PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

(1)

PENGGAMBARAN LAKI-LAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD)

  SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa

Timur

           

    Oleh :  

DESAK GDE KALPIKA ADITAMA NPM : 0643010128

 

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

DESAK GDE KALPIKA ADITAMA NPM. 0643010128

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada 9 Juni 2010

Menyetujui, Pembimbing Utama

Juwito, S.sos, MSi NIP. 3 6704 95 0036 1

Tim Penguji : 1. Ketua

Juwito, S.sos, MSi NIP. 3 6704 95 0036 1

2. Sekretaris

Drs. Kusnarto, MSi NIP. 19580801 198402 1 00 1

3. Anggota

Dra. Catur Suratnoaji, MSi NIP. 3 6804 94 0028 1

Mengetahui, D E K A N

Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2 00 1


(3)

Segala puji syukur dan Astungkara atas Waranugraha Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena berkat rahmat dan sinar suci-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi dengan judul PENGGAMBARAN LAKI-LAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band T.R.I.A.D. dalam album T.R.I.A.D.).

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan laporan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, hal ini disebabkan karena sangat terbatasnya ilmu dan pengalaman yang dimiliki penulis dalam menyusun tugas akhir atau skripsi ini. Meskipun demikian, dalam menyusun laporan skripsi penulis telah banyak mendapat bantu dalam memberikan petunjuk, koreksi, dan saran yang bersifat membangun pola pikir, daya kritis, dan memperluas ilmu pengetahuan serta wawasan untuk penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Laporan Skripsi ini, diantaranya adalah :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati Msi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, Msi, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Sekaligus


(4)

v

serta pinjaman buku untuk menambah literatur penulis.

5. Ajik, Ibu, dan Mama, terima kasih karena selalu memberikan dukungan moral, materiil, saran dan kritik membangun serta doa yang tak henti-hentinya demi keberhasilan penulis dan selalu memberikan kasih sayang yang tak terbatas dan tak bisa dibayar dengan apapun.

6. Kakak dan adikku, Bde, Bli Wira, dan Nanda tersayang atas semangat dan motivasinya.

6. Wi Sidiarta, yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan perhatiannya.

7. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan penulis, TEDDY, DEDE’, MOMO, ICA, makasi karena telah banyak membantu penulis dari mulai kuliah sampai akhirnya bisa menyelesaikan Laporan ini.

8. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan semangat, maaf ga bisa nyebutin satu-satu tapi thank’s atas semuanya.

9. Seluruh dan segenap pengalaman manis dan pahit kehidupan, kejadian atau peristiwa yang senantiasa membuat penulis berpikir dan


(5)

kekurangan dalam menyusun proposal skripsi ini, untuk itu kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan Proposal Skripsi ini.

 

Surabaya, Mei 2010

Penulis


(6)

vii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii

KATA PENGANTAR………...………... iv

DAFTAR ISI ……….………... vii

DAFTAR LAMPIRAN………..….………... x

ABSTRAKSI... xi

BAB I PENDAHULUAN………..….………... 1

1.1. Latar Belakang Masalah………...……….…… 1

1.2. Perumusan Masalah...……...……….. 9

1.3. Tujuan Penelitian...………....……...….. 9

1.4. Manfaat Penelitian...………... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………...……….………... 11

2.1. Landasan Teori...….…….……...……. 11

2.1.1. Komunikasi Sebagai Produksi dan Pertukaran Makna... 11

2.1.2. Musik dan Lagu...……...………..………... 14

2.1.3. Jenis-jenis Musik...…...…………... 15

2.1.4. Lirik Lagu... 17

2.1.5. Penggambaran ... 19

2.1.6. Konsep Gender... 21

2.1.7. Pendekatan Gender... 24


(7)

viii

2.1.10.2. Dampak Poligami ... 34

2.1.10.3. Poligami Berseri ... 36

2.1.11. Poliandri ... 36

2.1.12. Laki-laki Lemah dalam Percintaan... 36

2.1.13. Musik Sebagai Media Komunikasi... 37

2.1.14. Pendekatan Semiotik ... 38

2.1.14.1. Model Semiotika Saussure... 39

2.1.14.2. Signifier dan Signified... 40

2.1.14.3. Langue dan Parole... 42

2.1.14.4. Associative dan Syntagmatic... 43

2.2. Kerangka Berpikir... 44

BAB III METODE PENELITIAN... 46

3.1. Metode Penelitian...……...………….... 46

3.2. Definisi Operasional...……….…...………. 47

3.2.1. Penggambaran Laki-Laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati”... 47

3.3. Kerangka Konseptual... 48

3.3.1. Unit Analisis...……...……...……….……….... 48

3.3.2. Corpus... 48

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 50

3.5 Teknik Analisis Data... 51


(8)

ix

4.2. Penyajian Data... 57

4.3. Pemaknaan Lirik Lagu “Selir Hati” Menurut Teori Tanda Saussure... 59

4.4. Penggambaran Laki-laki... 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

5.1. Kesimpulan... 100

5.2. Saran... 101

DAFTAR PUSTAKA………...………... 103


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Lirik Lagu... 106 Lampiran 2. Profile personil dan Album T.R.I.A.D... 107


(10)

   

Penelitian ini didasarkan pada fenomena munculnya perubahan stereotype laki-laki terhadap perempuan dalam percintaan. Perubahan ini berupaya memperjuangkan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Beberapa media sudah mulai digunakan sebagai sarana sosialisasi kesetaraan gender dan salah satunya melalui lagu. Penelitian didasarkan pada ketertarikan peneliti pada stereotype yang melekat pada diri laki-laki maupun perempuan.

Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana penggambaran laki-laki yang terdapat dalam lirik lagu “Selir Hati”, dengan menggunakan kajian pustaka yaitu komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, musik dan lagu, penggambaran, konsep gender, pendekatan gender, konstruksi sosial gender, budaya patriarki, laki-laki lemah dalam percintaan, musik sebagai media komunikasi dan pendekatan semiotika Saussure.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan semiotik yang dikemukakan oleh Saussure. Unit analisisnya adalah tanda-tanda berupa tulisan terdiri atas kata-kata yang membentuk kalimat yang ada pada lirik lagu “Selir Hati”. Corpus penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “Selir Hati” yang terdapat dalam album TRIAD. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data yaitu lirik lagu “Selir Hati” penggambaran terhadap lirik lagu ini menggunakan dikotomi-dikotomi dari Saussure tentang signifier (penanda) dan signified

(petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta syntagmatic (sintagmatik) dan

associative (paradigmatik) untuk mencari tahu penggambaran laki-laki yang terkandung dalam lirik lagu “Selir Hati” berdasarkan konsep gender.

Penelitian ini dilakukan dengan cara memaknai setiap kata yang terdapat dalam baris kalimat, dan setiap baris kalimat yang terdapat dalam bait, serta setiap bait dalam keseluruhan lirik lagu “Selir Hati”, sehingga menghasilkan penggambaran terhadap laki-laki dalam lirik lagu tersebut berupa pesan yang ingin disampaikan yaitu laki-laki dalam menjalin hubungan dalam percintaan ternyata tidak menggunakan rasionya akan tetapi lebih dominan melankolis.

Kesimpulan dari hasil analisis dan interpretasi dalam lirik lagu “Selir Hati” laki-laki digambarkan berlawanan dengan stereotype yang melekat padanya. Dalam lirik lagu tersebut laki-laki bersifat pasif dan rela menjadi pihak kedua (selir hati), padahal dalam kenyataannya perempuan lah yang menjadi pihak kedua (selir hati). Lirik lagu “Selir Hati” berupaya untuk menyadarkan kepada masyarakat bahwa sesungguhnya laki-laki dapat menjadi pihak kedua (selir hati) dari perempuan. Hal ini dikarenakan adanya kesetaraan gender yang mengakibatkan laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama dan saling mendominasi.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

l.1 Latar Belakang Masalah

Dunia musik di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat yang tidak pernah surut, ini ditandai dengan banyaknya sebuah hasil karya musik yang dilahirkan dari para pencipta musik atau musisi karya seni. Bagi para penikmat musik ini adalah sebuah konsumsi publik yang secara psikologis merupakan kebutuhan untuk hiburan atau entertainment, bahkan bisa merupakan semangat kehidupan. Sedangkan bagi pencipta musik ini adalah ungkapan yang berkaitan dengan komunikasi ekspresif artinya harus diakui bahwa musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideology) manusia. 

