pada lingkaran ideologi patriarki, yaitu budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan subordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana
laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. http:www.hariankomentar.comarsiparsip_2007mar_08lkOpin001.html
Perempuan pun masih hidup dalam sosialisasi yang semakin mengukuhkan citra bakunya. Konsep yang mempercayai bahwa kodrat
perempuan sebagai makhluk dengan tugas utama dan mulia sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, lebih emosional dan fisiknya kurang
kuat. Maka dengan “kodrat” seperti itu, perempuan dianggap lebih pantas bekerja di sektor domestik. Jika dalam bahasa Jawa dikenal “3M”, manak
melahirkan, masak, dan macak berhias. Meskipun tidak sedikit data disuguhkan untuk menumbangkan asumsi ini, tetapi kebudayaan semacam ini
terus berlangsung. Subandy, 2007:7
2.3. Konstruksi Sosial Gender
Sedangkan konsep gender lainnya yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara social cultural, dimana
sifat-sifat ini dapat dipertukarkan. Menurut Mansour Fakih 1996:8, diberikan beberapa contoh :
“Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap : kuat, rasional, jantan, perkasa.
Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan. Sementara ada
juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa.”
Mansour Fakih juga menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat itu bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut
adalah hasil konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat. Fakih, 1996:10
Keberadaan konstruksi gender yang berlangsung dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu adat istiadat, kultur, lingkungan dan pranata
membesarkan dan mendidik anak, lingkungan dan pranata gender, differensiasi perbedaan gender, struktur yang berlaku, kekuasaan. Kemudian dari hal-hal
tersebut terjadi pembentukan stereotipe yaitu pelabelan yang dilekatkan pada laki-laki maskulinitas dan perempuan feminitas secara obyektif.
Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat Tuhan karena
sifat-sifat yang ada di dalamnya bisa dipertukarkan. Sebagai pendapat Caplan dalam Fakih 1996:72 bahwa perebedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat
bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis sex akan tetap tidak berubah.
Maka struktur patriarki memiliki peran yang penting dalam melanggengkan keberadaan gender. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari
sejarahnya dimana pengaruh ideologi patriarki dalam tatanan hidup sehari-hari
kemasyarakatan kita yang meletakkan secara tegas peran antara laki-laki dan perempuan, seperti yang dikemukakan oleh Mosse 1996:65 :
“Pada awalnya, patriarki memang untuk menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai kekuasaan namun pada akhirnya, istilah
patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut
kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.”
Dari pendapat Julia Claves Mosse di atas dapat disimpulkan bahwa konstruksi sosial gender yang berasal dari patriarki mengakibatkan struktur sosial
yang tidak adil bersifat tidak setara antara mayoritas dan minoritas. Minoritas disini tidak di dasarkan pada jumlah melainkan posisi dalam konstruksi sosial di
mana perempuan berada di posisi subordinasi terhadap laki-laki akibat nilai yang mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas. Sehingga
timbulnya ketidakadilan gender adalah implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas.
2.4. Laki-laki Lemah Dalam Potensi Seksualitas