Dinamika Trust Terhadap Pasangan Pada Perempuan Setelah Melakukan Aborsi

(1)

DINAMIKA TRUST TERHADAP PASANGAN PADA

PEREMPUAN YANG TELAH MELAKUKAN ABORSI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

MEILA RAMADHANY

061301127

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan setelah melakukan aborsi

Meila Ramadhany dan Meutia Nauli

ABSTRAK

Dampak pergaulan bebas di kalangan remaja pra-nikah mengantarkan pada kegiatan menyimpang seperti seks bebas dan tindakan kriminal termasuk aborsi. Aborsi merupakan suatu keputusan yang dilematis khususnya bagi perempuan dan juga sebuah pengalaman yang traumatis serta meninggalkan efek yang signifikan secara fisik dan psikologis khususnya pada perempuan yang melakukannya. Salah satu dampak negatif secara psikologis bagi perempuan yang melakukan aborsi adalah ketidakstabilan trust terhadap pasangan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika trust pada perempuan terhadap pasangannya setelah melakukan aborsi dan hal apa saja yang mempengaruhi dinamika trust tersebut. Untuk menjawab masalah ini, digunakan beberapa teori dinamika dari beberapa tokoh yaitu, Johnson & Johnson (1997), Solomon, dkk (2001) dan Falcone&Castelfranci (2004).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini adalah dua perempuan belum menikah yang telah melakukan aborsi dan sedang menjalani hubungan pacaran. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tentang bagaimana sikap dan perilaku seorang perempuan terhadap pasangannya saat berada di fase distrust, saat membangun trust kembali, dan pada akhirnya trust tersebut terbentuk kembali, serta hal apa saja yang mempengaruhi perubahan trust tersebut. Masing-masing responden mengalami perubahan tahapan fase trust yang berbeda-beda dan perubahan tersebut bergantung pada bagaimana pasangan mereka memperlakukan dan menyikapi harapan-harapan mereka.


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya yang berlimpah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dinamoka Trust Terhadap Pasangan Pada Perempuan Yang Telah

Melakukan Aborsi”. Skripsi ini merupakan tugas akhir perkuliahan penulis

sebagai syarat pendidikan sarjana (S-1). Penulis berharap ke depannya skripsi ini dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa dalam mengembangkan penelitian. Tentunya skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan gagasan baru, kritik, serta saran yang membangun demi perbaikan ke depan.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan sebelumnya. Namun berkat dorongan, semangat dan dukungan dari berbagai pihak merupakan kekuatan yang sangat besar hingga terselesaikan skripsi ini. Khususnya, dorongan dari kedua orang tua penulis baik moril maupun materil serta do’a. Mereka yang selama ini telah mendidik dan menjadi contoh terbaik dalam hidup ini, ananda belum bisa membahagiakan kalian, semoga Allah SWT memberikan kesempatan untuk itu. Mereka adalah Ayahanda tercinta Almarhum Marthin Ramadhan yang tanpa cinta dan semangatnya peneliti tidak akan berdiri sampai di sini dan Ibunda tercinta Ida Suryana yang selalu ada di rumah untuk membimbing dan memberikan semangat, cinta, dan kasih sayangnya. Untuk adik-adik saya Maghfira Rizkia dan M. Raihan Fahrezi terima kasih telah selalu mendoakan penulis dalam setiap kesempatan dan yang selalu berharap bahwa penulis nantinya akan menjadi manusia yang berguna di masa yang akan datang.


(4)

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis tidak hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Begitu banyak pihak yang memberi kontribusi, baik berupa materi, pikiran, maupun dorongan semangat dan motivasi. Oleh karena itu melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Irmawati, M.Si, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Meutia Nauly, M,Si, Psi selaku dosen pembimbing penulis yang

memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai berbagai hal yang membuat penulis termotivasi untuk membuat suatu penelitian yang cukup menantang, dan memiliki kesabaran, ketekunan dalam memberikan masukan-masukan bagi skripsi ini.

3. Ibu Rika Eliana, M.Si, Psi Selaku Koordinator Departemen Sosial

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

4. Para dosen Psikologi USU yang selalu memberikan contoh, masukan

serta teladan yang patut untuk ditiru oleh penulis berupa semangat untuk terus belajar dan meraih cita-cita.

5. Para mahasiswa stambuk 2007 dan 2008 yang peneliti kenal dan sering

berinteraksi. Para mahasiswa dari yang 2002 sampai 2005 yang juga turut men – support penulis dari awal waktu perkuliahan hingga sekarang.

Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak dan dapat membuka khazanah berpikir kita mengenai komunikasi orang tua dan pembentukan konsep diri remaja.


(5)

Medan, Juli 2010 Penulis


(6)

DAFTAR ISI ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR SKEMA ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ………. 1

B. PERUMUSAN MASALAH ………. 16

C. TUJUAN PENELITIAN ………... 16

D. MANFAAT PENELITIAN ………... 17

E. SISTEMATIKA PENELITIAN ……… 17

BAB II LANDASAN TEORI A. TRUST A.1. DEFENISI TRUST ……….………… 20


(7)

A.3. DINAMIKA TRUST ……….…….………… 23

B. ABORSI B.1. DEFENISI ABORSI ……….……… 28

B.2. MACAM-MACAM ABORSI ……….………….. 29

B.3. FAKTOR PENDORONG ABORSI ……….……… 30

B.4. DAMPAK KONDISI ABORSI ……….………... 31

C. PACARAN C.1. DEFENISI PACARAN ……… 34

C.2. PROSES PACARAN ……… 35

D. DINAMIKA TRUST DALAM HUBUNGAN ………...… 38

E. DINAMIKA TRUST DALAM HUBUNGAN SETELAH ABORSI …… 38

BAB III METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN KUALITATIF ………... 42

B. SUBJEK PENELITIAN B.1. KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN ……….…………. 43

B.2. JUMLAH SUBJEK PENELITIAN ………….…….………. 44

B.3. TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL ……….……....…… 44

B.4. LOKASI PENELITIAN ……….……….…….. 45

C. METODE PENGUMPULAN DATA C.1. WAWANCARA ……….…..………. 45

C.2. OBSERVASI ……….……….….……….. 46

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA D.1. ALAT PEREKAM ………..…..………. 48


(8)

D.2.PEDOMAN WAWANCARA ……… 48

D3. LEMBAR OBSERVASI ………...………. 49

E. KREDIBILITAS (VALIDITAS) PENELITIAN ……….... 49

F. PROSEDUR PENELITIAN ………. 50

BAB IV ANALISA DATA ……….. 56

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN …………..………... 115

DAFTAR PUSTAKA ……… 116

LAMPIRAN DAFTAR SKEMA A. DINAMIKA TRUST ………40

B. PARADIGMA PENELITIAN………. 41

C. DINAMIKA TRUST RESPONDEN I ……… 90

D. DINAMIKA TRUST RESPONDEN II ……….. 112

DAFTAR TABEL A. GAMBARAN UMUM SOSIODEMOGRAFIS RESPONDEN ...……56

B. TEMPAT DAN WAKTU WAWANCARA RESPONDEN I………….. 57

C. TEMPAT DAN WAKTU WAWANCARA RESPONDEN II ……….. 91


(9)

Dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan setelah melakukan aborsi

Meila Ramadhany dan Meutia Nauli

ABSTRAK

Dampak pergaulan bebas di kalangan remaja pra-nikah mengantarkan pada kegiatan menyimpang seperti seks bebas dan tindakan kriminal termasuk aborsi. Aborsi merupakan suatu keputusan yang dilematis khususnya bagi perempuan dan juga sebuah pengalaman yang traumatis serta meninggalkan efek yang signifikan secara fisik dan psikologis khususnya pada perempuan yang melakukannya. Salah satu dampak negatif secara psikologis bagi perempuan yang melakukan aborsi adalah ketidakstabilan trust terhadap pasangan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika trust pada perempuan terhadap pasangannya setelah melakukan aborsi dan hal apa saja yang mempengaruhi dinamika trust tersebut. Untuk menjawab masalah ini, digunakan beberapa teori dinamika dari beberapa tokoh yaitu, Johnson & Johnson (1997), Solomon, dkk (2001) dan Falcone&Castelfranci (2004).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini adalah dua perempuan belum menikah yang telah melakukan aborsi dan sedang menjalani hubungan pacaran. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tentang bagaimana sikap dan perilaku seorang perempuan terhadap pasangannya saat berada di fase distrust, saat membangun trust kembali, dan pada akhirnya trust tersebut terbentuk kembali, serta hal apa saja yang mempengaruhi perubahan trust tersebut. Masing-masing responden mengalami perubahan tahapan fase trust yang berbeda-beda dan perubahan tersebut bergantung pada bagaimana pasangan mereka memperlakukan dan menyikapi harapan-harapan mereka.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dampak pergaulan bebas di kalangan remaja berpacaran mengantarkan pada kegiatan menyimpang seperti seks bebas sehingga mengakibatkan menularnya penyakit kelamin dan kehamilan diluar nikah yang pada akhirnya membawa pada tindakan aborsi. Berdasarkan survei BKKBN tahun 2008, sekitar 63% remaja di Indonesia pernah berhubungan seks dan sebanyak 21% diantaranya yaitu sekitar 2.000.000 jiwa pernah melakukan aborsi setiap tahunnya di Indonesia.

Aborsi adalah Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus” yang berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh (Wikipedia, 2009). Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Dadang Hawari dalam bukunya, ‘ABORSI – Dimensi Psikoreligi’ (2006), bahwa aborsi merupakan pengguguran kandungan atau terminasi (penghentian) kehamilan yang disengaja (abortus provocatus), yaitu, kahamilan yang diprovokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi keguguran.

Aborsi adalah suatu keputusan yang biasanya melibatkan hubungan kedua belah pihak antara pasangan tersebut, jika suatu kehamilan yang tidak diinginkan


(11)

tersebut sudah diputuskan, maka aborsi akan menjadi bagian dari masa lalu mereka yang memiliki dampak yang potensial terhadap kehidupan mereka saat ini dan di masa mendatang (Coleman, dkk ,2007).

