ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA (1:2008 – 12:2015) MELALUI PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL (ECM)

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA (1:2008 – 12:2015) MELALUI PENDEKATAN ERROR

CORRECTION MODEL (ECM)

THE DETERMINANT OF INFLATION IN INDONESIA (1:2008 – 12:2015) USING ECM APPROACH

Oleh

RAHAYU WULANDARI 20130430056

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA (1:2008 - 12-2015) MELALUI PENDEKATAN ERROR

CORRECTION MODEL (ECM)

THE DETERMINANT OF INFLATION IN INDONESIA (1:2008 - 12:2015) USING ECM APPROACH

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Ilmu Ekonomi

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh

RAHAYU WULANDARI 20130430056

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : Rahayu Wulandari Nomor Mahasiswa : 20130430056

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA (1:2008 - 12:2015) MELALUI PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL (ECM)” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Apabila ternyata dalam skripsi ini diketahui terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain maka saya bersedia karya tersebut dibatalkan.

Yogyakarta, 19 November 2016


(4)

Motto

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.

(QS. Alam Nasyroh: 5-6)

“Hasil tidak akan pernah mengkhianati sebuah usaha”.

(Noname)

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”.

Q. S. Ar-Ra’d : 11)

“Lebih baik mengambil keputusan walaupun itu salah, daripada tidak mengambil keputusan sama sekali”.


(5)

Persembahan

Bismillahirohmanirohim

Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

Dengan ini, kupersembahkan karya tulis ini untuk Alm. ayahanda tercinta, Bapak Karsi Hadisusilo, yang semasa hidupnya selalu berjuang dan memberikan kasih sayang yang berlimpah dalam membahagiakan aku dan menjadikan aku anak yang tidak kekurangan sesuatu apapun dari segi agama, moral dan perilaku. Meskipun pada akhirnya bapak tidak bisa menemaniku hingga aku memakai toga dan beranjak menuju kesuksesanku, tetapi aku akan selalu bersyukur dan melakukan yang terbaik agar bapak disana pun ikut merasa bahagia dan bangga. Terimakasih untuk segala kebahagiaan yang telah bapak hadirkan di dalam hidupku. Aku disini selalu rindu ingin bertemu dan memelukmu. Semoga bapak disana selalu baik-baik saja dan semoga suatu saat nanti kita bisa berjumpa kembali di surga-Nya Allah. Amin-amin ya robbal alamin.

Skripsi ini juga ku persembahkan untuk ibunda yang aku sayangi, Ibu Sutirah, yang telah sabar dalam menghadapi segala kekuranganku dan untuk segala perjuangannya dalam membiayai aku. Semoga suatu hari nanti aku bisa menjadi anak yang membanggakan untukmu, bu. Aku sangat sayang kepadamu.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, karunia, dan rahmat dalam penulisan skripsi dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia (1:2008 - 12:2015) melalui pendekatan Error Correction Model(ECM)”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis mengambil topik ini dengan harapan dapat memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan dan memberikan ide pengembangan bagi penelitian selanjutnya.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bapak Dr. Nano Prawoto, S.E., M.Si., yang juga sebagai selaku dosen pembimbing, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan petunjuk, bimbingan dan kemudahan selama penulis menyelesaikan karya tulis ini.

2. Bapak Dr. Imamudin Yuliadi, S.E., M.Si. dan Bapak Romi Bhakti Hartarto, S.E., M.Ec. yang turut memberikan masukan selama proses pengerjaan karya tulis ini.


(7)

3. Mas Arif Widodo, Mas Mahrus Lutfi dan Mas Fitra Prasapawidya yang telah berbagi ilmunya dalam membantu kelancaran pembuatan karya tulis ini.

4. Seluruh keluargaku, khususnya Alm. ayahanda tercinta, Karsi Hadisusilo dan ibunda tersayang, ibu Sutirah, serta ketiga saudaraku Hariyanto Hennu Asmara, Herry Susanto dan Gunawan Wibisono yang senantiasa selalu memberikan dukungan serta doanya terhadap kesuksesan dalam menyelesaikan penelitian ini.

5. Seluruh keluarga besar di Yogyakarta, Mbahbut, Pakle Heri, Bulek Sri, Mbak Sinta, Damar dan Bagas yang telah memberikan nasehat, doa dan dukungannya agar aku tak patah semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.

6. Seluruh sahabat aku, Khaulah, Lainun, Nurul, April, Wanda, Nita, Lala, Eko, Hanif, Faisal, Aisyah, Sindy, Nadya, Helda, Iqlima, Noesaal, Karina, Dewi, Ai, Andy, Rizqi, Akbar, Ismail, Rachmat, Zen, keluarga HIMIE FE UMY, serta sahabat-sahabat dari SMA yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak karena telah berjuang bersama-sama, menemani setiap langkahku, serta selalu menguatkan ketika dalam keadaan jatuh.

7. Mas Rizal Wildan Ardana, dan mbak Rosita Dian Prabasari yang setia menemani dan memberikan dukungannya agar aku terus berjuang untuk menyelesaikan penelitian ini.


(8)

8. Seluruh penghuni kosan Wisma Mulia, terimakasih karena telah menemani perjalanan kehidupanku selama dikosan.

Sebagai kata akhir, kesempurnaan hanyalah milik allah semata dan tiada gading yang tak retak, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, kritik, saran dan pengembangan penelitian selanjutnya sangat diperlukan untuk kedalaman karya tulis dengan topik ini.

Yogyakarta, 19 November 2016


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ……….... iii

HALAMAN PERNYATAAN ………... iv

HALAMAN MOTTO ………... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… vi

INTISARI ………... vii

ABSTRAK ………... viii

KATA PENGANTAR ………...….... x

DAFTAR ISI ……….. xii

DAFTAR TABEL ……….. xv

DAFTAR GAMBAR ………. xvi

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang……….……… 1

B. Batasan Masalah Penelitian……….….… 6

C. Rumusan Masalah Penelitian………..………. 7

D. Tujuan Penelitian………..……... 7

E. Manfaat Penelitian………... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 9

A. Landasan Teori………. 9

1. Pengertian Inflasi………. 9

2. Teori Inflasi………. 10

3. Macam-Macam Bentuk Inflasi……… 13

4. Efek Inflasi………... 21

5. Cara Mencegah Inflasi………. 22

6. Pengendalian Inflasi di Indonesia……… 26

7. Hubungan Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Inflasi……. 27


(10)

C. Hipotesis………... 35

D. Model Penelitian……….. 36

BAB III METODE PENELITIAN………..37

A. Objek Penelitian………... 37

B. Jenis Data………. 37

C. Teknik Pengumpulan Data………... 37

D. Definisi Operasional Variabel Penelitian………. 38

1. Definisi Variabel Penelitian……… 38

2. Alat Ukur Data……… 40

E. Uji Kualitas Data……….. 40

F. Uji Hipotesis dan Analisis Data………... 40

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN………. 52

A. Perkembangan Inflasi di Indonesia……….. 52

B. Perkembangan BI Rate di Indonesia……… 56

C. Perkembangan Kurs di Indonesia………. 59

D. Perkembangan M2 (Broad Money) di Indonesia………. 63

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN……….. 68

1. Uji Asumsi Klasik……… 68

A. Uji Autokorelasi……….. 68

B. Uji Normalitas………. 70

C. Uji Linearitas………... 71

D. Uji Heteroskedastisitas……… 72

E. Uji Multikolinearitas………... 73

2. Uji Asumsi Dinamik………..……….. 73

A. Uji Stasioneritas………...73

B. Uji Derajat Integrasi……… 76

C. Uji Kointegrasi……… 77

D. Uji Error Correction Model (ECM)……… 79

3. Pembahasan Hasil Penelitian………... 83

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN……… 91


(11)

B. Saran………. 92 C. Keterbatasan Penelitian……… 93 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

5.1 Hasil Uji Lagrange Multiplier (LM) Sebelum Dimasukkan AR(1)……… 69 5.2 Hasil Uji Lagrange Multiplier (LM) Setelah Dimasukkan AR(1)……...… 69 5.3 Hasil Uji Ramey-RESET……….71 5.4 Hasil Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser………... 72 5.5 Hasil Multikolinearitas……….. 73 5.6 Hasil Uji Akar Unit pada Level dengan Metode Augmented Dickey-Fuller

Test……… 75

5.7 Hasil Uji Derajat Integrasi First Difference dengan Metode Augmented

Dickey-Fuller Test………...76

5.8 Hasil Uji Kointegrasi Persamaan Jangka Panjang……… 78 5.9 Uji Unit Root Test terhadap Residual Persamaan Jangka Panjang Laju

Inflasi di Indonesia periode Januari 2008 sampai dengan Desember 2015.. 79 5.10 Hasil Estimasi dengan Model ECM………..….. 81 5.11 Rekapitulasi Pengaruh Variabel Dependen terhadap Variabel Independen dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang………. 83


(13)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Inflasi di Indonesia……… 4

2.1 Demand Pull Inflation………... 15

2.2 Cost Push Inflation……… 16

2.3 Inflasi Permintaan dan Penawaran……… 18

2.4 Hubungan antara Supply dan Demand terhadap Uang dengan Tingkat Harga……… 31

2.5 Pergeseran Equilibrium Harga Akibat Peningkatan Jumlah Uang Beredar..32

2.6 Kerangka Pemikiran……….. 36

4.1 Perkembangan Inflasi di Indonesia 2008-2015………. 52

4.2 Perkembangan BI Rate di Indonesia 2008-2015………... 56

4.3 Perkembangan Kurs di Indonesia 2008-2015………... 59

4.4 Perkembangan M2 (Broad Money) di Indonesia 2008-2015……… 64


(14)

(15)

(16)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia (1:2008 - 12:2015) melalui pendekatan Error Correction Model (ECM). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah laju inflasi, BI rate, kurs tengah dan M2 (broad money).

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa, BI rate

dan M2 (broad money) dalam jangka pendek maupun jangka panjang berpengaruh positif terhadap laju inflasi di Indonesia, sementara kurs tengah dalam jangka pendek maupun jangka panjang berpengaruh negatif terhadap laju inflasi di Indonesia.


