Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP Negeri 10
Medan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi mengenai empati dan cooperative learning.
b. Memperkaya kajian penelitian di bidang Psikologi Pendidikan mengenai hubungan empati dan cooperative learning.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menyesuaikan dan melihat hubungan antara empati dengan penerapan cooperative learning pada proses belajar siswa di
SMP N 10 Medan. b. Menjadi bahan pertimbangan guru untuk membimbing dan menjaga tingkat
empati para siswanya ketika menerapkan proses belajar cooperative learning di kelas dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
E. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari uraian singkat mengenai latar belakang
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Bab ini berisikan tentang teori-teori empati, cooperative learning, hubungan empati dan penelitian mengenai cooperative learning,
serta hipotesa penelitian. BAB III
: METODE PENELITIAN Bab ini membahas tentang identifikasi variabel penelitian, definisi
operasional dari empati dan cooperative learning, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan yang terdiri
dari uji validitas, uji daya beda dan reliabilitas alat ukur dan hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode
analisa data. BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menjelaskan tentang gambaran subyek penelitian, laporan hasil penelitian yang meliputi hasil utama penelitian, hasil
uji asumsi meliputi uji normalitas dan linearitas, kategorisasi data penelitian , serta pembahasan.
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memuat mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Selain itu, bab ini juga akan
memuat saran penyempurnaan penelitian berikutnya.
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
BAB II LANDASAN TEORI
A. EMPATI 1. Definisi Empati
Batson dan Coke dalam Eisenberg Strayer, 1987 mengartikan empati sebagai keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan apa yang
dirasakan orang lain. Selain itu Hetherington dan Park dalam Hetherington, 1999 mengatakan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk
merasakan emosi yang sama dengan emosi yang dirasakan orang lain. Empati yang dimiliki dapat membuat seseorang mengenal dan memahami emosi, pikiran
serta sikap orang lain. Sejalan dengan pendapat ahli di atas Wattson, dalam Wattson, 1984
mengartikan empati sebagai kemampuan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain serta David dalam Weinstein, 1987 mengartikan empati
sebagai kemampuan untuk menilai secara akurat pandangan orang lain terhadap suatu situasi. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional
merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya maka akan semakin
terampil ia membaca perasaan orang lain Goleman, 1995. Higgins dalam Higgins, 1982 juga mengungkapkan pendapat senada
yang menyatakan bahwa dengan empati seseorang dapat memahami pandangan orang lain, kebutuhan-kebutuhannya serta pemikiran dan tindakannya. Johnson,
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
dalam Johnson, 1983 melihat empati sebagai kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain, kemampuan alih peran dan mengenali
perasaan orang lain seperti sikap, motif, nilai serta keyakinannya. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Zahn, dalam Wardhani,
1989 yang mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk mendeteksi emosi yang berbeda dan kemampuan untuk mengambil alih peran atau memahami emosi
yang berbeda atau memahami perspektif orang lain, dalam rangka membandingkan dan mengkombinasikannya sehingga dapat menghasilkan respon
emosi yang matang. Eisenberg dan Mussen dalam Eisenberg Strayer, 1987 berpendapat
bahwa empati merupakan keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan
atau kondisi emosi orang tersebut. Respon afeksi itu sendiri menurut Hoffman dalam Goleman, 1995 lebih jelas dirasakan sebagai situasi orang lain dari situasi
diri sendiri, empati juga sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang lain tersebut.
2. Perspektif Teoritis Empati
Thompson dalam Eisenberg Strayer, 1987 mengemukakan 3 perspektif teoritis dalam menjelaskan empati, adapun perspektif tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Psikoanalitik dan Neoanalitik
Kedua konsep ini menggambarkan pentingnya empati dalam konteks kedekatan emosional antara ibu dan anak Freud, dalam Eisenberg Strayer,
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
1987. Ketergantungan anak pada ibu di masa awal kehidupannya merupakan bentuk hubungan yang bersifat simbiotik. Berdasarkan kedua perspektif tersebut
anak dipandang sebagai sosok yang mempunyai sensitifitas yang tinggi dalam berbagai situasi yang bervariasi. Kesensitifan yang tinggi ini dipengaruhi oleh
perasaan ibu maternal affect dan suasana hati mood ibu yang secara tidak sadar dipindahkan pada anak. Ibu memindahkan emosinya pada anak melalui kontak
fisik yang ia lakukan saat mengasuh anak. Anak akan dapat merasakan suasana emosi ibu yang kurang baik melalui vokal dan ekspresi wajah. Reaksi emosional
yang kurang baik tersebut akan menjadi stimulus yang dikondisikan dan selanjutnya menimbulkan distress pada anak. Respon emosional anak terhadap
maternal affect ini dipandang sebagai bagian fungsi ego yang bersifat otonom Stern, dalam Eisenberg Strayer, 1987.
Kemampuan berempati pada anak akan bertambah seiring dengan bertambahnya pengalaman hidup dan interaksinya dengan individu-individu lain.
Peristiwa ini terjadi pada usia 2 tahun pertama Kaplan dalam Eisenberg Strayer, 1987. Hal tersebut, dalam konteks ikatan antara ibu dan anak mother-
infant bonding digunakan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya emosi misalnya kecemasan dan mood ibu yang dipindahkan pada anak, namun dalam
jangka panjang disposisi atau karakteristik kepribadian ibu juga ikut berpengaruh Spitz dalam Eisenberg Strayer, 1987.
b. Developmental Study
Perspektif ini didasarkan pada penelitian sosial kognitif yang dikemukakan Piaget. Pandangan ini menyatakan bahwa kemampuan empati tergantung pada
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
penalaran kognitif, dalam hal ini kemampuan permanensi objek. Kemampuan permanensi objek adalah kemampuan untuk membedakan atribut psikologis diri
sendiri dengan orang lain. Kemampuan ini berguna untuk memahami peran psikologis orang lain. Feshbach dalam Eisenberg Strayer, 1987. Setelah anak
berusia dua tahun akan berkembang kemampuan untuk mengungkapkan perasaan secara spontan. Spontanitas dalam mengungkapkan perasaan ini dipengaruhi oleh
pengalaman internal dan eksternal yang mencerminkan perkembangan aspirasi emosi, kemauan dan aspek kognitif yang dialami individu.
c. Early Socioemotional Development
Steiberg dan Sroufe dalam Eisenberg Strayer, 1987 menyatakan bahwa bayi dan anak-anak mempunyai motivasi yang tinggi dan responsive
terhadap emosi partner sosialnya. Sejak lahir anak pada dasarnya sudah memancarkan signal socio-emotional dan merespon signal socio-emotional orang
lain. Tingkah laku ini merupakan potensi awal untuk mendapatkan perhatian dan berguna untuk meningkatkan daya tahan. Biasanya perilaku ini ditujukan pada
pengasuh dalam bentuk tangisan atau senyuman. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa empati adalah suatu kemampuan untuk menempatkan diri pada pikiran dan perasaan orang lain tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan
maupun tanggapan orang tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi tersebut lebih nyata dirasakan sebagai situasi orang lain daripada situasi diri sendiri.
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang yaitu:
a. Pola Asuh
Franz dalam Koestner, 1990 menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan empathic concern anak yang
mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan dan ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak tolerance of dependency akan mempunyai
empati yang lebih tinggi. Keterlibatan ayah dalam hal ini berhubungan dengan jumlah waktu yang diluangkan bersama anak, sedangkan tolerance of dependency
diinterpretasikan sebagai: 1 besarnya tingkat interaksi ibu dan anak,
2 refleksi kelembutan, responsivitas dan penerimaan terhadap perasaan anak, yang semuanya berhubungan dengan perilaku prososial Siegel dalam Laurence,
1982. Ibu yang puas dengan perannya akan mampu menciptakan anak yang
memiliki empathic concern yang tinggi Koestner, 1990. Hal ini terjadi karena ibu yang mempunyai keyakinan akan kemampuannya dan tidak cemas dalam
pengasuhan anak akan menciptakan hubungan kelekatan antara ibu dan anak secara aman secure attachement. Ibu yang mempunyai kepercayaan lebih juga
dapat memberikan perhatian atau lebih peduli perasaan anak. Hal lain yang mempengaruhi perkembangan empati adalah kehangatan orang tua Shaffer
2004. Orang tua yang hangat dan penuh perhatian cenderung menghargai dan
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
jarang menggunakan hukuman dalam menilai perilaku anak. Orang tua akan lebih banyak menggunakan alasan-alasan yang dapat diterima anak dalam menjelaskan
mengapa suatu perbuatan dinilai salah. Selanjutnya hal-hal di atas akan dijadikan model bagi anak dalam mengembangkan empathic concern, atau dengan kata lain
anak akan melakukan proses modelling pada ibu dalam berempati. Selanjutnya yang berhubungan dengan pola asuh adalah metode
pendisiplinan yang diterapkan orang tua terhadap anak. Metode ini diterapkan dengan memfokuskan perhatian anak pada perasaan dan reaksi orang lain.
Matthews dalam Barnett, 1979 berpendapat bahwa perkembangan empati lebih besar terjadi dalam lingkungan keluarga yang:
1. Memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak dan tidak terlalu mementingkan kepentingan pribadi.
2. Mendorong anak untuk mengalami emosi dan mengekspresikan emosinya. 3. Memberikan kesempatan untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang
lain sehingga mengasah kepekaan dan kemampuan emosi.
b. Kepribadian
Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang tinggi pula Koestner, 1990, sedangkan
individu yang memiliki self direction, need for achivement dan need for power yang tinggi akan mempunyai tingkat empati yang rendah.
c. Jenis Kelamin
Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan laki-laki.
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
Karakteristik yang diatribusikan pada perempuan dibandingkan laki-laki adalah kecenderungan berempati. Persepsi stereotip ini didasarkan pada kepercayaan
bahwa perempuan lebih nurturance bersifat memelihara dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki Parsons dan Bales dalam Eisenberg
Strayer, 1987. Penelitian yang dilakukan oleh Marcus dalam Eisenberg Strayer, 1987 berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon empati,
didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. Buck, 1995 dalam penelitiannya menemukan
hasil, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal orientasi pada orang lain, sedangkan
laki-laki lebih berorientasi internal orientasi pada diri sendiri.
d. Variasi Situasi, Pengalaman dan Objek Respon
Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat dipengaruhi oleh situasi, pengalaman dan respon empati yang diberikan. Secara
umum anak akan lebih berempati pada orang yang lebih mirip dengan dirinya dibandingkan dengan orang yang mempunyai perbedaan dengan dirinya Krebs,
1987.
e. Usia
Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia. Hal ini dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif Mussen, 1989.
Usia juga akan mempengaruhi proses kematangan kognitif dalam diri seseorang.
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
f. Derajat Kematangan
Gunarsa dalam Gunarsa, 1979 mengatakan bahwa empati itu dipengaruhi oleh derajat kematangan. Maksud derajat kematangan adalah besarnya
kemampuan seseorang dalam memandang sesuatu secara proporsional.
g. Sosialisasi
Semakin banyak dan semakin intensif seorang individu melakukan sosialisasi maka akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain.
Matthew dalam Hoffman, 1996 menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagai komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu:
1. Sosialisasi membuat seseorang mengalami banyak emosi. 2. Sosialisasi membuat seseorang dapat mengamati secara langsung situasi
internal orang lain. 3. Sosialisasi membuka terjadinya proses role taking.
4. Terdapat banyak afeksi sehingga seseorang akan menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan emosi orang lain.
5. Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal.
4. Aspek-aspek yang Terdapat dalam Empati
Empati merupakan suatu reaksi individu pada saat ia mengamati pengalaman orang lain Davis, 1983. Ada banyak bentuk reaksi yang mungkin
terjadi setelah seseorang mengalami bermacam peristiwa. Para ahli membedakan respon empati menjadi dua komponen, yaitu: respon kognitif dan respon afektif
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
Koestner, 1990; Davis, 1983. Westner menamakan dua komponen tersebut sebagai intelegensi dan sensitivitas terhadap isyarat clue sensitivity.
Komponen kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan tepat, di sini diharapkan seseorang
dapat membedakan emosi orang lain dan menerima pandangan mereka. Adapun komponen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami
perasaan emosional orang lain. Feshbach dan Kuchenbecker dalam Mussen, 1979 menyatakan ada tiga komponen empati yaitu:
a. Kemampuan kognitif untuk membedakan perasaan. b. Kemampuan untuk mengambil alih perspektif atau memahami pengalaman
orang lain. c. Perasaan atau emosi yang timbul atau digerakkan dari dalam diri sendiri.
Berdasarkan skala empati yang dibuat Davis 1983 secara global ada dua komponen dalam empati, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif yang
masing-masing mempunyai dua aspek yaitu: Komponen kognitif terdiri dari Perspective Taking PT dan Fantacy FS, sedangkan komponen afektif meliputi
Empathic Concern EC dan Personal Distress PD. Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
a. Perspective Taking PT Kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis
orang lain secara spontan. Mead dalam Davis, 1983 menekankan pentingnya kemampuan dalam perspective taking untuk perilaku non egosentrik, yaitu
kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
kepentingan orang lain. Coke dalam Davis, 1983 menyatakan bahwa perspective taking berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang
dewasa. b. Fantacy FS
Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film
atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Stotland dalam Davis, 1983 mengemukakan bahwa fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi
emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. c. Empathic Concern EC
Perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Aspek ini juga merupakan cermin dari perasaan
kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain.
d. Personal Distress PD Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri
serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisasi
seseorang menjadi rendah. Agar seseorang dapat berempati, ia harus mengamati dan
menginterpretasikan perilaku orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam menginterpretasikan informasi yang
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka Lindgren 1974.
Seseorang dapat menginterpretasikan orang lain bahagia, cemas, sedih, marah atau bosan biasanya melalui ekspresi wajah yang tampak, seperti
tersenyum, menyeringai, cemberut atau ekspresi lain. Selain itu sikap badan, suara dan gerak isyarat juga dapat dijadikan petunjuk penting suasana hati yang sedang
dialami seseorang Lindgren dan Staub, 1978. Kemampuan berempati yang dimiliki oleh masing-masing individu berbeda-beda. Reaksi empati yang
ditujukan pada orang lain seringkali didasarkan pada pengalaman masa lalu. Biasanya seseorang merespon pengalaman orang lain secara lebih empatik apabila
sebelumnya ia mempunyai pengalaman yang mirip dengan orang tersebut Staub, 1978, sebab itu akan menimbulkan kemiripan kualitas pengalaman emosi.
Krebs dalam Krebs, 1987 mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah berempati terhadap orang lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya
daripada orang yang tidak memiliki kesamaan. Johnson, dalam Johnson, 1983 menambahkan bahwa orang yang empatik biasanya melukiskan dirinya sebagai
orang yang lebih toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, punya pengaruh dan bersifat humanistik.
Rose dalam Hogan, 1980 mengemukakan lima aspek orang yang
mempunyai karakteristik orang yang berempati tinggi highly empathic concern, yaitu:
a. kemampuan dalam berperan imajinatif b. sadar terhadap pengaruh seseorang terhadap orang lain
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
c. kemampuan untuk mengevaluasi motif-motif orang lain d. pengetahuan tentang motif dan perilaku orang lain
e. mempunyai rasa pengertian sosial Empati bagi seorang individu mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Menyesuaikan Diri Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri
bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Dymon dalam Hadiyanti, 1992 menyatakan bahwa orang yang baik penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan
dalam sifat optimis, fleksibel dan kematangan emosi. b. Mempercepat hubungan dengan orang lain
Lauster dalam Lauster, 1995 berpendapat bahwa jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka salah paham, perdebatan dan ketidaksepakatan
antar individu dapat dihindari. c. Meningkatkan harga diri
Empati berperan besar dalam hubungan sosial. Richard dalam Jones, 1992 menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dan
menyatakan identitas diri. Adanya hubungan sosial dan media berkreasi menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang Kurtinez dan
Gewirtz, 1984. d. Meningkatkan pemahaman diri
Kemampuan dalam memahami perspektif orang lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan
perilakunya. Hal itu akan menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
pendapat orang lain tentang dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk konsep diri yang terjadi dengan perbandingan sosial yang dilakukan dengan
membandingkan diri sendiri dengan orang lain Mussen, 1989. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa empati pada dasarnya terdiri dari komponen
kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan benar. Adapun
komponen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami pengalaman emosional orang lain.
B. COOPERATIVE LEARNING 1. Definisi Cooperative Learning
Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama Hasan, 1996. Sehubungan dengan pengertian tersebut, Slavin
1984 mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Jadi, belajar kooperatif adalah pemanfaatan
kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam
kelompok tersebut Hasan, 1996. Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu
sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai
suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok Solihatin, 2008.
Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena belajar dalam model cooperative learning harus ada “struktur
dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi
yang efektif di antara anggota kelompok Slavin, 1983; Stahl, 1994. Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang
positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan sumbangsih dari anggota lainnya
selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Stahl 1994 mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning menempatkan siswa
sebagai bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar
dalam kehidupan masyarakat, yaitu “getting better together”, atau “raihlah yang lebih baik secara bersama-sama” Slavin, 1992.
Aplikasinya di dalam pembelajaran di kelas, model pembelajaran ini mengetengahkan realita kehidupan masyarakat yang dirasakan dan dialami oleh
siswa dalam kesehariannya, dengan bentuk yang disederhanakan dalam kehidupan kelas. Model pembelajaran ini memandang bahwa keberhasilan dalam belajar
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
bukan semata-mata harus diperoleh dari dosen, melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebaya.
Keberhasilan belajar menurut model belajar ini bukan semata-mata ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan belajar itu
akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok- kelompok belajar kecil yang terstruktur dengan baik. Melalui belajar dari teman
yang sebaya dan di bawah bimbingan dosen, maka proses penerimaan dan pemahaman siswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari.
2. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Cooperative Learning
Karakteristik pembelajaran kooperatif di antaranya dalam Karlina, 2007: a. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.
b. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.
c. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin.
d. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cooperative Learning
Roger dan David Johnson dalam Lie, 2003 mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan. a. Saling Ketergantungan Positif
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka. Kondisi belajar ini
memungkinkan siswa untuk merasa tergantung secara positif pada anggota kelompok lainnya dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan oleh pengajar. b. Tanggung Jawab Perseorangan
Salah satu dasar penggunaan cooperative learning dalam pembelajaran adalah bahwa keberhasilan belajar akan lebih mungkin dicapai secara lebih baik
apabila dilakukan dengan bersama-sama. Oleh karena itu, keberhasilan belajar dalam model belajar strategi ini dipengaruhi oleh kemampuan individu siswa
dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajarinya di antara siswa lainnya. Sehingga secara individual siswa mempunyai dua tanggung jawab, yaitu
mengerjakan dan memahami materi atau tugas bagi keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. c. Tatap Muka
Dalam kelompok belajar, interaksi yang terjadi bersifat langsung dan terbuka dalam mendiskusikan materi dan tugas-tugas yang diberikan oleh
pengajar. Suasana belajar seperti itu akan membantu menumbuhkan sikap ketergantungan yang positif dan keterbukaan di kalangan siswa untuk
memperoleh keberhasilan dalam belajarnya. Mereka akan saling memberi dan menerima masukan, ide, saran, dan kritik dari temannya secara positif dan
terbuka.
