Analisis Klaster Industri Karet Di Provinsi Sumatera Utara

(1)

SKRIPSI

ANALISIS KLASTER INDUSTRSI KARET DI

PROVINSI SUMATERA UTARA

OLEH

DINA ALFIRA LUBIS

090501034

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRACT

ANALYSIS OF RUBBER INDUSTRY CLUSTER IN NORTH SUMATERA Cluster phenomenon has attracted the attention of economists to engage in the study of problems that give to a new paradigm of location and economic geography called new economic geography. Rubber industry in North Sumatera that gave an influence on the national contribution to accelerating the growth of the industry it can improve the competitiviness of high, decreasing production cost, and increasing efficiency and productivity. This study aims to analyze the rubber industry cluster in North Sumatera. This study uses secondary data from the Central Statistics Agency from 2003 to 2009. To achieve this goal, this study using GIS (Geographic Information System) methods to identify the location of the rubber industry in North Sumatera. Data distribution skewness and kurtosis value are used to look at clustering in one location and specialties of the region are used to measure the level of concentration of the industry in an industrial cluster. Result from the study showed that the district based workforcein in 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 indicates clustering rubber in North Sumatera. And in 2003, 2004, 2005, 2008, 2009 also indicates clustering rubber industry in North Sumatera and specialization areas showing the concentration rubber industry of the region Labuhan Batu, Deli Serdang, Serdang Berdagai, Batu Bara, Padang Sidempuan, Medan, Tebing Tinggi.


(3)

ABSTRAK

ANALISIS KLASTER INDUSTRI KARET DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Fenomena Cluster telah menarik perhatian para ekonom untuk terlibat dalam studi masalah lokasi yang menimbulkan paradigma baru dan geografi ekonomi yang disebut new economic geography. Klaster industri khususnya industri karet di Sumatera Utara yang mempunyai pengaruh terhadap kontribusi nasional dapat mempercepat pertumbuhan industri karena dapat meningkatkan daya saing yang tinggi, menurunkan biaya produksi serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis klaster industri karet di Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2003 sampai 2009. Untuk mencapai tujuan, penelitian ini menggunakan metode Geographic Information System (GIS) untuk mengidentifikasikan lokasi industri karet di Sumatera Utara, distribusi data nilai skewness dan kurtosis untuk melihat pengklasteran di suatu lokasi serta spesialisasi daerah digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri di suatu klaster industri. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten/Kota berdasarkan tenaga kerja pada Tahun 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 mengindikasikan adanya pengklasteran industri karet di Sumatera Utara dan pada Tahun 2003, 2004, 2005, 2008, 2009 berdasarkan nilai tambah juga mengindikasikan adanya pengklasteran industri karet di Sumatera Utara dan spesialisasi daerah yang menunujukkan tingkat konsentrasi industri karet terdapat di daerah Labuhan Batu, Deli Serdang, Serdang Berdagai, Batu Bara, Kota Padang Sidempuan, Kota Medan, Kota Tebing Tinggi.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang karena dengan berkat dan rahmat-nya, penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul : "Analisis Klaster Industri Karet Di Provinsi Sumatera Utara". Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi jurusan Ekonomi Pembangunan dan guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universits Sumatera Utara.

Penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak selama penulisan skrisi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kepada orang tua penulis, Ayahanda Muhammad Ali Lubis dan Ibunda Fitriani yang telah memberikan dukungan dan bantuan baik berupa moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D dan Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara,

5. Bapak Prof. Dr. Lic. reg. reg. Sirojuzilam, SE selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan masukan, saran yang baik mulai dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

6. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Dosen Pembaca Penilai, yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat membangun bagi penulis.


(5)

8. Seluruh Dosen dan Staff Pengajar Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

9. Seluruh pegawai dan Staff Administrasi Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam penyelesaian kelengkapan administrasi penulis. 10.Pimpinan dan Karyawan Badan Pusat Statistik (BPS) Medan yang telah

menyediakan data penelitian, sehingga memberikan kemudahan bagi Penulis.

11.Teman-teman angkatan 2009 di Ekonomi Pembangunan, terimakasih telah memberikan dukungan, kerja sama, inspirasi dan kebersamaan selama ini. 12.Kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu baik secara langsung

maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membacanya.

Medan, Januari 2013 Penulis

NIM. 090501034 Dina Alfira Lubis


(6)

DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………..……… 1.2 Perumusan Masalah………..…… 1.3 Tujuan Penelitian………... 1.4 Manfaat Penelitian...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Ekonomi...………... 2.2 Pembangunan Industri………..…... 2.3 Perkembangan Industri………... 2.3.1 Pengertian Industri………... 2.3.2 Klasifikasi Industri………... 2.3.3 Penentuan Lokasi Industri……… 2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Perkembangan Industri... 2.4 Konsep Aktivitas Industri………... 2.5 Sentra Industri...………... 2.6 Struktur Industri... 2.7 Kinerja Industri... 2.8 Klaster Industri... 2.9 Penelitian terdahulu...

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian……….. 3.2 Jenis Penelitian………... 3.3 Jenis dan Sumber Data………... 3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data…... 3.5 Pengolahan Data...……….. 3.6 Metode Analisis...……….. 3.6.1 GIS ( Geographics Information System)... 3.6.2 Distribusi Nilai Skewness dan Kurtosis...

i ii iii v vii viii 1 5 5 5 6 7 9 9 10 12 15 16 17 18 20 21 27 30 30 30 31 31 31 31 33


(7)

3.6.3 Spesialisasi Daerah... 3.7 Variable Penelitian dan Defenisi Opersaional

Penelitian………

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara…………... 4.1.1 Kondisi Geografis……… 4.1.2 Keadaan Iklim... 4.1.3 Kependudukan………... 4.1.4 Perekonomian... 4.1.5 Ketenagakerjaan... 4.2 Pembahasan...……...

4.2.1 Industri Karet Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2003-2009 dengan GIS... 4.2.2 Klaster Industri Karet Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2003-2009 dengan Nilai Skewness dan Kurtosis... 4.2.3 Konsentrasi Klaster Industri Karet Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2003-2009...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan………. 5.2 Saran………

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 38 39 42 42 43 44 44 45 47 47 50 57 60 61


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 Perkembangan Ekspor Getah Karet Alam Provinsi Sumatera Utara... 1.2 Industri Karet dan Barang dari Karet Berdasarkan Nilai Tambah dan Tenaga Kerja... 4.1 Kriteria Tenaga Kerja dan Nilai Tambah... 4.2 Nilai Skewness dan Kurtosis Berdasarkan Tenaga Kerja Dan Nilai Tambah... 4.3 Indeks Spesialisasi...

3

4 51

53 59


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Pemilihan Posisi dalam Konsep Generik Klaster Indsutri... 3.1 Bentuk Distribusi Normal... 3.2 Bentuk Distribusi Right Skewed... 3.3 Bentuk Distribusi Left Skewed... 3.4 Bentuk Mesokurtik... 3.5 Bentuk Leptokurtik... 3.6 Bentuk Paltikurtik... 4.1 Peta Sumatera Utara Berbasis Industri dan Non

Industri Karet Tahun 2003... 4.2 Peta Sumatera Utara Berbasis Industri dan Non

Industri Karet Tahun 2006... 4.3 Peta Sumatera Utara Berbasis Industri dan Non

Industri Karet Tahun 2008... 4.4 Histogram Distribusi Tenaga Kerja... 4.5 Histogram Distribusi Nilai Tambah...

25 34 34 35 37 37 38

48

49

50 55 57


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Hasil Uji Skewness dan Kurtosis... 2 Histogram Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah... 3 Hasil Analisis Spesialisasi Daerah... 4 Kriteria Tenaga Kerja di Sumatera Utara...

64 65 66 73


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Dalam usaha percepatan pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah yang dapat menciptakan pemerataan pembangunan yang dirasakan oleh semua masyarakat, baik meningkatkan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan serta mampu mengurangi perbedaan kemampuan antar daerah ( Kuncoro, 2003).

Pada umumnya negara-negara berkembang berkeyakinan bahwa sektor industri mampu mengatasi masalah perekonomian, dengan asumsi bahwa sektor industri dapat memimpin sektor-sektor perekonomian lainnya menuju pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, di Indonesia sektor industri dipersiapkan agar mampu menjadi penggerak dan memimpin (the leading sector) terhadap perkembangan sektor perekonomian lainnya, selain akan mendorong perkembangan industri yang terkait dengannya (Saragih, 2004)

Klaster industri dapat menjadi suatu kerangka yang powerful dalam pembangunan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan industri dengan peningkatan daya saing wilayah, sejalan dengan itu menurut Tambunan (2001), bahwa fenomena klaster telah menarik perhatian para ekonom untuk terjun dalam studi masalah lokasi sehingga memunculkan paradigma baru serta disebut dengan geografi ekonomi baru (new economic geography atau geograhical economics).

Klaster industri mencakup hubungan ekonomi dan nonekonomi antar industri. Pendekatan klaster industri merupakan salah satu kebijakan yang


(12)

diterapkan pemerintah untuk dapat memajukan industri yang berusaha mengoptimalkan pembangunan melalui konsep keterkaitan dalam aktivitas ekonomi masing-masing dalam mencapai keunggulan kompetitifnya dalam cakupan wilayah regional atau fungsional ekonomi tertentu. Melalui pendekatan ini, diharapkan terjadi pola keterkaitan antar kegiatan baik dalam sektor industri maupun antar sektor industri dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi yang terkait dengan industri inti.

Pembangunan koridor ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh indonesia. Pada dasarnya industri merupakan suatu aktivitas ekonomi yang tidak terlepas dari kondisi konsentrasi geografis. Koridor ekonomi Sumatera berfokus pada tiga kegiatan ekonomi utama yaitu Kelapa Sawit, Karet dan Batubara. Sumatera Utara memiliki potensi sebagai penghasil karet yang cukup signifikan oleh karena itu dalam rancangan MP3I, Sumut salah satunya diklasifikasikan dalam klaster industri karet. Hal ini terbukti bahwa Sumatera menghasilkan sekitar 65 % dari produksi karet nasional, dimana Sumatera Utara memberikan kontribusi sebesar 16 % dari produksi karet nasional. Dalam produksi karet mentah dari perkebunan, Sumatera adalah produsen terbesar di Indonesia dan masih memiliki peluang dalam peningkatan produktivitas. Peningkatan produksi karet di Sumut seiring dengan pertambahan ekspor karet ke luar negeri yang pada tahun sebelumnya mengalami peningkatan.