Terdapat beberapa alasan individu mengambil keputusan untuk melakukan aborsi yaitu ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah, takut pada kemarahan orang tua, menjaga nama baik keluarga, malu pada lingkungan sosial bila ketahuan hamil sebelum menikah dan kehamilan yang terjadi akibat perkosaan (“Pacaran”, 2006). Adapun penyebab lainnya karena mereka mengalami kehamilan tetapi tidak menghendaki kehamilannya, dengan berbagai alasan seperti faktor usia atau pasangan yang tidak mau bertanggung jawab (Hidayati, 2001). Hal ini sesuai dengan yang ungkapan Mika (23 tahun) dalam komunikasi personal:

“Kami kan dua-duanya masih sekolah, mel. Trus kau tau lah siapa orang tuanya.. Mana mungkin kami pertahanin anak tu. Malu keluarga ntik. Kalo gak mikir keluarga udah beranak aku sekarang..” (S1.W1.b: 186-192.h:5-6).

Aborsi dapat membawa dampak negatif yang cukup signifikan baik secara fisik dan psikologis. Terdapat dua macam resiko kesehatan wanita yang melakukan aborsi yaitu resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik yaitu sebagaimana yang diungkapkan oleh Clowes (1994) dan didukung oleh pendapat Edmundson (2009) yang meyatakan bahwa aborsi memiliki dampak yang potensial yaitu memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Ada beberapa resiko yang akan dihadapi oleh seorang wanita, antara lain kematian mendadak karena pendarahan yang hebat,


(12)

kematian karena pembiusan yang gagal, infeksi serius disekitar kandungan, rahim yang sobek (uterine peoration), kerusakan leher rahim (cervical lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya, kanker payudara, kanker indung telur, kanker leher rahim (cervical cancer), kanker hati, kelainan placenta, kemandulan, infeksi panggul, infeksi rongga dan infeksi pada lapisan rahim (endometris).

Selain dampak fisik, wanita yang melakukan aborsi juga akan mengalami resiko berupa gejala psikologis yang dikenal sebagai “Post-Abotion Syndrome” (PAS) yang dikarakteristikkan dengan perasaan bersalah yang mendalam dan dalam jangka waktu yang lama, depresi, dan mengakibatkan ketidakberfungsian secara sosial dan seksual (Coleman, Rue & Spenser, 2007). Hal senada juga diungkapkan oleh Edmundson, 2009, bahwa secara psikologis aborsi memberikan dampak hilangnya harga diri, perasaan berdosa, lemahnya ikatan pasangan kedua belah pihak yang menyebabkan kegagalan setelah menikah, serta penghinaan dari masyarakat.

Hal ini dapat terlihat dari pendapat beberapa orang yang sempat diwawancarai tentang masalah aborsi,

”Menurut aku sih apapun alasannya aborsi itu ya tetap salah lah! Berani berbuat, harus berani tanggung jawab. Jangan jadi pengecut lah!” (Eka, 20 tahun. Wawancara personal, 13 Desember 2009).

”Aborsi itu merusak tatanan kehidupan masyarakat. Perbuatan jahiliah!” (Rezha, 26 tahun. Wawancara personal, 13 Desember 2009).

”Aborsi itu tindakan pembunuhan dan gak beradap! Perbuatan yang dimurkai agama apapun” (Gina, 22 tahun. Wawancara personal, 13 Desember 2009).


(13)

Speckhard dan Rue (1992, dalam Major, Appelbaun, Beckman, Datton, Russo & West 2008), serta Burke (2002) mengatakan bahwa PAS dapat dikarakteristikkan sebagai bentuk khusus dari Posttraumatic stress disorder (PTSD) yang dapat dibandingkan dengan beberapa simptom, termasuk simptom trauma, seperti flashback dan denial, depresi, perasaan bersalah, marah, malu, sedih berkepanjangan dan penyalahgunaan obat-obatan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Speckhard (1987), yang menunjukkan bahwa adanya efek setelah aborsi terhadap perilaku seseorang, yaitu reaksi berupa perasaan bersalah; perasaan duka cita, penyesalan, merasa kehilangan yang mendalam, perasaan marah misalnya mengamuk, melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang terlibat dalam kejadian aborsi tersebut, perasaan fear dan anxiety; takut terhadap kemarahan Tuhan, takut tidak dapat menghasilkan keturunan lagi, distrust terhadap orang lain dan pasangannya, dan sebagainya.

Hal lain yang juga berdampak negatif dari segi psikologis adalah konsekuensi atau dampak secara psikososial seseorang yang telah melakukan aborsi. Adapun masalah psikososial yang cukup berdampak buruk yaitu masalah interpersonal setelah aborsi tersebut, misalnya permasalahan dalam hubungannya dengan diri sendiri, lingkungan sosialnya, misalnya pertemanan, dengan keluarga, dan dalam hubungan percintaan pada perempuan pelaku aborsi.

Dalam hubungan pertemanan, biasanya seorang perempuan yang telah melakukan aborsi akan sering merasa iri melihat teman-temannya yang masih bisa tertawa tanpa beban, merasa masalah yang dimiliki oleh teman-temannya tidak


(14)

sebesar masalah yang ia tanggung, merasa minder untuk berkumpul dengan teman-temannya karena merasa dirinya berbeda dengan teman-temannya, dan membuat dia terus menerus menyalahkan diri sendiri dan menarik diri dari hubungan pertemanan. Hal ini terlihat dari pengakuan Mika (23 tahun) dan Rin (22 tahun) dalam wawancara mendalam:

” Kalo liat kawan-kawan kita yang perempuan, aku iri kali. Sesak kali hati aku kalo liat kawan-kawan aku masih bisa ketawa-ketawa gak ada beban. Kadang kalo ada kawan yang curhat ma aku, aku ngerasa masalah dia tu gak ada apa-apanya dibandingkan aku. Kadang aku ngerasa minder gitu kalo lagi ngumpul-ngumpul. Aku ngerasa beda aja ma anak-anak seumuran aku yang seharusnya mikirin sekolah, gebetan-gebetan, bukan mikirin dosa karna udah bunuh anak sendiri”. (S1.W2.b: 301-314.h:17) ”kek ada bertanya-tanya gitu, apa orang tu masih virgin ato nggak. Kalo udah liat cewek-cewek seumuran kita ato anak SMP lah, ada terpikir aku gitu lah. Kek mana lah, aku dah ilang perawan dari SMP. Sedih aku kalo ingat-ingat itu Mel.. Seharusnya aku gak kek gini mel... seharusnya aku kayak anak-anak yang laen”. (S1.W1.b: 317-326.h:17)

” Sering kali Rin bertanya-tanya sendiri, mereka masih virgin nggak ya? Mereka sama nggak ya kayak aku? Mereka punya masalah yang kayak aku hadapin sekarang nggak ya?”. (S2.W2.b: 308-313.h: 76-77)

Dalam hubungannya dengan keluarga, sebelum kakak dan keluarga yang lain mengetahui tentang masalah aborsinya, Mika (22 tahun) merasa cemas karena takut masalahnya tersebut diketahui, melakukan physical withdrawal, emosi yang tidak stabil karena berusaha menutupi rasa takut dan perasaan bersalah tersebut. Tetapi setelah sang kakak mengetahui permasalahan aborsi tersebut, Mika merasa lebih lega daripada sebelumnya.


(15)

”...emang dari awal kan keluarga aku udah tau kalo aku udah pernah gituan dengan Aldi, tapi abis aborsi tu aku sumpah ketakutan jangan lah orang ni tau aku gugurin anak. Jarang kali aku di rumah, mel. Pokoknya sebisa mungkin aku gak ketemu ma kakak en cecek aku. Kadang aku gak tau kenapa aku seringkali berantam ma kakak aku. Ditanya dikit masalah Aldi aku icah (emosi)” (wawancara personal, 10 Desember 2009).

”kek misalnya kalo ditanya, ’kau tadi kemana ma Aldi?’, aku langsung emosi jawabnya. Kan kalo kita nutupin sesuatu, biasanya gitu mel” (wawancara personal, 10 Desember 2009).

”pas abes kakak aku tau, dia yang bilang ma keluarga. Aku benci kali lah ma anak tu! Dia kalo lagi marah ma aku, macam bukan kakak aku lagi. Semua aib aku dikasih tau ma keluarga. Tapi abis itu aku lumayan lega lah. Walaupun aku dicacimaki, diceramahin panjang lebar, yang penting abes tu agak plong karna gak ada yang perlu aku tutupin lagi” (wawancara personal, 10 Desember 2009).

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rue (dalam Burke, 2004) bahwa ketika seorang anak yang merahasiakan tentang aborsinya dengan orang tua mereka, hal itu akan menciptakan jarak antara dirinya dengan orang tua dan keluarganya. Hal itu juga didukung dengan pernyataan Deveber (2002) bahwa perasaan malu dan takut merupakan motivator utama untuk terciptanya rahasia antara anak kepada orang tua. Hal ini termasuk takut untuk membuat orang tua kecewa. Rue (dalam Deveber, 2002) kembali menambahkan bahwa ketika seorang remaja memilih untuk aborsi tanpa konsultasi dengan orang tua atau keluarga, dampak pada konteks keluarga tidak akan dapat terelakkan. Bagaimanapun ia akan menyimpan rahasianya yang memalukan itu dan secara emosional menekan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah dan akan menyebabkan ia akan menciptakan kebohongan lainnya karena ia berusaha untuk tetap menjaga aibnya tersebut.


(16)

Tetapi selain rasa lega karena permasalahannya telah diketahui oleh keluarga, hal itu akan menimbulkan masalah lain yaitu perasaan rendah diri. Akibatnya Mika cenderung menghindari interaksi dalam keluarganya.