Musik dan lagu merupakan suatu karya seni (budaya) yang mengekspresikan jiwa si pencipta dan lingkungannya. Sebuah karya seni memerlukan sebuah media dalam menyampaikan pesannya, salah satunya adalah musik dan lagu. Berbicara masalah musik dan lagu tidak terlepas dari musik pop dan industri musik. Musik pop disini diartikan sebagai musik populer, bukan hanya genre musik pop. Musik pop dalam komoditasnya sekarang telah dijadikan sebagai sebuah industri yang dapat menghasilkan banyak uang serta mengesampingkan nilai seninya itu sendiri. John Storey dalam bukunya mempunyai asumsi yang dibuat bahwa musik sebagai sebuah industri, industri

1   


(12)

musik menentukan nilai guna produk–produk yang dihasilkan. Paling jauh, khalayak secara pasif mengonsumsi apa yang ditawarkan oleh industri musik. Paling buruk, mereka menjadi korban budaya, yang secara ideologis dimanipulasi melalui musik yang mereka konsumsi.

Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaan lirik lagunya, karena melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia berinteraksi didalamnya. Lirik lagu adalah sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna pesan didalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu untuk memikat perhatian.

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003:7-8).

Menurut pendapat dari Soerjono Soekanto (Rahmawati,2000:1) bahwa musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan dan gejala khas akibat interaksi sosial dimana lirik lagu menjadi penunjang dalam musik tersebut dalam menjembatani isu-isu sosial yang terjadi.


(13)

Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rahmawati (2000:1) yang menyatakan :

“Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.”

Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.

Demikian pula dengan lirik lagu populer Indonesia yang mempunyai kecenderungan lebih menyukai untuk menyuguhkan tema-tema percintaan yang menyedihkan, seperti ditinggal pergi kekasih, ratapan kepatahan cinta dan tema lain sejenis. (Sylado, 1991:146). Sebagian besar dari tema itu, digambarkan bahwa kaum laki-laki menjadi korban dari semua persoalan tersebut dan perempuan di agung-agungkan atau disanjung. Salah satu contoh lagu laki-laki didominasi oleh kaum perempuan adalah lagu yang dipopulerkan oleh Pasto, “Jujur Aku Tak Sanggup”, selain itu ada juga contoh lagu yang dipopulerkan oleh grup band Seventeen yang berjudul “Selalu Mengalah”, oleh grup band Armada “Buka Hatimu”, dan Melly Goeslow yang berjudul “Salah” dan “Keliru”, dan masih banyak lagi yang lainnya. Menurut Melly, menyatakan bahwa perempuan zaman sekarang sudah mandiri, dalam artian tidak memerlukan pria karena pria hanya membuang waktu dan pembuat masalah yang dipentingkan adalah masa depan dan pekerjaan. Dan sudah seharusnya perempuan zaman sekarang berdiri


(14)

sendiri dan tidak harus menuruti perintah laki dan sudah saatnya kaum laki-laki tunduk dibawah kaum perempuan. (www.yahoo.com diakses pada tanggal 3 April pukul 20:49 WIB).

Karena itulah dalam penelitian ini penulis menaruh perhatian pada masalah penggambaran laki atau mengenai bagaimana sosok seorang laki-laki yang digambarkan dalam konteks percintaan oleh Ahmad Dhani, seorang penulis lirik lagu sekaligus pentolan band Dewa. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap lirik lagu “Selir Hati”, karena lirik dalam lagu ini menggambarkan seorang laki-laki yang sedang dilanda asmara cinta, dimana posisi laki-laki itu pada lirik lagu “Selir Hati” tersebut menggambarkan sosok laki-laki sabar menanti, penuh perasaan dan lemah dalam percintaan karena bersedia dijadikan pihak ke dua atau selir hati. Hal ini dipertegas dalam reff lirik lagu “Selir Hati” yang berbunyi:

“Aku rela oh aku rela Bila aku hanya menjadi Selir hatimu untuk selamanya Oh aku rela ku rela”.

Padahal dalam kenyataannya perempuan lah yang menjadi selir hati. Sedangkan dalam lirik lagu tersebut, yang menjadi selir hati adalah laki-laki. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya selir hati dialami oleh perempuan, laki-laki pun bisa menjadi selir hati. Contohnya seperti yang dialami oleh perempuan di Mongolia, perempuan Mongolia menganut sistem Poliandri dimana perempuan disana memiliki dua suami yang mana suami mereka masih


(15)

memiliki ikatan persaudaraan sedarah dan mereka tidak segan untuk tinggal dalam satu atap, walapaun demikian mereka tidak pernah mengalami konflik sedikit pun. Sehingga berbeda dengan laki-laki pada umumnya yang lebih berkuasa dalam segala hal. Padahal dalam sistem patriarki yang berlaku hampir di seluruh Indonesia, telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya daripada laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis (Mustaqim, 2003:1). Menurut Ahmad Dhani selaku pencipta lagu, menyatakan bahwa laki-laki tidak selalu berkuasa dalam berbagai hal apa lagi dalam masalah percintaan. Laki-laki pun dapat tunduk tak berdaya bila berurusan dengan cinta. Maka dari itu Ahmad Dhani menciptakan lagu “Selir Hati” untuk mengungkapkan bahwa tidak selamanya laki-laki itu kuat terutama menyangkut masalah percintaan, ini terlihat dari kenyataan yang terjadi di kehidupan nyata. Walaupun dalam kenyataannya Ahmad Dhani sendiri belum pernah mengalami hal seperti ini. (www.kapanlagi.com diakses pada tanggal 9 Juni 2010 pukul 20:10 WIB)

Ideologi patriarki (dominasi laki-laki) faktanya telah terwujud dalam sistem hukum di Indonesia. (baik dari peraturan dan kebijakan yang ada, struktur dan budaya hukumnya). Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran laki-laki atau suami dan perempuan atau istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik, yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang memilah-milah peran perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah di bakukan oleh negara dalam berbagai


(16)

kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah orde baru. (www.balai desa.or.id/gender.htm diakses pada tanggal 27 Maret 2010 pada pukul 13:15 WIB).

Begitu banyak teori yang mengkaji tentang gender dan telah menjadi pembahasan di berbagai pembicaraan maupun diskusi dalam upayanya memperjuangkan kesetaraan gender. (Fakih,1996:159). Meski gender sering dijadikan pembicaraan, tetapi tidak semua orang memahami makna gender itu sendiri bahkan masih banyak terjadi ketidak jelaan dan kesalah pahaman tentang apa yang dimaksud konsep gender. (Fakih,1996:7).

Seringkali gender disama artikan dengan seks, yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sehingga peran dan tanggung jawab juga dibedakan sesuai jenis kelamin ini. Secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis adalah kodrat atau pemberian tuhan. Sementara gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial (yaitu kebiasaan yang tumbuh dan disepakati dalam masyarakat dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. (www.geocities.com diakses pada tanggal 27 Maret 2010 pada pukul 14:20 WIB). Gender juga bisa diartikan seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa kita maskulin atau feminim (Mosse,1996:2-3). Peran maskulin dan feminim menurut Wijaya (1991:156) disebut juga stereotipe gender.


(17)

Stereotipe laki-laki sebagai kaum yang kuat dan sebagai makhluk yang gigih di berbagai kegiatan seperti dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kenyataan hidup merupakan sebuah konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas yang berbeda sehingga menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan laki-laki selalu terdepan. Stereotipe itu sendiri secara umum memiliki pengertian pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan celakanya pelabelan atau penandaan tersebut selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Seperti pendapat Mansour Fakih (1996:16) yang menyatakan :

“Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang diletakkan kepada mereka”.

Kelas sosial telah menempatkan status perempuan dalam posisi sub ordinasi terhadap laki-laki. Tatanan kelas sosial yang demikian antara lain dengan ditandai dengan kesenjangan kekuasaan dibidang ekonomi (perbedaan akses memperoleh sumber-sumber ekonomi), sosial (pengakuan atas peran yang di emban), kesenjangan politik (perbedaan akses memperoleh peran politik). Apabila dibandingkan dengan perempuan, laki-laki cenderung memperoleh akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi, sosial dan politik karena mereka berada pada puncak hierarki dalam sebuah kelas sosial di masyarakat (Bainar,1998:41).

Bahkan secara lebih tegas perspektif feminisme Marxis melihat hubungan dalam kelas sosial perempuan dan laki-laki sebagai hubungan kekuasaan, dimana kelas sosial laki-laki berkuasa terhadap kelas sosial perempuan, meskipun diantara


(18)

mereka saling membutuhkan dan saling melengkapi. Analogi ini muncul bertolak dari hubungan antara kelas sosial buruh dan kapitalis, perempuan diasumsikan sama dengan kelas buruh (proletar the working class) dan laki-laki sebagai kelas sosial pemilik alat-alat produksi (the bourgeois class) (Fakih,1999:86)

Namun tidak selalu kaum laki-laki mendominasi kaum perempuan, seperti pengamatan penulis terhadap kaum laki-laki disekitar penulis, adanya kesetaraan gender yang mendasari sehingga mengakibatkan laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama. Hal ini dapat dilihat dari adanya kaum perempuan banyak yang bekerja (melakukan aktifitas di luar rumah), adanya kebebasan untuk kaum perempuan dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya, dalam masalah percintaan perempuan tidak terlalu menomor satukan dibuktikan dengan banyaknya kaum perempuan yang tidak mau menikah pada usia muda karena perempuan masih mau mencapai cita-citanya.

