkinkan menanyakan langsung pada dokter yang memberikan resep ataupun mencoba mengingatkan dokter tentang resep tersebut. Karena hal ini dapat terjangkau dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahkan perlu memperhatikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. . Berkenaan dengan semakin banyaknya produk-produki farmasi yang beredar di tengah masyarakat sesuai era perdagangan bebas, tenaga farmasi harus mencermati peredaran produk farmasi tersebut, apakah berbahaya bagi ummat manusia, khususnya di Indonesia. Dan sesuai dengan profesinya, serta sebagai tanggung jawab pada masyarakat Indonesia, diharapkan merespon dan melaporkan pada pihak Badan Pengawasan Obat dan Makanan BPOM. 48 Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo. http:www.ums.ac.id Kebebasan dan tanggung jawab profesi tenaga farmasi justru dibatasi oleh tenaga farmasi sendiri. Namun berkenaan bahwa Negara Indonesia adalah sangat luas serta masih sangat banyak daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan secara minimal, tenaga farmasi menengah lulusan asisten apoteker, terkadang sangat berperan di daerah tersebut. Sehingga, dari situasi dan kondisi yang bersifat kedaruratan, tanggung jawab tenaga farmasi dapat disimpangi. Namun harus dilihat apakah standar pelayanan minimal dan etika profesi, dapat mendukung tenaga farmasi pada waktu itu 49 c. Aspek Peraturan Perundang-undangan . Tenaga kesehatan, yang dalam konteks ini dibatasi pada profesi tenaga medis dokter, dan dokter gigi, perawat dan bidan, serta tenaga farmasi merupakan unsur strategis dalam pelayanan kesehatan, termasuk upaya penyembuhan, pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Sebagai perwujudan pengamalan Negara hukum yang mensejahterakan masyarakat welfare state, tenaga kesehatan telah dilindungi melalui berbagai peraturan perundang- undangan. Namun demikian peraturan perundang-undangan berupa berbagai undang-undang tersebut, baik itu Udnang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, serta beberapa undang-undang lain, belum ada peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah PP. sehingga, disamping sangat mengganggu profesi tenaga kesehatan, juga membatasi serta tidak adanya jaminan kepastian hukum. Melihat kemampuan Apoteker yang sesuai dengan pedidikannya, menunjukkan betapa pentingnya peranan Apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, yaitu dengan 49 Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo. http:www.ums.ac.id memberikan suatu informasi yang jelas kepada pasien masyarakat. Contoh : Penggunaan obat aturan pakai, akibat yang ditimbulkan oleh obat dan sebagainya. Karena mengingat sebagaian besar masyarakat tidak mengetahui hal tersebut, sehingga pemberian informasi yang jelas dan tepat sangat dibutuhkan demi keamanan dan keselamatan pemakai obat. Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada saat Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang harus dilayani, sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya kepada pasien sangat mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan untuk menjelaskan secara langsung tentang obat yang akan dipakainya 50 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Apoteker diserahi tanggung jawab secara penuh dalam mengelola Apotek, ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan Apotek. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 berbunyi: . 1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi. 2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan. 3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2 dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang Dokter berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek. Apoteker harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek SIPA ketentuan tersebut terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat 1 dan 2. Ayat 1 berbunyi: 50 Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001 Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di atas Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal dengan mencantumkan: a. Nama dan alamat Apotek pemohon; b. Nama Perguruan Tinggi tempat Apoteker dan Tanda Lulus sebagai Apoteker; c. Nomor dan tanggal Surat Izin Kerja; d. Keterangan tempat kerja bagi mereka yang telah bekerja. e. Surat Keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mengelola Apotek, yang diberikan oleh Perguruan Tinggi atau Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Pengelolaan Apotek yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal; f. Pas foto ukuran 4 x 6. B. Tanggung Jawab Hukum Apoteker Terhadap Konsumen ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberlakukan, maka prinsip tanggungjawab yang dianut di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah prinsip tanggungjawab atas dasar praduga rebuttable presumption of liability principle. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat 1 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat digugat untuk mengganti kerugian. Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara produsen, tetapi semua yang dinyatakan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai pelaku usaha, termasuk di dalamnya adalah apoteker yang dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa kepada pasien selaku konsumen kesehatan. Selanjutnya, Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha. Pasal 19 ayat 1 Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pelaku usaha akan membayar ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerugian jika ia tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan suatu kesalahan. Namun, konsumen yang dirugikan tidak akan mendapat ganti rugi sedikitpun jika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kerugian yang ditimbulkan bukan merupakan kesalahannya 51 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang memasukkan pelayanan kesehatan sebagai objek hukum perlindungan konsumen, dan menempatkan penerima layanan kesehatan sebagai konsumen serta tenagan kesehatan sebagai pelaku usaha dalam hubungan hukumnya. Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya UUPK telah ada beberapa UU yang materinya melindungi konsumen, seperti UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung hukum umbrella act bagi peraturan perundangan-undangan lainnya yang berhubungan dengan konsumen. . Tenaga kesehatan yang dimaksudkan disini adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Sesuai ketentuan Pasal 53 ayat 2 UU Kesehatan, setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Baik standar profesi pada umumnya maupun standar profesi mediknya. 51 Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007 Demikian pula dengan penghormatan hak, baik hak-hak pasien pada khususnya, maupun hak- hak konsumen pada umumnya. Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap hukum dan etika tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya. Untuk lebih jelasnya maka dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur secara tegas mengenai tanggungjawab pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen. Apoteker dapat dimintakan tanggung jawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran medical liability, dalam hal apoteker berbuat kesalahan atau kelalaian. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi 52 Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen atau penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap apoteker terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan ini mengatur mengenai perbuatan melawan hukum.. Begitu pula untuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan, maka ganti rugi diberikan dengan syarat yang sama dengan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan orang mati sebagaimana di atas. Hanya saja ganti rugi yang dapat dituntut dalam hal menyangkut perbuatan melawan hukum yang berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan adalah . 52 Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007 penggantian biaya penyembuhan dan ganti rugi yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut Pasal 1371 KUH Perdata. Penilaian terhadap ganti rugi inilah yang biasanya akan dipakai oleh hakim dalam memberikan keputusan menyangkut ganti rugi yang dimintakan oleh pasien selaku konsumen kesehatan apabila terjadi kasus malpraktek. Lain halnya dengan pemberian ganti rugi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pemberian ganti rugi menurut Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan. Pemberian ganti kerugian juga dalam tenggang waktu 7 tujuh hari sejak terjadinya transaksi Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Dalam dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yaitu dalam Pasal 22 dan 28, kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal yangdemikian, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut. Dari uraian di atas, dapat dilihat adanya perbedaan beban pembuktian yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan pembuktian yang diatur dalam Hukum Acara yang berlaku menurut KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 1865 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang mendalilkan adanya sesuatu hak dalam hal ini konsumen sebagai pihak yang dirugikan, maka pihak konsumen harus dapat membuktikan bahwa 53 a. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian; : b. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang danatau jasa tertentu yang tidak layak; c. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan atau pemakaian dari barang danatau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu; d. Konsumen tidak ”berkontribusi”, baik secara langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut. Berdasar pada Pasal 19 ayat 3, ganti kerugian akan diberikan kepada konsumen dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi, sehingga apabila konsumen yang mengkonsumsi barang di hari kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan penggantian kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita kerugian. Ketentuan ini juga menjadi salah satu kendala dalam memberikan ganti kerugian kepada konsumen mengingat dalam dunia kedokteran menyangkut kasus malpraktek, kerugian yang diderita oleh konsumen kesehatan biasanya lebih dari tenggang waktu 7 tujuh hari sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat 3 Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, hal tersebut juga yang menyebabkan hakim lebih condong untuk menyelesaikan kasus malpraktek yang terjadi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan sebagaimana dalam KUH Perdata dan bukan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Padahal dapat dilihat bahwa dalam Undang-Undang 53 Johan Nasution, Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005 Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian yaitu menyangkut asas pembuktian yang dianut dalam undang- undang tersebut menggunakan asas pembuktian terbalik, sehingga pihak pelaku usaha yang harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian yang diderita oleh konsumen. Hal ini berbeda denganketentuan pembuktian dalam Hukum Acara Perdata yang mana tetap berlaku asas haknya itu, sehingga di sini konsumen yang harus membuktikan kesalahan pada pelaku usaha.

C. Akibat Hukum dan Penyelesaian Dalam Hal Adanya Kelalaian Kesalahan Informasi Kepada Konsumen

Dokumen yang terkait

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENGGUNA JASA PENITIPAN HEWAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 9 50

Tanggung Jawab Perusahaan Air Minum Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Perusahaan PT. Tirta Sibayakindo Berastagi)

6 51 119

Analisis Terhadap Tanggung Jawab Penyelenggara Jasa Transportasi Go-Jek Ditinjau Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 1

Tanggung Jawab Media Penyiar Iklan Terhadap Konsumen Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 126

Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Di Kota Semarang.

1 4 136

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN - Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 1 33

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PT POS INDONESIA CABANG SEMARANG TERHADAP KONSUMEN POS EXPRESS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI

0 1 9

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PT POS INDONESIA CABANG SEMARANG TERHADAP KONSUMEN POS EXPRESS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI

0 0 9