Perlindungan terhadap Konsumen sebagai Debitur atas Kredit

Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 untuk hal pembayaran, konsumen langsung berhubungan dengan pihak bank penyalur KPR. 3. Pihak bank kreditur 184 a. Kewajiban yang utama dalam hal KPR adalah memberikan kredit sesuai dengan porsi yang dimohonkan oleh pemohon kredit. Dalam praktek umum, kredit diberikan hanya sampai kepada ≤ 70 – 80 dari jumlah harga objek keseluruhan. Dalam hal KPR, biasanya pihak bank sudah terlebih dahulu melakukan pelunasan dan membayarkan harga objek rumah dimaksud kepada pihak pengembang, sehingga nantinya konsumen KPR yang langsung berhubungan dengan pihak bank. Namun, hal ini tergantung juga kepada kesepakatan sebelumnya antara mereka. , yakni: b. Hak pihak bank sebagai kreditur, adalah memperoleh informasi dan data yang jelas dan benar tentang keadaan keuangan dari konsumen sebagai debitur. Selain itu, tentunya kreditur berhak atas pembayaran angsuran ditambah dengan beban bunga ataupun denda. Kemudian, kreditur berhak pula atas jaminanagunan terhadap dana yang telah dikeluarkannya tersebut guna menjaga risiko yang mungkin timbul.

B. Perlindungan terhadap Konsumen sebagai Debitur atas Kredit

Kepemilikan Rumah KPR terhadap Perjanjian Baku yang dibuat oleh Bank sebagai Kreditur Dalam menjaga keberlangsungan roda perekonomian, konsumen menduduki posisi yang cukup penting. Namun ironisnya, konsumen sebagai pelaku ekonomi justru sangat lemah dalam hal perlindungan hukum. Salah satu 184 Creditor means person, company, etc. that owes money to somebody __________, Oxford Learners Pocket Dictionary, Op. Cit., hal. 100. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 contoh lemahnya perlindungan hukum konsumen adalah posisi konsumen dalam perjanjian standar. 185 Apalagi dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya mempergunakan bentuk perjanjian baku standard contract. 186 Di dalam praktek, setiap bank telah menyediakan dalam bentuk blanko formulir, model perjanjian kredit yang isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu standaardform 187 . Formulir ini yang disodorkan kepada setiap pemohon kredit, dan isinya tidak diperbincangkan lagi. Pemohon hanya diminta pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut di dalam formulir itu atau tidak. Sedangkan hal-hal yang kosong belum diisi di dalam blanko itu adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi sebelumnya, antara lain tentang jumlah pinjaman, bunga, tujuan dan jangka waktu kredit. 188 Konsumen memiliki hak untuk secara proporsional dan seimbang dalam menentukan sendiri pilihan akan barang danatau jasa yang hendak dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan olehnya. 189 185 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 33. 186 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 112. Beliau menyatakan bahwa jika dilihat dari bentuk perjanjian kredit perbankan yang disusun secara sepihak oleh pihak penyedia jasa adalah tidak logis, karena kewajiban kreditur tidak diatur oleh perjanjian itu. Bahkan yang perlu dipertanyakan adalah sejauh mana kepentingan debitur dilindungi, dimana debitur tidak mempunyai hak untuk mengubah perjanjian yang telah ada tersebut. 187 Formulirblanko yang ada tidak terikat dalam suatu bentuk yang tertentu vorn vrij, dimana pihak kreditur bank sewaktu-waktu dapat mengubah dan menyesuaikan ketentuan di dalamnya terhadap kebijakan bank yang tentu dinilai menguntungkan pihak bank. 188 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Op. Cit., hal. 31. 189 Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Op. Cit., hal 50. Posisi konsumen dalam perspektif UU Nomor 8 Tahun 1999 adalah sebagai bagian dari pengguna jasa, sehingga pemberdayaan terhadap konsumen diharapkan mampu meningkatkan peran konsumen dalam menentukan standar dari produk konstruksi yang dihasilkan, Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 baik dari segi kualitas mutu quality assurance, waktu penyerahan product delivery, maupun harga cost of product. 190 Umumnya pengembang perumahan menggunakan brosur sebagai salah satu sarana untuk menyebarkan informasi tentang lokasi perumahan dan rumah yang akan dipasarkan. Menggunakan brosur untuk menjual produk barang dan atau jasa terbukti cukup efektif dan ampuh. Selain memberikan informasi tentang spesifikasi rumah dan lokasi perumahan, isi brosur juga mencakup berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi calon pembeli. Kebanyakan ketentuan-ketentuan dan persyaratan dalam brosur yang disebarkan pengembang substansinya digolongkan ke dalam bentuk klausula baku 191 Dalam prakteknya, klausula baku yang tercantum dalam berbagai kontrak standar atau perjanjian baku, banyak dilakukan dalam transaksi penjualankredit perumahan, kendaraan bermotor, asuransi, perbankan, dll. Hal ini biasanya untuk mempermudah transaksi perjanjian usaha. Pada dasarnya perjanjian baku tidak dilarang bagi pelaku usaha yang ingin menerapkan perjanjian dengan konsumen, kecuali yang merugikan pihak lain atau konsumen. . 