Fenomena diatas, menurut penulis ditengarai karena pengaruh konstruksi gender secara sosial dan cultural dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, yang membedakan peran gender perempuan dan laki-laki secara tegas. Di sisi lain, budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat kita ini memiliki peranan sentral. Sebagaimana pendapat Mansour Fakih yang menyatakan bahwa posisi sub ordinasi, steriotipe ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh ideologi dan kultur patriarki, yakni ideologi kelelakian (Fakih,1996:151)

Dari beberapa uraian diatas, menurut Mansour Fakih (1996:9). Konsep gender menunjuk pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun


(19)

perempuan yang dikonstruksikan secara social maupun cultural. Misalnya: bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, tradisional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan, sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri-ciri dan sifat itu dapat dipertukarkan. Dan sedangkan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki seiring waktu dan dari tempat ke tempat.

Selain ketertarikan terhadap lagu yang bertemakan tentang laki-laki dalam lagu “Selir Hati”, terdapat pula ciri khas dalam gaya bahasa yang digunakan dalam lirik lagunya. Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa yang lugas atau direct (langsung), sebuah gaya bahasa yang biasa dianggap gaya bahasa yang “terus terang”. Gaya bahasa yang terus terang ini dapat mengetahui bahwa di balik kekuatan dan keberanian seorang laki-laki, ternyata juga bisa mengalami hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh kaum perempuan. Jarang sekali penyair lagu laki-laki menuliskan tentang kelemahannya, apabila ditulis oleh penulis lirik lagu laki-laki. Beberapa penelitian bidang sosiolinguistik menemukan bahwa bahasa tak langsung (indirect) biasanya lebih banyak digunakan oleh perempuan, sedangkan bahasa yang langsung (direct) lebih banyak digunakan oleh laki-laki, jika obyek dari lirik tersebut adalah orang lain atau lawan jenisnya. (Rahmawati,2000:10).

Penggambaran laki-laki dalam lirik lagu “Selir Hati” menjadi perhatian tersendiri bagi peneliti untuk diteliti dengan pendekatan semiotik. Mengingat


(20)

bidang kajian semiotik adalah mempelajari fungsi tanda dalam teks, yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang berperan membimbing agar bisa menangkap pesan yang terkandung didalamnya (Hidayat, 1996:163-164 dalam Sobur, 2006:106-107).

Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Signifiant adalah bunyi yang bermakna (aspek material), yakni apa yang ditulis atau dibaca. Signifie adalah gambaran mental yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Bertens, 1985:382 dalam Kurniawan, 2001:14). Penelitian ini secara khusus untuk mengetahui bagaimana laki-laki digambarkan dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan grup band TRIAD dalam album TRIAD.

l.2 Perumusan Masalah

Beradasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana penggambaran laki-laki dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD dalam album TRIAD.

l.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui Bagaimana laki-laki digambarkan dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD.

l.4 Manfaat Penelitian


(21)

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Komunikasi Sebagai Produksi dan Pertukaran Makna

Komunikasi adalah salah satu aktivitas manusia yang diakui setiap orang, namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan. Komunikasi adalah berbicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa juga penyebaran informasi; ia pun bisa gaya rambut kita; atau pun kritik sastra. Komunikasi bukanlah, suatu subjek, dalam pengertian akademik yang normal mengenai kata itu, melainkan merupakan suatu area studi multidisipliner (Fiske, 2006:7).

Fiske menyatakan pula bahwa semua komunikasi melibatkan tanda (sign) dan kode (codes). Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar tanda itu sendiri; yakni, tanda menandakan konstruk. Kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan yang menentukan bagaiamana tanda-tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain. Tanda-tanda dan kode itu ditransmisikan atau dibuat tersedia pada yang lain: dan bahwa pentransmisian atau penerimaan tanda atau kode atau komunikasi adalah praktik hubungan sosial (Fiske, 2006:8).

Ada dua mazhab dalam komunikasi menurut Fiske (2006:8). Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan 

12   


(22)

menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Mazhab ini disebut mazhab “proses”.

Mazhab kedua melihat komunikasi, sebagai produksi dan pertukaran makna. Berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, ia berkenaan dengan peran teks, dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi–hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna), dan itu adalah label yang digunakan Fiske untuk mengidentifikasi pendekatan ini (Fiske, 2006:9).

Mazhab Proses cenderung mempergunakan ilmu-iImu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi. Sedangkan Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni, dan cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi.

Masing-masing mazhab menafsirkan definisi kita tentang komunikasi sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama rnendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi berhubungan dengan yang lain, atau mempengaruhi perilaku, state of mind atau


(23)

respons emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini lebih dekat dengan akal sehat (common sense), penggunaan sehari-hari dari frase tersebut. Sementara Mazhab Semiotika rnendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.

Bagi semiotika, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Pengirim yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan bergeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca" dan membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. la juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Kita hanya harus melihat bagaimana koran-koran yang berbeda melaporkan peristiwa yang sama secara berbeda untuk merealisasikan betapa pentingnya pemahaman ini, pandangan dunia ini, yang tiap-tiap koran bagikan kepada para pembacanya. Maka pembaca dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti yang penting dari kegagalan komunikasi.

Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser atau pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang paralel, jika tidak identik, karena mereka


(24)

menduduki tempat yang sama dalam hubungan terstruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukkan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis (Fiske, 2006:11).

pesan teks

makna

referent produser pembaca

Gambar 2.1 Pesan dan makna

2.1.2 Musik dan Lagu

Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya, penggubah musik mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik dalam bentuk sistem tanda perantara tertulis. Bagi semiotikus musik, adanya tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis.

Meski demikian, semiotik tidak dapat hidup hanya dengan sintaksis: tidak ada semiotika tanpa semantik. Jadi, juga tidak ada semiotika musik tanpa


(25)

semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan, harus senantiasa membuktikan hak kehadirannya (Van Zoest, 1993:120-121).

Peranan dan kedudukan lagu adalah penting dalam rangka sosialisasi ide dan gagasan dalam tradisi kebudayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, seorang ahli psikologi Indonesia, Dra. Yaumil A. Akhir (Savitri, 1991:3) menyatakan bahwa musik, lagu dan senandung adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh hidup manusia, sejak dari buaian sampai akhir hayat, secara universal di hampir semua lapisan sosial dan di berbagai kebudayaan, manusia mengenal musik dan lagu menurut caranya masing-masing.

2.1.3 Jenis-jenis Musik

Pada masa ini, masyarakat telah memberi arti bahwa musik populer adalah musik yang mudah diterima oleh kebanyakan orang dan oleh karenanya masyarakat banyak yang menyukainya (Sumaryo, 1978:88). Beberapa jenis musik yang didasarkan pada manfaat agar diketahui lebih dalam adalah :

1. Musik Klasik : terdapat sedikit pergeseran semantik atau pergeseran makna, seperti terjadi pula pada nama atau istilah lain. Ada tiga tafsiran mengenai musik klasik yang sering digunakan, yaitu :

a. Pertama : musik klasik adalah jenis musik terkenal yang dibuat atau diciptakan jauh di masa lalu, tetapi tetap disukai, dimainkan dan diminati orang sepanjang masa sampai sekarang.

b. Kedua : musik klasik ialah jenis musik yang lahir atau diciptakan oleh komponis-komponis pada masa klasik, yaitu masa sekitar tahun 1750-1800.


(26)

c. Ketiga : musik klasik ialah jenis musik yang dibuat pada masa sekarang, tetapi mengambil gaya, corak, ataupun tehnik yang terdapat pada musik klasik dari pengertian pertama dan kedua.

2. Musik Jazz : jenis musik yang dianggap lahir dari New Orleans, Amerika Serikat, pada abad ini merupakan perpaduan antara tehnik dan peralatan musik Eropa, khususnya Perancis dengan irama bangsa Negro asal Afrika Barat, di perkebunan-perkebunan kapas New Orleans Selatan.

3. Musik Keroncong : dalam musik ini dipergunakan peralatan dan pernadaan musik barat, yang dimainkan dan dinyanyikan dengan gaya musik tradisi kita yang sudah ada sebelumnya misal, permainan alat penumbuk padi, kentongan, angklung, dan lain-lain.

4. Musik Populer : jenis musik yang selalu memasukkan unsur-unsur ataupun cara-cara baru yang sedang disukai, atau diharapkan akan disukai oleh pendengar dewasa ini. Tujuannya adalah memperoleh ledakan popularitas sebesar mungkin dan secepat mungkin. Walaupun dua atau tiga tahun kemudian tidak ada lagi yang mendengarkannya.