”...emang udah lega sih, tapi kan mel, aku ada ngerasa orang tu pasti bakal ngeliat aku beda, kek ngeremehin aku. Aku kek takut buat kesalahan gitu. Rasanya kalo aku buat salah keknya dibilang gini, ’alah, gak heran lah si Mika tu kan emang tukang cari masalah. Tukang buat dosa. Dasar anak nggak tau diri’. Makanya aku males kalo ada ngumpul-ngumpul keluarga” (wawancara personal, 12 Desember 2009).

Selain reaksi yang mempengaruhi hubungan dengan teman dan keluarga, penelitian juga mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang diasosiasikan dengan reaksi psikologis yang lebih negatif yang terjadi pada perempuan setelah aborsi. Salah satu hal yang termasuk di dalamnya yaitu menggugurkan kehamilan yang sebenarnya diinginkan dan kurangnya sosial support termasuk kurangnya dukungan dari pasangan (Adler et al., 1992; Major & Cozzrelli, 1992; Major et al., 2000 dalam Major dkk, 2008).

Hal tersebut sesuai juga dialami oleh Rin (22 tahun), yang mengatakan bahwa:

“Rin sebenarnya siap walaupun fifty-fifty, Mel. Tapi dari awal dia udah langsung bilang bahwa dia nggak siap. Rin kecewa sebenarnya sama dia, Mel. Dia emang bilang kalo emang Rin mau mempertahankan, dia siap tanggung jawab. Tapi kalimat awalnya dia udah langsung bilang kalo dia itu nggak siap..”. (S2.W2.b:115-125.h: 70-71)

“..kalo emang lah dia peduli ama aku, nggak akan mungkin dia tinggalin aku disaat aku butuh kali dia. Siapa yang mau peduli lagi ma aku? Orang tua aku dua-duanya udah meninggal, mel… Kakak aku udah ada kehidupan sendiri, nggak mungkin aku ngerepotin dia lagi. Stres kali aku,


(17)

mpek aku dah coba bunuh diri berkali-kali. Di rumah kau udah dua kali, di rumah aku sendiri udah nggak terhitung lagi. Buntu pikiran aku mel..”. (S1.W1.b:85-96.h:3)

”pas dia ngilang, aku kek mau gila gitu mel. Depresi berat. Berat badan aku turun mpek berkilo-kilo, aku gak bisa tidor, gak bisa belajar, nangis tiap malam, gak bisa ngapa-ngapain lah mel. Waktu tu aku bolak balik mau bunuh diri, aku ngerasa mana ada yang mau ma aku lagi, benci kali aku ma laki-laki” (S1.W3.b: 43-51.h:22).

”...aku kek hampir gila kek gitu ada lah mpek hampir setaon juga. Pokoknya aku gak pernah ngerasa senang lah mel” (S1.W3.b:54-57.h:22).

Reaksi lebih negatif terjadi pada Mika yang merasa kurang adanya social support adalah keinginan bunuh diri dan hal itu terjadi dalam waktu yang relatif sering, depresi, benci dengan laki-laki dan menganggap dirinya tidak berharga. Kurang tersedianya social support tersebut dikarenakan kedua orang tuanya telah meninggal, kakaknya yang sudah menikah sehingga ia tidak mau mengganggu kehidupan kakaknya tersebut dan pasangan yang tiba-tiba meninggalkannya.

Selain berdampak buruk terhadap hubungan dengan keluarga dan teman-temannya, aborsi juga berdampak buruk terhadap hubungan dengan pasangan. Menurut David H. Sherman, et al (1985), hampir setengah perempuan yang melakukan aborsi mengaku bahwa keputusan mereka untuk aborsi adalah pengubah hubungan mereka dengan pasangan secara signifikan dan mengakhiri suatu hubungan pasangan, walaupun pasangan tersebut sudah menjalani hubungan yang stabil (Barnett, et al, 1992).


(18)

yang dilakukan oleh peneliti:

“…aku putos ma Aldi kan abes aku aborsi tu. Cobak lah ko piker, mel, aku ma anak tu udah sembilan taon pacaran, tapi pas stelah aku aborsi baru kami sering berantam trus baru-baru ni dia tinggalin aku. Emang pertama cukop baek dia mel.. Tapi tiba-tiba ditinggalinnya aku, nggak ada kabar. Yang nggak gila aja aku mel..” (S1.W1.b: 59-67.h:2).

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Barnett, dkk (1992) yang menyatakan bahwa wanita yang memiliki hubungan yang cenderung stabil, setelah melakukan aborsi dilaporkan berpisah. Dari 80% kelompok pasangan yang berpisah, kebanyakan wanita yang berinisiatif untuk melakukan perpisahan dengan pasangannya. Hubungan setelah aborsi dilaporkan menjadi lebih buruk, dengan lebih banyak konflik dan kurangnya saling trust satu dengan lainnya.

Hal ini sesuai dengan wawancara personal peneliti dengan Mika (23 tahun) yang menyatakan bahwa:

“abes aborsi tu emang aku terus yang minta putus, walaupun ntik balek lagi kami. Tapi kek mana ya kubilang, hubungan kami tu kek udah hambar gitu mel, karna aku ngerasa dia gak mau peduli aku lagi, dia udah nggak sayang aku lagi. Dulu aku bisa lah percaya penuh ma dia kalo dia bisa jagain aku, ni aku dibuatnya berdosa terus, jauh terus dari Allah. Gara-gara anak tu juga aku nggak percaya Panji (pacar Mika saat ini) betol-betol sayang ma aku. Mana ada yang mau ma perempuan nggak virgin lagi mel? Alah, sama aja semua cowok! Mulut dengan perbuatannya nggak sinkron! Cuma mau enaknya aja, abes tu kita dicampakin.” (S1.W1.b: 243-260.h:7).

Seseorang yang kehilangan kemampuan trust sering kali karena adanya suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Aborsi merupakan sebuah pengalaman yang traumatis dan meninggalkan efek yang signifikan secara fisik dan psikologis


(19)

pada perempuan yang melakukannya (Edmundson, 2009). Menurut penelitian Anne Speckhard (1992), sekitar 50 % perempuan pasca aborsi kehilangan trust terhadap orang lain, dan 58% kehilangan kepercayaan terhadap laki-laki. Aborsi dikatakan sebagai pengalaman yang traumatis dikarenakan bahwa itu melibatkan kejadian kematian seseorang, yang secara spesifik, merupakan pembunuhan seseorang yang belum dilahirkan secara disengaja dan menyaksikan kematian yang yang kejam, sama halnya dengan melanggar tanggung jawab dan insting orang tua, merusak hubungan ibu dan anak yang belum dilahirkan dan rasa sedih yang sangat mendalam (Coleman dkk, 2005; MacNair, 2005; Speckhard & Rue, 1992 dalam Major dkk, 2008).

Hal ini sesuai dengan ungkapan dari Mika (23 tahun) dalam komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti:

“Aku sering miker sekarang, kenapa lah nggak kupertahanin aja anak-anak aku tu mel? Abes aborsi tu aku ngerasa betol-betol macam pembunuh. Aku masih terasa mpek sekarang kek mana bidan tu masokin gunteng kedalam perot aku. Aku masih terasa kek mana anak aku pelan-pelan ancor di dalam perot aku sendiri. Ancor kali hati aku, mel. Tiap hari aku ingat anak-anak aku trus. Kalo orang ni masih idop pasti sekarang udah sehat-sehat. Kejam kali aku jadi orang tua lah, padahal bos aku sayang kali dulu ma aku. Semuanya gara-gara Aldi! Susah aku percaya lagi ama anak tu ya mel! Semua saket sekarang aku tanggong sendiri! Laher baten ya mel!!” (S1.W1.b: 286-305).

Rasa sedih, perasaan bersalah yang mendalam, penyesalan, depresi yang terjadi pada individu yang menjadikan seorang perempuan yang melakukan aborsi merasa trauma dan mempengaruhi hubungannya dengan pasangan. Stabilitas emosi, perasaan bersalah, dan self esteem yang rendah akan tetap cenderung


(20)

terlihat saat ia menjalin hubungan percintaan dengan pasangan.

Mika (23 tahun) juga mengaku bahwa emosinya cenderung tidak stabil dan seringkali marah dengan pasangannya. Dan ia seringkali menyalahkan pasangannya terhadap hal apapun.

”..aku sakit kali mel aborsi tu... Aku mau Aldi bisa ngertiin aku, aku mau dia bisa ngerasa apa yang aku rasa. Siapa yang ngerasa malu kalo ketauan? Aku mel. Aku yang nanggong semuanya. Makanya aku marah kali kalo dia nggak dengerin apa yang aku bilang. Aku stres kali kalo teringat itu. Rasa bersalah tu nggak pernah ilang. Aldi kadang-kadang suka bentak aku, aku sedih, marah, parah lah pokoknya mel. Makin sering aja kami berantam, maki-makian. Aku mau walaupun aku yang salah, dia yang nanggung salah aku. Aku mau berbagi rasa sakit itu mel”. (S1.W2.b: 411-427.h:19)

Dari pemaparan Mika, ia mengaku bahwa setelah melakukan aborsi hubungannya dengan Aldi mengalami beberapa perubahan dalam hal stabilitas emosi, meningkatnya perasaan ingin dimengerti, perasaan curiga, takut ditinggalkan pasangan, tingginya keinginan agar Aldi dapat merasakan apa yang Mika rasakan dan seringnya melampiaskan kemarahan kepada Aldi dan selalu

menyalahkan Aldi.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ervin (dalam Deveber, 2002) yang mengatakan bahwa seorang perempuan yang mengalami distress dalam bentuk perasaan bersalah setelah melakukan aborsi biasanya melimpahkan kesalahan tersebut pada pasangannya. Dan didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Burke (2004), ada sekitar 40 – 50 % pasangan mengakhiri hubungan mereka


(21)

setelah aborsi, sekitar 40 -75 % dikarenakan gangguan pada intimacy dan distrust terhadap pasangan mereka.

Trust menurut Johnson & Johnson (1997) merupakan aspek dalam suatu hubungan dan secara terus menerus berubah. Dan menurut Johnson (2006), trust merupakan dasar dalam membangun dan mempertahankan hubungan intrapersonal. Kualitas suatu hubungan yang kuat didasari oleh adanya kepercayaan (trust) untuk memuaskan secara emosional, spiritual dan hubungan fisik. Pondasi trust meliputi saling menghargai satu dengan lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Trust merupakan suatu hal yang esensial bagi sebuah hubungan untuk dapat terus tumbuh dan berkembang serta merupakan suatu fenomena yang dinamis yang terjadi secara intrinsik pada suatu keadaan yang alamiah, dimana trust merupakan hal yang menyangkut masalah mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih dapat ia percayai dari pada yang kurang ia percayai. Hal tersebut juga diperkuat oleh Hoogendoorn, Jaffry & Treur (2009) yang mengatakan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman tetapi juga melibatkan hubungan dengan proses mental dimana terdapat adanya aspek kognitif dan afektif di dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman sebagai informasi yang diperoleh dari waktu ke waktu, tetapi juga melibatkan respon emosi dan perasaan yang berhubungan dengan pengalaman tersebut .Untuk membangun suatu hubungan yang kuat, kita harus menciptakan sebuah iklim trust yang dapat menurunkan ketakutan akan


(22)

pengakhianatan dan penolakan, dan meningkatkan harapan akan penerimaan, support, dan confirmation (Johnson & Johnson, 1997).

Untuk dapat trust, seseorang akan mengharapkan adanya sense of responsibility, percaya bahwa mereka akan berperilaku pada cara-cara yang dapat dipercaya. Seseorang akan berharap bahwa orang yang ingin ia percaya akan mengerti harapannya dan mengetahui cara untuk mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial dari trust adalah keterbukaan. Hal tersebut juga diperkuat oleh Johnson&Johnson (1997) yang mengatakan bahwa terdapat lima aspek penting untuk membangun trust yang mendasari suatu hubungan intrapersonal yaitu openness (keterbukaan) yaitu ketika pasangan dapat saling membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan reaksi isu-isu yang terjadi, sharing (berbagi) dimana pasangan menawarkan bantuan emosional dan material serta sumber daya kepada pasangannya dengan tujuan untuk membantu mereka menuju penyelesaian tugas, acceptance (penerimaan) yaitu ketika adanya komunikasi penuh penghargaan terhadap pasangan, support (dukungan) yaitu komunikasi dengan orang lain yang diketahui kemampuannya dan percaya bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan, dalam hal ini seseorang percaya bahwa pasangannya memiliki kemampuan dan kapabilitas yang dibutuhkan dalam menjalankan hubungan intrapersonal, dan yang terakhir adalah cooperative intention yaitu adanya pengharapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan bahwa orang lain juga dapat bekerjasama untuk mencapai pemenuhan tujuan, dan dalam hal ini pasangan percaya bahwa pasangannya dapat bekerja sama dalam mencapai pemenuhan tujuannya. Jadi ketika kita dan pasangan sudah memenuhi


(23)

kelima aspek tersebut, maka kita dan pasangan telah membangun mutual trust satu dengan lainnya (Johnson & Johnson, 1997).

Trust terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang yang memberikan kepercayaan dan orang yang dipercayakan tersebut. Interpersonal trust dibangun melalui adanya resiko dan penerimaan dan dapat hancur karena adanya resiko dan tidak adanya sikap penerimaan. Tanpa resiko maka trust tidak akan terbentuk, dan hubungan tidak dapat maju dan berjalan (Johnson & Johnson, 1997). Ketika seseorang mengambil resiko dengan terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran-pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi pada suatu situasi dan pasangan akan memberikan respon yang positif berupa penerimaan, support, kooperatif dan membalas kita dengan menjadi terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran, ide, dan perasaan mereka, disitulah trust dapat terbentuk dan berkembang (Johnson & Johnson, 1997).

Tetapi Trust bukan suatu jaminan untuk tidak dapat berubah karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk trust (Johnson & Johnson, 1997). Sebuah hubungan yang intim dapat membuat kita mengenal diri kita sebenarnya dan merasa diterima. Dimana hubungan tersebut terjadi ketika trust dapat menggantikan perasaan anxiety dan dimana kita dapat secara bebas membuka diri kita sendiri tanpa harus takut kehilangan perasaan pasangan kita (Holmes & Rampel, 1989 dalam Myers, 2007).

Trust dapat berubah dari waktu ke waktu, karena orang yang terlibat di dalam trust tersebut juga pasti akan mengalami perubahan (Falcone &


(24)

Castelfranci, 2004). Hal tersebut didukung oleh pendapat Johnson & Johnson 1997 yang menyatakan bahwa trust bukan suatu jaminan untuk tidak dapat berubah karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk trust. Solomon, dkk (2001) menjelaskan bahwa, ada kalanya seseorang berada di dalam periode distrust yang ekstrim. Seseorang yang kehilangan kemampuan trust sering kali karena adanya suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Hal tersebut terjadi karena adanya pengkhianatan dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut. Trust memang meliputi resiko dan konsekuensi dari resiko seringkali membuat kita kecewa dan merasa gagal.

Setelah berada di dalam periode distrust, beberapa orang ada yang tidak dapat melupakan dan juga tidak dapat memaafkan, tetapi tidak sedikit pula mereka tetap berubah dan belajar untuk trust kembali kepada pasangannya. Individu yang dapat memaafkan akan berada pada fase Reestablishing trust yaitu membangun kembali struktur-struktur baru, memulihkan dan kembali melakukan rutinitas sehari-hari dan membangun kembali hubungannya tersebut (Solomon, 2001).

Aborsi memang dapat membawa dampak yang signifikan terhadap hubungan seorang perempuan yang melakukannya. Tidak hanya hubungannya dengan pasangan yang terpengaruhi tetapi juga hubungannya dengan seluruh keluarga dan lingkungan sosialnya. Tiap individu akan mengalami fase atau dinamika trust berbeda-beda karena trust tergantung pada bagaimana perilaku seseorang yang kita percayai tersebut terhadap kita.


(25)

Atas pemaparan diatas, peneliti ingin meneliti lebih dalam tentang bagaimana dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan yang telah melakukan aborsi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang sebelumnya, perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan yang telah melakukan aborsi.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan mengenai dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan yang telah melakukan aborsi.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberi dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat member manfaat untuk pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial dalam rangka perluasan teori, terutama yang berkenaan dengan bagaimana dinamika trust yang terjadi pada perempuan yang telah melakukan aborsi kepada pasangannya.


(26)

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang bagaimana gambaran dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan yang telah melakukan aborsi.

Dapat memberikan sumbangan informasi tentang dampak dan bahaya baik secara fisik maupun secara mental serta bagaimana aborsi mempengaruhi hubungannya dengan pasangan.

Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan informasi bagi keluarga, masyarakat sekitar dan lembaga-lembaga yang peduli terhadap kesejahteraan fisik dan psikis perempuan, agar lebih peka terhadap isu-isu global seperti ini sehingga dapat bijaksana dalam mengambil sikap.

E. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan

Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II: Landasan Teori

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah mengenai


(27)

trust yang berisikan definisi trust, faktor terbentuknya trust, aspek trust, dinamika trust. Kemudian masalah aborsi yang berisikan definisi, macam-macam aborsi, fakor pendorong aborsi, pengambilan keputusan untuk melakukan aborsi, dan dampak setelah aborsi.

Bab III: Metode Penelitian

Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dan dalam hal ini adalah metode kualitatif, metode pengumpulan data, subjek penelitian, teknik pengambilan sampel, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data.

Bab IV: Analisa Data dan Hasil Analisa Data

Bab ini menguraikan mengenai data pribadi subyek, data observasi, data wawancara yang berupa analisa data dan hasil analisa data persubyek yang meliputi latar belakang dan pengalaman aborsi subjek, dinamika trust; (1) membangun trust, (2) membentuk trust, (3) fase distrust.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan setelah melakukan aborsi. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan terdapat diskusi terhadap data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah


(28)

penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI A. TRUST

A.1. Definisi Trust

Trust menurut Johnson & Johnson (1997) merupakan aspek dalam suatu hubungan dan secara terus menerus berubah. Dan Johnson (2006), trust merupakan dasar dalam membangun dan mempertahankan hubungan intrapersonal.

Trust terhadap pasangan akan meningkat apabila pasangan dapat memenuhi pengharapan individu dan bersungguh-sungguh peduli terhadap pasangan ketika situasi memungkinkan individu untuk tidak memperdulikan mereka (Rempel dalam Levinsin, 1995).

Perkembangan trust juga tergantung pada kesediaan individu untuk menunjukkan kasih sayang dengan mengambil resiko dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan pasangan. Apabila pasangan menjalani kesuksesan dalam hal pemecahan konflik, bukan hanya trust yang akan meningkat tapi juga akan menambah bukti terhadap komitmen pasangan dalam hubungan dan juga kepercayaan yang lebih besar bahwa hubungan akan berjalan (Rempel dalam Levinsin, 1995).

Henslin (dalam King, 2002) memandang trust sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi trust meliputi saling


(30)

menghargai satu dengan lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Individu yang memiliki trust tinggi cenderung lebih disukai, lebiih bahagia, dianggap sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang memiliki trust rendah (Marriages, 2001). Hanks (2002) menyatakan bahwa trust merupakan elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan yang baik.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas ditarik kesimpulan bahwa definisi trust adalah suatu elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan baik antara kedua belah pihak yang berisi tentang harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas seseorang.

A.2. Faktor terbentuknya Trust

Membangun trust pada orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk trust dan dalam mengambil resiko.

Faktor yang mempengaruhi trust individu dalam mengembangkan harapannya mengenai bagaimana seseorang dapat trust kepada orang lain, bergantung pada faktor-faktor di bawah ini (Lewicki, dalam Deutsch & Coleman, 2006):

1. Predisposisi kepribadian

Deutsch (dalam Deutsch & Coleman, 2006) menunjukkan bahwa setiap individu memiliki predisposisi yang berbeda untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat predisposisi individu terhadap trust, semakin besar pula


(31)

harapan untuk dapat mempercayai orang lain.

2. Reputasi dan stereotype

Meskipun individu tidak memiliki pengalaman langsung dengan orang lain, harapan individu dapat terbentuk melalui apa yang diperlajari dari teman ataupun dari apa yang telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa individu untuk melihat elemen untuk trust dan distrust serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya.

3. Pengalaman aktual

Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam trust, dan sebagian kuat di dalam distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah mendefenisikan sebuah hubungan.ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk mengeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya trust atau distrust.

4. Orientasi psikologis

Deutsch (dalam Deutsch & Coleman, 2006) menyatakan bahwa individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan


(32)

mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka.

Membangun trust pada orang orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk trust dan mengambil resiko (Myers, 1992).

A.3. Dinamika Trust

Hubungan interpersonal bukan hanya berisi sekumpulan kebiasaan. Di dalamnya terdapat suatu struktur, perilaku yang stabil, memberi dan menerima, tuntutan dan komitmen (Solomon, Robert.; Flores, Fernando, 2001). Dan dasar untuk membangun suatu hubungan interpersonal yang baik diperlukan rasa saling percaya (trust) antara satu dengan lainnya.

Adapun beberapa tahapan dalam dinamika trust, yaitu:

I. Membangun trust

Menurut Falcone & Castelfranci (2004), trust merupakan suatu fenomena yang dinamis yang terjadi secara intrinsik pada suatu keadaan yang alamiah, dimana trust merupakan hal yang menyangkut masalah mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih dapat ia percayai dari pada yang kurang ia percayai. Hal tersebut juga diperkuat oleh Hoogendoorn, Jaffry & Treur (2009) yang mengatakan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman tetapi juga melibatkan hubungan dengan proses mental dimana terdapat adanya aspek


(33)

kognitif dan afektif di dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman sebagai informasi yang diperoleh dari waktu ke waktu, tetapi juga melibatkan respon emosi dan perasaan yang berhubungan dengan pengalaman tersebut .

Untuk dapat trust, seseorang akan mengharapkan adanya sense of responsibility, percaya bahwa mereka akan berperilaku pada cara-cara yang dapat dipercaya. Untuk dapat trust, seseorang akan berharap bahwa orang yang ingin ia percaya akan mengerti harapannya dan mengetahui cara untuk mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial dari trust adalah keterbukaan. Hal tersebut juga diperkuat oleh Gambetta (dalam, Falcone & Castelfranci, 2004) yang mengatakan bahwa trust merupakan suatu kemungkinan yang subjektif dari seorang individu, yang mengharapkan individu lain untuk menunjukkan suatu tindakan tertentu, segala kemungkinan yang terjadi tergantung pada bagaimana perilaku yang ditunjukkan orang yang kita percayai tersebut kepada kita, bagaimana mereka dapat memenuhi perilaku yang kita harapkan.

Membangun trust diawali dengan menghargai dan menerima kepercayaan (trust) tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari dan latihan yang terus menerus. Tanpa adanya perilaku nyata, pemahaman dan penerimaan kita akan trust pun tidak berarti apapun. Membangun trust berarti memikirkan suatu kepercayaan (trust) dalam cara yang positif, membangun langkah demi langkah, komitmen demi komitmen. Jika trust dianggap sebagai sebuah bentuk resiko dan penuh ancaman, maka tidak ada hal positif yang bisa kita dapatkan. Memang trust selalu berdampingan dengan ketidakpastian, tapi kita harus berusaha membuat diri kita


(34)

sendiri untuk berpikir bahwa ketidakpastian tersebut sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan, bukan sebagai halangan (Solomon, dkk, 2001).

Trust merupakan sesuatu hal yang penting bagi sebuah hubungan karena di dalamnya terdapat kesempatan untuk melakukan aktivitas yang kooperatif, pengetahuan, otonomi, self-respect, dan nilai moral lainnya (Blackburn, 1998). Hal itu sejalan dengan pendapat Johnson & Johnson, 1997 yang menyatakan bahwa trust memiliki lima aspek penting di dalamnya, yang mendasari suatu hubungan intrapersonal yaitu openness (keterbukaan) yaitu ketika pasangan dapat saling membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan reaksi isu-isu yang terjadi, sharing (berbagi) dimana pasangan menawarkan bantuan emosional dan material serta sumber daya kepada pasangannya dengan tujuan untuk membantu mereka menuju penyelesaian tugas, acceptance (penerimaan) yaitu ketika adanya komunikasi penuh penghargaan terhadap pasangan, support (dukungan) yaitu komunikasi dengan orang lain yang diketahui kemampuannya dan percaya bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan, dalam hal ini seseorang percaya bahwa pasangannya memiliki kemampuan dan kapabilitas yang dibutuhkan dalam menjalankan hubungan intrapersonal, dan yang terakhir adalah cooperative intention yaitu adanya pengharapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan bahwa orang lain juga dapat bekerjasama untuk mencapai pemenuhan tujuan, dan dalam hal ini pasangan percaya bahwa pasangannya dapat bekerja sama dalam mencapai pemenuhan tujuannya. Jadi ketika kita dan pasangan sudah memenuhi kelima aspek tersebut, maka kita dan pasangan telah memiliki mutual trust satu dengan lainnya.


(35)

II. Terbentuknya trust

Trust terjadi dikarenakan adanya keyakinan bahwa pasangan akan memberikan keuntungan, dan terbentuk melalui sikap menerima, mendukung, sharing, dan kerjasama pada diri seseorang (Johnson & Johnson, 1997). Artinya bahwa trust merupakan suatu situasi kita menerima pengaruh dari orang lain, dan kita percaya bahwa orang lain akan memberikan keuntungan bagi kita.

Supaya suatu hubungan dapat berjalan dengan baik dan efektif, individu harus membangun perasaan saling percaya (mutual trust). Trust terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang yang memberikan kepercayaan dan orang yangn dipercayakan tersebut. Interpersonal trust dibangun melalui adanya resiko dan penerimaan dan dapat hancur karena adanya resiko dan tidak adanya sikap penerimaan. Tanpa resiko maka trust tidak akan terbentuk, dan hubungan tidak dapat maju dan berjalan (Johnson & Johnson, 1997). Ketika seseorang mengambil resiko dengan terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran-pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi pada suatu situasi dan pasangan akan memberikan respon yang positif berupa penerimaan, support, kooperatif dan membalas kita dengan menjadi terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran, ide, dan perasaan mereka, disitulah trust dapat terbentuk dan berkembang (Johnson & Johnson, 1997).

III. Fase Distrust

Trust merupakan sesuatu yang rapuh. Trust dapat berubah dari waktu ke waktu, karena orang yang terlibat di dalam trust tersebut juga pasti akan


(36)

mengalami perubahan (Falcone & Castelfranci, 2004). Hal tersebut didukung oleh pendapat Johnson & Johnson 1997 yang menyatakan bahwa Trust bukan suatu jaminan untuk tidak dapat berubah karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk trust. Di dalam interaksi nyata, kita tidak akan pernah mendapatkan situasi interaksi yang benar-benar sama dalam suatu waktu, dengan begitu suatu keadaan tertentu bisa saja mempengaruhi trust seseorang pada orang yang ia percayai. Trust berubah bukan hanya karena adanya suatu pengalaman tertentu, belum tentu suatu pengalaman yang menyenangkan akan meningkatkan trust dan sebaliknya. tetapi juga dengan adanya modifikasi dari berbagai sumber trust tersebut, misalnya pengalaman langsung di masa lalu, reputasi trustee (bagaimana pengalaman dan opini orang lain mempengaruhi kepercayaan trustier kepada trustee), perubahan sikap dan perilaku dari orang yang kita percayai, keadaan emosional trustier, dan dengan adanya modifikasi dari lingkungan yang menuntut seseorang untuk berperilaku tertentu (Falcone & Castelfranci, 2004). Trust berubah juga karena adanya suatu faktor sebab akibat (causal attribution), kepercayaan seseorang pada orang lain akan bergantung pada bagaimana orang lain tersebut berperilaku dan sebaliknya.

Solomon, dkk (2001) menjelaskan bahwa, ada kalanya seseorang berada di dalam periode distrust yang ekstrim. Seseorang yang kehilangan kemampuan trust sering kali karena adanya suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Hal tersebut terjadi karena adanya pengkhianatan dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut. Trust memang meliputi resiko dan konsekuensi dari resiko seringkali membuat kita kecewa dan merasa gagal. Walaupun trust merupakan


(37)

sesuatu yang bersifat bebas, trust juga melibatkan resiko. Ada beberapa katagori dari kekecewaan tersebut, yang pertama adalah kekecewaan karena sesuatu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Ada kemungkinan besar bahwa sesuatu tdk berjalan sebagai mana mestinya. Ini bukan berarti kesalahan seseorang. Disini trust merupakan dirinya sendiri dan trust di dalam perilaku nyata dan proses yang terhubung, menjadi sesuatu yang krusial. Dan hal yang paling esensial dari bagian ini adalah ketika orang tersebut tetap melanjutkan untuk percaya dengan orang lain dan dapat berpikir bahwa ini merupakan sebuah kebijaksanaan dan penerimaan kita setiap hari. Katagori kekecewaan yang kedua adalah karena adanya kesalahan. Terkadang hal ini disebabkan oleh sesuatu yang tidak berjalan sebagai mana mestinya dan karena kesalahan dari seseorang.

Setelah berada di dalam periode distrust, beberapa orang ada yang tidak dapat melupakan dan juga tidak dapat memaafkan, tetapi tidak sedikit pula mereka tetap berubah dan belajar untuk trust kembali kepada pasangannya. Reestablishing trust adalah membangun kembali struktur-struktir baru, memulihkan dan kembali melakukan rutinitas sehari-hari dan membangun kembali hubungannya tersebut.

B. ABORSI

B.1 Definisi Aborsi

Menurut Wikipedia, Aborsi adalah Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar


(38)

kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.

Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Dadang Hawari dalam bukunnya ‘ABORSI – Dimensi Psikoreligi’ (2006) bahwa aborsi merupakan pengguguran kandungan atau terminasi (penghentian) kehamilan yang disengaja (abortus provocatus), yaitu, kahamilan yang diprovokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi keguguran.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas ditarik kesimpulan bahwa definisi aborsi adalah suatu terminasi kehidupan dari janin sebelum ia diberi kesempatan hidup dan berkembang dengan cara yang disengaja dan diprovokasi dengan berbagai cara agar terjadi keguguran.

B. 2. Macam-macam Aborsi

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi (Hawari, 2006), yaitu: 1. Aborsi Spontan / Alamiah: berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, 2. Aborsi Buatan / Sengaja: pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu (7 bulan) sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).

3. Aborsi Terapeutik / Medis: pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi


(39)

mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.

Pada penelitian ini dikhususkan pada jenis aborsi buatan atau aborsi yang disengaja, yaitu suatu aborsi sebagai pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu (7 bulan) sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini adalah dokter, bidan, dukun beranak atau ibu dari janin tersebut).

Ada 2 macam tindakan aborsi yaitu: 1. Aborsi dilakukan sendiri

Aborsi yang dilakukan sendiri misalnya dengan cara memakan obat-obatan yang membahayakan janin, atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja ingin menggugurkan janin.

2. Aborsi dilakukan orang lain

Orang lain disini bisa seorang dokter, bidan atau dukun beranak. Cara-cara yang digunakan juga beragam.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti perempuan yang melakukan aborsi yang dilakukan dengan cara sendiri dan dengan bantuan orang lain.

B.3. Faktor-faktor pendorong aborsi

Menurut Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono, ada beberapa faktor yang mendorong aborsi:


(40)

a. anak terlalu banyak, penghasilan suami terbatas dsb. (khususnya untuk ibu-ibu peserta KB yang mengalami kegagalan kontasepsi) b. PHK (misal: pramugari, polwan)

c. Belum bekerja (buat yang masih sekolah/kuliah)

Dampak sosial jika tidak aborsi (khusus untuk kehamilan pra-nikah): a. Putus sekolah/kuliah

b. Malu pada keluarga/tetangga c. Siapa yang akan mengasuh bayi

d. Kalau bayi diasuh nenek, akan dipanggil apa? (Eyang dipanggil "ibu", ibu dipanggil "mbak"?)

e. Terputus/terganggu karir/masa depan f. Dan sebagainya.

B.4. Dampak Kondisi Aborsi

Menurut Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono ada beberapa Kondisi psikologik wanita pra-aborsi:

a. Takut/cemas

b. Butuh informasi tetapi tidak tahu mau bertanya ke mana/siapa? (Masyarakat mentabukan sex, apalagi aborsi, dari semua yang belum menikah, khususnya wanita).

c. Butuh perlindungan tetapi laki-laki yang berbuat pada umumnya tidak mau, atau tidak mampu (karena sama-sama masih di bawah umur/masih


(41)

sekolah) bertanggung jawab.

d. Kebingungan sehingga menunda-nunda persoalan

e. Pada saat merasa sudah sangat terdesak, akhirnya nekad, mencari bantuan yang paling terjangkau (dekat, mudah, murah)

f. Tindakan nekad ini (karena tidak didukung oleh pengetahuan yang cukup) bisa sangat berbahaya (dukun/para medik/dokter yang tak bertanggung jawab, komplikasi yang tidak segeera ditolong, infeksi karena tidak periksa ulang dsb.).

Sedangkan Kondisi psikologis pasca-aborsi (Burke, 2006): a. Ketakutan yang intens, anxiety, helplessness. b. Perasaan kehilangan kontrol

c. Mati rasa secara emosional, sulit mengingat suatu kejadian. d. Merasa bersalah, perasaan sedih yang mendalam, depresi. e. Cepat marah, marah yang meledak-ledak, perilaku agrsif. f. Sulit tidur, ketidakbeMikaungsian secara seksual.

g. flashback, mimpi buruk.

h. Menghindar dari hubungan, menolak anak-anak. i. Pesimis terhadap masa depan.

j. Drugs, alcohol abuse dan berpikir untuk bunuh diri.

Sama halnya dengan pendapat yang diungkapkan oleh Edmundson, 2009, bahwa secara psikologis aborsi memberikan dampak hilangnya harga diri,


(42)

perasaan dihantui dosa, lemahnya ikatan pasangan kedua belah pihak yang menyebabkan kegagalan setelah menikah, serta penghinaan terhadap masyarakat.

Beberapa dampak aborsi terhadap psikososial seorang perempuan yang melakukan aborsi:

1. Efek pada hubungan dengan pasangan

Menurut Burke (2004), ada sekitar 40 – 50 % pasangan mengakhiri hubungan mereka setelah aborsi, sekitar 40 -75 % dikarenakan gangguan pada intimacy dan trust terhadap pasangan mereka. Hal itu didukung pula oleh penelitian Barnett, dkk (1992) yang menyatakan bahwa wanita yang memiliki hubungan yang cenderung stabil, setelah melakukan aborsi dilaporkan berpisah. Dari 80% kelompok pasangan yang berpisah, kebanyakan wanita yang berinisiatif untuk melakukan perpisahan dengan pasangannya. Hubungan setelah aborsi dilaporkan menjadi lebih buruk, dengan lebih banyak konflik dan kurangnya saling trust satu dengan lainnya.

2. Hubungan dengan orang tua dan keluarga

Jika orang tua yang memaksakan untuk melakukan aborsi, maka hubungan orang tua - anak menjadi rusak (Rue, 1994). Jika ia menyembunyikannya maka hal itu akan membuat jarak hubungan orang tua – anak akan semakin jauh (Rue dalam Burke, 2004).


(43)

Perempuan yang pernah melakukan aborsi menjadi pesimis dan selalu berpikir negatif tentang hidupnya secara umum (Burke, 2004). Self esteem akan menurun dan ia akan menghindari kontak sosial.

4. Hubungannya dengan pasangan masa depan.

Pengalaman masa lalu tentang aborsi akan dirahasiakan dari pasangannya karena takut akan judgement atau takut akan penolakan (Burke, 2004). Sering kali perempuan yang telah melakukan aborsi akan merasa tidak nyaman dan merasa takut dalam aktivitas seksual dengan pasangannya, dan sebagian akan menjadi sangat permisif terhadap aktivitas seksual.

C. Pacaran

C.1. Defenisi Pacaran

Menurut Guerney & Arthur (Dacey & Kenny, 1997) pacaran adalah aktivitas social yang membolehkan dua orang yang berbeda jenis kelaminnya untuk terikat dalam interaksi sosial dengan pasangannya yang tidak ada hubungan keluarga.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002) pacaran merupakan proses

perkenalan antara dua in

pencarian kecocokan menuju kehidupan be


(44)

Ada beberapa karakteristik dari hubungan ini, yaitu perilaku yang saling bergantung satu dan lainnya, interaksi yang berulang, kedekatan emosionaal, dan kebutuhan untuk saling mengisi. Hubungan ini terdiri dari orang-orang yang kita sukai, seseorang yang kita sukai, cintai, hubungan yang romantis dan hubungan seksual.

Salah satu kerakteristik dari pacaran yaitu adanya kedekatan atau keintiman secara fisik (physical intimacy). Keintiman (intimacy) tersebut meliputi berbagai tingkah laku tertentu, seperti berpegangan tangan, berciuman, dan berbagai interaksi perilaku seksual lainnya (Baron & Byrne, 1997). Sedangkan menurut Duvall dan Miller (1985), keintiman dalam berpacaran tersebbut antara lain meliputi berpegangan tangan, ciuman, petting dan intercourse.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pacaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh dua orang yangberbeda jenis kelamin dan tidak menikah serta tidak ada hubungan keluarga, dan biasanya melakukan sejumlah perilaku, yaitu berpegangan tangan, berciuman, petting,dan sexual intercourse.

C.2. Proses Pacaran

Menurut Myers & Myers (1992), ada 5 tahap dalam suatu hubungan, pertama adalah tahap contacting. Pada tahap ini kita pertama kali menentukan apakah kita menginginkan seseorang yang kita temui tersebut atau tidak. Penentuan ini dipengaruhi oleh kesamaan minat, sikap, nilai, kebiasaan, kepribadian serta apakah itu cocok dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang kita


(45)

miliki. Tahap kedua adalah evaluating, dimana pada tahap ini kita mulai menyeimbangkan antara hal-hal yang positif yang kita dapatkan (reward) dengan cost yang kita keluarkan. Kita akan menilai apakah seseorang tersebut lebih memberikan kita keuntungan atau kerugian. Pada tahap ini juga sering disebut sebagai tahapan tawar-menawar, explorasi, keterlibatan, atau timbal balik. Ketika kita masuk dalam tahap ini bukan berarti tahap contacting selesai karena minat dan sikap akan membantu kita dalam mengevaluasi suatu hubungan. Tahap ketiga adalah committing. Pada tahap ini kita mulai memiliki komitmen-komitmen dan ditandai oleh adanya perjanjian dengan pasangan kita. Tahap ini ditandai dengan adanya intensitas, peninjauan ulang, keterkaitan, atau interaksi-interaksi penting, lalu adanya keterikatan, keabsahan hubungan, intimacy, coupling, dan kestabilan hubungan. Pada tahap ini, penilaian negative terhadap pasangan lebih minim atau sedikit. Kita akan sering melewatkan atau melupakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pasangan dan hanya berfokus pada kesenangan bersamanya. Tahap berikutnya adalah doubting, dimana pada tahap ini mulai ada konflik. Tahap sebelumnya kita berfokus pada “kualitas baik” dari seseorang, pada tahap ini kita mulai melihat sesuatu yang lebih ‘buruk’ dari seseorang tersebut. Kebiasaan dan sikap yang awalnya bisa kita terima atau mungkkin kita sukai, sekarang akan lebih mengganggu. Hubungan mulai sedikit berbagi dan melakukan lebih sedikit usaha untuk menyenangkan satu dengan lainnya. Dan akhirnya kita masuk ke tahapan terakhir yaitu tahap disengaging, yaitu dimana kita akan menghindari, mengakhiri, menghancurkan atau menghentikan hubungan kita dengan pasangan. Tahap ini juga ditandai dengan perpisahan secara fisik, emosi dan psikologis.


(46)

Pacaran sebagai salah satu bentuk hubungan intim dapat terjadi dimana saja, di kelas, di tempat kerja, di toko, di tempat bermain, dan lain-lain. tetapi, untuk memulai terjadinya suatu hubungan, maka biasanya dimulai dengan adanya rasa ketertarikan (interpersonal attraction), yaitu keinginan untuk dekat dengan seseorang (Brehm, 1992).

Untuk memulai hubungan yang intim berbeda-beda caranya. Ada yang dapat dengan mudah jatuh cinta, tetapi ada yang memulainya dari hubungan pertemanan terlebih dahulu. Lalu lama-kelamaan hubungan tersebut berkembang (Brehm, 1992).

Agar kedua individu berpacaran, maka pertama-tama harus muncul rasa ketertarikan (attraction). Ketertarikan dapat berupa mengirim dan menerima tanda seksual tertentu, yang dapat diekspresikan melalui gaya berpakaian atau gaya berjalan seseorang. Ketertarikan dapat juga sebagai bentuk umum dari rasa suka (liking) (Geer, Heiman & Leitenberg, 1984).

Sedangkan menurut Baron dan Byrne (1997) ketertarikan itu dimulai ketika seseorang mulai berinteraksi dengan orang lain, dan biasanya interaksi tersebut dapat membuat seseorang tertarik dengan orang lain, yaitu kedekatan fisik (physical proximity). Faktor yang sangat penting yang dapat dijumpainya yaitu keadaannya pada saat itu (affective state). Seseorang akan senang dengan orang yang dijumpainya ketika perasaan emosinya positif dan begitu juga sebaliknya. Walaupun interaksi sudah terjadi berulang kali dan perasaan emosinya


(47)

positif, tetapi rasa tertarik tidak akan timbul jika kedua individu yang kedua individu yang berkaitan tidak termotivasi untuk membentuk suatu hubungan.

D. Dinamika Trust dalam hubungan

Menurut Rositer dan Pearce (dalam Myers & Myers, 1992), kita akan mengalami trust hanya ketika hubungan kita dengan pasangan dikarakteristikkan dengan contingency; pada situasi ketika perilaku pasangan memberikan dampak yang siginifikan bagi diri kita, predictability; dimana kita bisa memprediksi perilaku pasangan kita, percaya bahwa pasangan akan berperilaku pada cara tertentu, karena jika predictability kita terhadap perilaku pasangan rendah maka kita hanya bisa berharap dan bukan trust, dan alternative options; dimana kita bebas untuk melakukan sesuatu selain trust, karena trust hanya merupakan pilihan.

E. Dinamika Trust dalam hubungan setelah aborsi

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Barnett, dkk (1992) yang menyatakan bahwa wanita yang memiliki hubungan yang cenderung stabil, setelah melakukan aborsi dilaporkan berpisah. Dari 80% kelompok pasangan yang berpisah, kebanyakan wanita yang berinisiatif untuk melakukan perpisahan dengan pasangannya. Hubungan setelah aborsi dilaporkan menjadi lebih buruk, dengan lebih banyak konflik dan kurangnya saling trust satu dengan lainnya.

Seseorang yang kehilangan kemampuan trust seringkali karena adanya suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Aborsi merupakan sebuah pengalaman yang traumatis dan meninggalkan efek yang signifikan secara fisik dan psikologis


(48)

pada perempuan yang melakukannya (Edmundson, 2009). Menurut penelitian Anne Speckhard (1992), sekitar 50 % perempuan pasca aborsi kehilangan trust terhadap orang lain, dan 58% kehilangan kepercayaan terhadap laki-laki. Aborsi dikatakan sebagai pengalaman yang traumatis dikarenakan bahwa itu melibatkan kejadian kematian seseorang, yang secara spesifik, merupakan pembunuhan seseorang yang belum dilahirkan secara disengaja dan menyaksikan kematian yang yang kejam, sama halnya dengan melanggar tanggung jawab dan insting orang tua, merusak hubungan ibu dan anak yang belum dilahirkan dan rasa sedih yang sangat mendalam (Coleman dkk, 2005; MacNair, 2005; Speckhard & Rue, 1992 dalam Major dkk, 2008). Rasa sedih, perasaan bersalah yang mendalam, penyesalan, depresi yang terjadi pada individu yang menjadikan seorang perempuan yang melakukan aborsi merasa trauma dan mempengaruhi hubungannya dengan pasangan. Perasaan bergantung pada pasangan membuat individu berusaha untuk membangun trust kembali pada pasangan. Sebuah hubungan yang intim dapat membuat kita mengenal diri kita sebenarnya dan merasa diterima. Dimana hubungan tersebut terjadi ketika trust dapat menggantikan perasaan anxiety dan dimana kita dapat secara bebas membuka diri kita sendiri tanpa harus takut kehilangan perasaan pasangan kita (Holmes & Rampel, 1989 dalam Myers, 2007).


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

Padget (1998) mengemukakan beberapa alasan mengapa menggunakan penelitian kualitatif. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penelitian kualitatif digunakan jika peneliti ingin menggali suatu topic yang masih sedikit diketahui.

2. Jika topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman sensitivitas dan

emosional.

3. Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan “pengalaman hidup”

dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan menciptakan arti darinya. 4. Diharapkan dapat memasuki “kotak hitam” dari program atau intervensi.

5. Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam mengumpulkan

data atau dalam menjelaskan penemuan.

Sama halnya dengan beberapa alasan penggunaan metode penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh Padgett (1998) diatas, maka peneliti menilai bahwa jenis


(50)

penelitian yang paling tepat untuk menguraikan, menggambarkan atau mendeskripsikan gambaran dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan yang pernah melakukan aborsi.

Beberapa alasan peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif untuk melihat dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan yang pernah melakukan aborsi dikarenakan tema tersebut tidak umum untuk dikaji dalam penelitian psikologi sosial dan bersifat masih baru. Dinamika trust sendiri merupakan suatu pengalaman subjektif yang dialami pada setiap orang dan merupakan konsep yang kompleks dan sulit untuk dipahami karena melibatkan persepsi yang berbeda dan cenderung selalu berubah. Dan ketika kita ingin meneliti lebih jauh tentang dinamika trust terhadap pasangan dikaitkan dengan perempuan yang telah melakukan aborsi, tema tersebut jarang dibicarakan dan orisinalitas dari tema ini juga dapat kita buktikan dengan minimnya literatur karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi atau fenomena tertentu (Bungin, 2007).

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian untuk penelitian kualitatif adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan bisa memberikan sebanyak mungkin data yang dibutuhkan. Dengan persetujuan yang sudah diperoleh maka peneliti bisa mengatur waktu dan tempat untuk melakukan wawancara yang disertai dengan observasi yang mendukung (Gay & Airasian, 2003).


(51)

B.1. Karakteristik subjek penelitian

Adapun karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti:

1. Perempuan

2. Pernah melakukan aborsi

3. Belum pernah menikah

4. Sedang menjalani suatu hubungan pacaran dengan pria.

B.2. Jumlah subjek penelitian

Penelitian kualitatif tidak mementingkan jumlah subjek penelitian, yang terpenting dala penelitian kualitatif adalah subjek yang bisa memberikan sebanyak mungkin informasi yang ingin didapat (Gay dan Airasian, 2003).

Pada penelitian ini jumlah partisipan yang direncanankan sebanyak 2 orang, dengan pertimbangan masih sedikit orang yang mau terbuka mengenai dirinya tentang aborsi yang telah ia lakukan.

B.3. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan cara theory-based (operational construct sampling) sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan memilih sampel sesuai dengan criteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi


(52)

sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili (bersifat representatif) terhadap fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2007)

Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai dengan criteria sampel yang telah ditemtukan, dengan menanyakan pada orang-orang yang dapat memberikan petunjuk mengenai subyek yang peneliti butuhkan. Informan-informan tersebut kemudian mengenalkan calon subyek kepada peneliti.

B.4. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan dan di Lhokseumawe (Nanggroe Aceh Darussalam), karena terdapat alasan dimana responden berdomisili. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan keinginan dari responden penelitian agar responden merasa nyaman.

C. Metode Pengumpulan Data.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Hal ini sesuai dengan pendapat Padget (1998) yang mengatakan bahwa ada tiga bentk dasar metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu: (a) observasi, (b) wawancara, (c) analisis dokumen. Namun analisis dokumen tidak dijadikan metode pengumpulan data dalam penelitian ini karena peneliti mempertimbangkan faktor efektifitas dan keterbatasan peneliti.

1. Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai (Bungin,


(53)

dalam Poerwandari, 2007). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topic yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depht interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2007).

2. Observasi

Observasi barangkali menjadi metode yang paling dasar dan paling tua dari ilmu-ilmu social, karena dalam cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya (Poerwandari, 2007).


(54)

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, factual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai catatan panjang lebar yang tidak relevan. Patton (dalam Poerwandari, 2007) mengatakan data hasil observasi menjadi data penting karena:

• Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam

mana hal yang diteliti ada atau terjadi.

• Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi

pada penemuan daripada pembuktian, dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif.

• Memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh partisipan atau subjek

penelitian sendiri kurang sadari.

• Memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang karena

berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara.

• Memungkinkan peneliti bergerak lebih jauh dari persepsi selektif yang

ditampilkan subjek penelitian atau pihak-pihak lain.

• Memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap

penelitian yang dilakukan.