(13)

Tabel 1.1

Perkembangan Ekspor Getah Karet Alam Provinsi Sumatera Utara Tahun Ekspor Karet

(Ton)

Ekspor Sumut (Ton)

Persentase 2007 685.925 7.841.872 8.75 % 2008 641.997 8.520.892 7.53 % 2009 567.639 8.058.927 7.04 % 2010 663.467 7.992.103 8.03 %

Sumber : Badan Pusat Statistik

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa ekspor karet di Sumatera Utara mengalami fluktuasi. Pada tahun 2007 senilai 685.925 Ton dan mengalami penurunan pada 2008 dan 2009. Peningkatan Ekspor pada tahun 2010 seiring dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian global, terutama mulai pulihnya sektor otomotif dunia. Salah satu pemicu dari peningkatan ini dikarenakan tidak adanya lagi pembatasan volume ekspor karet yang dilakukan oleh Internasional Tripartite Rubber Council (ITRC) yang beranggotakan tiga negara yaitu Thailand, Indonesia, Malaysia. Kebijakan membatasi volume ekspor oleh ITRC sebenarnya untuk mengontrol fluktuasi harga karet alam dunia yang sempat merosot tajam seiring dengan krisis global yang mulai merebak di AS pada tahun 2008. AS merupakan pasar ekspor karet alam diluar Jepang dan Cina.

Produksi Karet di Sumatera Utara tidak selamanya berjalan lancar, adanya penurunan produksi dapat disebabkan oleh kualitas bibit yang rendah, pemanfaatan lahan perkebunan yang tidak optimal, dan pemeliharaan tanaman yang buruk dan berdampak pada penurunan nilai tambah. Kualitas bibit yang rendah menjadi masalah utama untuk perkebunan koridor Sumatera termasuk


(14)

Sumatera Utara, ditunjukkan dengan rentang produktif tanaman karet yang kurang dari 30 Tahun. Maka perbaikan utama yang dapat dilakukan adalah penanaman kembali dengan bibit unggul berproduktivitas lebih tinggi dan pengaturan jarak yang optimal.

Tabel 1.2

Industri Karet Dan Barang Dari Karet Berdasarkan Nilai Tambah Dan Tenaga Kerja Di Sumatera Utara

Tahun Jumlah Perusahaan (unit) Jumlah Tenaga Kerja (orang)

Nilai Tambah (Rp) 2006 77 25.345 2.198.121.256 2007 75 23.282 2.482.026.608 2008 75 23.138 1.889.789.972 2009 77 23.965 2.802.897.681

Sumber : Badan Pusat Statistik

Tabel 1.2 Jumlah tenaga kerja tahun 2006 sebesar 25.345 pekerja dan mengalami penurun pada tahun 2007 sebesar 23.282 pekerja seiring dengan tahun 2008 sebesar 23.138 pekerja dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2009 sebesar 23.965 pekerja. Begitu juga halnya dengan nilai tambah pada tahun 2006 dan mengalami peningkatan pada tahun 2007, kemudian kembali menurun pada tahun 2008 sebesar 1.889.789.972. Penurunan nilai tambah pada tahun 2008 dikarenakan harga karet sintetik yang terbuat dari minyak bumi akan sangat berfluktuasi terhadap perubahan harga minyak dunia. Demikian juga harga karet alami yang tergantung pada harga minyak dunia karena karet alami dan karet sintetik merupakan barang yang saling melengkapi. Krisis Global yang terjadi


(15)

pada tahun 2008 membuat harga minyak dunia melambung tinggi sehingga terjadinya penurunan produktivitas yang berdampak pada nilai tambah.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah klaster industri karet mengelompok (mengklaster) di suatu lokasi? 2. Bagaimana konsentrasi klaster industri karet di Sumantera Utara ?

1.3 Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis lokasi klaster industri karet apakah mengelompok (mengklaster) di suatu daerah atau tidak

2. Menganalisis konsentrasi klaster industri karet di Sumantera Utara

1.4 Manfaat Penelitian

Permasalahan diatas menuntut untuk sebuah manfaat dari penelitian ini, yang mungkin manfaat ini dapat diperoleh, antara lain :

1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, terutama bagi mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman pada penulis tentang Klaster Industri khususnya industri karet di Sumatera Utara

3. Sebagai tambahan informasi dan referensi dalam melakukan penelitian dibidang ekonomi yang terkait dengan permasalahan yang sama.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Ekonomi

Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025 merupakan kelanjutan dan pembaharuan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan yang diamanatkan dalam dalam pembukaan UUD 1945.

Arah Pembangunan Jangka Panjang menuju Indonesia yang maju dan mandiri menuntut kemampuan ekonomi untuk tumbuh cukup tinggi, berkelanjutan, mampu meningkatkan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat secara luas, serta berdaya saing tinggi didukung oleh penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam mengembangkan sumber-sumber daya pembangunan. Pembangunan ekonomi dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapain sasaran-sasaran pokok sebagai berikut : (1) Terbentuknya struktur perekonomian yang kokoh dimana pertanian (dalam arti luas) dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang menghasilkan produk-produk secara efisien dan modern, industri manufaktur yang berdaya saing global menjadi motor penggerak perekonomian, dan jasa menjadi perekat ketahanan ekonomi, (2) Pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$ 6000 dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen, (3) Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan


(17)

dalam kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.

Perekonomian dikembangkan berorientasi dan berdaya saing global melalui transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam melimpah menjadi perekonomian yang berkeunggulan kompetitif dengan prinsip-pronsip dasar : mengelola secara berkelanjutan peningkatan produktivitas nasional melalui penguasaan, penyebaran, penerapan, dan penciptaan (inovasi) ilmu pengetahuan dan teknologi. mengelola secara berkelanjutan kelembagaan ekonomi yang melaksanakan praktik terbaik dan kepemerintahan yang baik. Daya saing global perekonomian ditingkatkan dengan mengembangkan klaster industri.

Struktur ekonomi diperkuat dengan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efesien, modern, berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif.

2.2 Pembangunan Industri

Pembangunan industri nasional sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden No 28 tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional adalah indonesia menjadi Negara Industri Tangguh tahun 2025 dengan visi tahun 2020 menjadi Negara Industri Maju Baru. Untuk menjadi Negara Maju Baru Indonesia harus memenuhi beberapa kriteria dasar yaitu (1) Memiliki peranan dan kontribusi tinggi bagi perekonomian Nasional, (2) IKM memiliki kemampuan yang seimbang dengan industri besar , (3) Memiliki struktur Industri yang kuat (Pohon


(18)

industri lengkap dan dalam), (4) Teknologi maju telah menjadi tombak pengembangan dan penciptaan pasar, (5) Telah memiliki jasa industri yang tangguh yang menjadi penunjang daya saing internasional industri, dan (6) Telah memiliki daya saing yang mampu menghadapai liberalisasi penuh dengan negara-negara APEC.

Upaya-upaya untuk mewujudkan target tersebut dapat dilakukan langkah yang terstruktur dan terukur dengan peta berupa strategic outcomes yang terdiri dari (1) Meningkatnya nilai tambah industri, (2) Meningkatnya penguasaan pasar dalam dan luar negeri, (3) Kokohnya faktor-faktor penunjang pengembangan industri, (4) Meningkatnya kemampuan inovasi dan peguasaan teknologi industri yang hemat energi dan ramah lingkungan, (5) Menguat dan lengkapnya Struktur industri, (6) Meningkatnya persebaran pembangunan industri, (7) Meningkatnya peran industri kecil dan menengah terhadap PDB.

Dalam rangka merealisasikan target-target tersebut Kementrian Perindustrian menetapkan dua pendekatan guna membangun daya saing industri nasional yang tersinergi dan terintegrasi antara pusat dan daerah yaitu pertama, melalui pendekatan top-down dengan pengembangan 35 klaster industri prioritas yang direncanakan pusat dan diikuti oleh partisipasi daerah yang dipilih berdasarkan daya saing internasional serta potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dan salah satu pengembangan klaster industri prioritas yaitu industri karet dan barang dari karet. Kedua, melalui pendekatan bottom-up dengan penetapan kompetensi inti industri daerah yang merupakan keunggulan daerah,


(19)

dimana pusat turut membangun pengembangannya, sehingga daerah memiliki daya saing.

2.3 Perkembangan Industri 2.3.1 Pengertian Industri

Industri merupakan suatu bentuk kegiatan masyarakat sebagai bagian dari sistem perekonomian atau sistem mata pencaharian dan merupakan suatu usaha manusia dalam menggabungkan atau mengolah bahan-bahan dari sumber daya lingkungan menjadi barang yang bermanfaat bagi manusia (Hendro, 2000:20-21).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan industri pengolahan (termasuk jasa industri) adalah suatu kegiatan pengubahan barang jadi/setengah jadi atau dari yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual. Perusahaan/usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) produksi yang terletak pada suatu tempat tertentu yang melakukan kegiatan untuk mengubah barang-barang (bahan baku) dengan mesin atau kimia atau dengan tangan menjadi produk baru, atau mengubah barang-barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dengan maksud untuk mendekatkan produk tersebut dengan konsumen akhir.

Industri sebagai suatu sistem terdiri dari unsur fisik dan unsur perilaku manusia. Unsur fisik yang mendukung proses produksi adalah komponen tempat meliputi kondisinya, peralatan, bahan mentah/baku dan sumber energi. Sedangkan unsur perilaku manusia meliputi komponen tenaga kerja, keterampilan, tradisi, transportasi dan komunikasi, keadaan pasar dan politik. Perpaduan antara unsur


(20)

fisik dan manusia tersebut akan mengakibatkan terjadinya aktivitas industri yang melibatkan berbagai faktor (Hendro, 2000: 21-22).

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pemerintah mengundang modal swasta asing dan dalam negeri untuk terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk kegiatan industri yang membutuhkan lahan yang luas (Parlindungan, 1992: 36; Saragih, 1993: 2).

2.3.2 Klasifikasi Industri

Industri secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Kristanto, 2004:156):

a) Industri dasar atau hulu

Industri hulu memiliki sifat: padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi maju dan teruji. Lokasinya selalu dipilih dekat dengan bahan baku yang mempunyai sumber energi sendiri, dan pada umumnya lokasi ini belum tersentuh pembangunan. Oleh karena itu industri hulu membutuhkan perencanaan yang matang, dan membutuhkan pengaturan tata ruang, rencana pemukiman, pengembangan kehidupan perekonomian, dan pencegahan kerusakan lingkungan. Karena pembangunan industri ini dapat mengakibatkan perubahan lingkungan, baik dari aspek sosial ekonomi dan budaya maupun pencemaran. Terjadi perubahan tatanan sosial, pola konsumsi, tingkah laku, sumber air, kemunduran kualitas udara, dan penyusutan sumber daya alam.


(21)

b) Industri hilir

Industri ini merupakan perpanjangan proses industri hulu. Pada umumnya industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, lokasinya selalu diusahakan dekat pasar, menggunakan teknologi madya dan teruji, dan padat karya.

c) Industri kecil

Industri kecil banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, memiliki peralatan sederhana. Walaupun hakekat produksinya sama dengan industri hilir, tetapi sistem pengolahannya lebih sederhana. Sistem tata letak pabrik maupun pengolahan limbah belum mendapat perhatian. Sifat industri ini padat karya. Selain pengelompokan di atas, industri juga diklasifikasikan secara konvensional, sebagai berikut (Kristanto, 2004: 156-157):

1. Industri primer, yaitu industri yang mengubah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi, misalnya pertanian dan pertambangan.

2. Industri sekunder, yaitu industri yang mengubah barang setengah jadi menjadi barang jadi.

3. Industri tersier, yaitu industri yang sebagian besar meliputi industri jasa dan perdagangan atau industri yang mengolah bahan industri sekunder.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan industri menjadi empat kategori berdasarkan jumlah tenaga kerja.

1. Industri besar : 100 orang lebih 2. Industri sedang : 20 – 99 org


(22)

3. Industri kecil : 5 – 19 org 4. Industri rumah tangga : < 5 org. 2.3.3 Penentuan Lokasi

Pada hakikatnya penentuan lokasi suatu industri tidak terlepas dari proses produksi maupun lokasi pasar yang akan dilayani perusahaan. Proses produksi mencakup penentuan jenis bahan baku dan faktor produksi lainnya maupun perbandingan dalam mempergunakannya. Jumlah bahan baku ditentukan oleh skala produksi yang ada pada dirinya. Banyaknya produksi dipengaruhi oleh luas pasar yang akan dilayani (Wibowo, 2004:85).

Dalam buku yang sama, Rudi Wibowo dan Soetriono menyebutkan bahwa unsur yang ikut menentukan pertimbangan lokasi suatu industri atau perusahaan adalah schedule permintaan (demand schedule) dan teknologi produksi. Pemenuhan schedule permintaan pasar mengharuskan wirausahawan untuk memproduksi dan menawarkan barang atau komoditas yang diminta pasar. Proses pemenuhan permintaan pasar dengan produksi tersebut menghendaki berbagai masukan sumber daya untuk memperlancar proses produksi, dimana masukan produksi tersebut dapat berbentuk bahan mentah, tenaga dan modal. Intensitas penggunaan bahan mentah, tenaga dan modal tersebut dalam proses produksi sangat ditentukan oleh masalah teknologi produksi. Beberapa variabel penting yang dianggap sebagai faktor yang ikut menentukan proses penentuan lokasi industri, antara lain: limpahan sumber daya, permintaan pasar, aglomerasi, kebijakan pemerintah dan wirausaha (Wibowo, 2004:112-129). Yang dimaksud dengan limpahan sumber daya yaitu tersediayanya sumber daya yang digunakan


(23)

sebagai faktor produksi, terdiri dari sumber daya lahan, sumber daya modal, sumber daya manusia, bahan baku dan sumber energi. Sedangkan permintaan pasar yang dimaksud adalah luas pasar suatu barang dan jasa yang ditentukan oleh tiga unsur, yaitu (1) jumlah penduduk, (2) pendapatan perkapita, dan (3) distribusi pendapatan. Penduduk yang relatif sedikit membuat pasar lekas jenuh. Daerah yang memiliki pendapatan tinggi merupakan pasar yang efektif. Bila distribusi yang merata terjadi bersamaan dengan pendapatan perkapita yang rendah maka kondisi demikian bukanlah pasar potensial untuk memasarkan barang dan jasa yang relatif mewah atau setengah mewah. Jika variabel biaya angkutan cenderung semakin rendah, maka industri akan semakin bebas dalam menentukan lokasinya. Keadaan ini mengakibatkan daerah perkotaan dengan pasarnya yang luas semakin menarik sebagai lokasi industri dan perusahaan. Pasar mempengaruhi lokasi melalui tiga unsur, yaitu (1) ciri pasar, (2) biaya distribusi, dan (3) harga yang terdapat di pasar bersangkutan.

Faktor lain yang menentukan penentuan lokasi industri adalah Aglomerasi, yaitu adanya kecenderungan dalam memilih lokasi industri mendekati atau berkelompok dengan industri-industri sejenis. Terkumpulnya berbagai jenis industri mengakibatkan timbulnya penghematan ekstern (eksternal economies), yang dalam hal ini merupakan penghematan aglomerasi. (Rudi Wibowo, 2004: 127). Malecki (dalam Mudrajat, 2002; 23) menyebutkan bahwa industri cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapatkan manfaat


(24)

akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Kota umumnya menawarkan berbagai kelebihan dalam bentuk produktifitas dan pendapatan yang lebih tinggi, yang menarik investasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding pedesaan. Kebijakan pemerintah terhadap industri khususnya yang menyangkut penyediaan lahan industri merupakan faktor penting dalam menentukan perkembangan industri. Kemudahan memperoleh tanah bagi penanam modal dijamin oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974 tentang Industrial Estate. Yang dimaksud dengan Industrial Estate adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengadaan dan pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha industri, yang merupakan lingkungan pabrik yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana umum yang diperlukan (Parlindungan, 1992: 36).

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai pengembangan dari peraturan penyediaan tanah untuk industri ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Dalam Keputusan Presiden tersebut, pemberian lokasi untuk kawasan industri diberikan petunjuk sebagai berikut: 1) Sejauh mungkin harus dihindarkan pengurangan areal tanah yang subur; 2) Sedapat mungkin dimanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif; 3) Dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya; 4) Diperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran / pencemaran bagi lingkungan (Parlindungan, 1992: 37).


(25)

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri

Studi empiris dari Chenery dan Syrquin menunjukkan bahwa perubahan struktur ekonomi yang meningkatkan peranan sektor industri dalam perekonomian tidak hanya sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita yang terjadi di suatu negara, tetapi juga berkaitan erat dengan peningkatan sumber daya manusia dan akumulasi kapital (Tambunan, 2001: 16).

Perubahan struktur ekonomi terjadi akibat perubahan dari sejumlah faktor yang menurut sumbernya dapat dibedakan antara faktor-faktor dari sisi permintaan agregat dan faktor-faktor dari sisi penawaran agregat, dan juga dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi dalam negeri. Dari sisi permintaan agregat, faktor yang sangat dominan adalah perubahan permintaan domestik yang disebabkan kombinasi antara pendapatan riil per kapita dan perubahan selera konsumen. Peningkatan pendapatan riil per kapita yang dibarengi dengan perubahan selera pembeli, selain memperbesar pasar bagi barang-barang yang ada atau memperluas segmentasi pasar yang ada, juga menciptakan pasar baru bagi barang-barang baru (non makanan). Perubahan ini menggairahkan pertumbuhan industri-industri baru di satu pihak, dan meningkatkan laju pertumbuhan output di industri-industri yang sudah ada.

Di sisi penawaran agregat, faktor-faktor penting diantaranya adalah pergeseran keunggulan komparatif, perubahan (perkembangan) teknologi, peningkatan pendidikan atau kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), penemuan


(26)

material-material baru untuk produksi, dan akumulasi barang modal (Tambunan, 2001: 16).

2.4 Konsep Aktivitas Industri

Aktivitas industri didefenisikan sebagai usaha pengubahan komoditi agar menjadi lebih bermanfaat dan selalu berorientasi pada suatu bentuk pengolahan. Aktivitas industri merupakan suatu kegiatan yang menggabungkan berbagai faktor produksi sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas industri adalah sistem produksi yang bekerja saling berkaitan. Terdapat tiga hal dalam setiap kegiatan industri yaitu pengumpulan bahan mentah, proses pembuatan, dan kemudian finishing. Oleh karena itu sebuah aktivitas industri akan bergantung pada faktor industri yang berkaitan satu sama lain dalam satu sistem produksi. Faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi antara lain berupa bahan mentah, tenaga kerja, modal, dan kemampuan manajerial ( Daljoeni,1998).

Aktivitas industri dapat memeberikan pengaruh terhadap unit ekonomi lainnya. Menurut Glasson dan Fujiani ( 2006 ). Terdapat tiga konsep dasar ekonomi dan pengembangan lingkungan geografisnya sebagai berikut :

1. Konsep Leading Industries

Konsep ini kutub pertumbuhannya yang didalamnya terdapat perusahaan propulsif yang mendominasi unit ekonomi lain, dapat berbentuk sebuah perusahaan polpusif saja atau dapat berupa kawasan industri. Lokasi industri tersebut secara geografis disebabkan oleh adanya sumber daya alam, sumber daya buatan seperti jaringan komunikasi, pelayanan


(27)

infrastuktur dan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara sektor industri dengan unit ekonomi lainnya.

2. Konsep Polarisasi

Konsep polarisasi menyatakan bahwa leading industries yang tumbuh cepat dan mengakibatkan adanya polarisasi unit ekonomi yang lain ke dalam kutub pertumbuhan yang menimbulkan keuntungan aglomerasi ekonomi yang akan memicu pemusatan aktivitas melalui aktivitas ekonomi dan aliran sumber daya.

3. Konsep Spread Effect

Konsep ini menyatakan bahwa ketika mencapai keadaan yang dinamik, maka kualitas propulsif suatu kutub pertumbuhan menyebar ke daerah sekitarnya.

2.5 Sentra Industri

Sentra merupakan unit usaha kecil kawasan yang memiliki ciri tertentu dimana di dalamnya terdapat kegiatan proses produksi dan merupakan area yang lebih khusus untuk suatu komoditi kegiatan ekonomi yang telah terbentuk secara alami yang ditunjang oleh sarana untuk berkembanganya produk atau jasa yang terdiri dari sekumpulan pengusaha makro, menegah dan kecil. Di area sentra tersebut terdapat kesatuan fungsional secara fisik : lahan, geografis, infrastruktur, kelembagaan dan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berkembanganya kegiatan ekonomi di bawah pengaruh pasar dari suatu produk yang mempunyai nilai jual dan daya saing tinggi ( Setiawan, 2004)


(28)

2.6 Struktur Industri

Struktur dalam konteks ekonomi adalah sifat permintaan dan penawaran barang dan jasa yang dipengaruhi oleh jenis barang yang dihasilkan, jumlah dan ukuran distribusi penjual ( perusahaan ) dalam industri, jumlah dan ukuran distribusi pembeli, differensiasi produk, mudah tidaknya masuk ke dalam negeri. Struktur industri merupakan cerminan dari struktur pasar suatu industri.

Struktur pasar merupakan elemen strategis yang relatif permanen dari lingkungan perusahaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan kinerja pasar ( Koch, 1997 ). Struktur pasar adalah bahasan penting untuk mengetahui perilaku dan kinerja industri. Struktur pasar menunjukkan atribut pasar yang mempengaruhi sifat persaingan. Struktur pasar biasa dinyatakan dalam ukuran distribusi perusahaan pesaing. Elemen struktur pasar adalah pangsa pasar (

market share ), konsentrasi ( concentration ), dan hambatan ( barrier ) ( Jaya, 2001 ).

Struktur industri merupakan bentuk atau tipe keseluruhan pasar industri. Adapun jenis-jenis industri utama struktur pasar adalah :

1. Pasar Monopoli

Pasar monopoli didefenisikan sebagai struktur pasar dimana penjual tunggal ( single firm producer ) memproduksi suatu komoditas yang tidak memiliki barang subtutusi yang dekat (Blair dan Kaserman, 1985 : 25). Menurut Hasibuan 1993:76-78 beberapa penyebab yang mendorong hadirnya struktur pasar monopoli, terutama dalam sektor pengolahan, adalah : (1) terjadinya merger, (2) skala ekonomi yang besar dan ditunjang


(29)

efisiensi, (3) efisiensi dan inovasi, (4) fasilitas pemerintah, (5) terjadi persaingan yang tidak sehat serta (6) perusahaan memperoleh hak-hak istimewa dalam mengelola input yang sukar dikelola dari perusahaan lain. 2. Pasar Oligopoli

Oligopoli adalah struktur pasar dimana hanya ada beberapa perusahaan yang menguasai pasar. Samuelson dan Nordhaus (2005) membagi pasar oligopoli menjadi dua tipe. Tipe pertama yaitu seorang oligopoli merupakan salah seorang dari beberapa penjual yang memproduksi barang identik sehingga bila terdapat perubahan harga sekecil apa pun maka akan dapat menyebabkan konsumen beralih pada produsen lainnya. Tipe kedua yaitu seorang oligopoli merupakan salah seorang dari beberapa penjual yang memproduksi barang dengan differensiasi produk. Oleh karena itu oligopoli merupakan persaingan antara beberapa penjual tapi persaingannya lebih tajam.

3. Pasar persaingan Monopolistik

Sebuah industri dikatakan memiliki struktur persaingan monopolistik jika memiliki syarat-syarat sebagai berikut ( Baye 2000,301) : (1) Adanya banyak penjual dan pembeli, (2) setiap perusahaan di industri menghasilkan produk yang terdifferensiasi, (3) adanya kebebasan untuk keluar masuk indusri.

4. Pasar persaingan sempurna

Pasar persaingan sempurna (perfect competition) merupakan pasar dimana terdapat banyak penjual dan pembeli untuk barang yang bersifat umum.


(30)

Karakteristik pasar persaingan sempurna menurut Permono, 1990; Baye, 2000:269; Blair dan Kaserman,1985:4-5 yaitu:

Produknya homogen, jumlah penjulan dan pembeli banyak, informasi sempurna, tidak adanya halangan yang signifikan untuk memasuki atau keluar pasar.

2.7 Kinerja Industri

Kinerja merupakan hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri dimana hasil biasa diidentikkan dengan besarnya penguasaan pasar atau besarnya keuntungan suatu perusahaan di dalam suatu industri. Hal – hal yang termasuk dalam kinerja yaitu efisiensi, pertumbuhan (termasuk perluasan pasar), kesempatan kerja, prestise profesional, kesejahteraan personalia, serta kebanggaan kelompok.

Dalam hal ini kinerja suatu industri dapat diamati melalui nilai tambah (value added), produktivitas dan efisiensi. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai input dengan nilai output. Nilai input terdiri dari biaya bahan baku, biaya bahan bakar, jasa industri, biaya sewa gedung, mesin dan alat-alat serta jasa industri. Semetara itu nilai output adalah nilai yang dihasilkan.

Produktivitas merupakan hasil yang dicapai pertenaga kerja atau unit faktor produksi dalam jangka waktu tertentu. Tingkat produkstivitas dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, alat produksi, dan keahlian yang dimiliki tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja merupakan perbandingan antara nilai output dengan tenaga kerja. Efisiensi adalah perbandingan seberapa besar kita dapat mengambil manfaat dari suatu variable untuk mendapatkan output


(31)

sebanyak-banyaknya. Untuk mengukur suatu efisiensi dapat menggunakan perbandingan nilai tambah dan nilai input.

2.8 Klaster Industri

Industri merupakan suatu aktivitas ekonomi yang tidak terlepas dari kondisi konsentrasi geografis. Klaster merupakan cerminan konsentrasi geografis suatu kelompok industri yang sama ( Kuncoro,2002). Klaster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan umumnya berspesialisasi hanya pada satu atau dua industri. Sedangakan Porter (1990) mendefenisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena kebersamaan

Menurut teori Marshall (1920), klaster industri muncul karena perusahaan yang ada dalam suatu industri menemukan segala keuntungan yang bisa mereka dapatkan bila mereka mengelompok di dalam suatu area geografis. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses klaster industri yaitu:

a. Adanya proses klaster membuat perusahaan yang ada dapat berspesialisasi lebih baik dari pada bila perusahaan-perusahaan tersebut terklaster. Peningkatan spesialisasi nantinya akan membawa ke peningkatan efisiensi produksi

b. Dapat memfasilitasi perusahaan untuk meningkatkan penelitian dan inovasi dalam sebuah industri

c. Proses klaster perusahaan-perusahaan sejenis akan mengurangi resiko bagi pihak perkerja maupun pihak pemberi pekerjaan.


(32)

Proses klaster identik dengan industri manufaktur baik IBM (Industri besar dan menengah) atau IKRT (Industri kecil dan rumah tangga). Klaster secara umum didefenisikan sebagai konsentrasi geografis subsektor-subsektor manufaktur yang sama. Dalam hal ini terbentuknya jaringan yang disebut sebagai industrial district. Usaha kecil dan rumah tangga sebagian besar mengelompok secara spasial. Kawasan menjadi fokus untuk bagaimana dan di mana industri-industri berlokasi dan mengelompok. Alfred Marshall merupakan ekonom pertama yang meneliti kecenderungan jenis industri tertetu untuk berlokasi di daerah-daerah tertentu di Inggris, Jerman, dan negara-negara lain ( Becattini, 1990; Belandi, 1989). Marshall (1999) mendefenisikan industrial district sebagai satu kluster produksi yang terspesialisasi secara geografis. Kluster tersebut mewakili daerah industri ‘tradisional’ dan Marshallian Industrial District yang umumnya ditemukan di daerah pedesaan dan company towns.

Klaster mampu mempengaruhi kompetisi global yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : (1) peningkatan produktivitas perusahaan-perusahaan dalam wilayah tertentu; (2) klaster mendorong arah dan langkah inovasi; (3) klaster menciptakan stimulus untuk penciptaan formasi bentuk bisnis baru yang pada gilirannya akan memperkuat kluster (Porter, 1998). Porter menekankan pentingnya peranan teknologi, strategi dan organisasi, dan geografi ekonomi dalam proses inovasi dan upaya menjaga keunggulan kompetitif perusahaan secara berkelanjutan ( Porter dan Sovell ,1998).

Porter menganalisis klaster industri dengan pendekatan diamond model. Adapun model dari diamond model tersebut terdiri dari : (1) Faktor input


(33)

(factor/input condition), (2) kondisi permintaan (demand condition), (3) industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), serta (4) strategi perusahaan dan pesaing (context for firm and strategy). Berikut penjelasan untuk masing-masing elemen :

a. Faktor input

Faktor input dalam analisis porter adalah variable-variable yang sudah ada dan dimiliki oleh suatu klaster industri seperti sumber daya manusia (human resource), modal (capital resource), infrastruktur fisik (physical infrastructure), infrastruktur informasi (information Structure), infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi (scientific and technological infrastructure), infrastruktur administrasi (administrative infrastructure) serta sumber daya alam. Semakin tinggi kualitas input, maka semakin besar peluang industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas. b. Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan menurut diamond model dikaitkan dengan

sophisticated and demanding local customer. Semakin maju suatu masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi keinginan pelanggan lokal yang tinggi. Namun dengan adanya globalisasi, kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga bersumber dari luar negeri.


(34)

c. Industri Pendukung dan Terkait

Adanya industri pendukung dan terkait akan meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam Clusters. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama dalam

transaction cost, sharing teknologi, informasi maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain industri pendukung dan terkait adalah akan terciptanya daya saing dan produtivitas yang meningkat.

d. Strategi Perusahaan dan Pesaing

Strategi perusahaan dan pesaing dalam diamond model juga penting karena kondisi ini akan memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Dengan adanya persaingan yang sehat, perusahaan akan selalu mencari strategi baru yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan efisiensi. Terkait dengan permintaan, Dong Sung Cho (2000) menyempurnakan Model Diamond Cluster dari Porter menjadi Double Diamond Concept, yang merupakan degeneralisasi dari Model Diamond Cluster terkait dengan permintaan, dimana permintaan dibagi menjadi permintaan domestic, permintaan internasional, dan permintaan global. Sementara itu, Dong-Sung Cho (2000) menambahkan faktor-faktor yang dapat menentukan daya saing khususnya untuk negara yang sedang berkembang. Selain Pemerintah (birokrat), juga diperlukan kemampuan dan kesinergian dari para pelakunya, yaitu usahawan/pengusaha, profesional, dan pekerja/buruh.


(35)

Gambar 2.1

Pemilihan Posisi dalam Konsep Generik Klaster Industri

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa para pelaku yang terlibat dalam suatu klaster industri dapat dikelompokkan menjadi industri inti (core industry), industri pemasok (supplier industry), industri pendukung (supporting industry), dan pengguna/pembali (user/buyer). Pengelompokkan posisi atau fungsi berdasarkan peran di atas, maka sebuah klaster industri dapat menjadi suatu kerangka yang

powerful dalam pembangunan ekonomi dan peningkatan daya saing wilayah. Hal ini dikarenakan klaster industri mencakup hubungan ekonomi dan hubungan non ekonomi antarindustri yang spesifik dan menyediakan seperangkat alat untuk membantu merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan ekonomi suatu wilayah, termasuk kebijakan pengembangan sektoral. Klaster industri dapat meningkatkan usaha-usaha kegiatan industri jangka pendek melalui identifikasi

Industri Terkait

Industri Pendukung

Pengguna Industri Inti

Industri Pemasok


(36)

kesenjangan industri dan pendefenisian daya saing yang spesifik. Klaster industri sangat bermanfaat dalam menentukan strategi-strategi jangka menengah untuk memelihara, menetapkan, dan menumbuhkan industri, kawasan serta dalam mengorganisasikan strategi-strategi jangka panjang untuk mempertahankan pertumbuhan industri dalam suatu wilayah.

Adapun manfaat dari klaster industri bagi suatu wilayah menurut Alkadri, 2004 diantaranya adalah :

• Memperkuat keterkaitan yang saling menguntungkan diantara para pelaku industri di dalam klaster industri di suatu wilayah maupun dengan para pelaku lain di wilayah lainnya, baik tingkat nasional maupun tingkat internasional

• Meningkatkan efisiensi (skala ekonomi), produkstivitas, dan nilai tambah yang akan diraih para pelaku dalam industri tersebut.

• Menghimpun berbagai sumberdaya secara kolektif, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya kapital, maupun sumber daya buatan.

• Dapat melakukan pemasaran bersama, berbagai informasi dan

memperbaiki perangkat lunak maupu perangkat keras yang dimiliki oleh para pelaku dalam di dalam klaster industri tersbut.

• Meningkatkan kapasitas inovasi, kompetensi, daya saing dan kesejahteraan sebuah wilayah yang memiliki klaster industri.

• Memfasilitasi penyesuain-penyesuian sistem administrasi di antara para pelaku di dalam klaster industri.


(37)

• Menyediakan seperangkat peralatan yang powerful untuk analisis, formulasi kebijakan, dan organisasi wilayah untuk meningkatkan efektivitas strategi-strastegi pengembangan industri.

• Membantu mengurangi kekhawatiran dalam bersaing karena adanya kerja

sama dan rasa saling percaya diantara para pelaku di dalam klaster industri.

• Mendatangkan pengakuan dan aliansi strategis di tingkat nasional maupun internasional.

2.9 Penelitian Terdahulu

Adapun hasil-hasil penelitian pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu dapat dijadikan dasar dan bahan pertimbangan dalam mengkaji penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Mudrajat Kuncoro tahun 2007, dengan judul penelitian Analisis Struktur, Kinerja, dan Klaster Industri Elektronika Indonesia. Variable yang digunakan yaitu jumlah tenaga kerja dan nilai tambah, Metodenya berupa GIS, Skala, Indeks Diversifikasi, dan Spesialisasi. Hasil penelitiannya adalah analisa GIS memperlihatkan betapa industri tenaga kerja dan distribusi nilai tambah industri elektronika untuk seluruh kabupaten atau kota di Indonesia memiliki kecondongan positif (positif skewness) dan tidak normal secara statistik, Daerah-daerah industri elektronika pada tahun 1999 ternyata memperlihatkan keanekaragaman berbeda, yang terlihat dari indeks HHI. Daerah Jabotabek merupakan daerah yang memiliki rata-rata nilai HHI kecil (0,24) kemudian dilanjutkan oleh daerah Batam (0,27). Rata-rata HHI ynag kecil di Jabotabek menyatakan bahwa daerah tersebut merupakan daerah industri elektronika paling


(38)

beragam di pulau Jawa. Pada tahun 1990, Pada tingkat industri tahun 1999 daerah Bandung memiliki rata-rata nilai spesialisasi di atas satu, namun hanya memiliki keunggulan komparatif pada subsektor industri alat komunikasi dan subsektor industri komponen.

Peneliti yang dilakukan oleh Thitu Laksono Handito tahun 2011 dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keuntungan Usaha pada Klaster Industri Pengolahan Kopi di Temanggung. Variable yang digunakan yaitu modal usaha, pengalaman usaha, tenaga kerja, tingkat pendidikan, kemitraan usaha, teknologi, dan jangkauan pemasaran. Metode penelitiannya yaitu analisis regresi linier berganda, Analisis Uji Beda Dua Mean. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel modal usaha, pengalaman usaha, teknologi, dan jangkauan pemasaran secara bersama-sama mempengaruhi keuntungan usaha pada tingkat signifikansi 10 persen. Variabel modal usaha, pengalaman usaha, teknologi, dan jangkauan pemasaran berpengaruh positif terhadap keuntungan usaha, namun variabel tenaga kerja, pendidikan, dan kemitraan usaha tidak berpengaruh terhadap keuntungan usaha. Terdapat perbedaan produksi, biaya, dan keuntungan usaha antara pengusaha dengan jangkauan pemasaran domestik dan pengusaha dengan jangkauan pemasaran ekspor. Pengusaha dengan jangkauan pemasaran ekspor lebih besar dalam jumlah produksi, biaya, dan keuntungan usaha dari pada pengusaha dengan jangkauan pemasaran domestik.

Penelitian yang dilakukan oleh Rika Choirunnisa tahun 2012 dengan judul penelitian yaitu Analisis Pola Klaster dan Orientasi Pasar (Sentra Industri Kerajinan Logam Desa Tumang Kecamatan Cepogo). Variable yang digunakan


(39)

adalah tenaga kerja, pelatihan usaha, umur perusahaan, teknologi peralatan, jaringan pembeli, jaringan pemasok, keaktifan. Metode yang digunakan yaitu analisis klaster dan analisis regresi logistik. Hasil penelitiannya adalah Pola klaster pada sentra industri kerajinan logam di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali mengikuti pola klaster Marshalli dan Hub dan Spoke dan hasil analisis model binary logistic regression dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dari tujuh variabel independen, terdapat empat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap orientasi pasar ekspor yaitu variabel tenaga kerja, umur, jaringan pembeli terbesar, keaktifan berpromosi. Sedangkan variable pelatihan, teknologi, peralatan, tidak berpengaruh terhadapa orientasi pasar ekspor.


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian tentang klaster industri karet di 25 kabupaten atau kota Sumatera Utara dengan melihat apakah klaster industri karet tersebar atau mengelompok dan melihat konsentrasi industri di suatu klaster industri serta mengukur variasi aktivitas antarklaster. Data yang digunakan dari tahun 2003-2009.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dari penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif, yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan pembahasan yang diteliti dalam bentuk data atau angka yang kemudian di analisa dan di interpretasikan dalam bentuk uraian.

3.3 Jenis Dan Sumber Data

Jenis data bersifat kuantitatif yang berbentuk angka-angka. Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, dimana data sekunder adalah data yang diperoleh langsung dari publikasi resmi yaitu dapat berasal dari BPS ( Badan Pusat Statistik ) cabang medan ataupun dalam bentuk buku, jurnal atau website yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Berdasarkan kurun waktunya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan kurun waktu dari tahun 2003 sampai 2009.


(41)

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini menggunakan metode kepustakaan yaitu penelitian yang dilakuan dengan bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, dan laporan-laporan penelitian ilmiah yang ada hubunganya dengan topik yang diteliti.

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan melakukan pencatatan langsung berupa data times series dalam kurun waktu selama 11 tahun.

3.5 Pengolahan Data

Dalam pengolahan data penulis menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 dan program SPSS 16 untuk menghitung dan mengolah data dalam penelitian ini.

3.6 Metode Analisis

A. Untuk menjawab permasalahan apakah industri karet mengelompok (mengklaster) di suatu lokasi, maka metode analisis yang digunakan adalah GIS

(Geographic Information System) dan Distribusi data Skewness dan Kurtosis. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

3.6.1 GIS ( Geographic Information System )

Dalam menganalisis sebaran geografis dan klaster (pengelompokkan) industri karet di Sumatera Utara metode yang digunkaan adalah GIS. GIS bertujuan untuk mengidentifikasikan lokasi industri dan mengidentifikasi di daerah mana mereka cenderung mengelompok (Kuncoro,2001b). GIS menstransformasikan data menjadi informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisis fokus, dan menyajikan output untuk


(42)

mendukung pengambilan keputusan. GIS adalah suatu tipe informasi yang fokus pada penyajian dan analisis realitas geografis. Karakteristik pokok GIS menurut Marthin (1996) sebagai berikut :

a) Geografis, berhubungan dengan pengukuran skala geografi dan direferensikan oleh beberapa koordinat sistem pada lokasi di atas permukaan bumi.

b) Informasi, mencakup pengambilan informasi yang spesifik dan bermakna dari sejumlah data yang beragam, dan ini hanya mungkin karena data telah diorganisasikan dalam suatu model dunia nyata.

c) Sistem, lingkungan yang memungkinkan data dikelola dan pertanyaan ditempatkan.

GIS digunakan untuk mengidentifikasikan pola konsentrasi industri karet secara spasial. Dalam hal ini ada 25 kabupaten dan kota di Sumatera Utara yang sudah termasuk daerah pemekaran dengan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri karet. Data dari jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri karet berbentuk peta guna menunjukkan lokasi daerah industri dan non industri. Kemudian menetapkan kriteria tinggi, sedang dan rendah berdasarkan tenaga kerja dan nilai tambah pada industri karet guna membedakan kabupaten atau kota yang mempunyai industri karet atau tidak. Adapun kriteria tinggi sedang dan rendah sebagai berikut :

• Kriteria tinggi untuk tenaga kerja sebesar lebih dari 6.000 pekerja, krietria sedang berkisar antara 1.000-6.000 pekerja dan untuk kriteria rendah lebih kecil dari 1.000 pekerja.


(43)

• Kriteria tinggi untuk nilai tambah lebih dari Rp 100 Miliar, kriteria sedang berkisar antara Rp 15 Miliar sampai Rp 100 Miliar dan kriteria rendah jika lebih kecil dari Rp 15 Miliar.

3.6.2 Distribusi Data

Pada dasarnya ada dua pembahasan yang berkaitan dengan bentuk suatu distribusi data yaitu kemencengan (skewness) dan keruncingan (kurtosis). Adapun penjelasannya yaitu :

1. Kemencengan

Pada aspek ini distribusi akan diuji apakah menceng ke kiri atau, normal (tidak menceng) atau menceng ke kanan. Suatu distribusi yang tidak simetris (normal) mungkin berat ke sebelah kanan (ujung sebelah kiri lebih panjang dari ujung sebelah kanan) yang dinamakan skewness negatif, atau dapat pula berat ke sebelah kiri (ujung sebelah kanan lebih panjang dari ujung sebelah kiri) yang disebut skewness positif. Penentuan apakah simetris atau tidak simetris dari sebuah distribusi ialah letak dari nilai mean, media, mode.


(44)

• Distribusi Normal

Gambar 3.1 Bentuk distribusi normal • Distribusi menceng ke kanan (right skewed)

Gambar 3.2


(45)

• Distribusi menceng ke kiri

Gambar 3.3

Bentuk Distribusi yang Left skewed

Adapun rumus untuk koefisien kemencengan (

α

3

α

) yaitu :

3

Dimana :

=

3

2

α

3

M

=

Koefisien kemencengan momen

3

S = standar deviasi data = momen kemencengan

Sedangkan momen kemencengan (M3) yaitu

M

3

=

(

[�−1][�−2]

)

(

[

�� −

]

�=1 P

3

Dimana :

)

X = rata-rata hitung

xi

n = jumlah data

= data yang ke i (data ke 1, 2 dan seterusnya)

Ketentuan :

• Jika data berdistribusi normal atau distribusi simetris sekitar rata

ratanya, maka M3 adalah 0 atau mendekati 0, sehingga

α

3

• Jika

α

pun adalah 0.


(46)

• Jika

α

3

2. Kurtosis

> 2 maka dikatakan data menceng secara berarti ( sangat menceng)

Jika kemencengan menunjukkan perubahan distribusi secara horizontal (menceng ke kiri atau ke kanan), maka keruncingan (kurtosis) distribusi menunujukkan perubahan distribusi secara vertikal (cenderung runcing ke atas atau gemuk ke bawah). Kurtosis dalam bentuk normal adalah distribusi berbentuk mesokurtik, jika bentuk distribusi terlalu runcing ke atas (Leptokurtik), dan sangat landai (Platikurtik) maka data tersebut tidak bisa dikatakan berdistribusi normal. Adapun ketiga ukuran keruncingan yaitu :

• Mesokurtik

Mesokurtik adalah distribusi frekuensi dengan kurva normal artinya tidak runcing ke atas atau gemuk ke bawah.

Gambar 3.4 Mesokurtik • Leptokurtik

Leptokurtik adalah distribusi frekuensi dengan kurva yang agak sempit pada bagian puncaknya atau mendekati runcing yang menunjukkan


(47)

frekuensi tertumpuk pada daerah sekitar nilai mean atau menunjukkan hanya sedikit frekuensi yang tersebar lebih jauh dari nilai tedensi pusat.

• Platikurtik

Platikurtik adalah distribusi frekuensi dengan kurva yang agak mendatar (tumpul) pada bagian puncaknya yang menunjukkan adanya frekuensi agak tersebar merata pada seluruh kelas, kecuali pada beberapa kelas dari bagian pertama dan terakhir.

Gambar 3.6 Paltikurtik

Adapun rumus untuk untuk koefisien momen dari kutosis yaitu :

α

4

=

44

- 3


(48)

Dimana :

α

4

m = momen kemencengan data

=

koefisien momen dari kurtosis s = Standar deviasi data

Ketentuan :

α

4

α

4

=

Berdistribusi normal jika nilainya nol adalah mesokurtik

α

4

=

Bernilai negatif maka bentuk distribusi platikurtik

B. Untuk menjawab permasalahan konsentrasi klaster industri karet di Sumatera Utara, maka metode analisis yang digunakan adalah indeks spesialisasi daerah. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

=

Bernilai positif maka bentuk distribusi leptokurtik.

3.6.3 Spesialisasi daerah

Spesialisasi digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri di suatu kluster industri. Metode yang dirintis oleh Glaeser, et al. (1992) menggunakan indeks spesialisasi yang menunjukkan seberapa jauh spesialisasi industri dalam suatu klaster dibandingkan apabila industri yang tersebar secara random di seluruh Indonesia.

Studi menggunakan indeks spesialisasi yang dihitung dengan cara sebagai berikut (Kuncoro,2002 ; Hayter 1997) :

S

irt

Dimana :

=

��

��� Sir E

= rasio indeks spesialisasi suatu industri

irt

E

= tenaga kerja di industri i dibagi total tenaga kerja di region (area) tersebut

it = tenaga kerja di industri i untuk seluruh region (area) di Indonesia dibagi


(49)

Adapaun ketentuannya yaitu :

• Jika nilai Sirt kurang dari 1, maka berarti region tidak spesialisasi dalam

industri tersebut, dimana pangsa tenaga kerjanya lebih rendah dari rata-rata pangsa tenaga kerja dalam industri di Sumatera Utara Jika terjadi peningkatan nilai Sirt

• Jika nila S

untuk industri di suatu region maka akan terjadi peningkatan spesialisasi di region tersebut yang pada akhirnya akan mempercepat pertumbuhan industri di region tersebut.

irt

3.7 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

lebih dari 1, maka region berspesialisasi dalam industri tersebut, dimana pangsa tenaga kerjanya lebih tinggi dari rata-rata pangsa tenaga kerja dalam industri di Sumatera Utara.

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. (Suharsimi, 2002).

Variabel dalam penelitian ini adalah Klaster Industri dengan indikator tenaga kerja, nilai tambah dan PDRB. Defenisi variable penelitian ini adalah :

a) Klaster industri merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan umumnya berspesialisasi hanya pada satu atau dua industri (Kuncoro , 2002 : Bab 7).

b) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah sebagai jumlah nilai tambah yang di hasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang di hasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah (BPS).


(50)

c) Tenaga kerja adalah Tenaga kerja adalah penduduk yamg berumur di dalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda antara negara satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia adalah minimum 15 tahun, tanpa batas umur maksimum. Tenaga kerja

(manpower) dibagi pula ke dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja

(laborforce) dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia yang bekerja, atau yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan. Selanjutnya, angkatan kerja dibedakan pula menjadi dua subsektor yaitu kelompok pekerja dan penganggur. Yang dimaksud pekerja adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang-orang yang mempunyai pekerjaan, dan memang sedang bekerja, serta orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja. Adapun yang dimaksud penganggur adalah orang yang tidak mempinyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan masih mencari pekerjaan (Dumairy, 1996).


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara 4.1.1 Kondisi Geografis

Provinsi Sumatera Utara berada pada bagian barat Indonesia terletak pada garis 10- 40 lintang utara dan 980 – 1000

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah71.680,68 km

bujur timur. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Aceh, sebelah timur berbatasan dengan negara Malaysia di Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan disebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

2

, sebagian besar berada dalam daratan pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias, Pulau-pulau Batu, serta beberapa Pulau kecil, baik dibagian barat maupun dibagian timur pantai Pulau Sumatera. Berdasarkan luas daerah menurut kabupaten/kota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar Kabupaten Mandailing Natal dengan luas sebesar 6.620,70 km2 atau sekitar 9,24 % dari total luas Sumatera Utara diikuti Kabupaten Langkat dengan luas 6.263,29 km2 atau 8,74% kemudian Kabupaten Simalungun dengan luas 4.386,20 km2 atau sekitar 6,09 %. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas 10,77 km2 atau sekitar 0,02 % dari total luas wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan kondisi letak dan dan kondisi alam, Sumatera Utara dibagi dalam 3 kelompok wilayah/kawasan yaitu Pantai Barat, Dataran Tinggi, dan Pantai Timur. Kawasan Pantai Barat meliputi Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang


(52)

Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Nias Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kota Sibolga, Kota Gunung Sitoli. Kawasan Dataran Tinggi meliputi Tapanuli Utara, Kabupaten Toba samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Humbang Hasudutan, Kabupaten Pakpak Barat, Kabupaten Samosir, dan Kota Pematang Siantar. Kawasan Pantai Timur meliputi Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Kabupaten Asahan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Serdang Berdagai, Kota Tanjung Balai, Kota Tebing Tinggi, Kota Medan dan Kota Binjai.

4.1.2 Keadaan Iklim

Menurut badan Pusat Statistik Provinsi terletak dekat garis Khatulistiwa, Provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis. Ketinggian permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar, hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai 34,20 C, sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang melandai, beriklim sedang, dan sebagian kecil berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 200

Sama seperti Provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba.


(53)

4.1.3 Kependudukan

Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara merupakan Provinsi keempat yang terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa tengah. Menurut pencacahan lengkap sensus penduduk (SP) tahun 1990 penduduk Sumatera Utara keadaan tanggal 31 Oktober 1990berjumlah 10,26 juta jiwa. Pada bulan april 2003 dilakukan pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4B). Dari hasil pendaftaran tersebut diperoleh jumlah penduduk sebesar 11.980.399 jiwa. Selanjutnya hasil sensus pendudu pada bulan mei 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara 12.982.204 jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km2

Penduduk di Sumatera Utara tahun 2010 masih banyak yang tinggal di daerah pedesaan dari pada perkotaan. Jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan adalah 6,60 juta jiwa atau 50,84 persen dan yang tinggal di daerah perkotaan sebesar 6,38 juta jiwa 49,16 persen. Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara tahun 1999 meningkat menjadi 16,74 persen dari total penduduk Sumatera Utara sebanyak 1,97 juta jiwa. Selanjutnya pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin Sumatera Utara menjadi 1,49 juta jiwa atau 11,31 jiwa.

. Laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun dan pada tahun 2000-2010 adalah 1,22 persen.

4.1.4 Perekonomian

Badan Pusat Statistik ( BPS ) mencatat pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada semester I-2012, yang digambarkan oleh Produk Domestik Bruto


(54)

(PDRB) atas harga berlaku meningkat sebesar 6,3 persen dengan nilai mencapai Rp 170.961 Triliun.

Peningkatan tersebut terjadi pada semua sektor ekonomi, di mana sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan menjadi sektor dengan pertumbuhan tertinggi dengan capaian 12,67 persen. Sedangkan sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh 9,65 persen. Sektor perdagangan hotel dan restoran tumbuh 8,52 persen, sektor bangunan tumbuh 8,03 persen, sektor jasa-jasa tumbuh 7,55 persen, sektor pertambangan dan penggalian tumbuh 6,25 persen, sektor pertanian tumbuh 3,36 persen, sektor listrik, gas, dan air bersih tumbuh 3,05 persen, dan sektor industri pengolahan tumbuh 2,68 persen serta jasa-jasa lainnya tumbuh 7,55 persen.

Sektor industri pengolahan memang tumbuh paling lambat namun sampai dengan semester I-2012 sektor ini menjadi sektor dengan kontribusi terbesar terhadap PDRB Sumatera Utara yaitu sekira 22,15 persen, diikuti oleh sektor pertanian sebesar 22,12 persen. Sektor listrik, gas dan air bersih memberi kontribusi terendah terhadap perekonomian yaitu sebesar 0,91 persen.

4.1.5 Ketenagakerjaan

Menurut Badan Pusat Statistik Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sumatera Utara setiap tahunnya tampak meningkat. Pada tahun 2000, TPAK di Sumatera Utara sebesar 57,34 persen, tahun 2008 naik menjadi 68,33 persen kemudian pada tahun 2009 dan 2010 kembali naik masing-masing menjadi 69,15 persen dan 77,10 persen.


(55)

Angkatan kerja di Sumatera Utara sebagian besar masih berpendidikan SD ke bawah. Persentase angkatan kerja golongan ini mencapai 3,31 persen, angkatan kerja yang berpendidikan setingkat SLTP dan SLTA masing-masing sekitar 24,13 persen dan 32,6 persen dan 32,6 persen sedangkan di atas SLTA hanya 7,32 persen. Dengan masih rendahnya pendidikan angkatan kerja memungkinkan produktivitas juga masih belum optimal.

Hampir sepertiga 28,43 persen penduduk yang bekerja di Sumatera Utara adalah buruh atau karyawan. Penduduk yang berusaha sendiri sekitar 20,24 persen sedangkan penduduk yang bekerja pada sebagai pekerja keluarga mencapai 20,63 persen . Hanya 3,05 persen penduduk Sumatera Utara yang menjadi pengusaha yang memperkerjakan buruh tetap/bukan anggota keluarganya. Sektor lain yang cukup besar peranannya dalam menyerap tenaga kerja adalah sektor jasa-jasa, baik jasa perorangan, jasa perusahsan dan jasa pemerintahan yaitu sebesar 14,45 persen,sementara penduduk yang bekerja di sektor industri hanya sekitar 7,43 persen. Selebihnya bekerja di sektor penggalian dan pertambangan, sektor listrik, gas dan air minum, sektor bangunan, sektor angkutan dan komunikasi dan sektor keuangan.


(56)

4.2 Pembahasan

Dalam pembahasan ini yang dilakukan adalah melihat peta dari GIS yang menggambarkan lokasi industri karet di Sumatera Utara. Klaster Industri digunakan dengan perhitungan nilai Skewness dan Kurtosis berdasarkan tenaga kerja dan nilai tambah untuk melihat apakah klaster industri karet cenderung mengelompok di suatu lokasi serta menguji konsentrasi daerah dengan perhitungan indeks spesialisasi daerah.

4.2.1 Industri Karet Provinsi Sumatera Utara dengan GIS (Geographic Information System)

Peta digunakan untuk mengidentifikasikan lokasi industri karet dan nonindustri berdasarkan konsentrasi geografis. Pada gambar di bawah terlihat bahwa semakin bertambahnya industri karet di Sumatera Utara. Pada Tahun 2003 industri karet berjumlah 10 Kabupaten/Kota yang terdiri dari Asahan, Deli Serdang, Labuhan Batu, Langkat, Simalungun, Tapanuli Selatan, Binjai, Medan, Pematang Siantar, dan Tebing Tinggi. Sedangkan pada tahun 2006 terdapat 11 Kabupaten/Kota yang terdiri dari Asahan, Deli Serdang, Labuhan Batu, Langkat, Serdang Berdagai, Simalungun, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Medan, Padang Sidempuan, Tebing Tinggi dan pada Tahun 2009 terdapat 13 Kabupaten/Kota yang terdiri dari Asahan, Batubara, Deli Serdang, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Langkat, Serdang Berdagai, Simalungun, Binjai, Medan, Padang Sidempuan, dan Tebing Tinggi.


(57)

Gambar 4.1

Peta Sumatera Utara Berbasis Industri Karet dan Non Industri Karet Tahun 2003


(58)

Gambar 4.2

Peta Sumatera Utara Berbasis Industri Karet Dan Non Industri karet Tahun 2006


(59)

Gambar 4.3

Peta Sumatera Utara Berbasis Industri Karet Dan Non Industri Karet Tahun 2009

4.2.2 Hasil Distribusi Data Berdasarkan Nilai Skewness Dan Kurtosis Kepadatan Industri dengan penetapan kriteria tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah bertujuan untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya pengelompokan di suatu lokasi. Ciri utama daerah industri karet adalah daerah yang memiliki tingkat kepadatan industri yang tinggi baik dalam jumlah tenaga kerja dan nilai tambah.


(60)

Tabel 4.1

Kriteria Tenaga Kerja Industri Karet

Kabupaten Kriteria Tenaga Kerja

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Labuhan Batu - - - Sedang - - -

Asahan Rendah Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah

Simalungun Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Sedang

Deli Serdang Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang

Langkat Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah

Serdang

Berdagai - - Rendah Rendah Sedang Sedang Sedang

Batu Bara - - - - Rendah Sedang Rendah

Tapanuli Selatan Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah - -

Labuhan Batu

Selatan - - - Rendah

Labuhan Batu

Utara - - - Sedang

Tebing Tinggi Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah

Medan Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang

Binjai Rendah Rendah - - Rendah Rendah Rendah

Padang

Sidempuan - Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah

Pematang

Siantar Rendah Rendah Rendah - - - - Labuhan Batu Sedang Sedang Sedang - Sedang Sedang Rendah Tapanuli

Tengah - Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah - Mandailing

Natal - - - Rendah -

Sumber : Data Olahan Peneliti, Tahun 2012

Pada Tabel 4.1 menjelaskan bahwa Kriteria tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan tenaga kerja dan nilai tambah tahun 2003 di Provinsi Sumatera Utara tidak ada yang tergolong tinggi namun yang bernilai sedang berdasarkan tenaga kerja adalah Kabupaten Deli Serdang (3.981), Simalungun (2.243), Labuhan Batu (1.195), Tapanuli Selatan (1.242) dan nilai tambah untuk semua Kabupaten bernilai rendah. Tahun 2004 berdasarkan tenaga kerja yang tergolong tinggi yaitu Kabupaten Deli Serdang (9.365) dan Asahan (6.335), untuk nilai sedang terdapat


(61)

di Kota Medan (5.690) Tebing Tinggi (1.199), Kabupaten Labuhan Batu (3.539), dan Kabupaten Langkat (1.448) sedangkan berdasarkan nilai tambah semua kabupaten termasuk golongan rendah. Kemudian pada Tahun 2005 dan Tahun 2006 hanya Kabupaten Deli Serdang yang termasuk golongan Tinggi berdasarkan tenaga kerja, Kota Medan dan Tebing Tinggi, Kabupaten Labuhan Batu, dan Kabupaten Langkat, Kabupaten Asahan termasuk kriteria sedang. Pada Tahun 2007 Kabupaten berkriteria tinggi berdasarkan tenaga kerja adalah Kabupaten Deli serdang (7.935) dan yang berkriteria sedang adalah Kabupaten Labuhan Batu

(2.560), Serdang Berdagai (1.126), Simalungun (1.026), Langkat (1.021), Kota

Tebing Tinggi (1.151), Kota Medan (5.838). Pada tahun 2008 Kabupaten Deli Serdang (6.812) dan Kota Medan (7.133) tergolong berkriteria tinggi untuk tenaga kerja, sedangkan Kabupaen Labuhan Batu (,2.509) Simalungun (1.122), Serdang berdagai (1.527), Kota Tebing Tinggi (1.108), Kabupaten Langkat (1.092), dan Kabupaten Batu Bara (2.161). Pada Tahun 2009 mengalami penurunan dalam hal tenaga kerja ditandai dengan semua Kabupaten di Sumatera utara hanya bergolongan rendah dan sedang. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan untuk mengelompok di suatu lokasi karena sebagian daerah memiliki kepadatan industri tinggi berdasarkan tenaga kerja dan kebanyakan daerah lainnya memiliki kepadatan industri yang rendah.

Kriteria untuk nilai tambah tergolong rendah setiap tahunnya karena kurang dari 15 Milyah Rupiah di Kabupaten/Kota Sumatera Utara. Walaupun nilai tambah tidak memenuhi kriteria tinggi akan tetapi adanya perbedaan setiap daerah yang cukup besar. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan untuk


(62)

mengelompok karena bebarapa daerah memliki nilai tambah yang besar sedangkan kebanyakan daerah lainnya memiliki nilai tambah yang kecil.

Tabel 4.2

Nilai Skewness dan Kurtosis Indusrtri Karet di Sumatera Utara Tahun Tenaga Kerja Nilai Tambah

Skewness Kurtosis Skewness Kurtosis 2003 1,738 1,877 2,691 7,785

2004 2,216 1,027 3,154 10,412

2005 2,056 2,666 2,164 2,531

2006 2,193 1,977 -0,124 -1,565

2007 2,029 3,471 0.921 -0,784

2008 2,124 2,103 3,354 11,685

2009 1,604 1,603 2,044 1,407 Sumber : Data Olahan Peneliti, 2012

Distribusi berdasarkan nilai tambah dan tenaga kerja dikatakan normal jika nilai skewness berada diantara -2 dan 2 dan kurtosis bernilai positif dan negatif kecuali mendekati nol. Pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa distribusi tenaga kerja tahun 2003 adalah normal karena memiliki nilai skewness sebesar 1,738 yang berada diantara -2 dan 2 dan kurtosis sebesar 1,877 berdistribusi positif. Pada tahun 2004 tenaga kerja berdistribusi tidak normal dengan nilai skewness sebesar 2,216 dan kurtosis sebesar 2,305. Dan pada tahun 2005 tenaga kerja berdistribusi tidak normal karena nilai skewness dan kurtosisnya lebih besar dari dua begitu juga halnya dengan tahun 2006, 2007 dan 2008. Dan pada tahun 2009 nilai skewness sebesar 1,604 dan kurtosis sebesar 1,603 yang menunjukkan tenaga kerja berdistribusi normal.


(63)

(64)

Gambar 4.4

Histogram Tenaga Kerja

Gambar histogram pada gambar 4.4 memperlihatkan distribusi tenaga kerja yang tidak normal dan mempunyai kecondongan positif. Artinya ada beberapa daerah yang mempunyai tingkat kepadatan industri karet yang tinggi terlihat dari jumlah tenaga kerja yang dihasilkan. Di lain pihak kebanyakan kabupaten/kota mempunyai tingkat kepadatan yang rendah. Hal ini mengindikasikan adanya klaster industri karet di Sumatera Utara. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2004, 2005, 2007 dan 2008 adanya kemungkinan untuk mengelompok di suatu lokasi dengan kepadatan industri di daerah Asahan dan Deli Serdang. Sedangkan pada Tahun 2003 dan 2009 tidak adanya kemungkinan untuk mengklaster karena kebanyakan daerah memiliki kepatadatan industri yang rendah.

Distribusi data berdasarkan nilai tambah pada tahun 2003 dengan nilai skewness sebesar 2,691 yang lebih dari dua dan kurtosis sebesar 7,785


(65)

berdistribusi positif yang menunjukkan adanya kemungkinan untuk mengelompok. Sama halnya dengan tahun 2004 dengan nilai skewness sebesar 3,154 dan kurtosis sebesar 10,412 dan pada tahun 2004 nilai skewness sebesar 1,564 dan kurtosis sebesar 2,531. Pada Tahun 2005, 2008 dan 2009 nilai skewness lebih besar dari dua dan nilai kurtosis berdistribusi positif. Sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 nilai skewness lebih kecil dari 2 dan nilai kurtosis berdistribusi negatif maka dari itu dapat disimpulkan bahwa tahun 2006 dan 2007 tidak terjadinya pengelompokan di suatu lokasi. Adapun histogram dari nilai tambah yaitu :


(66)

Gambar 4.5 Histogram Nilai Tambah

4.2.3 Konsentrasi Klaster Industri Karet Provinsi Sumatera Utara

Dalam hal spesialisasi di industri karet yang terlihat dari tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 daerah Kabupaten Tapanuli selatan, Labuhan Batu, Simalungun, dan Deli serdang menujukkan keunggulan komparatif dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini mengindikasikan oleh nilai indeks


(67)

tersebut menikmati pangsa tenaga kerja yang besar di Sumatera Utara. Sedangkan nilai indeks spesialisasi Kabupaten Asahan, Langkat, Pematang Siantar, Kota Medan, Tebing Tinggi, dan Binjai kurang dari satu artinya industri karet di daerah tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Pada tahun 2004 mengalami peningkatan ditandai dengan bertambahnya nilai indeks spesialisasi lebih dari satu berada di Kabupaten Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang, Kota Padang Sidempuan, Kota Tebing Tinggi dan Medan yang artinya memiliki keunggulan komparatif dibandingkan daerah lainnya yang memiliki indeks spesialisasi kurang dari satu yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Simalungun, Langkat, Kota Pematang Siantar, Kota Binjai. Pada tahun 2005 sampai tahun 2007daerah yang memiliki keunggulan komparatif adalah Kabupaten Labuhan Batu, Deli Serdang, Kota Padang Sidempuan, Kota Medan, Kota Tebing Tinggi sedangkan Kabupaten Asahan yang pada tahun 2004 memiliki keunggulan komparatif berubah menjadi nonkomparatif dengan indeks spesialisasi kurang dari satu sama seperti daerah lainnya. Pada Tahun 2008 adanya penambahan indeks spesialisasi daerah yang lebih dari satu terdapat di Kabupaten Labuhan Batu, Deli Serdang, Serdang Berdagai, Batu Bara, Kota Padang Sidempuan, Kota Medan, Kota Tebing Tinggi. Daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan daerah lainnya yaitu Kabupaten Mandailing Natal, Asahan, Simalungun, Langkat, Kota Binjai. Pada Tahun 2009 mengalami penurunan ditandai dengan berkurangnya Kabupaten/Kota yang berindeks spesilisasi lebih dari satu. Adapun Kabupaten yang memiliki indeks spesialisasi daerah lebih dari satu dan meiliki keunggulan komparatif yaitu Kabupaten Deli Serdang , Serdang


(1)

Tahun 2004

Kabupaten

Tenaga Kerja

Kelas

Kabupaten

Nilai Tambah

Kelas

Deli Serdang

9.365

Tinggi

Medan

2.650.402.831

Rendah

Asahan

6.335

Tinggi

Asahan

473.004.476

Rendah

Medan

5.690

Sedang

Tebing Tinggi

382.242.626

Rendah

Labuhan Batu

3.539

Sedang

Deli Serdang

374.710.353

Rendah

Langkat

1.448

Sedang

Simalungun

218.690.844

Rendah

Tebing Tinggi

1.199

Sedang

Padang Sidempuan

134.895.359

Rendah

Tapanuli Selatan

911

Rendah

Labuhan Batu

113.947.888

Rendah

Simalungun

896

Rendah

Tapanuli Selatan

32.075.790

Rendah

Tapanuli Tengah

191

Rendah

Langkat

17.089.651

Rendah

Padang Sidempuan

445

Rendah

Tapanuli Tengah

2.914.251

Rendah

Pematang Siantar

25

Rendah

Binjai

260.857

Rendah


(2)

Tahun 2005

Kabupaten

Tenaga Kerja

Kelas

Kabupaten

Nilai Tambah

Kelas

Deli Serdang 8.446

Tinggi

Medan

600.579.486

Rendah

Medan 5.685

Sedang

Deli Serdang

381.350.208

Rendah

Labuhan Batu 3.510

Sedang

Simalungun

226.576.905

Rendah

Asahan 2.050

Sedang

Asahan

191.598.756

Rendah

Langkat 1.473

Sedang

Labuhan Batu

165.168.676

Rendah

Tebing Tinggi 1.218

Sedang

Tebing Tinggi

146.341.803

Rendah

Simalungun 918

Rendah

Serdang Berdagai

136.269.344

Rendah

Tapanuli Selatan 901

Rendah

Padang Sidempuan

47.165.901

Rendah

Serdang Berdagai 738

Rendah

Tapanuli selatan

37.587.546

Rendah

Padang Sidempuan 451

Rendah

Langkat

22.080.570

Rendah

Tapanuli Tengah 210

Rendah

Tapanuli Tengah

7.804.724

Rendah


(3)

Tahun 2006

Kabupaten

Tenaga Kerja

Kelas

Kabupaten

Nilai Tambah

Kelas

Tapanuli Selatan 950

Rendah

Tapanuli Selatan 13.320.029

Rendah

Tapanuli Tengah 210

Rendah

Tapanuli Tengah 20.785.027

Rendah

Labuhan Batu 3.451

Sedang

Labuhan Batu 344.714.453

Rendah

Asahan 1.521

Sedang

Asahan 292.685.847

Rendah

Simalungun 867

Rendah

Simalungun 84.317.066

Rendah

Deli Serdang 8.234

Tinggi

Deli Serdang 387.134.396

Rendah

Langkat 1.325

Sedang

Langkat 70.155.152

Rendah

Serdang Berdagai 795

Rendah

Serdang Berdagai 249.939.716

Rendah

Tebing Tinggi 1.155

Sedang

Tebing Tinggi 188.562.480

Rendah

Medan 5.994

Sedang

Medan 216.925.076

Rendah


(4)

Tahun 2007

Kabupaten

Tenaga Kerja

Kelas

Kabupaten

Nilai Tambah

Kelas

Tapanuli Selatan 938

Rendah

Tapanuli Selatan 44.040.009

Rendah

Tapanuli Tengah 224

Rendah

Tapanuli Tengah 16.102.722

Rendah

Labuhan Batu 2.560

Sedang

Labuhan Batu 308.655.159

Rendah

Asahan 766

Rendah

Asahan 88.143.282

Rendah

Simalungun 1.026

Sedang

Simalungun 195.006.668

Rendah

Deli Serdang 7.935

Tinggi

Deli Serdang 521.233.804

Rendah

Langkat 1.021

Sedang

Langkat 25.188.647

Rendah

Serdang Berdagai 1.126

Sedang

Serdang Berdagai 91.674.824

Rendah

Batu Bara 427

Rendah

Batu Bara 14.601.280

Rendah

Tebing Tinggi 1.151

Sedang

Tebing Tinggi 550.381.575

Rendah

Medan 5.838

Sedang

Medan 482.017.095

Rendah

Binjai 192

Rendah

Binjai 4.002.380

Rendah


(5)

Tahun 2008

Kabupaten

Tenaga Kerja

Kelas

Kabupaten

Nilai Tambah

Kelas

Mandailing Natal 339

Rendah

Mandailing Natal 85.082.401

Rendah

Tapanuli Tengah 215

Rendah

Tapanuli Tengah 56.993.571

Rendah

Labuhan Batu 2.509

Sedang

Labuhan Batu 261.997.958

Rendah

Asahan 654

Rendah

Asahan 74.034.606

Rendah

Simalungun 1.122

Sedang

Simalungun 231.340.266

Rendah

Deli Serdang 6.812

Tinggi

Deli Serdang 374.972.012

Rendah

Langkat 1.092

Sedang

Langkat 29.520.872

Rendah

Serdang Berdagai 1.527

Sedang

Serdang Berdagai 93.187.519

Rendah

Batu Bara 2.161

Sedang

Batu Bara 2.181.175.048

Rendah

Tebing Tinggi 1.108

Sedang

Tebing Tinggi 259.913.734

Rendah

Medan 7.133

Tinggi

Medan 291.383.911

Rendah

Binjai 211

Rendah

Binjai 3.984.537

Rendah


(6)

Tahun 2009

Kabupaten

Tenaga Kerja

Kelas

Kabupaten

Nilai Tambah

Kelas

Labuhan Batu 934

Rendah

Labuhan Batu 99.972.878

Rendah

Asahan 963

Rendah

Asahan 101.655.899

Rendah

Simalungun 1.049

Sedang

Simalungun 715.143.241

Rendah

Deli Serdang 4.456

Sedang

Deli Serdang 473.677.586

Rendah

Langkat 644

Rendah

Langkat 175.843.238

Rendah

Serdang Berdagai 1.291

Sedang

Serdang Berdagai 107.084.598

Rendah

Batu Bara 353

Rendah

Batu Bara 78.928.337

Rendah

Labuhan Batu Selatan 102

Rendah

Labuhan Batu Selatan 56.853.552

Rendah

Labuhan Batu Utara 2.106

Sedang

Labuhan Batu Utara 169.423.501

Rendah

Tebing Tinggi 872

Rendah

Tebing Tinggi 92.145.543

Rendah

Medan 4.167

Sedang

Medan 491.591.682

Rendah

Binjai 150

Rendah

Binjai 4.124.360

Rendah