Ciri musik populer menurut Suka Hardjana yang dilansir Kompas tanggal 19 Mei 2002, merupakan musik orang kebanyakan (common people), komersil, merupakan hiburan, dan salah satu bentuk dari pengaruh kebudayaan barat. (Sobur, 2003:145)

Meski disebut musik populer, dari pemain-pemainnya tetap diminta syarat-syarat musikal. Makin tinggi nilai musikalnya, makin baik. Pemain musik populer tidak begitu merasa ”tegang” seperti pemain musik seriosa. Yang dimaksud ”tegang” disini, ialah suatu rasa tekanan atau ketegangan mental, yang


(27)

disebabkan antara lain adanya kosentrasi yang penuh agar dapat memainkan musiknya sebaik-baiknya (Sumaryo, 1978 :89).

Band musik populer, disingkat band musik pop, bentuknya berganti-ganti terus menurut jamannya, apabila dalam tahun 1930-an yang dinamakan band populer ini berbentuk jazz band atau orkes hawaian, pada waktu sekarang band yang paling populer sebagian besar alat-alatnya dari gitar elektris, lengkap dengan pengeras suaranya. (Sumaryo, 1978:90).

2.1.4 Lirik Lagu

Perkembangan lirik lagu di Indonesia sudah mulai muncul sejak setelah merebut kemerdekaan. Pada paruhan pertama dasawarsa 1950-an. Pada waktu itu masih dilakukan yang dinamakan ”musikalisasi syair” yaitu menggarap komposisi-komposisi lagu terhadap puisi-puisi yang telah terlebih dahulu diciptakan oleh penyair terpandang (Rahmawati, 2002:42).

Musikalisasi syair yang dilakukan oleh para komponis lagu tahun 1950-an itu salah satunya disebabkan oleh keadaan niaga musik yang tidak bisa menunggu lama. Pada saat itu para komponis diharapkan mampu menciptakan sebuah lagu yang diibaratkan seperti kue, dapat dibeli dengan harga murah dan dapat dinikmati selagi hangat, ini membuat kerja para pemusik pun terpaksa tergesa-gesa sehingga menyebabkan pula keterbatasan para pencipta lagu untuk mempersembahkan sebuah karya yang murni dan melodis.

Sebuah lagu tidak bisa direduksi sebatas kata-kata di halaman kertas. Sebagaimana Griel Marcus uraikan, ’kata-kata adalah bunyi yang bisa kita


(28)

rasakan lebih dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami’ (Frith 1983:14 dalam Storey 2007:134). Lirik lagu ditulis untuk dimainkan dan hanya akan benar-benar hidup dalam penampilan seorang penyanyi.

”Dalam lagu, kata-kata merupakan tanda dari suara. Sebuah lagu selalu merupakan performa, dan kata-kata dalam lagu senantiasa diucapkan─sarana bagi suara....struktur bunyi yang merupakan tanda langsung dari emosi serta ciri dari karakter....lagu-lagu pop tidak merayakan sesuatu yang diartikulasikan melainkan sesuatu yang tidak terartikulasikan, dan penilaian terhadap penyanyi pop tidak tergantung pada kata-kata melainkan pada bunyi─pada bunyi yang timbul di sekitar kata-kata.” (Frith 1983:35 dalam Storey 2007:135).

Lirik lagu Indonesia pada perkembangannya mulai meninggalkan kebiasaan mengadaptasi lirik lagu luar negeri, walaupun tidak benar-benar meninggalkannya. Para lirikus Indonesia sudah mulai menciptakan lirik-lirik lagu populer berdasarkan fenomena sosial yang sedang terjadi disekitarnya, walaupun sebagian besar masih bertemakan cinta dengan segala suka dukanya.

Lirik lagu dalam musik pop tidak dimaksudkan sebagai sajak (dan berupaya mengklaimnya sebagai demikian adalah salah adanya). Musik pop meminjam bahasa sehari-hari─klise, kata-kata yang basi, kejadian sehari-hari─dan mementaskannya dalam sebuah permainan suara dan performa yang efektif. Lirik lagu dalam musik pop adalah membuat kata-kata sederhana menjadi enak didengar membuat bahasa yang biasa menjadi hidup dan bertenaga; kata-kata selanjutnya beresonansi─kata-kata itu membawa sentuhan fantasi ke dalam penggunaan biasa kita atas kata-kata itu (Frith 1983:37 dalam Storey 2007:137).

Salah satu lirik lagu yang sedang populer adalah lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD dalam album TRIAD menceritakan tentang


(29)

seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan. Dan secara sadar laki-laki tersebut mau menerima posisinya untuk menjadi selir hati atau kekasih kedua walaupun dia tahu bahwa perempuan tersebut tidak akan pernah menjadi miliknya.

2.1.5 Penggambaran

Penggambaran menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Penggambaran juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Penggambaran adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, penggambaran adalah produksi makna melalui bahasa. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakases pada tanggal 3 April 2010 pada pukul 21:01 WIB)

Menurut Stuart Hall (1997), penggambaran adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut 'pengalaman berbagi'. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam 'bahasa' yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakases pada tanggal 3 April 2010 pada pukul 21:01 WIB).

Menurut Stuart Hall, ada dua proses penggambaran. Pertama, penggambaran mental. Yaitu konsep tentang 'sesuatu' yang ada di kepala kita


(30)

masing-masing (peta konseptual). Penggamabaran mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, 'bahasa', yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam 'bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem 'peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang berfungsi menggambarkan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara 'sesuatu', ‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan penggambaran.

Konsep penggambaran bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep penggambaran yang sudah pernah ada. Intinya adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses penggambaran. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses pada tanggal 3 April 2010 pada pukul 21:06 WIB).

Dalam penelitian ini, penggambaran menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda yang terdapat pada lirik lagu “Selir Hati” dengan mengacu pada konsep gender dan patriarki. Laki-laki tersebut laki-laki sabar menanti, penuh perasaan


(31)

dan lemah dalam percintaan karena bersedia dijadikan pihak ke dua atau selir hati. Hal ini menunjukkan sebagai gambaran realitas kebudayaan yang ada di masyarakat.

2.1.6 Konsep Gender

Selama ini orang menganggap bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada jenis kelamin (seks) saja. Jenis kelamin (seks) adalah persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis pada jenis kelamin tertentu.

Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti “jenis kelamin”) lebih berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik tubuh seseorang (www.media.isnet/diakses pada tanggal 7 April 2010 pada pukul 20:57).

Konsep laki-laki dan perempuan tidak hanya dibagi berdasarkan perbedaan biologis saja. Pada masyarakat ternyata berkembang suatu sistem yang membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan stereotype dan nilai-nilai yang ditanamkan (disosialisasikan) sejak kecil, konsep ini dikenal dengan nama gender.

Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”. Dalam kamus Webster’s New Dictionary, gender diartikan sebagai pendekatan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa peran gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan


(32)

(distinction) dalam peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal “Sex and Gender: An Introdution” mengartikan gender sebagai suatu harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what a given society defines as masculine or feminine is a component of gender).

Kata gender belum masuk dalam pembendaharaan kamus besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dengan istilah “jender”. Jender diartikan sebagai interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (feminity) seseorang. (www.media.isnet.org/diakses pada tanggal 7 April 2010 pada pukul 21:17).

Kemudian muncul bias jender yang berkembang dimana-mana, antara lain: 1. Perbedaan laki-laki dan perempuan, apa yang sesuai untuk laki-laki dan

perempuan meliputi pekerjaan/kegiatan, pendidikan, penampilan, sikap perilaku.


(33)

2. Perbedaan antara apa yang ideal untuk perempuan dan laki-laki, bahkan minat mereka pun berbeda.

3. Perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan.

Akibatnya, muncul beberapa stereotype antara lain laki-laki adalah pencari nafkah, dan perempuan mengasuh anak, dan lain-lain. (Harijani, 2001:2).

Menurut Kreitner dan Kinicki (2003:218) stereotype adalah keyakinan yang membedakan sifat dan kemampuan antara peran perempuan dan laki-laki untuk peran-peran yang berbeda. Misalnya stereotype gender menganggap bahwa perempuan sebagai sosok yang ekspresif, kurang independent, lebih emosional, kurang logis, secara kuantitatif kurang terorientasi dan lebih sering dianggap menentukan, orientasinya kuantitatif, dan lebih otokrasi serta terarah daripada perempuan.

Pandangan stereotype mengamburkan pandangan terhadap manusia secara pribadi, karena memasukkan setiap jenis manusia kotak stereotype. Oleh karena itu seorang pribadi, baik perempuan dan laki-laki merasa tidak pantas apabila “keluar dari kotak” tersebut. Ia akan merasa bersalah apabila tidak memenuhi kehendak sosial, memenuhi label yang telah diciptakan untuk mereka. Pandangan ini telah dibakukan melalui tradisi selama berabad-abad sehingga kodrat yang tidak dapat dirubah, seolah ciri-ciri perempuan dan laki-laki sudah terkunci mati. (Murniati, 2004:XVIII).

Konstruksi sosial bahwa perempuan itu lemah lembut, emosional, keibuan, cantik menyebabkan mereka mendapat tugas untuk bekerja dilingkungan rumah


(34)

tempat tinggal, seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, serta tergantung pada laki-laki. Sedangkan laki-laki dikonstruksikan sebagai seorang yang kuat, rasional, jantan dan perkasa sehingga laki-laki mendapat tugas untuk bekerja diluar rumah. Sebenarnya sifat tersebut dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan untuk berada dilingkungan luar atau dalam rumah (Fakih, 1996:9).

2.1.7 Pendekatan Gender

Masyarakat Indonesia menerapkan standar ganda terhadap norma maskulinitas dan feminitas, menjadi penting untuk lebih memahami relasi gender antara laki-laki dan perempuan, dan juga relasi gender di antara laki-laki sendiri dalam area sosial tertentu (social setting).

Gender sering dipandang sebagai masalah ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi ketimpangan hubungan itu perlu dikaji lebih dalam karena ketimpangan gender yang diukur semata-mata oleh pandangan luar, bisa jadi bias makna, sebab memahami persoalan gender (dan hubungan tidak seimbang itu) harus dengan memahami kebudayaan (jaringan makna) masyarakat pendukungnya. Teori Blau sendiri menyatakan bahwa:

1. Selama seorang individu secara nyata memperoleh ganjaran yang menguntungkan dirinya, baik secara ekstrinsik dan instrinsik, maka hubungan yang oleh orang luar dianggap tidak seimbang manjadi tidak kontekstual.


(35)

2. Selama ketimpangan seksual dan gender itu merupakan sistem norma dan nilai yang didukung masyarakatnya, maka pengalaman dalam hubungan seksual akan senantiasa tidak seimbang.

3. Kelanggengan hubungan yang bercorak penguasa dan yang dikuasai ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak (Hidayana, 2004:61)

Dalam membahas kaum laki-laki dan perempuan konsep penting yang perlu dipahami adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan konsep gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidak adilan sosial baik yang menimpa kaum laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial. Maka sesungguhnya terjadi keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan ketidakadilan sosial lainnya.

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin adalah pembedaan terhadap manusia yang didasarkan pada alat-alat biologis yang melekat padanya. Sebagaimana menurut Mansour Fakih (1996:8) sebagai berikut:

“Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan tuhan atau kodrat.”


(36)

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yaitu: sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksikan secara sosial cultural, dimana sifat-sifat ini dapat dipertukarkan. Masih menurut Mansour Fakih (1996:8), diberikan beberapa contoh:

“Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembuh, keibuan. Sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa.”

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Fakih, 1996:6).

Secara langsung maupun tidak langsung proses sosialisasi gender itu pada akhirnya dianggap sebagai ketentuan tuhan. Dimana jenis kelamin laki-laki harus bersikap maskulin dan jenis kelamin perempuan harus bersikap feminim, sebagaimana streotype yang telah dikonstruksikan. Setiap penyimpangan akan di tolak dalam peran struktural masyarakat.

2.1.8 Konstruksi Sosial Gender

Mansour Fakih menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat itu bias dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat. (Fakih, 1996:10).

Menurut Wijaya (1991:156) keberadaan konstruksi gender yang berlangsung dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:


(37)

“1. Adat kebiasaan. 2. Kultur.

3. Lingkungan dan pranata membesarkan dan mendidik anak. 4. Lingkungan dan pranata gender, differensiasi (perbedaan gender). 5. Struktur yang berlaku.

6. Kekuasaan.”

Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan streotype yaitu pelabelan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin, antara lain stereotype laki-laki (maskulinitas) dan stereotype perempuan (feminitas) secara obyektif, terdapat butir-butir stereotipe maskulin yang bernilai positif, yaitu: mandiri, sangat agresif, tidak emosional, sangat obyektif, tidak mudah dipengaruhi, aktif, logis, lugas, tahu bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat keputusan, percaya diri, ambisius, dan sebagainya (Wijaya, 1991:157).

Disamping terdapat butir-butir stereotipe maskulinitas yang positif, terdapat pula butir-butir stereotipe feminine yang bernilai positif seperti: tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya. (Wijaya, 1991:156)

Mansour Fakih (1991:17) juga menegaskan bahwa masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan di nomorduakan. Stereotipe terhadap perempuan ini terjadi dimana-mana dan gender merupakan akar dari ketidakadilan akibat stereotipe tersebut. Hal ini semakin dilanggengkan oleh kultur masyarakat yang menganggap stereotipe gender yang dilakukan tersebut adalah kodrat Tuhan.


(38)

Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat tuhan karena sifat-sifat yang ada di dalamnya bisa dipertukarkan. Sebagai pendapat Caplan dalam Fakih (1996:72) yaitu:

“perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.”

Seperti uraian diatas, struktur patriarki memiliki peran yang penting dalam melanggengkan keberadaan gender. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari sejarahnya dimana pengaruh ideologi patriarki dalam tatanan hidup sehari-hari kemasyarakatan kita yang meletakkan secara tegas peran antara laki-laki dan perempuan, seperti yang dikemukakan oleh Mosse (1996:65):

“pada awalnya, patriarki memang untuk menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai kekuasaan, namun pada akhirnya, istilah patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.”

Dari pendapat Julia Claves Mosse diatas dapat disimpulkan bahwa konstruksi sosial gender yang berasal dari patriarki mengakibatkan struktur social yang tidak adil bersifat tidak setara antara mayoritas dan minoritas. Minoritas disini tidak di dasarkan pada jumlah melainkan posisi dalam konstruksi social di mana perempuan berada pada posisi subordinasi terhadap laki-laki akibat nilai yang mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas. Sehingga timbulnya ketidakadilan gender adalah implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas.


(39)

2.1.9 Budaya Patriarki

Superioritas laki-laki atas perempuan bisa diurut mulai dari jaman penciptaan adam dan hawa, jaman filosofi yunani kuno sampai zaman modern. Laki-laki dan perempuan tidak hanya dianggap sebagai makhluk yang berbeda, tetapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah pertemuan antara dunia laki-laki dan perempuan adalah “pertempuran seks” (the battle of the sexes). Laki-laki dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan “tidak sama”. (www.kunci.or.id/diakses pada tanggal 8 April 2010 pada pukul 1:50).

Phytagoras, seperti dikisahkan oleh Aristoteles, menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya di tempatkan sebagai “berbeda” tapi juga “berlawanan”. Laki-laki dan perempuan tidak hanya diasosiasikan dari perbedaan fisik saja tapi juga persoalan lain. Misalnya laki-laki diasosiasikan dengan segala sesuatu yang bermakna light, good, right, dan one, sementara perempuan misalnya diidentifikasi dengan sesuatu yang bad, left, oblong, dan darkness. Seperti halnya phytagoras, Aristoteles juga beranggapan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa, secara natural laki-laki itu superior, dan perempuan itu inferior. Yang superior mengatur yang inferior, yang inferior harus rela untuk diatur. Secara natural laki-laki dan perempuan adalah bermakna superior dan inferior, pangaturan dan yang diatur, jiwa dan tubuh, akal dan nafsu, manusia dan binatang, atau makhluk bebas dan budak. Perempuan adalah laki-laki yang impotent. Perempuan adalah makhluk


(40)

yang terdingin dan terlemah di alam. (www.kunci.or.id diakses pada tanggal 8 April 2010 pada pukul 02.09 WIB).

Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peranan penting adalam masyarakat, dalam pemerintahan, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, agama. Dan pada dasarnya perempuan tercerabut dari akses terhadap kekuasaan itu. Pada awalnya patirarki memang untuk menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai kekuasaan umum pada akhirnya, istilah patriarki ini mulai digunakan diseluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak didalam keluarga, dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. (Mosse, 1996:65).

Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu team psikoanalisis yaitu the law of the father yang masuk kedalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992), patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinate. Patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antara laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan. (www.kunci.or.id/diakses pada tanggal 8 April 2010 pada pukul 10:55).

Sylvia Walby (1993), membedakan patriarki menjadi dua yaitu patriarki privat dan patriarki publik. Inti dari teorinya adalah telah terjadinya ekspansi


(41)

wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat, seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu Negara. Patriarki privat bermuara pada wilayah rumah tangga, wilayah ini dikatakan sebagai daerah awal kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan Negara. Dalam wilayah privat, misalnya dalam rumah tangga yang memegang kekuasaan berada ditangan individu (laki-laki), tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada ditangan kolektif (manajemen negara dan pabrik berada ditangan banyak orang).

Rumah adalah tempat dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki terjadi. Pada orang tua melakukan gender pertama-tama pada saat memberi nama anak-anak mereka. Anak laki-laki umumnya diberi nama Joko, Andi, Budi dan seterusnya. Anak laki-laki belajar untuk maskulin dari hadiah yang dibelikan oleh oarang tua dan teman dekat, seperti mobil-mobilan dan robot-robotan untuk anak laki-laki. Hal ini berlanjut juga untuk persoalan perlakuan ayah-ibu terhadap anaknya, anak laki-laki diajari untuk bisa membetulkan genteng yang bocor atau perangkat listrik yang rusak. Orang tua akan cemas dan gelisah jika anak mereka tidak bertingkah laku sesuai dengan garis kostruksi sosial yang telah menetapkan bagaimana anak laki-laki dan perempuan bertingkah. (www.kunci.or.id/diakses pada tanggal 8 April pada pukul 11:13).

2.1.10 Poligami

Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan)


(42)

sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).

Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.

Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita. 2.1.10.1 Poligami dan Agama

1. Hindu

Baik poligini maupun poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu pada zaman dulu. Hinduisme tidak melarang maupun menyarankan poligami. Pada prakteknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta tertentu yang melakukan poligami.

2. Yudaisme

Walaupun kitab-kitab kuna agama Yahudi menandakan bahwa poligami diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.

3.Kristen

Gereja-gereja Kristen umumnya, (Protestan, Katolik, Ortodoks, dan lain-lain) menentang praktek poligami. Namun beberapa gereja memperbolehkan poligami berdasarkan kitab-kitab kuna agama Yahudi.Gereja Katolik merevisi


(43)

pandangannya sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang poligami yang berlaku hingga sekarang.

4.Mormonisme

Penganut Mormonisme pimpinan Joseph Smith di Amerika Serikat sejak tahun 1840-an hingga sekarang mempraktikkan, bahkan hampir mewajibkan poligami. Tahun 1882 penganut Mormon memprotes keras undang-undang anti-poligami yang dibuat pemerintah Amerika Serikat.Namun praktik ini resmi dihapuskan ketika Utah memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat. Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini masih mempraktekkan poligini. 5.Islam

Islam pada dasarnya 'memperbolehkan' seorang pria beristri lebih dari satu (poligami). Islam 'memperbolehkan' seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat 'adil' terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3). Poligini dalam Islam baik dalam hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang memperketat aturan poligini untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia adalah contoh negara arab dimana poligami tidak diperbolehkan.

2.1.10.2 Dampak Poligami

Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami yaitu:


(44)

1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.

2. Dampak ekonomi: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

3. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah

tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, sepertihak waris dan sebagainya.

4. Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virusHIV/AIDS.

5. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.


(45)

Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.

2.1.10.3 Poligami Berseri

Poligami berseri dalam sosiologi adalah sejenis poligami, namun tidak dilakukan pada saat yang bersamaan (paralel) melainkan melalui proses perceraian (perceraian secara hukum, bukan cerai mati). Ketika seorang suami atau seorang istri bercerai lalu menikah lagi, maka hal itu disebut sebagai poligami berseri.

2.1.11 Poliandri

Poliandri adalah satu orang perempuan memiliki banyak suami. Disebut poliandri fraternal jika si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik kandung.

Poliandri berdampak :

- kurangnya keharmonisan dalam hubungan rumah tangga. - dampak psikologis bagi anak yang memiliki banyak bapak. - mendapat celaan dari masyarakat sekitar.

Sehingga poliandri tidak boleh dilakukan. 2.1.12 Laki-laki Lemah dalam Percintaan

Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan, peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil kontruksi sosial (yaitu kebiasaan yang tumbuh dan disepakati dalam masyarakat)


(46)

dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Sementara perbedaan organ biologis antara laki-laki dan perempuan terutama dari segi fisik tentu berbeda. Laki-laki dalam kehidupan percintaan lebih mendominasi, seperti lebih mudah mengambil keputusan dalam segala hal, tetapi ada juga laki-laki yang lemah dalam hal ini bukan lemah secara fisik tetapi, lemah secara sifat maksudnya laki-laki juga bisa sedih, putus asa dalam percintaan, padahal selama ini yang identik mempunyai sifat lemah adalah perempuan, ternyata laki-laki juga mempunyai sifat itu, sebaliknya perempuan juga mempunyai sifat seperti laki-laki, seperti perempuan juga bisa mengambil keputusan secara rasional tanpa mementingkan perasaannya. (www.cybersastra.net/ diakses pada tanggal 8 April pada pukul 19:34).

2.1.13 Musik sebagai Media Komunikasi

Musik dan lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik diantara budaya-budaya manusia yang lain. Dari sisi psikologis humanistis, musik atau lagu bisa menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni dan kreasi. Dari sisi sosial, lagu bisa disebut sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu tersebut diciptakan. Dari sisi ekonomi, lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat menguntungkan (Rakhmat, 1993:19).

Pada dasarnya musik dan lagu juga merupakan kegiatan komunikasi, karena didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari si pencipta lagu tersebut kepada khalayak pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam sebuah lagu merupakan representasi dari pikiran atau perasaan dari si pencipta lagu


(47)

sebagai orang yang mengirim pesan. Pesan yang disampaikan biasanya bersumber dari frame of reference dan field of experience. Sedangkan frame of reference dan field of experience seseorang itu terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya.

2.1.14 Pendekatan Semiotik

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti “tanda” atau seme yang berarti penafsir tanda (Sobur, 2003:16). Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco dalam Sobur, 2004:95).

Menurut Siegers dalam Sobur (2003:16), semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign “tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system (code) “sistem tanda”. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan makna meaning ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Little John dalam Sobur 2003:15).

Pokok perhatiannya di sini adalah tanda. Studi tentang, tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi. Semiotika, mempunyai tiga bidang studi utama (Fiske, 2006:60) :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda


(48)

adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini rnencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Karena itu semiotika memfokuskan perhatian terutama pada teks. Model-model proses yang linear tidak banyak memberi perhatian terhadap teks karena memperhatikan juga tahapan lain dalam proses komunikasi (Fiske, 2006:61).

2.1.14.1 Model Semiotika Saussure

“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure,” kata John Lyons (1995:3 dalam Sobur, 2004:44). Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.” (Saussure, 1990:15 dalam Piliang, 2003:256). Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif (Piliang, 2003:256).


(49)

Menurut pandangan Saussure, segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi statik dari suatu ilmu adalah sinkronik. Linguistik, dengan perspektif sinkroniknya, secara khusus memperhatikan relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan terma-terma secara berbarengan dan membentuk suatu sistem dalam pikiran kolektif. Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang eksis pada suatu titik waktu tertentu (yang seringkali berarti “saat ini” atau kontemporer) dengan mengabaikan route yang telah dilaluinya sehingga dapat berwujud seperti sekarang. Sebaliknya, segala sesuatu yang bersangkutan dengan evolusi adalah diakronik. Linguistik yang diakronik dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu prospektif dan retrospektif. Sudut pandang yang pertama mengikuti majunya arus waktu, sedangkan yang kedua berjalan mundur. Linguistik diakronik mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif mengikat terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat saling bersubtitusi tanpa membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif. Meskipun Saussure sendiri dididik dalam tradisi lingusitik diakronik yang sangat kental, preferensinya secara khusus tertuju kepada lingusitik sinkronik. Segala konsep yang dikembangkan di dalam linguistik sinkronik Saussurean ini berkisar pada dikotomi-dikotomi tertentu, yakni penanda dan petanda, langue dan parole, serta sintagmatik dan paradigmatik (Budiman, 2004:38).

2.1.14.2 Signifier dan Signified

Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang tanda. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau


(50)

petanda (Sobur, 2004:44). Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara signifiant (penanda atau signifier) dan Signifie (petanda atau Signified). Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signifie adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Bertens, 1985:382 dalam Kurniawan 2001:14). Kedua unsur ini seperti dua sisi keping mata uang atau selembar kertas.

Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan desain sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan oleh karena luasnya pengertian tanda itu sendiri. Saussure misalnya menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang–seperti halnya selembar mata uang kertas – yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna (seperti penjelasan sebelumnya).

Penanda + Petanda = Tanda


(51)

Berkaitan dengan ini (tanda/penanda/petanda), Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan kesepakatan sosial di antara pengguna bahasa ( Saussure, Culler, 1976:19 dalam Piliang, 2003:258).

Meskipun demikian, di dalam masyarakat informasi dewasa ini terjadi perubahan mendasar tentang bagaiamana tanda dan objek sebagai tanda dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan bahwa arus pertukaran tanda atau objek dewasa ini tidak lagi berpusat pada komunitas tertutup akan tetapi melibatkan persinggungan di antara berbagai persinggungan komunitas, kebudayaan dan ideologi (Piliang, 2003:258).

2.1.14.3 Langue dan Parole

Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis: langange, langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Langange adalah suatu kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Orang bisu pun sama memiliki langange ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan fisiologis pada bagian tertentu maka dia tidak bisa berbicara secara normal. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa tertentu. Apa yang dinamakan langue


(52)

itu menurut Saussure, harus dianggap sebagai sistem. Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah ”living speech”, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya ”tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat (Sobur, 2003:50-51).

Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan terhadap langue (bahasa sebagai sistem) harus didahulukan dari pada parole (bahasa sebagai tindak penuturan / ujaran). Artinya, posisi sistem bahasa secara umum mendahului dan lebih penting daripada seluruh ujaran nyata yang pernah benar-benar dituturkan. Ini merupakan argumen paling mengejutkan yang lahir dari sudut pandang ilmu-ilmu alam, ilmu di mana bukti fisik positif menjadi satu-satunya bukti yang dapat diterima. Namun demikian, menurut Saussure, bukti fisik positif tidaklah cukup untuk menjelaskan bahasa sebagai bahasa yang menandakan sekaligus memuat informasi (Harland, 2006:15).

2.1.14.4 Associative dan Syntagmatic

Menurut Saussure terdapat dua bentuk di dalam hubungan dan perbedaan antara unsur-unsur bahasa berdasarkan kegiatan mental manusia, yaitu :

1. Hubungan Associative (paradigmatik)

Hubungan eksternal dalam suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu


(53)

sistem. Contoh : gambar ‘ketupat mempunyai hubungan paradigmatik dengan peci, sarung dalam iklan Ramadhan.

2. Hubungan Syntagmatic (Sintagmatik)

Menunjuk hubungan suatu tanda dengan tanda-tanda lainnya, baik yang mendahului atau mengikutinya. Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab akibat. Dalam kaitannya dengan produksi makna (penciptaan signified), kesadaran sintagmatik mengandaikan bahwa signified suatu tanda tergantung juga pada hubungan logis atau kausalitas.

2.2 Kerangka Berpikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai sesuatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar belakang pengalaman (field of experince) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda-beda pada setiap individu tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam bentuk lagu, maka pencipta lagu juga tidak terlepas dari dua hal diatas.

Peneliti dalam memaknai tanda dan lambang yang ada dalam obyek berdasarkan pengalaman dan pengetahuan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada lirik lagu “Selir Hati” dalam hubungannya dengan penggambaran laki-laki dengan menggunakan metode Semiotik Saussure sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil interpretasi data mengenai penggambaran laki-laki dalam lirik lagu tersebut. Yang


(54)

menitik beratkan pada aspek material (penanda) dan aspek mental (pertanda) yang pada akhirnya diperoleh signifikasi hingga menghasilkan suatu interpretasi bagaimana laki-laki digambarkan dalam lirik lagu “Selir Hati”.

Dari hal diatas, maka secara sistematis dapat ditunjukkan dalam bagan kerangka sebagai berikut:

Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian tentang Penggambaran Laki-laki dalam Lirik Lagu Lirik lagu “Selir

Hati” dari grup band T.R.I.A.D

Analisis dengan menggunakan metode semiotik Saussure

Hasil interpretasi data mengenai penggambaran laki-laki dalam lirik lagu


(55)

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif, dimana dalam penelitian kualitatif akan dapat menginterpretasikan secara rinci penggambaran laki-laki dalam lirik lagu, yaitu “Selir Hati”. Alasan digunakan penelitian ini yaitu, metode ini akan lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ditemukan kenyataan ganda, dan metode ini lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola-pola dan nilai yang dihadapi. (Moleong, 1995:5).

Metode semiotika yang digunakan didalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif-interpretatif (interpretation), penelitian ini akan mendekonstruksi tanda–tanda dengan menggunakan metode semiotik dari Saussure. Kemudian untuk menginterpretasikan objek dari penggambaran laki-laki dalam lirik lagu “Selir Hati” maka perlu terlebih dahulu diketahui sistem tanda yang ada pada lirik lagu tersebut. Penulis menggunakan pendekatan semiotika untuk dapat menganalisis makna yang terdapat dalam lirik lagu tersebut.

Metode semiotika ini adalah sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks tersebut (Piliang, 2003:270). Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan didalam 

46   


(56)

berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda (Piliang, 2003:257).

Dengan semiotika kita berurusan dengan tanda, dengan tanda – tanda kita mencoba mencari keteraturan ditengah dunia yang centang - perenang ini, setidaknya agar kita mempunyai pegangan. “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan–aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran” (Sobur, 2003:16).

3.2 Definisi Operasional

3.2.1 Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati’

Penggambaran laki-laki dalam lirik lagu “Selir Hati” adalah untuk mengetahui bagaimana laki-laki di dominasi oleh kaum perempuan dalam percintaan, apakah sesuai dengan stereotype ataukah malah berlawanan dengan stereotype yang melekat padanya di dalam percintaan, sebagaimana tertuang dalam lirik lagu tersebut.

Jika dalam analisis teks, subyektifitas semacam ini disebut juga dengan Paradigma Konstruksionis, dimana realitas tidak dibentuk secara alami melainkan dibentuk dan dikonstruksi sehingga dengan pemahaman semacam ini realitas bisa jadi berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Karena itu, realitas laki-laki dalam penelitian ini


(57)

dihubungkan dengan stereotype yang melekat padanya dan pemaknaan antara penulis yang satu dan yang lain bisa jadi berbeda-beda.

3.3 Kerangka Konseptual 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah dengan konsep Gender pada makna laki-laki dalam lirik lagu tersebut dan tanda-tanda berupa tulisan berbentuk kalimat yang menjadi latar belakang dalam penggambaran laki-laki dalam lirik lagu. Laki-laki didalam lirik lagu ini hanyalah sebagai penggambaran “Selir Hati” dimana laki-laki tersebut merupakan simbol dalam lirik lagu tersebut.

3.3.2 Corpus

Corpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas yang ditentukan pada perkembangannya, oleh analisis dengan semacam kesamaan, bersifat sehomogen mungkin. (Kurniawan, 2001:70). Sifat yang homogen ini diperlukan untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya dapat dianalisis sebagai keseluruhan. Tetapi sebagai analisis, corpus itu bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam sehingga memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan. (Arkoun dalam Achmad, 2001:53). Kelebihannya adalah bahwa mendekati teks kita tidak didahului oleh para anggapan atau interpretasi tertentu sebelumnya.

Corpus adalah suatu himpunan terbatas atau juga “berbatas” – dari unsur yang memiliki sifat bersama atau tunduk pada aturan yang sama karena itu dapat dianalisis sebagai keseluruhan. (Arkoun dalam Achmad, 2001:43). Corpus juga


(58)

merupakan kata lain dari sampel bertujuan tetapi khusus digunakan untuk analisis semiotika dan analisis wacana. Corpus dalam penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “Selir Hati” dari grup band TRIAD.

Alasan pengambilan lagu diatas sebagai corpus adalah karena lirik lagu tersebut memuat tentang gambaran laki-laki dalam hubungannya dengan stereotype yang melekat padanya. Selain itu dalam lirik lagu ini, pencipta memposisikan dirinya sebagai subyek dalam penggambaran laki-laki didalam isi cerita lirik dengan menggunakan kata “Aku” sebagai pengganti sosok laki-laki dalam cerita tersebut. Dengan mengangkat dirinya sebagai subyek dalam lirik lagu tersebut akan memudahkan sang pencipta lagu dalam melakukan penghayatan dan mengekspresikan perasaannya ke dalam lagu tersebut. Dan berikut adalah lirik lagunya:

“SELIR HATI” Aku cinta kamu Tapi kamu tak cinta aku Ku tak pernah tahu apa salahku Hingga kamu tak suka aku Tak mau aku

Mungkin di matamu Aku tak pantas untukmu Tapi tak mengapa

Aku sadari kekuranganku ini Reff.

Aku rela oh aku rela Bila aku hanya menjadi Selir hatimu untuk selamanya


(1)

100   

5.1 Kesimpulan

Setelah mengulas mengenai penggambaran laki-laki pada lirik lagu “Selir Hati” dengan hubungannya dengan masalah percintaan yang dilekatkan padanya, maka diperoleh beberapa kesimpulan dari interpretasi data tersebut.

1. Dalam lirik lagu “Selir Hati”, pencipta lagu ingin mengungkapkan bahwa dalam percintaan laki-laki pada dasarnya lemah lembut dan romantis. Rasa cinta dan kasih sayang yang besar terhadap kekasihnya sampai dapat mengalahkan rasio seorang laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat dari pengorbanan seorang laki-laki yang sampai rela untuk menjadi selir hati atau orang kedua hanya untuk membuktikan kalau laki-laki ini ingin serius dalam menjalin hubungan percintaan dengan seorang perempuan. Walaupun laki-laki ini tahu bahwa cintanya tidak akan mendapat balasan dari perempuan tersebut. Perilaku seperti ini, dianggap menyimpang dan tidak pantas karena masyarakat masih menganggap bahwa laki-laki yang mempunyai sifat kuat masih terikat oleh stereotype yang telah dikonstruksikan dalam masyarakat sejak lama. Beberapa lirik lagunya mengungkap kelemahan laki-laki dimana kelemahan itu sendiri adalah stereotype yang sebenarnya dilekatkan pada perempuan.