192 Hal yang memprihatinkan dalam klausula adalah pencantuman klausula eksonerasi exemption clause 193 190 Asron Lubis, Perlindungan Konsumen Jasa Konstruksi, Yayasan Lembaga Konsumen Batam, 2008. 191 Pasal 1 angka 10 UUPK menyatakan, Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Lihat juga pengertian yang diberikan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri. 192 Direktorat Perlindungan Konsumen, Mencermati Klausula Baku Perumahan, Jakarta, 22 Mei 2008. dalam perjanjian. Klausula eksonerasi ini 193 Rijken dalam Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal. 47 menyatakan, Klausul eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak pelaku usaha. Klausula baku dengan aroma klausula eksonerasi biasanya menggunakan jenis huruf yang sangat kecil dan posisi yang sulit dilihat mata. 194 UU Perlindungan Konsumen, Pasal 18 melarang dengan tegas pencantuman klausula pada setiap dokumen dan atau penyampaian yang tujuannya merugikan konsumen Umumnya konsumen kurang mengetahui substansi dan redaksi klausula tersebut. Jika substansinya merugikan konsumen, maka secara yuridis normatif tidak dapat dibenarkan. 195 hukum. Selanjutnya, klausul ini dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak secara massal dalam bentuk formulir, yang dinamakan perjanjian baku. 194 Hal ini tentunya telah melanggar ketentuan di dalam Pasal 18 ayat 2 UUPK, yang menyatakan bahwa, Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 195 Pasal 18 ayat 1 UUPK menyatakan, Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila: , bahkan pada ayat 3 ditegaskan bahwa “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum”. 196 Secara sederhana, perjanjian standar adalah suatu persetujuan yang dibuat para pihak mengenai sesuatu hal yang isinya telah ditentukan secara baku standar, serta dituangkan secara tertulis. 197 Di dalam prakteknya, terhadap keluhan konsumen yang terjadi, seringkali penyelesaiannya dirasakan tidak wajar atau bahkan sangat tidak memuaskan. Hal itu disebabkan oleh karena dasar untuk menyelesaikannya selam ini adalah berupa perjanjian standar perumahan, yang jelas-jelas materinya sangat berat sebelah. Perjanjian standar itu tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen, karena dibuat secara sepihak oleh pihak developer untuk hal KPR berhubungan dengan pihak bank. Faktor subjektivitas dan kepentingan developer Dalam praktek kehidupan sehari-hari, konsumen sering dan mungkin sudah biasa dihadapkan pada perjanjian standar, seperti dalam pengadaan jasa akomodasi hotel, perbankan, asuransi, jasa pos, kiriman paket, jasa perparkiran dan lain sebagainya. Tetapi pada kesempatan ini hanya akan dibatasi pada pembahasan perjanjian standar dalam penjualan rumah dari developer, dengan menggandeng pihak perbankan, kepada konsumen. 196 Asron Lubis, Loc. Cit. Di dalam kasus Anny vs Secure Parking 2001 di PN Jakarta Pusat, Majelis Hakim yang memeriksa kasus tersebut menetapkan bahwa klausul baku yang ada bukanlah merupakan perjanjian dan cacat hukum karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul. Jadi, kesepakatan yang diterima oleh konsumen itu adalah dalam keadaan terpaksa karena tidak punya pilihan Menakar Kesaktian Karcis Parkir, Warta Ekonomi, Edisi 08, 28 April 2006, hal. 40-44. 197 Mariam Darus menyatakan bahwa, Perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh kreditur dengan syarat-syarat yang dibakukan, sifatnya massal, dipergunakan untuk semua konsumen tanpa memperhatikan perbedaan dalam kekuatan ekonomi konsumen tersebut. Perjanjian ini dinamakan juga all size contract atau take-it or leave-it contract, dimana perjanjian itu tidak dapat diubah oleh konsumen. Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 189. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 bank tentu lebih diperhatikan dan lebih dominan dimasukkan di dalam perjanjian standar perumahan itu. 198 Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar antara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. 199 Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan bagi debitur untuk mengadakan ‘real bargaining’ dengan pihak kreditur. Akibatnya, debitur tidak mempunyai kemampuan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya di dalam menentukan isi perjanjian baku. 200 Apalagi perjanjian baku belumlah diawasi oleh pemerintah, sehingga klausul yang ditentukan secara sepihak oleh kreditur tidak menjamin keseimbangan antara kreditur dan debitur. 