(17)

ABSTRACT

This study aims to analyze the determinant of Inflation in Indonesia (1:2008 - 12:2015) using ECM approach. Variables used in this research are the inflation rate, the BI rate, the middle exchange rate and M2 (broad money).The research found that the BI rate and M2 (broad money) in the short-term and long-term give the positive effect on the rate of inflation in Indonesia, while the middle exchange rate in the short term and long term give the negative effect on the rate of inflation in Indonesia.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang menginginkan adanya perkembangan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan yang berkelanjutan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan demi tercapainya perkembangan tersebut yaitu adanya pembangunan dalam bidang ekonomi. Dengan adanya pengambilan keputusan yang tepat dalam kebijakan makro ekonomi, tentu akan memberikan dampak yang positif terhadap kegiatan ekonomi sehingga dapat meningkatkan taraf pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Ketika suatu negara mengalami perkembangan perekonomian dengan sangat pesat, maka biasanya akan ditandai dengan adanya kenaikan harga. Kenaikan harga yang terdiri atas beberapa faktor produksi saja tidak dapat diartikan sebagai inflasi. Misalnya kenaikan harga yang terjadi pada beberapa barang pada saat perayaan hari besar tidak dapat diartikan sebagai inflasi karena sifatnya temporer pada waktu itu saja. Inflasi akan terjadi pada saat harga mengalami kenaikan secara keseluruhan dan dalam kurun waktu tertentu. Hal tersebut dipertegas di dalam bukunya Mishkin (2001) yang menyatakan bahwa “inflasi adalah kondisi dimana tingkat harga meningkat secara umum


(19)

Secara umum, inflasi memiliki dampak positif maupun negatif terhadap suatu negara tergantung dari krusial atau tidaknya inflasi tersebut. Ketika inflasi itu ringan, maka akan mendorong perekonomian kearah yang lebih baik yaitu dapat meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bersemangat untuk bekerja, menabung, serta mengadakan investasi. Sementara ketika inflasi tersebut dalam keadaan genting atau tidak dapat dikendalikan, maka yang terjadi adalah perekonomian akan menjadi kacau dan dirasakan lesu. Orang-orang menjadi tidak bersemangat bekerja, tidak menabung, serta tidak mengadakan investasi dan produksi. Sebab adanya harga yang melambung tinggi akan membuat nilai riil uang semakin menurun. Meskipun pada saat menabung seseorang akan memperoleh bunga, tetapi ketika tingkat inflasi jauh lebih tinggi dari pada tingkat bunga, maka akan tetap membuat nilai uang itu menurun. Pada saat orang-orang tidak berniat untuk menabung lagi, maka dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Sebab tidak adanya perputaran uang di bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat untuk dunia usaha. Para pekerja seperti pegawai negeri, swasta maupun buruh pun tidak dapat menyimbangi keadaan yang demikian dan lambat laun akan membuat kehidupan perekonomian mereka menjadi terganggu.

Menurut Hassan (2007) mengatakan bahwa tekanan inflasi ternyata tidak hanya berdampak terhadap para pelaku konsumen dan produsen saja, tetapi juga akan mempengaruhi kebijakan ekonomi dalam menentukan arah pembangunan nasional. Inflasi akan menyebabkan nilai riil atau kemampuan daya beli konsumen menurun dan juga keuntungan yang diperoleh akan


(20)

mengalami penurunan sebab biaya produksi bagi produsen akan mengalami kenaikan yang drastis. Apabila inflasi meningkat maka akan diikuti dengan kenaikan suku bunga, sehingga para investor tidak akan berani meminjam modal pada bank untuk memperluas investasi. Pada akhirnya hal ini akan berdampak terhadap kenaikan angka pengangguran, penurunan GDP dan pendapatan negara.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi yaitu adanya tingkat pengeluaran agregat melebihi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa, adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja, adanya kenaikan harga barang impor, adanya penambahan penawaran uang dan cara mencetak uang baru, serta adanya kekacauan politik dan ekonomi.

Menurut Khalwaty (2000) laju pertumbuhan inflasi sangat penting untuk diwaspadai dan dikendalikan, karena :

1. Inflasi berdampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan, sehingga perlu dicermati terutama oleh para praktisi ekonomi dan bisnis.

2. Inflasi yang tinggi mempunyai pengaruh agregatif terhadap perekonomian makro sebagai faktor eksternal dunia industri, serta berdampak luas pula terhadap sektor perekonomian mikro yang merupakan faktor internal dunia bisnis.

3. Industri yang berorientasi ekspor akan semakin kurang kompetitif di pasaran global dan bahkan di pasaran nasional jika terjadi inflasi yang tinggi. Hal ini semakin memberatkan negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka.

4. Kemerosotan produksi baik yang berorientasi pada ekspor maupun untuk pasaran domestik akan meningkatkan laju pertumbuhan angka pengangguran yang sangat berbahaya bagi stabilisasi perekonomian negara.

5. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat terutama produksi dalam negeri yang selanjutnya dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang nasional.

6. Inflasi yang tinggi akan semakin menumbuh-suburkan korupsi, manipulasi dan kolusi di kalangan elit pemerintahan dengan kalangan


(21)

konglomerat yang membuat kepercayaan dunia terhadap kewibawaan pemerintah semakin merosot.

7. Inflasi yang tinggi akan mendorong para pemodal nasional untuk menanamkan modalnya ke luar negeri (hot money) dan bahkan para pengusaha akan merelokasikan industrinya ke luar negeri yang perekonomiannya lebih stabil. Jika hal ini terjadi, perekonomian nasional akan terus memanas dan hancur. Industri semakin tidak kompetitif dan tidak mampu menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.

Berikut ini merupakan persentase inflasi di Indonesia dalam bentuk grafik dari Januari 2008 sampai dengan Desember 2015.

Sumber: Hasil Olahan Data Oleh Penulis (2016) GAMBAR 1.1. Inflasi di Indonesia

Pada gambar 1.1. dapat dilihat bahwasannya perkembangan inflasi di Indonesia sangat berfluktuatif. Pada tahun 2008, inflasi mencapai nilai tertinggi sebesar 12,14%. Peningkatan inflasi ini disebabkan karena adanya krisis

2 4 6 8 10 12 14

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015


(22)

ekonomi global yang terjadi di tahun 2008 sehingga harga bahan-bahan pokok mengalami peningkatan termasuk pada biaya sewa perumahan. Tentunya krisis ekonomi global ini berawal dari adanya krisis ekonomi di Amerika Serikat yang akhirnya berimbas ke seluruh penjuru negara, termasuk di Indonesia. Pada mulanya, krisis ekonomi di Amerika Serikat berawal dari kehidupan konsumerisme masyarakat Amerika Serikat yang selalu mengonsumsi diluar batas kemampuan pendapatan yang diterimanya. Sehingga mereka hidup dalam berhutang, belanja dengan menggunakan kartu kredit, hingga pembelian rumah pun melalui perkreditan. Lambat laun, lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut pun menjadi bangkrut karena telah kehilangan likuiditasnya. Banyak perusahaan finansial lainnya juga mengalami gulung tikar atas aset-aset yang telah digandakan kepada lembaga pemberi pinjaman sehingga mereka tidak sanggup membayar seluruh hutangnya ketika telah jatuh tempo disaat yang bersamaan. Daya beli masyarakat Amerika Serikat pun mengalami penurunan yang menyebabkan volume impor ikut menurun. Hal ini berarti negara-negara yang selama ini terhubung dengan Amerika Serikat dalam pengeksporan mengalami penurunan drastis. Termasuk dengan Indonesia, yang tidak terlepas dari kerjasamanya dengan Amerika Serikat, ditambah lagi dengan adanya investor asing yang menarik dananya dari Indonesia karena suku bunga telah mengalami penurunan sehingga mata uang Indonesia menjadi terdepresiasi dan Indonesia harus menanggung banyak hutang di perbankan dan perusahaan swasta.


(23)

Di tahun 2010, Indonesia mulai mengalami pemulihan perekonomian dari akibat krisis ekonomi global tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya tingkat inflasi paling rendah sebesar 3,43% dan adanya pertumbuhan ekonomi yang tumbuh secara pesat. Perekonomian Indonesia yang mengalami pemulihan tersebut didukung oleh adanya permintaan yang kembali meningkat, yaitu naiknya harga berbagai komoditas primer serta adanya pertumbuhan yang positif pada kegiatan perdagangan internasional termasuk pada produk manufaktur. Ditahun 2011, inflasi kembali melonjak pada tingkat 7,02% dikarenakan terjadi kekurangan pada produksi pangan akibat adanya gangguan cuaca yang ekstrim di seluruh kawasan dunia. Sehingga di Indonesia mengalami kenaikan harga bahan-bahan pangan seperti bahan pokok beras dan cabe. Hal ini terus berlanjut hingga di tahun 2015 dengan adanya peningkatan harga pada bahan bakar secara terus menerus sehingga membuat inflasi Indonesia berada di poin 7,50%.

Berdasarkan fenomena diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil penelitian mengenai “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Inflasi di Indonesia (1:2008 - 12:2015) melalui Pendekatan Error Correction Model (ECM)”.

B. Batasan Masalah Penelitian

Batasan masalah dalam penelitian yang akan penulis lakukan meliputi analisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju inflasi di Indonesia (1:2008 - 12:2015) melalui pendekatan Error Correction Model (ECM). Dalam


(24)

penelitian ini, variabel yang digunakan dalam model penelitian adalah laju inflasi sebagai variabel terikat (dependent variable), sedangkan untuk variabel bebas (independent variables) adalah variabel BI rate, kurs tengah dan M2 (broad money). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data bulanan dari periode Januari 2008 sampai dengan Desember 2015.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian diatas maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar kajian dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana pengaruh BI rate terhadap laju inflasi di Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang ?

2. Bagaimana pengaruh kurs tengah terhadap laju inflasi di Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang ?

3. Bagaimana pengaruh M2 (broad money) terhadap laju inflasi di Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh BI rate terhadap inflasi di Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kurs tengah terhadap inflasi di Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.


(25)

3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh M2 (broad money) terhadap inflasi di Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi kalangan umum, penelitian ini berguna sebagai media pengetahuan sehubungan dengan adanya beberapa faktor yang berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia.