2. Dalam lirik lagu “Selir Hati” laki-laki digambarkan melakukan perlawanan terhadap konstruksi gender. Laki-laki dalam lirik lagu ini juga


(2)

 

bisa bertindak sebagaimana stereotype perempuan dan ini jelas berlawanan dengan apa yang dilakukan padanya. Laki-laki dalam lirik lagu ini juga ingin menunjukkan apa yang dilekatkan pada perempuan sebagai makhluk yang lemah juga dinampakkan dalam lirik lagu ini. Bedanya, jika konstruksi gender dalam masyarakat menunjukkan sikap lemah laki-laki secara aktif, dalam lirik lagu ini sikap lemah laki-laki digambarkan dilakukan secara pasif oleh laki-laki tersebut.

3. Dalam lirik lagu “Selir Hati”, penulis lirik menggunakan kata-kata yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari sehingga makna dan pesan lirik lagu lebih mudah dipahami meskipun hal ini kembali kepada frame of reference dan field of experience individu yang memaknai, karena dalam menginterpretasikan sebuah lagu yang berisi gambaran memang tidak dapat dengan mudah dilakukan karena hal ini menyangkut realitas yang tentunya bermakna multi dimensional.

5.2 Saran

1. Meskipun lirik lagunya belum bisa dikatakan mampu mempengaruhi atau bahkan merubah situasi serta sikap seseorang, setidaknya penulis lirik lagu tetap memberikan dan menghasilkan karya-karya yang tetap berisikan gambaran laki-laki dalam percintaan, himbauan atau pesan-pesan yang lain.

2. Tidaklah salah jika dewasa ini lagu digunakan sebagai sarana untuk mensosialisasikan ide, gagasan maupun kritik terhadap bentuk


(3)

penyimpangan gender yang ada dalam masyarakat agar sadar terhadap apa yang telah mereka lakukan selama ini.

3. Kesadaran akan bentuk penyimpangan dan menyikapinya membutuhkan peran serta berbagai pihak tentunya, tidak hanya media massa selama ini selalu mengontrol sehingga masyarakat bisa membuka mata pada fenomena yang senantiasa meletakkan perempuan sebagai obyek penderitaan dan memberikan hak yang sama ataupun memperlakukan yang sama, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga tidak ada lagi kesetaraan gender pada lingkungan sosial di dalam masyarakat.

4. Selanjutnya secara teoritis penelitian ini dapat dikembangkan lebih dalam lagi dengan menggunakan metode lain untuk memperbaiki kelemahan yang ada dalam penelitian karena bila dikembalikan lagi pada unsur manusiawi, dimana tidak ada satupun manusia yang luput dari kesalahan sehingga kritik yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan untuk menjadi lebih sempurnanya penelitian ini.


(4)

 

DAFTAR PUSTAKA

Bainar, 1998. Wacana Perempuan dalam Ke Indonesiaan dan Kemoderennan, Yogyakarta: PT. Pustaka Cidesindo.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Fakih, Mansour, 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Fiske, John, 2006. Cultural and Communication Studies. Suatu PengantarPaling Komprehensif, Yogjakarta: Jalasutra.

Harijani, Donirekro, 2001. Etos Kerja Perempuan Desa, Yogyakarta: Philosophy Press.

Harland, Richard, 2006. Superstrukturalisme: Pengantar Komperhensif Kepada Semiotika, Strukturalisme, dan Postrukturalisme, Yogyakarta: Jalasutra. Hidayana, Irwan M, 2004. Seksualitas: Teori dan Realitas, Jakarta: FISIP

Universitas Indonesia.

Kurniawan, 2001. Semiologi Roland Barthes, Magelang: Yayasan Indonesiatera. Moleong, Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Mosse, Julia Cleves, 1996. Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mulyana, Dedi, 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Mustaqim, Abdul, 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir, 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra : Yogjakarta.

Rakhmat, Jalaludin, 2003. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Savitri, Poppy, et.al., 1991. Fungsi Lagu Pengantar Tidur Anak Dalam Proses Sosialisasi Anak, Jakarta: Depdikbud.

Sobur, Alex, 2003. Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

103   


(5)

Sobur, Alex, 2006. Analisis Teks Media, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Storey, John, 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Yogyakarta:

Jalasutra.

Sumaryo, L.E., 1978. Komponis, Pemain Musik, dan Publik, Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Zoest, Aart, 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Bekerjanya dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya, Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Internet :

http://www.balaidesa.or.id/gender.htm diakses 25 Maret 2010, 14:15 WIB http://www.geocities.com diakses 25 Maret 2010, 14:50 WIB

http://yahoo.com diakses 3 April 2010, 20:49 WIB http://www.media.isnet diakses 7 April 2010, 20:57 WIB http://www.kunci.or.id diakses 8 April 2010, 1:50 WIB http://www.cybersastra.net diakses 8 April 2010, 19:34 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/ahmaddhani diakses 27 April 2010, 16:17 WIB http://www.kapanlagi.com diakses 9 Juni 2010, 20:10 WIB

Non Buku :

Achmad, Zainal Abidin, 2001. Pemikiran Politik Poros Tengah dan Peran Media Massa Terhadapnya, Tesis, Surabaya: FISIP UNAIR.

Haerawati, Nelly, 2007. Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu, Skripsi, Surabaya: FIA, Jurusan Ilmu Komunikasi UPN”Veteran”.

Ihromi, T.O, 2002. Perlindungan HAM Dan Kesetaraan Gender, Jawa Pos, Rabu 28 Agustus.

Racmawati, Dian, 2000. Perlawanan Terhadap Konstruksi Gender Dalam Lirik Lagu, Skripsi, Surabaya: FISIP UNAIR.

Setianingsih, Ida, 2003. Penggambaran Perempuan Dalam Lirik Lagu, Skripsi, Surabaya: FIA, Jurusan Ilmu Komunikasi UPN”Vetran”.


(6)

 

Wijaya, Hesti R, 1991. Ideologi Gender, Kumpulan Makalah Seminar Nasional Pengembangan Studi Wanita Dan Pembangunan, Proyek Studi Gender Dan Pembangunan, FISIP UI, United Nations Development Fund For Women (UNIFEM), Agustus.


Dokumen yang terkait

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “RINDU” (STUDI SEMIOTIK TENTANG PEMAKNAAN LIRIK LAGU “RINDU” YANG DIPOPULERKAN OLEH AGNES MONICA).

4 23 76

REPRESENTASI “SEKSUALITAS” PADA LIRIK LAGU ” LAGU GITUAN ” (Studi Semiologi Tentang Representasi “Seksualitas” Pada Lirik Lagu ” Lagu Gituan ” Yang dipopulerkan Oleh Grup Rap KungPow Chickens Dalam Album ”Alit Da Baong”).

1 6 117

PENGGAMBARAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA DALAM LIRIK LAGU ”ANDAI AKU GAYUS TAMBUNAN” (Studi Semiotik Penggambaran Penegakan Hukum di Indonesia dalam Lirik Lagu ”Andai Aku Gayus Tambunan” Oleh Bona Paputungan).

1 23 90

PENGGAMBARAN KEPASRAHAN DALAM LIRIK LAGU “Jangan Menyerah” (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Kepasrahan Dalam Lirik Lagu “Jangan Menyerah” Karya Grup Band D’Masiv).

9 66 75

PENGGAMBARAN KESETARAAN GENDER PADA LIRIK LAGU “RAHASIAKU” (Studi Semiotik Dalam Lirik Lagu “Rahasiaku” yang Dibawakan oleh Grup Band Gigi).

0 0 87

PENGGAMBARAN KESETARAAN GENDER PADA LIRIK LAGU “RAHASIAKU” (Studi Semiotik Dalam Lirik Lagu “Rahasiaku” yang Dibawakan oleh Grup Band Gigi).

0 0 18

PENGGAMBARAN KEPASRAHAN DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Kepasrahan Dalam Lirik Lagu “Jangan Menyerah” Karya Grup Band D’Masiv) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Ja

0 0 20

PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

0 0 20

REPRESENTASI “SEKSUALITAS” PADA LIRIK LAGU ” LAGU GITUAN ” (Studi Semiologi Tentang Representasi “Seksualitas” Pada Lirik Lagu ” Lagu Gituan ” Yang dipopulerkan Oleh Grup Rap KungPow Chickens Dalam Album ”Alit Da Baong”).

0 1 16

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “RINDU” (STUDI SEMIOTIK TENTANG PEMAKNAAN LIRIK LAGU “RINDU” YANG DIPOPULERKAN OLEH AGNES MONICA)

0 1 17