201 Dari segi isi, terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara perusahaan prinsipal dan kliennya sebagaimana diatur di dalam kontrakperjanjian itu. Keadaan ini dapat dipahami karena pembuatannya dilakukan sendiri oleh perusahaan prinsipal tanpa mendengar mitranya terlebih dahulu. Pihak pelaku usaha melalui bantuan konsultan, menetapkan sejumlah kewajiban bagi mitranya demi mengamankan kepentingan usahanya, sekaligus membatasi sedemikian rupa hak-hak lainnya itu. Berbagai klausula eksonerasi exoneration clause dirumuskan di dalamnya, sehingga tampak seolah-olah perusahaan prinsipal tidak mempunyai kewajiban yang cukup berarti. Dengan demikian, asas keseimbangan 198 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 33-34. 199 Anggara, Persoalan-persoalan di Seputar Perlindungan Konsumen, laman-blog dalam www.WordPress.com, terakhir kali diakses pada tanggal 16 Mei 2008. 200 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 52. 201 Ibid., hal. 117. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 dalam hukum kontrak tidak terakomodasi di sini, yang selanjutnya juga kurang mencerminkan asas keadilan. 202 Dari keseluruhan jenis perjanjian baku yang ada, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak kreditur untuk membayar ganti rugi kepada debitur, adalah sebagai berikut: 203 1. Isi perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh kreditur, dimana posisinya relatif lebih kuat dibandingkan dengan debitur; 2. Pihak debitur sama sekali tidak ikut di dalam menentukan isi perjanjian tersebut; 3. Debitur terpaksa menerima perjanjian itu karena terdesak oleh kebutuhannya; 4. Bentuk perjanjian tertulis; 5. Perjanjian telah dipersiapkan terlebih dahulu secara massal ataupun individual. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh YLKI Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ditemukan adanya ketidakadilan dalam perjanjian standar perumahan. Penelitian yang dilakukan terhadap Perjanjian Pendahuluan Pembelian Rumah di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi membuktikan bahwa developer lebih menonjolkan kewajiban konsumen dibandingkan dengan hak-hak mereka. Adapun hasil penelitian yang dilakukan sebagai berikut: 204 Salah satu contoh menyangkut keterlambatan pembayaran cicilan. Sebanyak 72,72 perjanjian yang diteliti menunjukkan sanksi yang tegas. Bentuknya dapat berupa penalti ataupun pembatalan perjanjian, apapun alasan 202 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op. Cit., hal. 102. 203 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 50. 204 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 33-37. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 keterlambatannya. Di pihak lain, ketika developer terlambat menyelesaikan dan atau menyerahkan bangunan rumah kepada konsumen, hanya 27,27 perjanjian standar yang mengatur tentang dendapenalti, dan selebihnya tidak. Adapun tenggang waktu bagi developer untuk melakukan pemeliharaan rumah setelah serah terima, 9,09 menyatakan selama kurang dari satu bulan, sejumlah 55,54 mencantumkan 1-3 bulan, sedangkan sisanya 36,36 sama sekali tidak mencantumkannya. Setelah serah terima tanah dan bangunan, tidak jarang konsumen merasa objek yang dibelinya tidak memenuhi syarat. Dalam keadaaan seperti itu, konsumen boleh mengajukan complain kepada developer. Hasil studi menunjukkan 45,45 perjanjian menegaskan tenggang waktu untuk mengajukan complain sama dengan masa pemeliharaan developer. Yang sangat tidak rasional adalah developer yang menyatakan tenggang waktu mengajukan complain adalah 14 empat belas hari sejak serah terima tanah dan bangunan. Bagaimana mungkin konsumen dalam waktu sependek itu bisa mengetahui seluruh kondisi dan mutu bangunan. Kemudian pihak mana yang berhak menyatakan baik tidaknya mutu bangunan juga dari perjanjian standar yang diteliti, tidak ada yang mengatur mengenai siapa yang berhak menyatakan baik tidaknya mutu dan kondisi bangunan. Dalam kondisi seperti itu, tidak mudah bagi konsumen untuk membuktikan ketidakberesan mutu. Bila ada lembaga appraisal 205 205 Appraisal means judgement of the value of somebody or something __________, Oxford Learners Pocket Dictionary, Op. Cit., hal. 17. penilaian tentunya akan bisa menjembatani kepentingan konsumen dengan developer. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 Selanjutnya tentang brosuriklan perumahan terlihat bahwa sejumlah 63,64 perjanjian yang diteliti menyatakan brosur tidak merupakan bagian dari perjanjian. Sedangkan, sisanya yang 36,36 menegaskan brosur merupakan bagian dari perjanjian. Persoalan mengenai brosur perumahan merupakan masalah yang cukup rumit. Brosuriklan adalah salah satu daya tarik utama bagi konsumen dalam menentukan pilihan, yang di dalamnya kadang-kadang dijanjikan berbagai fasilitas. Namun, gara-gara brosur saja, tidak sedikit masalah di lapangan yang timbul, bahkan sampai dibawa ke pengadilan. Apabila dirinci secara detail, tentu sudah banyak sekali kasus tentang brosur perumahan yang dibawa ke pengadilan, dimana sebagai contoh dapat dilihat kasus brosur fasilitas kolam pemancingan dalam perkara perdata No. 237PdtG1992PN.JK.TIM di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kemudian kasus brosur bebas banjir dalam perkara perdata No. 502PdtG1991PN.SBY di Pengadilan Negeri Surabaya. 206 Fenomena kenaikan suku bunga KPR menempatkan konsumen pada posisi lemah dan tidak berdaya. Dalam Perjanjian KPR atau Akta Pengakuan Hutang, konsumen sering dihadapkan pada klausula yang menyatakan bahwa konsumen menyetujui perubahan bunga sewaktu-waktu tanpa diperlukan persetujuan terlebih Memang secara kasat mata sudah tampak sekali tidak adanya keseimbangan kedudukan antara konsumen dan developer di dalam perjanjian standar perumahan. Hal ini tentu membuka peluang lebih besar bagi developer untuk cenderung menyalahgunakan kedudukannya, dimana yang diatur hanyalah kewajiban konsumen, sedangkan kewajibannya tidak diatur. 206 Sudaryatmo, Op. Cit., hal. 35-36. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 dahulu dari konsumen dan perubahan tersebut bersifat mengikat. 207 Sebaliknya pihak bank dilindungi perjanjian standar perbankan dalam hal ini Perjanjian KPR dengan klausula sepihak dari pihak bank yang pada intinya menegaskan bahwa nasabah konsumen tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan masih akan diterapkan kemudian oleh pihak bank. 208 Perjanjian standar baku sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato 423-347 SM, misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsenpenyalur produk penjual tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun makin bertambah luas. Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Review pada 1971, 99 perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di Indonesia, perjanjian standar bahkan telah merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang secara yuridis masih kontroversial. Misalnya, diperbolehkannya sistem pembelian satuan rumah susun strata title secara inden dalam bentuk perjanjian standar. 209 Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian standar adalah untuk memberikan kemudahan kepraktisan bagi para pihak yang bersangkutan. Dengan penggunaan jenis 207 Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 39. 208 Sutan Remi Sjahdeni, Op. Cit., hal. 208. dalam Ibid., hal. 40. 209 Shidarta, Op. Cit., hal. 146. Bandingkan dengan Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 35, yang menyatakan bahwa Perjanjian seperti itu adalah cacat dan tidak sah, karena tidak adanya informasi kepada masyarakat. Perjanjian ini diterima masyarakat adalah semata-mata karena masyarakat memang sangat memerlukan rumah. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 perjanjian baku ini, maka pelaku usaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga, dan waktu. 210 Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, klausul eksonerasi dapat saja dipersiapkan terlebih dahulu atas kehendak satu pihak, dan kemudian dituangkan dalam perjanjian standar yang selanjutnya dapat diperbanyak secara individual atau secara massal dalam bentuk formulir. 211 Meskipun menilai perjanjian standar atau baku berpotensi merugikan konsumen, bukan berarti semua perjanjian semacam itu jelek. Adakalanya perjanjian itu justru dibutuhkan. Yang harus diwaspadai, adalah perihal pengalihan tanggung jawab hukum yang termuat dalam klausul-klausul kontrak. Perjanjian pengalihan tanggung jawab seperti yang lazim dipraktekkan para pelau usaha, sudah seharusnya disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 212 Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan bahwa yang dibakukan adalah klausul-klausul dalam perjanjian, bukan formulirnya. 213 Praktek penggunaan standar kontrak ini sudah meluas, tidak hanya di kalangan perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga di perusahaan-perusahaan kecil. Sadar atau tidak, tampaknya masyarakat juga sudah terbiasa 210 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 46. 211 Ibid., hal. 47. 212 Perjanjian Standar Tidak Bisa Dibiarkan Tumbuh Liar, 5 Februari 2007, dapat diakses di www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2008. 213 Shidarta, Op. Cit., hal. 146-147 Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 mempergunakan standar kontrak ini. 214 Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausula eksonerasi exemption clause dalam perjanjian tersebut. 