2. Bagi para pengambil kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan kebijakan dalam pengendalian inflasi yang tepat guna kepentingan bangsa dan negara.

3. Bagi akademik, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya yang juga ingin membahas mengenai inflasi.

4. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan tentang permasalahan-permasalahan pereekonomian sebagai bentuk dari penerapan teori/ konsep yang selama ini didapatkan di bangku perkuliahan.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Pengertian Inflasi

Inflasi memiliki definisi yang sangat beragam yang dapat ditemukan dalam literature ekonomi. Keanekaragaman dari definisi inflasi ini pun terjadi karena adanya berbagai hubungan yang sangat erat antara inflasi dengan sektor-sektor perekonomian, sehingga hal tersebut menciptakan berbagai jenis pengertian maupun pandangan yang berbeda mengenai inflasi termasuk dalam menyikapi permasalahan yang disebabkan oleh adanya inflasi.

Inflasi dalam pengertian luas adalah kenaikan harga yang terjadi secara umum dan terus-menerus sehubungan dengan adanya mekanisme pasar. Inflasi menjadi suatu fenomena dan dilema ekonomi bagi seluruh negara karena menurunnya daya beli masyarakat akan diikuti dengan menurunnya nilai riil mata uang negara.

Adapun pengertian inflasi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

1. Boediono (2005) mengatakan bahwa inflasi merupakan suatu kecenderungan kenaikan harga secara umum dan terus-menerus. Ketika harga dari satu atau beberapa barang naik, maka hal tersebut belum bisa dikatakan sebagai inflasi. Namun jika harga barang naik secara meluas


(27)

dan menyebabkan naiknya sebagian besar dari barang-barang lainnya maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai inflasi.

2. Winardi (1998) mengatakan bahwa inflasi adalah suatu periode pada masa tertentu yang terjadi ketika kekuatan dalam membeli terhadap kesatuan moneter menurun, serta nilai uang yang didepositokan beredar lebih banyak dibandingkan atas jumlah barang atau pun jasa yang ditawarkan.

3. Lehner dalam Utomo (2006) mengatakan bahwa inflasi merupakan keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan.

2. Teori Inflasi

Ada tiga macam teori yang membahas mengenai inflasi, yaitu: teori kuantitas, teori Keynes dan teori strukturalis.

1. Teori Kuantitas

Teori kuantitas dikenal juga dengan teori Irving Fisher. Menurut teori ini, inflasi terjadi karena adanya pengaruh dari banyaknya jumlah uang yang beredar dan ekspetasi masyarakat mengenai kenaikan harga. Dalam ranah jumlah uang yang beredar, meskipun terjadi kenaikan harga tetapi tidak diikuti dengan penambahan volume jumlah uang yang beredar (baik dalam penambahan uang kartal maupun uang giral), maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bentuk dari terjadinya inflasi. Inflasi hanya akan terjadi jika jumlah uang yang beredar mengalami


(28)

peningkatan. Sementara dalam ranah ekspetasi atau harapan masyarakat mengenai kenaikan harga, ada tiga kemungkinan keadaan yang dapat terjadi sebagai akibat adanya inflasi yaitu: pertama, ketika masyarakat belum memperkirakan kenaikan harga yang akan terjadi di waktu mendatang. Kedua, ketika masyarakat mulai menyadari telah terjadi inflasi dan memperkirakan adanya kenaikan harga di waktu mendatang. Ketiga, keadaan dimana telah terjadi hiperinflasi. Keadaan ini merupakan keadaan disaat masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap nilai mata uang. Biasanya keadaan ini ditandai dengan adanya peredaraan uang dengan sangat cepat (velocity of circulation yang meningkat).

2. Teori Keynes

Teori Keynes mengatakan bahwa inflasi terjadi karena adanya perilaku masyarakat yang ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya, sehingga permintaan masyarakat terhadap barang akan melebihi jumlah yang telah tersedia. Biasanya masyarakat yang termasuk dalam golongan ini akan mengusahakan untuk memperoleh dana tambahan diluar batas kemampuan ekonominya sehingga segala bentuk keinginannya dapat terpenuhi. Keadaan yang demikian bisa menyebabkan terjadinya inflationary gap. Dimana jumlah permintaan barang mengalami peningkatan pada tingkat harga yang berlaku dan melebihi dari jumlah maksimum barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat sehingga harga-harga menjadi naik dan rencana pembelian


(29)

barang tidak dapat dipenuhi. Di periode yang selanjutnya, masyarakat akan berusaha untuk memperoleh dana dalam keadaan besar (misalnya: melakukan percetakan uang baru, melakukan pengkreditan pada bank serta melakukan permintaan terhadap kenaikan gaji). Tentunya hal ini akan membuat proses inflasi terus berjalan selama semua golongan masyarakat melakukan permintaan yang efektif melebihi jumlah output yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Pada akhirnya inflasi akan selalu diikuti dengan adanya redistribusi pendapatan.

3. Teori Strukturalis

Teori ini melihat pada saat terjadi inflasi dalam jangka panjang dikarenakan teori ini membahas mengenai kekakuan struktur ekonomi terutama yang terjadi pada negara berkembang. Menurut teori strukturalis, kekakuan atau ketidakelastisan yang terjadi disebabkan karena adanya kekakuan dari penerimaan impor serta adanya kekakuan penawaran bahan makanan di negara berkembang. Kekakuan dari penerimaan impor terjadi karena adanya nilai ekspor yang tumbuh relatif kecil dari sektor lain, dimana dalam pasar dunia barang-barang ekspor tidak mengalami keuntungan atau dengan kata lain term of trade-nya semakin memburuk sehingga produksi barang-barang ekspor tidak elastis terhadap kenaikan harga dan pemerintah biasanya akan melakukan

import substitution strategy atau menggalakkan produksi dalam negeri untuk barang-barang yang sebelumnya di impor. Sementara kekakuan


(30)

penawaran bahan makanan di negara berkembang terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan pendapatan perkapita tumbuh lebih pesat dibandingkan penawaran bahan makanan, sehingga kenaikan harga bahan makanan dalam negeri cenderung naik lebih cepat daripada harga-harga barang lainnya. Hal ini akan membuat para buruh meminta kenaikan pada upah mereka. Ketika upah naik maka biaya produksi akan mengalami peningkatan. Saat biaya produksi meningkat maka akan meningkatkan kenaikan harga pada barang-barang yang bersangkutan. Kenaikan harga barang-barang tersebut akan mendorong terjadinya inflasi atau dikenal dengan istilah (wage push inflation).

3. Macam-Macam Bentuk Inflasi

1. Inflasi Berdasarkan Tingkat Keparahannya

Menurut Boediono (1985), inflasi ini terbagi atas empat jenis yaitu: inflasi ringan, inflasi sedang, inflasi berat dan inflasi sangat berat. Inflasi ringan tidak begitu mengganggu keadaan perekonomian karena harga-harganya hanya mengalami kenaikan secara umum. Inflasi ini nilainya dibawah 10% per tahun. Sementara inflasi sedang membahayakan kegiatan perekonomian karena inflasi ini dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki penghasilan tetap. Inflasi ini berkisar antara 10% - 30% pertahun. Untuk inflasi berat sendiri dapat mengacaukan kondisi perekonomian karena masyarakat tidak ingin menabung lagi di bank dikarenakan bunga bank


(31)

jauh lebih kecil daripada laju inflasi. Inflasi ini berkisar antara 30% - 100% pertahun. Sedangkan inflasi sangat berat adalah inflasi yang sudah sangat sulit dikendalikan dikarenakan inflasi ini berkisar 100% pertahun.

2. Inflasi Berdasarkan Sifatnya

Menurut Nopirin (1987), inflasi berdasarkan sifatnya terbagi 3 kategori, yakni: inflasi merayap (creeping inflation), inflasi menengah (galloping inflation), serta inflasi tinggi (hyper inflation). Inflasi merayap ditandai dengan adanya laju inflasi yang rendah dimana kenaikan harga berjalan secara lambat dengan persentase yang relatif kecil serta dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan inflasi menengah ditandai dengan adanya kenaikan harga yang cukup tinggi dan kadang-kadang berjalan dalam jangka pendek dan memiliki sifat akselerasi. Artinya harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi daripada harga-harga minggu/bulan lalu dan seterusnya. Efek yang dirasakan yaitu keadaan perekonomian menjadi berat. Sementara inflasi tinggi adalah inflasi yang sangat parah. Inflasi ini membuat masyarakat tidak lagi ingin menyimpan uangnya. Perputaran uang terjadi secara cepat dan harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul karena pemerintah mengalami defisit anggaran belanja (misalnya saat keadaan perang) yang dibelanjai/ditutup dengan mencetak uang.


(32)

3. Inflasi Berdasarkan Sebabnya

Menurut Sudarso (1991), inflasi berdasarkan sebabnya terbagi tiga macam, yaitu: demand pull inflation, cost push inflation, serta inflasi permintaan dan penawaran.

a. Demand Pull Inflation

Demand pull inflation adalah inflasi yang ditandai dengan adanya kenaikan/ kelebihan permintaan. Biasanya hal ini disebabkan karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang di biayai dengan percetakan uang baru, bertambahnya investasi swasta karena adanya kredit murah, serta bertambahnya permintaan barang-barang ekspor dan sebagainya.

Sumber : Mankiw (2000) GAMBAR 2.1.

Demand Pull Inflation P

S

� � �

Q 0


(33)

Pada mulanya perekonomian berada pada harga setinggi dengan jumlah barang yang dijual-belikan sebanyak . Ketika terjadi permintaan barang, maka akan menggeser kurva permintaan dari � ke � . Pergeseran kurva ini, akan menaikkan harga dari menjadi serta menambah jumlah produksi dari ke . Hal ini akan berlanjut seterusnya. Kenaikan harga secara terus-menurus

akibat adanya kenaikan permintaan inilah yang dinamakan “Demand

Pull Inflation”.

b. Cost Push Inflation

Cost push inflation adalah inflasi yang disebabkan karena adanya kenaikan biaya produksi, misalnya adanya kenaikan upah maka cenderung produksi akan menurun.