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
d. Komunikasi Antar Anggota Dalam mengerjakan tugas kelompok, siswa bekerja dalam kelompok
sebagai suatu kelompok kerja sama. Dalam interaksi dengan siswa lainnya siswa tidak begitu saja bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada
anggota kelompok lainnya. Pada kegiatan bekerja dalam kelompok, siswa harus belajar bagaimana meningkatkan kemampuan interaksinya dalam memimpin,
berdiskusi, bernegoisasi, dan mengklarifikasi berbagai masalah dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok. Dalam hal ini pengajar harus membantu
siswa menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku yang baik dalam bekerja sama yang bisa digunakan oleh siswa dalam kelompok belajarnya.
e. Evaluasi Proses Kelompok Setelah masing-masing kelompok belajar menyelesaikan tugas dan
pekerjaannya, selanjutnya perlu dianalisis bagaimana penampilan dan hasil kerja siswa dalam kelompok belajarnya, termasuk juga:
1 bagaimana hasil kerja yang dihasilkan, 2 bagaimana mereka membantu anggota kelompoknya dalam mengerti dan
memahami materi dan masalah yang dibahas, 3 bagaimana sikap dan perilaku mereka dalam interaksi kelompok belajar bagi
keberhasilan kelompoknya, dan 4 apa yang mereka butuhkan untuk meningkatkan keberhasilan kelompok
belajarnya di kemudian hari. Oleh karena itu, guru harus mengevaluasi dan memberikan berbagai masukan terhadap hasil pekerjaan siswa dan aktivitas
mereka selama kelompok belajar siswa tersebut bekerja. Dalam hal ini, pengajar
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide dan saran, baik kepada mahasiswa lainnya maupun kepada pengajar dalam rangka perbaikan
belajar dari hasilnya di kemudian hari.
C. HUBUNGAN EMPATI DAN PENELITIAN MENGENAI COOPERATIVE LEARNING
Van Sickle 1983 dalam penelitiannya mengenai model cooperative learning dan implikasinya terhadap perolehan belajar siswa dan pengembangan
kurikulum social studies, menemukan bahwa sistem belajar kelompok dan debriefing secara individual dan kelompok dalam model cooperative learning
mendorong tumbuhnya tanggung jawab sosial dan individual siswa, berkembangnya sikap ketergantungan yang positif, mendorong peningkatan dan
kegairahan belajar siswa, serta pengembangan dan ketercapaian kurikulum. Stahl 1992 dalam penelitiannya di beberapa sekolah dasar di Amerika
menemukan, bahwa penggunaan model cooperative learning mendorong tumbuhnya sikap kesetiakawanan dan keterbukaan di antara siswa. Penelitian ini
juga menemukan bahwa model tersebut mendorong ketercapaian tujuan dan nilai- nilai sosial dalam pendidikan social studies.
Mengkaji beberapa temuan penelitian terdahulu, tampaknya model cooperative learning menunjukkan efektivitas yang sangat tinggi bagi perolehan
hasil belajar siswa, baik dilihat dari pengaruhnya terhadap penguasaan materi pelajaran maupun dari pengembangan dan pelatihan sikap serta keterampilan
Abnes Oktora Ginting : Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan, 2009.
USU Repository © 2009
sosial yang sangat bermanfaaat bagi siswa dalam kehidupannya di masyarakat Solihatin, 2008.
Sementara itu, Matthews, dalam Barnett, 1979 mengidentifikasikan 15 sifat yang mencerminkan rasa empati terhadap orang lain yang terdiri dari tujuh
sifat yang dinilai positif dan lima sifat yang dinilai negatif. Sifat-sifat positif itu antara lain: murah hati, suka menolong, baik hati, sensitive, lembut hati, simpati
dan hangat, adapun sifat negatif tersebut antara lain: dingin, keras hati, egois, mementingkan diri sendiri dan tidak berperasaan.
Akar cinta pada sesama juga terletak pada empati, yaitu kemampuan dan kepekaan untuk membaca emosi orang lain. Tanpa adanya kepekaan terhadap
kebutuhan atau penderitaan orang lain, tidak akan timbul kasih sayang, padahal menurut Goleman 1995 dua sikap moral saat ini adalah kendali diri dan kasih
sayang. Dari penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa terdapat adanya
hubungan antara empati dengan cooperative learning. Kondisi ini dilihat dari sifat positif yang mencerminkan rasa empati terhadap orang lain berkorelasi dengan
unsur-unsur yang diperlukan agar cooperative learning berjalan dengan baik pada proses belajar siswa.
D. HIPOTESIS