Banister, dkk (dalam Poerwandari, 2007) mengusulkan agar hal-hal di bawah diperhatikan saat membuat catatan observasi: (a) deskripsi konteks; (b) deskripsi mengenai karakteristik orang-orang yang diamati; (c) deskripsi tentang siapa yang


(55)

melakukan observasi; (d) deskripsi mengenai perilaku yang ditampilkan orang-orang yang diamati, (e) interpretasi sementara peneliti terhadap kejadian yang diamati, (f) pertimbangan mengenai alternatif interpretasi-interpretasi lain; serta (g) eksplorasi perasaan dan penghayatan peneliti terhadap kejadian yang diamati.

D. Alat Bantu Pengambilan Data

D.1. Alat Perekam (tape recorder)

Poerwandari (2007) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizing subyek. Selain itu penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

D.2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkatagorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi


(56)

juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2007).

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingat sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

D.3. Lembar Observasi dan Catatan Subyek

Lembar observasi dan catatan subyek digunakan untuk mempermudah proses observasi yang dilakukan. Observasi dilakukan seiring dengan wawancara. Lembar observasi antara lain memuat tentang penampilan fisik subyek, setting wawancara, sikap subyek pada peneliti selama wawancara berlangsung, hal-hal yang mengganggu wawancara, hal-hal yang unik, menarik dan tidak biasa dalan wawancara serta hal-hal yang dilakukan subyek dalam menjawab pertanyaan selama wawancara.

E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.


(57)

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan dalam dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan yang pernah melakukan aborsi.

F. Prosedur Penelitian

F.1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian.

1. Mengumpulkan informasi tentang perempuan yang pernah melakukan

aborsi

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi, teori-teori dan resensi yang berhubungan dengan dinamika trust terhadap pasangan pada perempuan setelah melakukan aborsi, dampak aborsi terhadap trust kepada pasangan, kemudian menguraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan fenomena tersebut berdasarkan teori yang relevan.

2. Menyiapkan pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan teori yang ada.

3. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaanya untuk menjadi partisipan dan mengumpulkan informasi tentang calon partisipan tersebut.

4. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari partisipan penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan membangun rapport sekaligus melakukan


(58)

informed consent dimana peneliti menjelaskan penelitian secara umum meliputi tujuan dan manfaat penelitian serta aktivitas dan peran partisipan dalam penelitian ini, apa yang diharapkan dari partisipan dan disampaikan bahwa informasi yang mereka berikan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian serta dijamin kerahasiaannya. Setelah itu, peneliti dan partisipan mengadakan kesepakatan tentang pelaksanaan penelitian yang meliputi waktu dan lokasi wawancara. Pertemuan dengan subyek I untuk membangun rapport sebanyak 1 kali yang kemudian disusul dengan proses wawancara sebanyak 6 kali. Sedangkan pertemuan dengan subyek II untuk proses membangun rapport peneliti lakukan sebanyak 1 kali dan melakukan proses wawancara yang juga sebanyak 3 kali.

F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan subyek. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan denga tujuan agar memastikan subyek dalam keadaan sehat.


(1)

mereka juga akan saling menerima setiap kekurangan pada diri pasangan mereka masing-masing.

B. Diskusi

Dalam upaya menjawab pertanyaan penelitian, peneliti mendapatkan temuan menarik yang menjadi bahan diskusi bagi penelitian ini. Temuan itu antara lain:

1. Saat kedua responden sedang mengalami fase distrust, mereka mengatakan kata-kata yang sama, yaitu “semua laki-laki itu sama saja”, mereka menganggap bahwa laki-laki tidak dapat dipercaya karena laki-laki akan selalu menyakiti mereka. Distrust terjadi saat seseorang yang diharapkan bisa dipercaya mengkhianati dan melanggar komitmen yang telah dibuat. Hal itu didukung oleh pendapat Herman (1991), bahwa distrust terjadi karena adanya pengkhianatan dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut.

2. Perasaan trust kedua responden cenderung sering berubah dari waktu ke waktu karena adanya faktor sebab akibat, kepercayaan responden pada pasangannya bergantung pada bagaimana pasangannya itu berperilaku dan sebaliknya. Ketika pasangan memperlihatkan perilaku yang diharapkan, perasaan trust responden akan terbentuk, sebaliknya ketika pasangan mengkhianati kepercayaan responden, distrust pun akan terbentuk kembali. Hal itu sesuai dengan pernyataan Solomon, dkk (2001) dan Herman (1991) yang mengatakan bahwa ada kalanya seseorang berada di


(2)

dalam periode distrust yang ekstrim, dan hal tersebut terjadi karena adanya pengkhianatan dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut. 3. Aborsi membuat mereka menjadi lebih tertutup dan menghindari interaksi

dengan orang terdekatnya. Hal tersebut terlihat pada kedua responden. Responden pertama menghindari interaksinya dengan keluarga dan responden kedua menjadi lebih tertutup dengan teman terdekatnya. Hal itu sesuai dengan pernyataan Rue (dalam Burke, 2004) bahwa ketika seorang anak yang merahasiakan tentang aborsinya dengan orang tua mereka, hal itu juga akan menciptakan jarak antara dirinya dengan orang tua dan keluarganya. Hal itu juga didukung dengan pernyataan Deveber (2002) bahwa perasaan malu dan takut merupakan motivator utama untuk terciptanya rahasia antara anak kepada orang tua, hal ini juga termasuk takut membuat orang tua kecewa.

C. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan diskusi terhadap hasil penelitian ini maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut :

1. Saran praktis

 Bagi setiap perempuan diharapkan dapat membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan tentang dampak dan resiko yang ditimbulkan dari seks bebas dan aborsi, serta lebih mempertebal keimanan sesuai dengan kepercayaan masing-masing.


(3)

 Bagi keluarga supaya lebih bisa menjalin hubungan yang lebih komunikatif dan mendukung bagi perkembangan pribadi dan sosial masing-masing anggota keluarga.

 Bagi lembaga-lembaga sosial baik pemerintah maupun non-pemerintah sebaiknya lebih intensif dalam menginformasikan tentang dampak aborsi terhadap perempuan.

 Program-program pemerintahan tentang kesehatan reproduksi lebih ditingkatkan.

 Bagi setiap pasangan agar tidak melakukan seks diluar nikah dan menjunjung tinggi norma-norma agama serta budaya.

2. Saran penelitian lanjutan

 Teknik pengambilan data dilakukan dengan lebih banyak cara misalnya observasi atau diskusi kelompok supaya data yang diperoleh semakin kuat.  Penelitian sebaiknya menggunakan literatur yang lebih banyak mengingat

referensi yang digunakan dalam penelitian ini sangat terbatas.

 Penelitian selanjutnya dengan tema yang sama, namun berfokus pada dinamika trust pada laki-laki yang pasangannya pernah melakukan aborsi.


(4)

Daftar Pustaka

Barnett W, Freudenberg N, Wille R. (1992). Partnership after induced abortion:

a prospective controlled study. Archives of Sexual Behavior. Vol. 21,

No.15. [On-Line]

pada 7 Juli 2009)

Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Burke, T. (2004). Forbidden Grief: Aldie Unspoken pain of Abortion. New York: Springfield, IL:Acorn Book [e-book] (diakses pada 7 Juli 2009)

________ (2006). Marriage Preparation and Abortion. Vol. 16 No. 1 Januari – February 2006. [online] 2009)

Carter, S.L. (2001). Family and consumer sciences. Human development and

family sciences. Family Life Month Pocket. Ohio State University Extension. [On-line]

pada 2 Oktober 2009)

Clowes. (1994). Fact of Life. [On-Line] September 2009)

Coleman, P.K., Rue, V.M., Spense. M. (2007). Intrapersonal Processes and

Post-Abortion Relationship Challenges: A Review and Consolidation of

Relevant Literature. [on-line]

Deutsch & Coleman (2006). the handbook of conflict resolution: theory and

practice. [e-book]


(5)

Edmondson, S. (1992). Sindrom Paska Aborsi Dari Sudut Pandang Seorang

Dokter. [on-line]

tanggal 2 Juli 2009)

Hawari, Dadang (2006). Aborsi; Dimensi Psikoreligi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Hidayati, W.B. (2001). Seminar Nasional Insiden dan Aspek Sosial-Psikologis

Aborsi. [On-Line

Kevin & Burke, T., (2006). Marriage Preparation and Abortion: Raising the

Question of Abortion in Marriage Preparation. Vol. 16, Number 1.

[on-line]

pada 12 September 2009)

King, V. (2002). Parental Divorce and interpersonal trust in adult offspring:

Journal of Marriage and Family. Minnepolis. Vol.64, Iss.3; pg.642, 15

pgs.

Levinson, D. (1995). Encyclopedia of Marriage and the Family. USA: Macmillan

Library Reference

Major, B., Appelbaun, M., Beckman, L., Datton, M., Russo, N.F., West. C. (2008). Report of the APA Task Force on Mental Health and Abortion. [On-Line] http://www.apa.org/pi/wpo/mental-healAldi-abortion-report.pdf (diakses pada 7 Juli 2009)

Marriages. (2001). Qualities of successful marriages. pada 2 Oktober 2009)

Moleong, L.J. Dr. MA. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet.13). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Myers, D.G. (2007). Exploring Social Psychology. New York: Mc. Graw Hill Myers. G.E., & Myers. M.T., (1992). The Dinamics of Human Communication: A


(6)

___________(2006) Pacaran dan Hubungan Seksual. [On-Line]

Padget, D.K. (1998). Qualitative Methods in Social Work Research Challenge and

Rewards. London: Sage Publications

Papalia, D., Old, S.W., Feldman, R.D. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan) 9th ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian PerilakuManusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Sarwono, S.W. (2009). Aborsi. [On-Line]

Sherman, D.H., et al,. (1985). “The Abortion Experience in Private Practice”. New York: Preager

Shos & Mc.LouAldi. (1984). Men and Abortion: Lessons, Losses, and Love. New York: Preager

Speckhard, A. (1987). The psycho-social aspects of stress following abortion. USA: Sheed & Ward

Wikipedia, 2009. Pengguguran kandungan. [On-Line] 2009)