Sumber : Mankiw (2000) GAMBAR 2.2.

Cost Push Inflation

P

D

0


(34)

Mula-mula, keseimbangan berada pada harga setinggi dan kuantitas sebesar . Ketika terjadi kenaikan biaya produksi (kenaikan upah), maka produksi akan menurun, ditandai dengan bergesernya kurva � menjadi � . Pergeseran kurva penawaran ini menunjukkan menurunnya produksi dari ke dan menaikkan harga barang hasil produksi dari ke . Apabila terjadi kenaikan biaya produksi, maka akan menurunkan hasil produksi dan terus menggeser kurva penawaran sehingga akan menaikkan harga produksi. Keberlangsungan hal tersebutlah yang dinamakan cost push inflation (inflasi karena dorongan biaya).

Demand pull inflation dan cost push inflation sama-sama menaikan harga produksi, namun demand pull inflation akan menaikan Produk Domestik Bruto (PDB) karena menaikkan jumlah produksi sementara cost push inflation akan menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) karena menurunkan jumlah produksi.

c. Inflasi Permintaan dan Penawaran

Inflasi permintaan dan penawaran terjadi ketika kenaikan penawaran diikuti dengan terjadinya penurunan produksi sehingga mengakibatkan harga naik secara terus menerus.


(35)

Sumber : Mankiw (2000) GAMBAR 2.3. Inflasi Permintaan dan Penawaran

Ketika terjadi kenaikan permintaan harga secara keseluruhan maka akan menggeser kurva permintaan dari � menjadi � yang mengakibatkan harga naik dari ke , sehingga dalam hal ini tidak terjadi demand pull inflation. Namun ketika terjadi perkiraan bahwa akan terjadi inflasi, maka perusahaan akan menaikkan harga dan para buruh akan selalu meminta kenaikan upah. Hal ini akan ditandai dengan bergesernya kurva penawaran yang horizontal ke atas. Pergeseran kurva penawaran yang horizontal ini akan mengakibatkan harga naik dari menjadi . Sehingga mengakibatkan inflasi sisi penawaran dengan harga yang naik secara

P

0 � �

� �


(36)

terus-menerus dan diikuti dengan turunnya produksi dari � ke � dan seterusnya.

4. Inflasi Berdasarkan Perkiraan dan Kelambanan a. Inflasi Perkiraan

Inflasi perkiraan merupakaan keadaan inflasi disaat perusahaan dan buruh sama-sama memperkirakan akan terjadi kenaikan inflasi di tahun depan. Sehingga dari pihak buruk akan meminta kenaikan upah, dan dari pihak perusahaan berharap terjadi peningkatan pada produktivitas dan kemampuan. Atas perkiraan terjadinya inflasi dari kedua belah pihak maka akan terjadi kesepakatan untuk terjadi kenaikan upah yang diikuti dengan kebijakan perusahaan untuk menaikkan harga dari hasil produksinya.

b. Inflasi Kelambanan

Inflasi kelambanan merupakaan saat dimana perusahaan dan pihak serikat buruh sama-sama memperkirakan tahun depan juga terjadi kenaikan harga. Jadi, ketika harga dan upah akan naik dengan

persentase yang sama, maka persentase tersebut dijadikan sebagai dasar untuk merundingkan kenaikan tersebut karena antara harga dan upah sama-sama mempunyai hubungan yang erat. Ketika inflasi ini terjadi secara berkepanjangan maka akan disebut sebagai “inflasi spiral”. Inflasi ini dapat diatasi apabila di dalam perekonomian terjadi resesi sedemikian rupa sehingga sebagian penentuan harga


(37)

dan upah bersedia untuk mengurangi harga dan upahnya. Penentuan upah dan harga ini dilakukan oleh perusahaan dan serikat buruh bukan pemerintah.

Perbedaan antara inflasi perkiraan dan inflasi kelambanan adalah:

1. Inflasi perkiraan sangat dipengaruhi oleh adanya kebijaksanaan pemerintah dari segi kebijaksanaan makro. Sementara inflasi kelambanan sangat dipengaruhi oleh upah dan harga barang-barang yang sedang berlaku.

2. Inflasi perkiraan biasanya dilakukan oleh perusahaan yang bukan monopoli dan posisi perusahaannya tidak begitu kuat untuk menghadapi buruh yang melakukan permintaan kenaikan upah. Sementara inflasi kelambanan terjadi pada perusahaan monopoli yang posisinya lebih kuat dalam menghadapi serikat buruh sehingga perusahaan tersebut tidak akan menurunkan harganya meskipun ada kebijaksanaan pemerintah.

5. Inflasi Berdasarkan Asalnya

Inflasi ini dibedakan atas 2 jenis yaitu:

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri seperti ketika terjadi defisit anggaran belanja yang terjadi secara terus menerus, gagal panen dan sebagainya. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah akan menginstruksi kepada Bank Indonesia untuk mencetak uang baru


(38)

dalam jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan.

2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Inflasi ini timbul karena adanya inflasi dari luar negeri yang mengakibatkan naiknya harga barang-barang impor. Inflasi seperti ini biasanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang dan

notabane-nya sebagian besar usaha produksinya menggunakan bahan dan alat dari luar negeri yang timbul karena adanya perdagangan internasional.

4. Efek Inflasi

Menurut Nopirin (1987), efek inflasi disebabkan oleh distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional.

Efek terhadap pendapatan (equity effect) memiliki sifat yang tidak merata dimana adanya inflasi dapat mendatangkan kerugian dan dapat pula mendatangkan keuntungan. Inflasi jenis ini akan mendatangkan kerugian bagi mereka yang memiliki pendapatan tetap, memupuk kekayaan dalam bentuk uang kas, serta bagi sebagian pihak yang memberikan pinjaman uang lebih rendah daripada laju inflasi. Sementara inflasi ini akan mendatangkan keuntungan bagi mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan lebih besar daripada laju inflasi atau bagi mereka yang memiliki kekayaan selain bentuk uang dengan persentase yang lebih besar daripada laju inflasi. Inflasi ini


(39)

seakan-akan merupakan pajak bagi seseorang dan merupakan subsidi bagi orang lain.

Sedangkan efek terhadap efisiensi (efficiency effect) dapat menyebabkan perubahan pada faktor-faktor produksi. Dimana ketika terjadi kenaikan permintaan barang, maka akan mendorong terjadi perubahan dalam produksi barang tertentu. Kenaikan produksi barang ini akan merubah pola alokasi faktor produksi yang sudah ada. Memang tidak ada jaminan bahwa alokasi faktor produksi itu lebih efisien dalam keadaan tidak ada inflasi. Tetapi kebanyakan ahli ekonomi berpendapat bahwa inflasi dapat menyebabkan alokasi faktor produksi menjadi tidak efisien.

Untuk efek terhadap output (output effect) sendiri intensitasnya berbeda-beda, tergantung dari apakah inflasi tersebut dibarengi dengan kenaikan produksi dan pekerja ataukah tidak. Ketika produksi barang naik, maka kenaikan produksi dapat sedikit banyak mengerem laju inflasi. Sementara ketika ekonomi mendekati kesempatan kerja penuh ( full-employment), maka intensitas efek inflasi akan semakin besar. Inflasi dalam keadaan kesempatan kerja penuh disebut juga inflasi murni (pure inflation).

5. Cara Mencegah Inflasi

Berdasarkan persamaan Irving Fisher (MV = PT), dimana M = jumlah uang beredar, V = tingkat perputaran uang (velocity), P = harga barang dan T = volume barang dalam transaksi maka dapat dijelaskan bahwasannya inflasi timbul karena MV naik lebih cepat daripada T. Sehingga untuk


(40)

mencegah inflasi, maka salah satu dari variabel (M atau V) harus dikendalikan. Disamping itu volume T ditingkatkan agar dapat mencegah/ mengurangi inflasi. Cara mengatur variabel M, V dan T dapat menggunakan kebijaksanaan moneter, fiskal, ataupun kebijaksanaan yang menyangkut kenaikan produksi (Nopirin,1987).

a) Kebijaksanaan Moneter

Kebijaksanaan moneter dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan pada jumlah uang yang beredar (M) ataupun melakukan kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF) yang mulai diberlakukan ditahun 2005.

1. Melalui jumlah uang yang beredar (M)

Salah satu komponen jumlah uang adalah uang giral (permintaan deposit). Bank Sentral dapat mengatur uang giral melalui penetapan cadangan minimum. Untuk menekan laju inflasi, cadangan minimum dinaikan sehingga jumlah uang menjadi lebih kecil. Selain itu Bank Sentral dapat menggunakan tingkat diskonto yang merupakan pinjaman yang diberikan kepada bank umum. Ketika tingkat diskonto dinaikan maka gairah bank umum untuk meminjam makin kecil sehingga cadangan yang ada pada bank sentral juga mengecil. Akibatnya kemampuan bank umum memberikan pinjaman kepada masyarakat menjadi kecil sehingga jumlah uang beredar turun dan inflasi dapat dicegah. Instrumen lainnya yang dapat digunakan untuk mencegah inflasi adalah politik


(41)

pasar terbuka (jual/beli surat berharga). Dengan cara menjual surat berharga, bank sentral dapat menekan perkembangan jumlah uang beredar sehingga laju inflasi menjadi lebih rendah.

2. Melalui kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF)

Menurut Bank Indonesia, ITF merupakan kebijakan moneter yang dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance

kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang, suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya yang akan memengaruhi output dan inflasi. Kelebihan menggunakan ITF yaitu:

a. ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat.

b. ITF memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Bank Indonesia.

c. ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag.


(42)

d. ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter.

e. ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi. Sebaliknya, ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel informasi tentang kondisi perekonomian.

Penerapan ITF dilakukan dengan cara: Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Setiap periode, Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia akan melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki. Misalnya jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan moneter.

b) Kebijaksanaan Fiskal

Kebijakan fiskal ini akan berkaitan dengan pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat mempengaruhi permintaan total sehingga akan mempengaruhi harga dan inflasi dapat ditekan (Nopirin,1987).


(43)

c) Kebijaksanaan yang berkaitan dengan Output

Kenaikan jumlah output dapat dicapai melalui kebijaksanaan penurunan bea masuk sehingga impor barang cenderung meningkat. Bertambahnya jumlah barang di dalam negeri akan cenderung menurunkan harga sehingga dapat memperkecil laju inflasi.

d) Kebijaksanaan Penentuan Harga dan Indexing

Kebijaksanaan ini dapat dilakukan dengan penentuan ceiling

harga serta mendasarkan pada indeks harga tertentu untuk gaji ataupun upah (dengan gaji/upah secara riil tetap). Ketika indeks harga naik, maka gaji/upah juga dinaikkan.

6. Pengendalian Inflasi di Indonesia

Inflasi yang terjadi di Indonesia lebih sering disebabkan oleh adanya faktor struktur ekonomi daripada monetary polices sehingga lebih banyak pengaruh yang ditimbulkan dari cost push inflation dibandingkan dengan

demand pull inflation.

Inflasi yang terjadi di Indonesia selalu berlangsung dalam jangka panjang sehingga dalam mengatasi masalah inflasi, pemerintah tidak hanya melihat dari sisi monetary polices-nya saja tetapi juga harus dapat melihat dari hambatan-hambatan struktural yang ada.

Pada tahun 1987 saat terjadi krisis moneter, inflasi di Indonesia dipicu oleh adanya kenaikan harga komoditi impor (imported inflation) dan


(44)

membengkaknya hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya. Sehingga dari sisi monetary polices pemerintah melakukan tight money policy dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market mechanism) dengan sangat tinggi. Harapannya selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum. Sementara itu dari sisi hambatan-hambatan struktural perekonomian, pemerintah melakukan peningkatan pada penawaran bahan pangan, mengurangi defisit APBN, meningkatkan cadangan devisa, serta memperbaiki dan meningkatkan kemampuan sisi penawaran agregat. Sehingga antara sisi

monetary polices dan faktor struktur ekonomi dapat di seimbang secara bersamaan.

7. Hubungan Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Inflasi a. Hubungan antara Variabel BI Rate terhadap Laju Inflasi

Menurut Bank Indonesia, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah adalah dengan menetapkan suku bunga kebijakan BI rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi kegiatan perekonomian yang pada akhirnya untuk pencapaian inflasi. Mekanisme bekerjanya BI rate dalam mempengaruhi inflasi ini sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme tersebut akan melewati interaksi antara Bank Sentral,


(45)

perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil dengan melewati jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan jalur ekspansi.

Khusus untuk jalur suku bunga, perubahan BI rate akan mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Ketika perekonomian sedang lesu, maka suku bunga akan diturunkan. Penurunan suku bunga BI rate akan menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan dalam melakukan investasi. Hal ini akan membuat gairah dalam perekonomian karena terjadi peningkatan dalam konsumsi dan investasi. Sebaliknya, ketika tekanan inflasi mengalami kenaikan, maka Bank Indonesia akan menaikan BI rate karena ketika BI rate

dinaikkan maka bank-bank akan lebih suka menyimpan dana tabungan nasabahnya di Bank Indonesia ketimbang menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sebab meskipun bunga yang ditetapkan Bank Indonesia lebih kecil daripada bunga kredit namun dalam hal ini ada pemerintah sebagai penjaminnya, sehingga resiko kredit macetnya akan sangat kecil bahkan mendekati nol. Keadaan yang demikian akan membuat uang kas yang beredar dalam masyarakat menjadi berkurang dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat inflasi.


(46)

b. Hubungan antara Variabel Kurs terhadap Laju Inflasi

Hubungan antara kurs dengan inflasi dapat dijelaskan oleh teori

Purchasing Power Parity atau paritas daya beli. Teori ini dikemukan oleh Gustav Cassel setelah perang dunia 1. Berdasarkan teori ini kurs mata uang akan berubah untuk mempertahankan daya belinya. Dengan kata lain kurs mata uang akan mencerminkan perbandingan antara nilai mata uang satu negara dengan negara lainnya yang ditentukan oleh daya beli dari masing-masing negara. Perubahan kurs yang dipengaruhi oleh tingkat inflasi ditunjukkan dengan rumus:

= x + �+� Keterangan:

: kurs mata uang asing di masa akan datang. : kurs mata uang asing saat ini.

� : tingkat inflasi domestik. � : tingkat inflasi negara asing.

Ketika inflasi domestik lebih tinggi dari inflasi negara lain maka nilai mata uang domestik akan mengalami depresiasi, sementara mata uang asing terapresiasi. Inflasi yang dilihat sebagai kenaikan harga komoditi maka akan membuat mata uang dari negara yang memiliki inflasi yang lebih tinggi cenderung mengalami depresiasi. Sementara saat inflasi dilihat sebagai penurunan nilai mata uang domestik maka mata uang dari negara lain yang memiliki tingkat inflasi lebih rendah cenderung mengalami apresiasi.


(47)

Depresiasi nilai mata uang dari suatu negara terhadap mata uang negara lain akan menyebabkan peningkatan pada biaya untuk mengimpor barang seperti barang konsumsi, barang modal dan bahan baku yang digunakan dalam keperluan proses produksi. Untuk menutupi biaya impor yang menjadi mahal, produsen dalam negeri akan menaikan harga barang produksinya sehingga akan mengakibatkan kenaikan harga pada tingkat harga domestik yang merupakan cerminan dari laju inflasi.

c. Hubungan antara Variabel M2 (Broad Money) terhadap Laju Inflasi M2 (Broad Money) merupakan bagian dari adanya jumlah uang yang beredar dalam arti luas. Hubungan antara jumlah uang beredar dengan tingkat laju inflasi ini dibahas dalam teori kuantitas uang (quantity theory of money). Jumlah uang yang beredar ditentukan oleh bank sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan oleh beberapa faktor antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian. Semakin tinggi tingkat harga, maka akan semakin besar jumlah uang yang diminta.

Pada gambar 2.4., sumbu horizontal merupakan jumlah uang yang beredar, sumbu vertikal kiri merupakan nilai uang, sedangkan sumbu vertikal kanan merupakan tingkat harga. Kurva permintaan menunjukkan slope negatif dikarenakan ketika nilai uang rendah maka tingkat harga akan tinggi, sehingga permintaan terhadap uang akan tinggi. Pada titik equilibrium (A), jumlah uang yang diedarkan dan jumlah uang yang


(48)

diminta masyarakat berada dalam titik keseimbangan. Equilibrium antara penawaran dan permintaan terhadap uang menentukan nilai uang dan tingkat harga barang dan jasa.

Sumber : Mankiw (2000)

GAMBAR 2.4.

Hubungan antara Supply dan Demand terhadap Uang dengan Tingkat Harga

Ketika bank sentral mengubah jumlah uang yang beredar dengan cara mencetak lebih banyak uang, maka bertambahnya jumlah uang yang beredar, akan menggeser kurva penawaran dari �� ke �� sehingga titik keseimbangan bergeser dari A ke B (hal ini ditunjukkan pada gambar 2.5.). Akibatnya, nilai uang turun dari setengah menjadi seperempat dan tingkat harga keseimbangan naik dari dua ke empat. Dengan kata lain, meningkatnya jumlah uang beredar akan mendorong

Money Supply

Money Demand

Quantity of Money Quantity fixed

By the Fed (Low) Equilibrium Value of Money Equilibrium Price Level (High) Value of

Money,

Prices Level, P (Low) 4 2 1,33 1 1 ⁄ ⁄ ⁄

0 (High)


(49)

terjadinya kenaikan harga (inflasi) yang menyebabkan nilai uang menjadi turun.

Sumber : Mankiw (2000)

GAMBAR 2.5.

Pergeseran Equilibrium Harga Akibat Peningkatan Jumlah Uang Beredar.

Ketika bank sentral memberikan injeksi moneter maka akan meningkatkan penawaran uang. Dimana saat jumlah uang yang beredar meningkat, pada tingkat harga yang sama masyarakat akan memiliki uang yang lebih banyak dari yang mereka minta. Meningkatnya jumlah uang menyebabkan naiknya permintaan terhadap barang dan jasa. Jika jumlah barang dan jasa yang diminta tidak seimbang dengan jumlah barang dan jasa yang diproduksi, maka akan terjadi peningkatan harga yang akan mendorong naiknya jumlah uang yang diminta masyarakat. Pada akhirnya, akan menciptakan keseimbangan yang baru di titik (B)

Value of

Money, Prices Level, P

1 ⁄ ⁄ ⁄ , (High)

(High) (Low)

(Low)

� � Quantity of

Money Money Demand

�� ��

1. An increase in the money supply…

3. … and

increases the price level

2. … decreases

the value of money


(50)

saat jumlah uang yang diminta kembali seimbang dengan jumlah uang yang diedarkan. Jadi inti dari teori kuantitas uang (quantity theory of money) menjelaskan bahwa jumlah uang yang beredar menentukan nilai uang dan pertumbuhan jumlah uang yang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi.

B. Hasil Penelitian Terdahulu

1. Basuki (2013) dalam Santoso (2010) mengatakan bahwa Basuki telah meneliti mengenai “Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan BBM Terhadap Fungsi Inflasi di Indonesia (1991:1-2001:12)” dengan menggunakan pendekatan metode PAM (Partial Adjusment Model). Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa Jumlah Uang Beredar (JUB) mempunyai hubungan yang positif terhadap laju inflasi, dimana setiap kenaikan Jumlah Uang Beredar (JUB) dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan diikuti dengan kenaikan inflasi.

2. Maulida, Mardiana, dan Mayes (2010) meneliti mengenai “Pengaruh Defisit Anggaran, Jumlah Uang Beredar dan Independensi Bank Indonesia terhadap Inflasi” dengan menggunakan metode regresi berganda. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel jumlah uang yang beredar (M2) berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya besaran koefisien regresi sebesar 2,306, yang artinya setiap penambahan satu satuan pada jumlah uang yang beredar dan variabel yang lain dianggap konstan maka akan meningkatkan inflasi 2.306 satuan.


(51)

3. Amrini, Aimon, dan Syofyan (2014) meneliti mengenai “Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Inflasi dan Perekonomian Indonesia”. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data kuartalan I.2000IV.2011. Dari hasil penelitian tersebut koefisien suku bunga SBI adalah -0,993544. Artinya bahwa suku bunga SBI secara parsial memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Dimana setiap kenaikan 1% suku bunga SBI akan menurunkan inflasi sebesar 0,99%. Penurunan inflasi disebabkan karena masyarakat lebih suka menyimpan uangnnya di bank daripada membelanjakan uang tersebut. Sehingga peningkatan suku bunga akan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat dan terjadi penurunan terhadap permintaan barang dan jasa yang menyebabkan inflasi menurun.

4. Jacobus, Rotinsulu, dan Mandeij (2015) meneliti mengenai “Analisis Pengaruh Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Kurs, dan Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap Inflasi di Indonesia” dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa suku bunga SBI mempunyai t-hitung kurang dari t-tabel (1,020621 < 1,7139) artinya suku bunga SBI mempunyai pengaruh negatif yang tidak signifikan secara statistik terhadap inflasi di Indonesia. Artinya hal ini sesuai dengan teori bahwa apabila suku bunga SBI naik, maka akan mendorong keinginan para pelaku ekonomi dan masyarakat untuk menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi yakni membeli surat berharga daripada menggunakan uangnya untuk konsumsi sehingga tidak akan


(52)

menyebabkan inflasi. Akan tetapi kenaikan suku bunga SBI tidak terlalu berpengaruh. Sementara dari tingkat kurs mempunyai nilai koefisien sebesar 0.001552 yang berarti bahwa kurs mempunyai pengaruh positif terhadap inflasi. Artinya, apabila kurs naik sebesar Rp 1/$ maka inflasi akan naik sebesar 0.0152%, cateris paribus.

5. Kalalo, Rotinsulu, dan Maramis (2016) meneliti mengenai “Analisis Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Periode 2000-2014” dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika memiliki nilai koefisien sebesar 0.115 yang berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap inflasi. Yang artinya ketika terjadi kenaikan 1 persen tingkat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika maka inflasi mengalami peningkatan sebesar 0.115 persen.

C. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban atau kesimpulan sementara atas permasalahan yang terdapat dalam penelitian. Berdasarkan teori yang ada dan penelitian terdahulu, maka dibuatlah hipotesis sebagai berikut:

1. Variabel BI rate diduga berpengaruh negatif terhadap laju inflasi di Indonesia.

2. Variabel kurs tengah diduga berpengaruh positif terhadap laju inflasi di Indonesia.


(53)

3. Variabel M2 (Broad Money) diduga berpengaruh positif terhadap laju inflasi di Indonesia.

D. Model Penelitian

Berdasarkan pemikiran teoritis dan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan antara variabel independen (BI rate, kurs tengah, dan M2 (broad money)) dengan variabel dependen (inflasi), maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dapat digambarkan dengan pengembangan model sebagai berikut:

GAMBAR 2.6. Kerangka Pemikiran BI Rate

Inflasi Kurs Tengah


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana variabel BI rate, kurs tengah dan M2 (broad money) dalam mempengaruhi laju inflasi di Indonesia.

B.Jenis Data

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan jenis data sekunder dalam bentuk data bulanan selama delapan tahun, yaitu data laju inflasi, BI rate, kurs tengah dan M2 (broad money) yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu dari bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Desember 2015. Data ini berjumlah 384 data yang terdiri dari: 96 data laju inflasi, 96 data BI rate, 96 data kurs tengah dan 96 data M2 (broad money). Data dalam penelitian ini diperoleh dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia, buku-buku, skripsi, jurnal, laporan-laporan serta sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

C.Teknik Pengumpulan Data

Segala jenis data yang diperlukan telah dikumpulkan dengan melakukan

non participant observation, dimana data tersebut diunduh dari berbagai situs yang saling berhubungan (relevan) dengan kesesuaian kebutuhan data,


(55)

kemudian mencatat maupun menyalin data dari berbagai data publikasi dan berbagai studi pustaka ilmiah yang terkait.

D.Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Definisi Variabel Penelitian

Variabel merupakan segala sesuatu yang dapat diteliti sehingga hal tersebut dapat dipelajari dan ditarik suatu kesimpulan. Menurut Sugiyono (2010), variabel penelitian adalah segala sesuatu apa saja yang dapat ditetapkan oleh peneliti agar dapat dipelajari sehingga dapat diperoleh informasi dari hal tersebut dan kemudian di tarik kesimpulannya.

Adapun pembatas pengertian dari variabel yang akan diteliti adalah:

1. BI Rate

Menurut Bank Indonesia, BI rate (suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia yang disalurkan kepada bank-bank) merupakan suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI rate akan menjadi suku bunga acuan bagi korporasi, serta bank-bank lainnya dalam menaikkan maupun menurunkan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Penyebab dari adanya kenaikan ataupun penurunan BI rate adalah untuk menyimbangi terhadap besarnya tingkat inflasi. Karena fungsi dari BI rate sendiri adalah untuk menjaga laju perekonomian serta gerak perekonomian.


(56)

2. Kurs

Menurut Nopirin (1996), kurs adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, maka akan mendapat perbandingan nilai/harga antara kedua mata uang tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa kurs merupakan perbandingan antara nilai mata uang asing dengan nilai mata uang dalam negeri (rupiah). Secara umum, kurs terbagi tiga yaitu kurs beli, kurs jual dan kurs tengah. Kurs beli merupakan kurs yang diterapkan oleh bank ketika kita ingin melakukan pembelian terhadap mata uang valuta asing. Sementara kurs jual adalah harga jual mata uang valuta asing yang diberlakukan oleh bank. Sedangkan kurs tengah merupakan penjumlahan antara kurs beli dan kurs jual yang dibagi dua. Jadi dapat diartikan bahwa kurs tengah merupakan nilai kurs pertengahan antara kurs beli dan kurs jual.

3. M2 (Broad Money)

M2 (Broad Money) merupakan arti luas dari adanya jumlah uang yang beredar. Dimana M2 terdiri dari M1 (uang kartal dan uang giral) ditambah dengan uang kuasi (tabungan dan deposito masyarakat). Secara umum, uang kartal termasuk uang kertas dan uang logam sementara uang giral berupa cek (simpanan masyarakat pada bank-bank umum). Hal tersebut dipertegas dalam bukunya Boediono (1992) bahwa M2 terdiri dari M1 + Quasy Money + Surat Berharga selain saham. Faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar dapat disebabkan oleh


(57)

adanya defisit APBN, pemberian kredit langsung, pengaruh luar negeri, surplus perdagangan ekspor-impor, serta adanya pajak.

2. Alat Ukur Data

Untuk mengelola data sekunder yang telah terkumpul, penulis menggunakan beberapa alat statistik, seperti Microsoft Office Excel 2007, serta EViews 7.0.Microsoft Office Excel 2007 digunakan untuk mengelolah data yang menyangkut pembuatan tabel dan analisis. Sementara EViews 7.0 digunakan untuk proses regresi data.

E.Uji Kualitas Data

Uji kualitas data yang digunakan dengan analisis dasar data runtun waktu yang ditujukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal pada pengujian Error Correction Model (ECM). Model ini dikembangkan lebih lanjut dengan konsep

the general to specific approach (dari umum ke pendekatan khusus).

F. Uji Hipotesis dan Analisis Data

Dalam melakukan uji hipotesis dan analisis data, penulis menggunakan

Error Correction Model (ECM). Menurut Gujarati (1995) dalam Nugroho (2010), ECM merupakan model koreksi kesalahan dengan keunggulan yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan model dinamis lainnya karena ECM mampu menganalisis fenomena dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan baik, serta mampu mengkaji konsisten tidaknya model empirik


(58)

dengan teori ekonomi dalam usaha memecahkan suatu permasalahan mengenai variabel runtun waktu yang tidak stasioner dan regresi lancung (spurious regression) atau koreksi lancung (spurious correlation) dalam analisis ekonometri.

Menurut Basuki (2015), beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan estimasi ECM adalah uji stasionesritas data, menentukan panjang lag dan uji derajat kointegrasi. Setelah data di estimasi menggunakan ECM, maka dapat dilakukan analisis selanjutnya dengan metode IRF dan variance decomposition.

Adapun beberapa langkah dalam metode ECM yaitu:

1. Melakukan spesifikasi hubungan yang diharapkan dalam model yang diteliti.

� = + �� + + ……….. (3.1)

Keterangan:

� = Inflasi pada periode t �� = BI rate pada periode t

= Kurs tengah pada periode t = M2 (broad money) pada periode t

2. Membentuk fungsi biaya tunggal dalam periode korelasi kesalahan:

= (� –� *) + {(� –� ) – ( – )} ……. (3.2) Berdasarkan data adalah fungsi biaya kuadrat, � adalah inflasi pada periode t, sedangkan merupakan vektor variabel yang mempengaruhi inflasi dan dianggap dipengaruhi secara linear oleh BI rate,


(59)

kurs tengah dan M2 (broad money). dan merupakan vektor baris yang memberikan bobot kepada – .

3. Meminimumkan fungsi biaya persamaan terhadap � , maka akan diperoleh: � = ε� + (1 – e)� – (1 – e) – B ………. (3.3)

4. Mensubstitusikan � –� sehingga diperoleh:

Ln� = � + � �� + � + � ………..…. (3.4)

Keterangan:

� = Inflasi pada periode t �� = BI rate pada periode t

= Kurs tengah pada periode t = M2 (broad money) pada periode t � � � � = Koefisien jangka panjang

Sementara hubungan jangka pendek dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

DLn� = �� + + ……...……. (3.5)

DLn� = –α (Ln� –� –� �� +

� − + � − + µ ………. (3.6)

Dari hasil parameterisasi persamaan jangka pendek dapat menghasilkan bentuk persamaan baru, persamaan tersebut dikembangkan dari persamaan yang sebelumnya untuk mengukur parameter jangka panjang


(60)

dengan menggunakan regresi ekonometri dengan menggunakan model ECM:

DLn� = � + � �� + � + � + � �� + � + � + ECT +µ …….….. (3.7) ECT = �� + + ……….…… (3.8) Keterangan:

DLn� = Inflasi pada periode t (persen) �� � = BI rate pada periode t (persen)

= Kurs tengah pada periode t (rupiah)

= M2 (broad money) pada periode t (billions rupiah) �� �− = Kelambanan BI rate pada periode t

− = Kelambanan kurs tengah pada periode t

− = Kelambanan M2 (broad money) pada periode t

µ = Residual D = Perubahan t = Periode waktu

ECT = Error Correction Term

Selanjutnya langkah-langkah yang harus dilakukan dalam regresi ECM yaitu:

1. Hasil Uji Asumsi Klasik

Untuk menguji kualitas data, maka dapat meggunakan uji asumsi klasik yang meliputi autokorelasi, normalitas, linearitas, heteroskedastisitas dan multikolinearitas.


(61)

A. Autokorelasi

Autokorelasi akan menunjukkan adanya korelasi antara anggota serangkaian observasi. Jika suatu model regresi terkena korelasi, maka parameter yang diestimasi menjadi bias dan variasinya tidak lagi minimum dan model menjadi tidak efisien (Basuki,2015).

Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi maka dapat menggunakan uji Lagrange Multiplier (LM). Langkah pengujian LM adalah jika Obs* R-Squared kurang dari nilai tabel maka model regresi dikatakan tidak terkena masalah autokorelasi. Selain itu dapat dilihat dari nilai probabilitas chisquares ( ), jika nilai probabilitasnya lebih besar dari nilai α (alpha) yang dipilih, maka dapat dikatakan tidak terkena masalah autokorelasi (Basuki,2015).

Untuk menguji autokorelasi maka diperlukan lag atau kelambanan. Lag ini akan ditentukan dengan metode trial error

perbandingan nilai absolute kriteria Akaike dan Schwarz yang nilainya paling kecil.

B. Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji ada tidaknya distribusi normal pada variabel independen. Pengujian ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji Jarque-Berra (uji J-B), dimana:

1. Jika probability JB lebih besar dari signifikansi nilai α (alpha) yang dipilih, maka mempunyai distribusi normal.


(62)

2. Jika probability JB kurang dari signifikansi nilai α (alpha) yang dipilih, maka tidak berdistribusi normal.

C. Linieritas

Uji linearitas ini berfungsi untuk mengetahui apakah model regresi sudah bermodel linear atau belum. Pengujian ini dapat menggunakan uji Ramsey Reset, dimana:

1. Jika probability F-Statistic pada Ramey Reset Test lebih besar dari signifikasi nilai α (alpha) yang dipilih, maka dapat dikatakan terjadi model linear.

2. Jika probability F-Statistic pada Ramey Reset Test kurang dari signifikasi nilai α (alpha) yang dipilih, maka dapat dikatakan tidak terjadi model linear.

D. Heteroskedastisitas

Menurut Basuki (2015), heteroskedastisitas merupakan masalah regresi yang faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama atau variannya tidak konsisten. Sehingga dapat diartikan bahwa heteroskedastisitas memiliki variasi residual yang tidak sama untuk semua pengamatan. Hal ini tentu akan memunculkan berbagai masalah penaksir OLS yang bias, dimana varian dari koefisien OLS akan salah.

Dalam melakukan pengujian ini dapat menggunakan uji Breusch-Pagan dengan tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas


(63)

dalam suatu model regresi. Apabila semua variabel independen memiliki nilai Obs* R-Squared atau nilai probabilitasnya lebih besar dari nilai α (alpha) yang dipilih, maka dapat disimpulkan bahwa model penelitian ini tidak terkena heteroskedastisitas.

E. Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah suatu hubungan linear yang sempurna atau mendekati sempurna antara beberapa atau semua variabel independen atau variabel bebas (Kuncoro,2004). Dengan kata lain dapat diartikan bahwa multikolinearitas merupakan hubungan yang linear antara variabel independen di dalam suatu model regresi.

Beberapa tanda suatu model analisis mengalami multikolinearitas atau tidaknya dapat dilihat dari:

a. Apabila koreksi antara dua variabel bebas lebih tinggi dibanding korelasi salah satu atau kedua variabel independen atau variabel bebas tersebut dengan variabel dependen atau variabel terikat.

b. Bila korelasi antara dua variabel independen atau variabel bebas melebihi 0,8 maka multikolinearitas menjadi masalah yang serius (Gujarati,2008).

c. Adanya F-statistic dan koefisien determinan yang signifikan namun diikuti dengan banyaknya t-statistic yang tidak signifikan. Sehingga perlu diuji apakah � dan � secara sendiri-sendiri tidak memiliki pengaruh terhadap Y, ataukah terdapat multikolinearitas yang serius.


(64)

Cara mendeteksi suatu model regresi mengalami multikolinearitas atau tidak adalah dengan melakukan langkah sebagai berikut:

1. Meregresikan variabel independen dengan variabel independen lainnya, kemudian deteksi R2 nya.

2. Jika R2 hasil regresi variabel dependen kurang dari R2 regresi antar variabel independen maka telah terkena multikolinearitas.

3. Jika R2 nya hasil regresi variabel dependent lebih besar dari R2 regresi antar variabel independen, maka tidak terkena multikolinearitas.

2. Uji Asumsi Dinamik

a. Uji Akar Unit (Unit Root Test)

Uji akar unit ini bertujuan untuk menguji stasioner atau tidaknya suatu data runtun waktu. Apabila ternyata suatu data runtun waktu tidak stasioner, maka dapat dikatakan bahwa data tersebut tengah menghadapi persoalan akar unit. Hal ini dapat diamati dengan membandingkan nilai t-statistic hasil regresi dengan nilai test Augmented Dickey Fuller. Stasioneritas dapat dilihat dari nilai probabilitas yang ditunjukkan pada hasil pengujian. Jika nilai probabilitasnya kurang dari nilai α (alpha) yang dipilih maka data yang digunakan adalah stasioner. Model persamaannya adalah sebagai berikut:


(65)

Dimana ∆� = (∆� − ∆� dan seterusnya, m = panjangnya time-lag berdasarkan i = 1,2, … m. Hipotesis nol masih tetap

� = 0 atau � = 1. Nilai t-statistics ADF sama dengan nilai t-statistik DF.

b. Uji Derajat Integrasi

Apabila pada uji unit root test diatas belum stasioner, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji derajat integrasi untuk mengetahui pada derajat integrasi keberapa data akan stasioner. Uji derajat integrasi dilaksanakan dengan model:

∆� = � + �∆� + �= ∆� + ……….... (3.10)

∆� = � + � � + �∆� + �∑�= ∆� + ………….... (3.11)

Nilai statistik hasil regresi persamaan dibandingkan dengan t-statistik pada tabel DF. Apabila nilai � pada kedua persamaan sama dengan satu maka persamaan variabel ∆� dikatakan stasioner pada derajat satu, atau disimbolkan∆� ~ I [1]. Tetapi jika nilai � tidak berbeda dengan nol, maka variabel ∆� belum stasioner pada derajat integrasi pertama. Karena itu pengujian dilanjutkan ke uji derajat integrasi kedua, ketiga, dan seterusnya sampai didapatkan data variabel ∆� yang stasioner.

c. Uji Kointegrasi

Untuk melakukan uji kointegrasi, data yang digunakan harus berintegrasi pada derajat yang sama. Uji kointegrasi yang sering dipakai adalah uji Angel-Granger (EG). Uji Augmented Engle-Granger (AEG) dan


(66)

uji Cointegrating Regression Durbin-Watson (CRDW). Untuk mendapatkan nilai EG, AEG dan CRDW hitung, data yang akan digunakan harus sudah berintegrasi pada derajat yang sama. Pengujian OLS terhadap suatu persamaan dibawah ini:

� = � + �� + + + .. (3.12)

Dari persamaan (3.12), simpan residual error terms-nya. Langkah berikutnya adalah menaksir model persamaan autoregressive dari residual tadi berdasarkan persamaan-persamaan berikut:

µ = λ∆µ ……….. (3.13) ∆µ = λ∆µ + αi∑�=µ ………... (3.14)

Dengan uji hipotesisnya:

H0 : µ = I(1), artinya tidak ada kointegrasi Ha : µ # I(1), artinya ada kointegrasi

Berdasarkan hasil regresi OLS pada persamaan (3.12) kita akan memperoleh nilai CDRW hitung (nilai DW pada persamaan tersebut) untuk kemudian dibandingkan dengan CDRW tabel. Sedangkan dari persamaan (3.13) dan (3.14) akan diperoleh nilai EG dan AEG hitung yang nantinya juga dibandingkan dengan nilai DF dan ADF tabel.

Dari regresi terhadap persamaan diatas didapatkan nilai residunya. Kemudian nilai residu (ect) tersebut diuji menggunakan metode Augmented Dickey Fuller untuk melihat apakah nilai residual tersebut stasioner atau tidak. Nilai residu dikatakan stasioner apabila nilai hitung mutlak ADF lebih kecil atau lebih besar daripada nilai kritis mutlak pada Mc Kinnon pada 1%,


(67)

5%, atau 10% dan dapat dikatakan regresi tersebut adalah regresi yang terkointegrasi. Dalam ekonometrika variabel yang saling terkointegrasi dikatakan dalam keseimbangan jangka panjang. Pengujian ini sangat penting apabila model dinamis akan dikembangkan. Dengan demikian, interpretasi dengan menggunakan model diatas tidak akan menyesatkan, khususnya untuk analisa jangka panjang.

d. Error Correction Model

Apabila lolos dari uji kointegrasi, maka selanjutnya akan diuji dengan menggunakan model linear dinamis untuk mengetahui kemungkinan terjadinya perubahan struktural, sebab hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel bebas dan variabel terikat dari hasil uji kointegrasi tidak akan berlaku setiap saat. Teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju pada keseimbangan jangka panjang disebut Error Correction Model (ECM).

Metode ini adalah salah satu regresi tunggal yang menghubungkan diferensi pertama pada variabel terikat dan diferensi pertama untuk semua variabel bebas dalam model.Metode ini dikembangkan oleh Engel dan Granger pada tahun 1987.

Secara singkat, proses bekerjanya ECM pada inflasi telah dimodifikasi menjadi:


(68)

Dimana ∆ menandakan perbedaan pertama (first difference), �− merupakan nilai residual dari persamaan (3.15) yang mempunyai kelambanan waktu (time-lag) satu periode dan etc adalah error term seperti yang terdapat didalam suatu persamaan struktural.

Dalam regresi persamaan diatas, ∆� menangani gangguan jangka pendek pada variabel-variabel bebas, sementara � menangani penyesuaian kearah keseimbangan jangka panjang.Apabila � signifikan secara statistik, maka hal ini menyatakan bahwa proporsi ketidakseimbangan pada ∆� pada satu periode dikoreksi pada periode berikutnya.


(1)

b) Normalitas

0 2 4 6 8 10 12

-3 -2 -1 0 1 2 3

Series: Residuals

Sample 2008M01 2015M12 Observations 96

Mean -9.62e-15 Median 0.288545 Maximum 3.132353 Minimum -3.396886 Std. Dev. 1.372303 Skewness -0.428928 Kurtosis 2.551797 Jarque-Bera 3.747215 Probability 0.153569


(2)

Ramsey RESET Test Equation: UNTITLED

Specification: INFLASI C BIRATE LOG(KURS) LOG(M2) ECT(-1) Omitted Variables: Squares of fitted values

Value df Probability t-statistic 0.664764 88 0.5079 F-statistic 0.441911 (1, 88) 0.5079 Likelihood ratio 0.470860 1 0.4926

F-test summary:

Sum of Sq. df

Mean Squares Test SSR 0.494008 1 0.494008 Restricted SSR 98.86838 89 1.110881 Unrestricted SSR 98.37437 88 1.117891 Unrestricted SSR 98.37437 88 1.117891

LR test summary:

Value df Restricted LogL -135.7535 89 Unrestricted LogL -135.5180 88

Unrestricted Test Equation: Dependent Variable: INFLASI Method: Least Squares Date: 11/24/16 Time: 09:28 Sample: 2008M03 2015M12 Included observations: 94

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 13.73981 10.65817 1.289135 0.2007 BIRATE 1.246673 0.541161 2.303701 0.0236 LOG(KURS) -3.063221 2.040409 -1.501278 0.1369 LOG(M2) 1.738890 0.781564 2.224885 0.0286 ECT(-1) -0.579296 0.211087 -2.744343 0.0073 FITTED^2 0.013905 0.020917 0.664764 0.5079

R-squared 0.807838 Mean dependent var 6.205213 Adjusted R-squared 0.796920 S.D. dependent var 2.346204 S.E. of regression 1.057303 Akaike info criterion 3.011022 Sum squared resid 98.37437 Schwarz criterion 3.173360 Log likelihood -135.5180 Hannan-Quinn criter. 3.076595 F-statistic 73.98938 Durbin-Watson stat 0.688989 Prob(F-statistic) 0.000000


(3)

d) Heterokedastisitas Heteroskedasticity Test: Glejser

F-statistic 0.915966 Prob. F(4,89) 0.4583 Obs*R-squared 3.716694 Prob. Chi-Square(4) 0.4457 Scaled explained SS 4.301237 Prob. Chi-Square(4) 0.3668

Test Equation:

Dependent Variable: ARESID Method: Least Squares Date: 11/24/16 Time: 09:24 Sample: 2008M03 2015M12 Included observations: 94

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.818762 4.929539 0.368952 0.7130 BIRATE 0.257650 0.151791 1.697393 0.0931 LOG(KURS) -1.361842 1.082457 -1.258102 0.2116 LOG(M2) 0.511488 0.443134 1.154251 0.2515 ECT(-1) 0.086119 0.055046 1.564483 0.1213

R-squared 0.039539 Mean dependent var 0.764612 Adjusted R-squared -0.003627 S.D. dependent var 0.687156 S.E. of regression 0.688401 Akaike info criterion 2.142834 Sum squared resid 42.17671 Schwarz criterion 2.278115 Log likelihood -95.71318 Hannan-Quinn criter. 2.197477 F-statistic 0.915966 Durbin-Watson stat 1.292674 Prob(F-statistic) 0.458324


(4)

“Analisis

(1:2008 – 12:2015) melalui Pendekatan Error Correction Model (ECM)”. Tahun Bulan Inflasi BI Rate Kurs M2

Januari 7.36 8.00 9291 1588962

Februari 7.4 8.00 9051 1596090

Maret 8.17 8.00 9217 1586795

April 8.96 8.00 9234 1608874

Mei 10.38 8.25 9318 1636383

2008 Juni 11.03 8.50 9225 1699480

Juli 11.9 8.75 9118 1679020

Agustus 11.85 9.00 9153 1675431 September 12.14 9.25 9378 1768250 Oktober 11.77 9.50 10995 1802932 November 11.68 9.50 12151 1841163 Desember 11.06 9.25 10950 1883851 Januari 9.17 8.75 11355 1859891 Februari 8.6 8.25 11980 1890430

Maret 7.92 7.75 11575 1909681

April 7.31 7.50 10713 1905475

Mei 6.04 7.25 10340 1917092

2009 Juni 3.65 7.00 10225 1977532

Juli 2.71 6.75 9920 1960950

Agustus 2.75 6.50 10060 1995294 September 2.83 6.50 9681 2018510

Oktober 2.57 6.50 9545 2021517

November 2.41 6.50 9480 2062206 Desember 2.78 6.50 9400 2141384

Januari 3.72 6.50 9365 2073860

Februari 3.81 6.50 9335 2066481

Maret 3.43 6.50 9115 2112083

April 3.91 6.50 9012 2116024

Mei 4.16 6.50 9180 2143234

2010 Juni 5.05 6.50 9083 2231144

Juli 6.22 6.50 8952 2217589

Agustus 6.44 6.50 9041 2236459

September 5.8 6.50 8924 2274955

Oktober 5.67 6.50 8928 2308846

November 6.33 6.50 9013 2347807 Desember 6.96 6.50 8991 2471206


(5)

Januari 7.02 6.50 9057 2436679 Februari 6.84 6.75 8823 2420191

Maret 6.65 6.75 8709 2451357

April 6.16 6.75 8574 2434478

Mei 5.98 6.75 8537 2475286

2011 Juni 5.54 6.75 8597 2522784

Juli 4.61 6.75 8508 2564556

Agustus 4.79 6.75 8578 2621346

September 4.61 6.75 8823 2643331

Oktober 4.42 6.50 8835 2677787

November 4.15 6.00 9170 2729538 Desember 3.79 6.00 9068 2877220

Januari 3.65 6.00 9000 2857127

Februari 3.56 5.75 9085 2852005

Maret 3.97 5.75 9180 2914194

April 4.5 5.75 9190 2929610

Mei 4.45 5.75 9565 2994474

2012 Juni 5.53 5.75 9480 3052786

Juli 4.56 5.75 9485 3057336

Agustus 4.58 5.75 9573 3091568

September 4.31 5.75 9590 3128179

Oktober 4.61 5.75 9615 3164443

November 4.32 5.75 9605 3207908

Desember 4.3 5.75 9670 3307508

Januari 4.57 5.75 9698 3268789

Februari 5.31 5.75 9667 3280420

Maret 5.9 5.75 9719 3322529

April 5.57 5.75 9722 3360928

Mei 5.47 5.75 9802 3426305

2013 Juni 5.9 6.00 9929 3413379

Juli 8.61 6.50 10278 3506574

Agustus 8.79 7.00 10924 3502420 September 8.4 7.25 11613 3584081 Oktober 8.32 7.25 11234 3576869 November 8.37 7.50 11977 3615973 Desember 8.38 7.50 12189 3730197 Januari 8.22 7.50 12226 3652145 Februari 7.75 7.50 11634 3642809


(6)

Mei 7.32 7.50 11611 3789058

2014 Juni 6.7 7.50 11969 3865758

Juli 4.53 7.50 11591 3895835

Agustus 3.99 7.50 11717 3895116 September 4.53 7.50 12212 4009857 Oktober 4.83 7.50 12082 4024153 November 6.23 7.75 12196 4076294 Desember 8.36 7.75 12440 4173327 Januari 6.96 7.75 12515 4174826 Februari 6.29 7.50 12863 4218123

Maret 6.38 7.50 13084 4246361

April 6.79 7.50 12937 4275711

Mei 7.15 7.50 13211 4288369

2015 Juni 7.26 7.50 13332 4358802

Juli 7.26 7.50 13481 4373208

Agustus 7.18 7.50 14027 4404085 September 6.83 7.50 14657 4508603 Oktober 6.25 7.50 13639 4443078 November 4.89 7.50 13840 4452324 Desember 3.35 7.50 13795 4546743


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Kredit Konsumsi Pada Bank Umum Di Indonesia (Pendekatan Error Correction Model)

6 120 157

Analisis faktor yang mempengaruhi permintaan pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah di Indonesia Periode 2003-2009

2 9 189

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PERMINTAAN UANG DI INDONESIA PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL (ECM) (TAHUN PENGAMATAN 2001:1 - 2013:IV)

0 2 163

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN GULA DI INDONESIA TAHUN 1985-2014 (Pendekatan Error Corection Model (ECM))

4 14 181

ANALISIS BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUI DEFISIT NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA MELALUI Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengarui Defisit Neraca Transaksi Berjalan Di Indonesia Melalui Pendekatan Error Correction Model (ECM).

1 3 13

PENDAHULUAN Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengarui Defisit Neraca Transaksi Berjalan Di Indonesia Melalui Pendekatan Error Correction Model (ECM).

0 1 10

ANALISIS BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEFISIT NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA MELALUI Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengarui Defisit Neraca Transaksi Berjalan Di Indonesia Melalui Pendekatan Error Correction Model (ECM).

0 4 17

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BESARNYA PENGELUARAN PEMERINTAH ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH PERMINTAAN UANG QUASI DI INDONESIA TAHUN 1997.1 - 2004.4 (Pendekatan Error Correction Model atau ECM).

0 1 13

PENDAHULUAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH PERMINTAAN UANG QUASI DI INDONESIA TAHUN 1997.1 - 2004.4 (Pendekatan Error Correction Model atau ECM).

0 1 8

PENDAHULUAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT LIKUIDITAS PEREKONOMIAN (M2) DI INDONESIA PADA TAHUN 1998. I - 2005. IV PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL (ECM).

0 3 12