215 Dari segi isi memang terlihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara produsenpenyalur produk penjual yang lazim disebut kreditur dan konsumen debitur di lain pihak. Sehubungan dengan hal ini, kemudian timbul pertanyaan: apakah asas kebebasan berkontrak digunakan di dalam perjanjian standar ini?; apakah klausul eksonerasiperjanjian baku memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian? 216 “Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari Hukum Perjanjian, dimana sangat diperlukan untuk ‘ada’-nya raison d’etre, het bestaanwaarde perjanjian. Asas ini tidak hanya milik KUH Perdata saja, akan tetapi bersifat universal. 217 Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan untuk menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Apabila ditinjau mengenai masalah “ada” dan “kekuatan mengikat” perjanjian baku, maka secara teoritis yuridis, perjanjian baku tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo. 1338 al.1 KUH Perdata. 218 214 Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 100. 215 Shidarta, Op. Cit., hal. 147. Pengertian dari klausula eksonerasi sendiri adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsenpenyalur produk penjual. 216 Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa untuk sahnya suatu persetujuan, maka diperlukan 4 empat syarat, yakni: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan yang tertentu; 4. suatu sebab yang halaltidak terlarang. 217 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 51. 218 Ibid., hal. 52. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 Untuk menjawab hal tersebut, maka ada beberapa pendapat yang perlu dikemukakan, yakni: 219 2. Pendapat Kedua lebih realistis, menyatakan bahwa meskipun sudah tertera tanda tangan, tetapi fakta menunjukkan bahwa konsumen tidak dapat merubah klausula yang telah tercetak meskipun ada keberatantidak menyetujui. Memang secara formal ada konsensus, tetapi secara materiil sebenarnya tidak demikian. Perusahaan prinsipal tidak memberikan kesempatan pada pihak lain untuk ikut menentukan klausula perjanjian, termasuk untuk merubahnya. Pitlo 1. Pendapat Pertama, yang menyatakan bahwa sudah adaterpenuhi asas konsensual, melalui pembubuhan tanda tangan oleh para pihak yang berjanji, dimana membubuhkan tanda tangan sudah merupakan perwujudan kehendakkemauan. Assers-Rutten menyatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab atas isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada suatu formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya. Pasal 1338 al.1 KUH Perdata menyatakan, Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari ketentuan di dalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dengan jelas terkandung asas: 1. Asas konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihak- pihak yang mengadakan kontrak; 2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebasa mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya; 3. Asas pacta sunt servanda, artinya kontrak itu merupakan undang-undang dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Di samping itu, beberapa asas lain di dalam standar kontrak, yaitu asas kepercayaan, asas persamaan hak, asas keseimbangan, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas kepastian hukum Abdul R. Saliman et.al., Op. Cit., hal. 42-43. Lihat juga Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 42-44 dan juga Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 83-89. 219 Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 103. Sugondo : Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009 menganggap dengan demikian, sesungguhnya tidak ada kehendak bebas dalam membentuk kesepakatan sehubungan dengan standar kontrak ini. Dari semua hal tentang perjanjian baku tersebut di atas, perlu pula dicermati pendapat daripada Sutan Remi Sjahdeni, yang menyatakan bahwa berbeda dengan perjanjian-perjanjian baku pada umumnya, dalam perjanjian kredit bank harus diperhatikan dan diingat bahwa bank tidak hanya mewakili dirinya sebagai perusahaan bank saja, tetapi juga mengemban kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, di dalam menentukan apakah suatu klausula itu memberatkan, baik dalam bentuk klausula eksemsi atau dalam bentuk yang lain, perimbangannya tentu akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan menentukan klausula-klausula dalam perjanjian baku perseorangan pada umumnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan apabila di dalam perjanjian kredit bank dimuat klausul yang dimaksudkan untuk mempertahankan atau untuk melindungi eksistensi bank atau bertujuan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang moneter. 220

C. Kedudukan dan Peranan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam