bahwa: “Tidak dikatakan seseorang beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
132
Allah SWT telah mensyariatkan hibah ini kepada manusia, agar supaya tumbuh rasa saling cinta-mencintai dan kasih-mengasihi sesama mereka. Di antara
hikmah disyari’atkannya hibah ini adalah akan menghilangkan rasa marah, kebencian, menyatukan hati dalam kecintaan dan kasih sayang. Perbuatan hibah itu
juga menunjukkan kemuliaan akhlak, kebersihan jiwa.
133
Begitu juga dalam pemberian hadiah, akan lahir darinya rasa kasih sayang dalam hati dan akan
menghilangkan rasa kebencian. Sebaliknya, menarik kembali hadiah akan melahirkan permusuhan dan kebencian, hingga bisa terputus rasa persaudaraan. Hibah
merupakan sifat yang terpuji, sampai-sampai Allah SWT menjadikan hibah ini dalam salah satu nama-Nya, yang disebut dengan “Al Wahhab”, yang artinya maha
pemberi.
134
3. Hibah Berfungsi Memberikan Penghargaan
Hibah dapat berperan memberikan penghargaan kepada orang lain, termasuk kepada anak kandung sendiri, disebabkan oleh berbagai faktor yang melatar
belakangi, di antaranya adalah akibat adanya prestasi yang dibuat oleh seorang anak dalam hal pendidikan atau perlombaan, atau akibat kejujuran dan kebaikan
akhlaknya terhadap orang tuanya dan lain sebagainya. Dalam hal ini Allah SWT telah menyampaikan kepada hambanya melalui firmanNya, yang artinya: “Dan
132
Hadist Riwayat Bukhari Muslim.
133
Ali Ahmad Al Jurzawiy, dalam Helmi Karim, op. cit., hal. 81.
134
Ibid., hal. 82.
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.
135
Menghargai usaha dan karya seseorang merupakan suatu prinsip yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Setiap perbuatan yang dilakukan sekecil apapun,
akan mendapat balasan dari Allah SWT. Perbuatan baik akan diberi penghargaan berupa balasan pahala berlipat ganda di sisiNya dan perbuatan jahat akan dibalas
dengan kejahatan yang setimpal dengannya sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, yang artinya: ”Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya pahala
sepuluh kali lipat amalnya”.
136
Dalam pandangan syariat Islam, hanya melalui hibah hadiah lah satu- satunya yang paling bisa dilakukan dalam rangka memberikan penghargaan kepada
seseorang. Karena penghargaan tidak mungkin diberikan lewat cara zakat, shadaqah, wasiat dan lain-lain. Hibah ini merupakan pemberian sukarela yang tidak ada unsur
kewajiban dan paksaan di dalamnya. Oleh karena itu, penghargaan dapat diberikan kepada orang lain dalam bentuk hibah.
Sungguh sangat tepat sekali memberikan penghargaan kepada anak kandung atau orang lain melalui hibah. Sebab sebagaimana dikemukakan di atas, hibah itu
sendiri terdiri dari 3 bentuk, yakni Ibraa yang berarti menghibahkan hartanya kepada orang lain yang berhutang. Sadaqah yang berarti menghibahkan sesuatu dengan
mendapatkan pahala di hari akhirat. Pada motivasi ingin mencari pahala dan keridhaan Allah itulah letak perbedaan yang mendasar antara sedekah dan hibah. Para
135
Qur’an Surat An Najm, ayat 39.
136
Qur’an Surat Al An’am, ayat 160.
ulama membagi sedekah itu kepada sedekah wajib dan sedekah sunat. Dan ketiga adalah hadiah yang berarti imbalan yang diberikan seseorang karena dia telah
mendapatkan hibah. Pada dasarnya hadiah dan hibah. Hanya saja kebiasaannya, hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang.
Memberikan penghargaan kepada orang lain dapat dilakukan dengan jalan shadaqah sunat, karana shadaqah sunat itu masih termasuk dalam pengertian hibah.
Pengertian shadaqah di sini adalah pemberian sesuatu benda oleh seseorang kepada orang lain karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT dan tidak
mengharapkan sesuatu imbalan jasa atau penggantian.
137
Menghargai orang lain dalam syariat Islam sangat dijunjung tinggi. Pemberian penghargaan ini sesuai dengan proporsinya. Masing-masing orang tidak
mesti harus sama bentuk pemberian penghargaannya, tergantung pada besar kecilnya nilai dan upaya yang dilakukannya Sebagai contoh yang berkenaan dengan
penghargaa ini adalah dapat ditemukan dalam Al Qur’an dimana Allah SWT memberikan penghargaan kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang yang
memiliki ilmu pengetahuan berupa derajat yang tinggi.
138
Maksud pengangkatan derajat di sini bisa dalam bentuk pengangkatan dalam tingkat perekonomian, harga
diri, kebahagian dan lain sebagainya Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas, orang tua diharuskan
memberikan penghargaan kepada sebagian anak yang dianggap telah memberikan sesuatu prestasi baik dalam bidang pekerjaan, akhlak maupun dalam bidang-bidang
137
Helmi Karim, op. cit., hal. 80.
138
Surat Al Mujadalah, ayat 11.
lainnya. Penghargaan itu tidak mesti sama bentuk dan jumlahnya antara anak yang satu dengan lainnya Namun dapat diberikan sesuai dengan nilai usaha masing-
masing. Sebagai contah, bagi anak yang rajin membantu orang tuanya dalam bekerja, diberikan penghargaan berupa hibah atau hadiah.
B. Membedakan Jumlah Hibah Antara Anak
Melindungi anak yang dalam keadaan lemah baik dalam bidang kesehatan, perekonomian dan lain sebagainya adalah merupakan kewajiban orang tua. Anak
yang lemah berhak mendapatkan perlindungan bukan saja dari orang tuanya, tetapi juga dari saudara kandungnya serta kaum muslimin pada umumnya. Kedudukan
orang lemah sangat dilindungi dalam Islam. Ia tidak boleh dihina ataupun disengsarakan. Orang lemah dalam Islam berhak mendapatkan bagian dari zakat,
shadaqah, hibah, wasiat dan lain sebagainya. Berkenaan dengan ini Allah berfirman, yang artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bahagian”.
139
Ayat tersebut menjelaskan bahwa harta yang dikeluarkan oleh orang kaya itu adalah milik orang miskin. Jadi harta yang ia keluarkan itu, sesungguhnya bukan
miliknya, melainkan milik orang miskin yang dititipkan Allah kepadanya. Allah SWT hendak menguji hambanya, apakah ia berkenan mengeluarkannya dalam bentuk
zakat, hibah atau tidak. Jika ia mau mengeluarkan zakatnya, Allah akan memberikan ganjaran pahala baginya, jika ia enggan mengeluarkannya, maka ia mengingkari
nikmat yang Allah berikan padanya.
139
Qur’an Surat Az Zariyat ayat 19.
Kewajiban membantu orang lemah harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan, selama kondisi kelemahan itu masih melekat padanya Jika
kelemahan tersebut tidak lagi terdapat padanya, maka kewajiban membantunya juga tidak ada. Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah: “Hukum itu berputar bersama illat-
nya
140
dalam mewujudkan dan meniadakan hukum” Sifat lemah di sini bertindak sebagai illat, sedangkan kewajiban membatu orang lemah adalah bertindak sebagai
hukum yang lahir. Jika illat-nya hilang, maka hukumnyapun hilang, begitu sebaliknya.
Fuqaha telah Sepakat bahwa seseorang itu boleh menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain bukan ahli waris. Selanjutnya mereka berselisih
pendapat tentang orang tua yang mengutamakan pilih kasih terhadap sebagian anaknya atas sebagian yang lain dalam soal penghibahan sebagian atau seluruh
hartanya kepada sebagian anak. Menurut Malik, boleh membedakan pemberian hibah di antara anak-anak.
Jumhur fuqaha amsar negeri-negeri besar berpendapat bahwa hibah seperti itu makruh hukumnya. Tetapi apabila terjadi, maka sah pula.
141
Ahmad Rofiq berpendapat bahwa orang tua boleh melebihkan hibah kepada satu anak, asal dalam pemberian hibah tersebut, dilakukan secara musyawarah dan
atas persetujuan anak-anak yang ada. Ini penting, agar tidak terjadi perpecahan antara keluarga.
142
Sedangkan ulama Jumhur berpendapat, tidak wajib mempersamakan hibah antara anak kandung, melainkan hukumnya sunat saja.
140
Pengertian illat adalah alasan-alasan atau yang menjadi penyebab.
141
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan Pertama, 1995, hal. 472.
142
Ibid., hal. 473.
Dalam masalah hibah barang, kalau ada orang tua yang menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi maksimal 13 saja dari keseluruhan harta yang
dimiliki. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Imran ibnu Husain yang menjelaskan tindakan Nabi SAW ketika lmran ibnu Husain memerdekakan enam orang hamba
dalam saat menjelang kematiannya, maka Rasulullah SAW memerintahkan agar dimerdekakan 13nya saja. Maka ia memerdekakan sepertiganya.
143
Dalam KHI Pasal 210 ayat 1 juga dinyatakan seseorang dapat menghibahkan sebanyak-
banyaknya 13 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
Dalam masalah hibah barang, sebaiknya orang tua tidak membedakan pemberiannya di antara sesama anak. Tidak dihalalkan bagi seorangpun untuk
melebihkan sebagian anak-anaknya dalam hal pemberian di atas anak-anaknya yang lain, karena hal demikian akan menanamkan permusuhan dan memutuskan hubungan
silaturrahmi yang diperintahkan Allah untuk menyambungnya. Imam Ishak As Tsauri dan sebagian orang-orang Maliki berpendapat bahwa sesungguhnya melebihkan
sebagian anak-anak di atas sebagian yang lain itu perbuatan yang batil dan curang. Maka orang yang melakukan perbuatan itu hendaklah membatalkannya, karena Al
Bukhari pun telah menjelaskan hal ini.
144
Dalam hal ini ada sebuah hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda: ”Persamakanlah di antara
anak-anakmu di dalam pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku lebihkan anak-anak perempuan”.
143
Wahbah, dalam Ibid., hal. 473.
144
Ibid. hal. 474.
Orang-orang Hanafi, Syafi’i, Malik dan Jumhurul Ulama berpendapat bahwa mempersamakan di antara anak-anak itu sunat dan pelebihan di antara mereka itu
makruh walaupun dapat dijalankan. Mereka menjawab hadis An Nu’man Walaupun demikian, orang tua tetap diperbolehkan menghibahkan hartanya kepada
seluruh anak-anaknya dengan jumlah yang berbeda satu sama lain. Karena di dalam hibah itu sendiri, tidak ada ketentuan ukuran minimal dan maksimalnya. Syariat
Islam memberikan kebebasan penuh kepada pemilik harta untuk menentukan berapa jumlah hibah yang akan diberikannya dan kepada siapa hibah tersebut diserahkan,
asalkan didasarkan pada prinsip keadilan. Hanya saja dalam hibah barang ini, kalau orang tua membedakan jumlah hibah yang akan diberikan kepada anak-anaknya,
perlu diadakan musyawarah dengan seluruh anak kandung, agar tidak terjadi permasalahan yang tidak diinginkan dikemudian hari. Pelaksanaan musyawarah
tersebut bukan merupakan perintah nash, tetapi hanya merupakan pertimbangan kemaslahatan semata di antara keluarga.
Selanjutnya, dalam masalah hibah manfaat, orang tua dibolehkan secara mutlak memberikannya kepada anak tertentu saja dan tanpa memberikannya sama
sekali kepada anak yang lain atas dasar pertimbangan keadilan. Dalam pemberian hibah manfaat ini, tidak mesti jumlahnya sama antara sesama anak. Siapa yang
dianggap paling membutuhkan, maka kepadanya diberikan seluruh manfaat yang terdapat dalam harta milik orang tua tersebut.
Dalam hibah manfaat, bendanya tetap milik orang tua, yang dihibahkannya hanya manfaatnya saja. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi anak yang lain yang
sudah mapan merasa dirugikan atau merasa diperlakukan tidak adil, karena zat benda
tersebut masih ada, yang dihibahkan adalah manfaatnya saja. Sebagai contoh, seseorang menghibahkan hasil dari seluruh perkebunannya kepada anak yang paling
kecil untuk kepentingan sekolahnya. Jika, kelak dia sudah berhasil menamatkan sekolahnya, maka manfaat harta tersebut kembali kepada orang tua. Dan jika orang
tuanya telah meninggal terlebih dahulu, maka manfaat harta tersebut, kembali kepada keluarganya.
Dalam masalah hibah manfaat ini, orang tua seharusnya menyediakan sebagian hartanya, baik berupa pertanian, perkebunan dan lain sebagainya sebagai
harta produktif bagi kepentingan anak-anaknya. Artinya, segala hasil yang didapat dari harta produktif tadi dapat dipergunakan oleh anak yang membutuhkan. Dana
tersebut memang khusus disediakan bagi anak-anak yang dalam posisi lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang kesehatan. Harta produktif tadi sangat
penting keberadaannya bagi kehidupan keluarga. Sebab dengan adanya harta produktif tadi, kepentingan anak yang dalam keadaan membutuhkan dapat terlindungi
dengan tidak mengurangi harta benda milik orang tuanya. Yang dipakainya hanya hasil yang didapat dari harta produktif tadi, bukan dengan menjual sebagian harta
orang tuanya. Cara seperti ini sangat baik dikembangkan demi kemaslahatan kehidupan suatu rumah tangga.
145
Dengan demikian, sebagaimana telah dikemukakan di atas, pada umumnya hibah itu ada dua macam, yakni hibah barang dan hibah manfaat. Dalam hibah
barang, orang tua dapat memberikannya kepada sebagian anaknya dengan
145
M. Hasballah Thaib, op. cit., hal. 92
pertimbangan keadilan. Adil bukan berarti harus sama, namun disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. Inilah di antara ajaran kebijakan syariat
Islam, dimana orang mendapatkan bagian dan perlindungan sesuai dengan kebutuhannya.
C. Penarikan Hibah Menurut Hukum Islam
Pada umumnya Jumbur ulama mengatakan bahwa penghibah diharamkan menarik kembali hibahnya jika penyerahan harta telah dilakukan secara sempurna,
sekalipun hibah itu berlangsung antara sesama saudara atau suami istri. Tetapi mereka membolehkan seorang ayah menarik kembali hibah yang telah diserahkan
kepada anaknya Pendapat jumhur ini didasarkan pada hadist, artinya:
146
Jika seseorang telah memberikan suatu pemberian atau menghibahkan suatu barang kepada seseorang, maka tidak boleh ia tarik kembali pemberian atau
hibah tersebut, kecuali seorang ayah menarik kembali apa yang telah diberikan kepada anaknya. Orang yang menarik kembali pemberian atau
hibahnya tak ubahnya seperti seekor anjing yang muntah dan menjilat kembali muntahnya tersebut.
Benda yang dihibahkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orangtua kepada turunannya anaknya. Benda yang telah dihibahkan tetap dalam
kekuasaan pihak yang diberi. Hak untuk menarik kembali hibah oleh orangtua kepada anaknya, terbatas selama benda itu masih dalam kekuasaan pihak yang diberi.
Berbeda dengan wasiat, benda yang dihibahkan telah beralih sejak Kabul, tidak usah menunggu meninggalnya penghibah.
Jika ayah atau ibu atau kakek menghibahkan sesuatu kepada anaknya atau cucunya, dan sudah diserahterimakan kepadanya, maka dalam hal ini si penghibah
146
Hadist Riwayat Abu Dawud, An Nasa’I Ibnu Hiban dan Tarmizi.
boleh menarik kembali hibahnya. Jika ia sedekahkan maka menurut nash ia boleh menarik kembali hibahnya itu, sedang menurut pendapat lain tidak boleh.
147
Diterangkan oleh Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al Fiqhul Islami wa adillatuhu” bahwa boleh mengambil kembali sesuatu hibah yang diberikan kepada
seseorang sebagaimana dalam hadist dinyatakan, ”Orang yang menghibahkan itu lebih berhak baginya atas suatu barang yang dihibahkan itu sebelum sampai padanya
ganti yang ditetapkan sebelumnya”. Seorang itu dapat menarik kembali hibah yang telah diberikan kepada anaknya selama bapak si anak tadi masih hidup. Akan tetapi,
bila bapak meninggal dunia, hibah tersebut tidak bisa ditarik karena hibah yang telah diberikan kepada si yatim itu tidak dapat ditarik kembali.
148
D. Penarikan Kembali Harta Gono-Gini Yang Telah Dihibahkan Orang Tua
Kepada Anak di Pengadilan Agama Medan Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama pada tanggal 29 Desember 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang mengatur kedudukan,
susunan, kekuasaan dan hukum acara. Kelahiran undang-undang ini merupakan tonggak pundamental sejarah Peradilan Agama dari keberadaannya di Indonesia lebih
dari satu abad lamanya. Dengan itu pula kedudukan konstitusional Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Negeri telah memiliki kepastian sebagaimana sumbernya telah
ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang ketentuan Pokok
147
Ibnu Rush, op. cit., hal. 247.
148
Abdur Rahman I Doi, op. cit., hal. 210.
Kekuasaan Kehakiman, yaitu salah satu lingkungan Peradilan yang berfungsi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam bidang perkara tertentu berdasarkan
azas personalitas ke-Islaman. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49, bahwa Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah;
wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syariah. Jadi, salah satu kewenangan Pengadilan Agama adalah menyelesaikan perkara hibah.
Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Agama Medan, diperoleh data penerimaan perkara yang terkait dengan hibah, dari 2007 sampai dengan tahun 2008
sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Data Penerimaan Perkara Hibah pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2007 sd 2008
Tahun Sisa
Tahun Lalu Diterima
Jumlah Diputus
Sisa 2007
2 2
4 4
2008 7
7 5
2
Sumber data: Data diolah dari Pengadilan Agama Medan Tahun 2009.
Dari data pada tabel di atas, terlihat bahwa pada tahun 2007 terdapat sebanyak 4 empat jumlah kasus hibah, yang terdiri dari: 2 dua kasus yang merupakan sisa
dari tahun 2006 dan 2 dua kasus lagi diterima di tahun 2007. Dari jumlah perkara hibah di tahun 2007 yaitu sebanyak 4 empat kasus yang semuanya telah selesai
diputuskan. Kemudian di tahun 2008 penerimaan kasus hibah ada sebanyak 7 tujuh
kasus, dan telah diputus sebanyak 5 lima kasus, sedangkan 2 dua kasus lagi belum diputus.
Adapun jenis penyelesaian perkara hibah yang diputusdiselesaikan pada Pengadilan Agama Medan tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, sebagaimana
terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Jenis Penyelesaian Perkara Hibah pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2007 sd 2008
Tahun Dicabut
Kabul Ditolak
Batal Gugur
NO tidak
diterima Jumlah
2007 -
- 2
2 -
- 4
2008 -
2 3
- -
5
Sumber data: Data diolah dari Pengadilan Agama Medan Tahun 2009.
Dari data pada tabel di atas, terlihat bahwa jenis penyelesaian yang dilakukan terhadap jumlah kasus hibah yang diterima pada tahun 2007 adalah 2 dua kasus
ditolak dan 2 dua kasus lagi dibatalkan. Sedangkan pada tahun 2008 jenis penyelesaian yang dilakukan terhadap 5 lima kasus yang diputus adalah sebanyak 2
dua kasus dikabulkan, sedangkan 3 tiga kasus lagi ditolak. Dari seluruh jumlah kasus hibah yang terjadi pada tahun 2007 sampai dengan
tahun 2008 pada Pengadilan Agama Medan, diketahui bahwa Pengadilan Agama Medan berhasil memutuskan seluruh jumlah perkara hibah 100 di tahun 2007,
sedangkan di tahun 2008 dari jumlah perkara hibah yang diterima belum seluruhnya diselesaikan atau 71 dari jumlah kasus. Jadi masih menyisakan 29 jumlah kasus
hibah yang akan diselesaikan pada tahun 2009.
Dokumen persyaratan bagi ahli waris lain anak dalam melakukan gugatan terhadap pembatalan hibah yang diberikan oleh orang tua kepada salah seorang ahli
waris saja, menurut responden adalah terserah kepada pihak Penggugat, karena siapa yang menggugat, dan ternyata dalil-dalil gugatannya dibantah tidak diakui oleh
pihak lawan, maka dia penggugat dibebani wajib bukti untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya positanya. Apabila penggugat dapat membuktikan
kebenaran dalil-dalil gugatannya, maka petitumnya dapat dikabulkan; apabila tidak, maka ditolak, apabila ternyata gugatannya tidak jelas obscuur, maka gugatannya
dinyatakan N.O tidak dapat diterima. Sesuai dengan ratio decidendi, hakim sebagai penegak hukum, keadilan dan kebenaran, hakim dapat bebas memilah dan menilai
semua alat-alat bukti.
149
Seorang hakim perdata dalam memutuskan suatu perkara gugatan pembatalan hibah atau pengesahan hibah, berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 284 R.BgPasal 164 HIR jo 1866 KUH Perdata, yaitu:
150
1. Bukti tulisanbukti surat; 2. Bukti saksi;
3. Bukti persangkaan; 4. Bukti pengakuan;
5. Bukti sumpah; dan 6. Pemeriksaan ditempat Pasal 153 HIRPasal 180 R.Bg, Pasal 211 Rv
7. Saksi ahli Pasal 154 HIR
149
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
150
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
8. Pembukuan Pasal 167 HIR 9. Pengetahuan hakim Pasal 178 ayat 1 HIR.
Dalam hal terjadinya pembatalan dan penarikan kembali hibah, maka akibat hukumnya akan membatalkan hibah yang telah dilakukan tersebut, dan juga
menyatakan akta wasiat ataupun akta Notaris tidak berkekuatan hukum. Pertimbangan-pertimbangan hakim dalam melihat dan memutuskan sengketa
hibah adalah berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka sumber hukum acara dan hukum terapan peradilan agama
antara lain:
151
1. Het Herziene Indonesich Reglement HIRReglemen Indonesia yang diperbaharui RIB;
2. Rechtsreglement Buitengewesten R.Bg Stbl. 1927 – 127 3. Reglement of de Burgerlijke Rechtsvorderring RV;
4. Burgerlijke Wet Book BW KUH Perdata; 5. Peraturan perundang-undangan yang terkait, di antaranya: Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam KHI.
6. Yurisprudensi; 7. Surat Edaran Mahkamah Agung RI;
8. Doktrin para pakar hukum dan ilmu pengetahuan.
151
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
Selain itu, juga berbagai aspek hukum Islam yang telah menjadi peraturan perundang- undangan nasional, seperti halnya dengan wakaf dan perbankan syariat, dan lain
sebagainya. Kemudian dengan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, juga di dalam pasal-pasalnya diatur mengenai hibah, yaitu terdapat dalam Pasal 692 sampai dengan Pasal 734
peraturan Mahkamah Agung tersebut, yang juga dapat digunakan Pengadilan Agama dalam sengketa hibah, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 702 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah, bahwa hibah dapat terjadi dengan pembebasan utang dari orang yang memiliki piutang terhadap orang yang berpiutang dengan syarat orang
yang berutang tidak menolak pembebasan utang tersebut. Lebih lanjut dari keterangan responden, bahwa faktor-faktor penyebab
terjadinya pembatalan atau penarikan kembali hibah tersebut adalah banyak faktor, antara lain: 1 penyerahan hibah tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan 2 tidak memenuhi syarat-syarat dan rukun hibah, yaitu:
152
a. Penghibah bukan pemilik harta yang dihibahkan b. Penghibah belum dewasa secara hukum atau idiot, gila di bawah pengampuan;
c. Ada ahli waris lain yang keberatan terhadap hibah tersebut karena melebihi batas maksimal 13;
d. Pembatalan hibah wasiat yang dianggap tidak sah; dan sebagainya.
152
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
Kemudian juga dalam melakukan hibah itu harus diperhatikan sebagaimana yang dianjurkan dalam Shahih al-Bukhariy Kitab Al-Hibah:, yang artinya: ”Bersabda
Nabi SAW, ”…Persamakanlah berbuatlah adil terhadap di antara anak-anakmu dalam pemberian…”.
153
Perkara hibah yang diterima maupun yang telah diputus pada Pengadilan Agama Medan tersebut adalah pembatalan hibah atau penarikan kembali atas harta
bersama yang dihibahkan orang tua kepada anak maupun kepada pihak ketiga, yang dilakukan tanpa persetujuan dari ahli waris lain ataupun hibah atas harta bersama
tersebut melebihi dari ketentuan yang ditentukan dalam KHI bahwa besarnya harta yang dapat dihibahkan sebanyak-banyaknya 13 dari harta bendanya. Sehingga
terjadinya gugatan-gugatan dari ahli waris. Dalam Pasal 212 KHI ditentukan hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali
hibah orang tua kepada anaknya. Demikian juga dalam kasus pembatalan atau penarikan hibah yang terjadi pada Pengadilan Agama Medan, penarikan hibah itu
memang terjadi terhadap harta bersama yang dihibahkan salah seorang orang tua kepada anaknya atau salah seorang anak ahli waris.
Pada umumnya, dari kasus-kasus perkara hibah atau pembatalan hibah atas harta bersama yang dihibahkan itu bentuk gugatan pembatalan hibah oleh anak
terhadap orang tua yang telah menghibahkan harta bersama kepada salah seorang anak tanpa persetujuan anak-anak yang lain ahli waris lain, ataupun gugatan
pembatalan hibah oleh anak terhadap orang tua ibu yang telah menghibahkan harta
153
Fiqh Al-Sunnah, Jilid 3, hal. 393.
bersama kepada pihak ketiga. Kemudian, pembatalan hibah orang tua atas harta bersama itu dapat terjadi karena pihak suami menghibahkan harta bersama tanpa
persetujuan dari pihak isteri. Pembatalan-pembatalan seperti ini tentu dapat dibatalkan karena menurut ketentuan Pasal 210 ayat 2 secara tegas dinyatakan
bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Di samping itu perlu ditegaskan bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan
pada Pengadilan Agama Medan yaitu dari kasus pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 tidak ada kasus penarikan hibah atas harta bersama yang dihibahkan
orang tua kepada anak, yang gugatan pembatalan hibah itu dilakukan si penghibah sendiri orang tua yang memberi hibah kepada anak. Akan tetapi gugatan yang
terjadi adalah dilakukan oleh pihak isteri atau suami atau anak si penghibah sebagai ahli waris. Jadi, sengketa hibah itu terjadinya karena adanya ahli waris lain atas harta
bersama yang dihibahkan tersebut. Penarikan kembali hibah yang telah diberikan orang tua kepada anaknya,
menurut responden adalah sah-sah saja kalau ternyata harta tersebut masih ada di tangandalam kekuasaan anaknya, tetapi apabila sudah beralih kepada pihak ketiga
atau musnah sudah dijualdihibahkanrusakhilang batas-batasnya misalnya karena terjadi gempa, maka apabila orang tua tetap juga menuntut pengembaliannya, akan
timbul derden verzet perlawanan, dan apabila ada permohonan sita, maka niet bevinding atau tidak diketemukan benda objek perkara di lapangan.
154
154
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
E. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 691Pdt.G2007PA.Medan
tentang Penarikan Hibah Pembatalan Hibah Atas Harta Bersama Yang Dihibahkan Kepada Anak
Tentang duduk perkara dalam kasus ini adalah para Penggugat dengan suratnya tertanggal 19 September 2007, mengajukan gugatan pembatalan hibah
terhadap para Tergugat, gugatan mana didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan dengan register Nomor: 691Pdt.G2007PA.Mdn pada tanggal 20
September 2007 yang isinya, antara lain: 1 Bahwa Penggugat I dan Penggugat II adalah anak kandung Tergugat I dari hasil
perkawinannya dengan Sinah ibu Penggugat I dan Penggugat II yang telah meninggal dunia pada tanggal 18 Maret 2002;
2 Bahwa Tergugat I selama masa pernikahan dengan Sinah telah dikarunia 5 lima orang anak, yaitu: Karju, anak laki-laki Penggugat I; Siman, anak laki-laki telah
meninggal dunia pada tanggal 13 Maret 2006; Ngadikun, anak laki-laki; Wagini anak perempuan Penggugat II; dan e. Suman, anak laki-laki.
3 Bahwa Siman telah menikah dengan Tergugat II dan telah dikarunia seorang anak perempuan bernama Puja saat ini berusia 9 tahun.
4 Bahwa selama masa perkawinan Tergugat I dengan Sinah telah mempunyai harta berupa sebidang tanah berikut bangunannya.
5 Bahwa menurut ketentuan hukum yang berlaku, oleh karena isteri Tergugat I telah meninggal dunia, maka ½ setengah bagian dari harta tersebut yang
merupakan hak almarhumah Sinah adalah menjadi boudel warisan almarhumah Sinah yang harus dibagikan kepada ahli warisnya;
6 Bahwa kemudian tanpa sepengetahuan dan seizin anak-anak kandung Tergugat I terutama Penggugat I dan Penggugat II, Tergugat I telah menghibahkan sebagian
tanah tersebut berikut bangunan rumah permanen yang ada di atasnya kepada anak kandungnya yang bernama Siman;
Oleh karena itu hakim Pengadilan Agama Medan, membatalkan hibah tersebut dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1 Bahwa berdasarkan kesaksian saksi-saksi para Penggugat, di mana setelah Tergugat I mengetahui isi surat yang diberi tanda cap jempolnya tersebut
bukti P.1 dan almarhum Siman mendapatkan suratnya, Tergugat I pernah mendatangani Kepala Lingkungan dan Lurah, bahkan sampai kepada Camat
tentang sikap Kepala Lingkungan yang telah membagi harta Tergugat I bersama isterinya almarhumah Sinah kepada anaknya bernama Siman setelah Sinah
meninggal dunia, dimana ketika Tergugat I mendatangi Lurah, tiba-tiba Siman datang mengamuk-amuk dan ingin membunuh Tergugat I;
2 Bahwa selain itu Kepala Lingkungan ternyata juga membuat pembagian terhadap anak-anak Tergugat I yang lain, dengan ukuran yang berbeda lengkap dengan
surat pemberian, sehingga Tergugat I hanya memperoleh sekitar 7 meter, bahkan Tergugat tidak lagi tinggal di rumahnya karena telah diusir almarhum Siman;
3 Bahwa atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, ditemukan fakta bahwa surat tertanggal 2 Mei 2002 yang diberi tanda cap jempol oleh Tergugat I
vide P.1, dibuat bahkan atas dasar sepengetahuan dan kerelaan Tergugat I, akan tetapi diperbuat dengan cara pemaksaan, sedangkan hibah menurut ketentuan
hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan dengan sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan, oleh sebab itu
Majelis berpendapat bahwa peristiwa perbuatan pemberian yang sampai adanya
surat tertanggal 2 Mei 2002 a quo bukanlah merupakan pelaksanaan hibah yang benar serta tidak dengan prosedur, sehingga sudah sepatutnya harus dinyatakan
tidak sah, hal mana sejalan dengan ketentuan Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam; 4 Bahwa sementara Tergugat II terhadap dalil bantahannya ternyata tidak ada
mengajukan bukti-bukti di persidangan, karena Majelis berpendapat Tergugat II tidak dapat membuktikan dalil bantahannya;
5 Bahwa selain itu seandainya Tergugat I menghibahkan harta tersebut dengan tanpa paksaan, hal ini juga bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab
objek harta a quo masih terkait dengan harta milik almarhumah Sinah yang belum pernah dibagikan kepada ahli warisnya, hal mana sesuai dengan Yurisprudensi
No. 322 KAG2000 tanggal 3 Agustus 2005, menyatakan bahwa apabila dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan
kepada ahli waris, maka hibah tersebut batal demi hukum, karena salah satu syarat hibah adalah barang yang dihibahkan harus milik pemberi hibah sendiri,
bukan merupakan harta warisan yang belum dibagi dan bukan pula harta yang masih terikat dengan sengketa;
6 Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis berkesimpulan bahwa gugatan para Penggugat pada petitum angka 2 dipandang
cukup beralasan, dan patut dikabulkan dengan menyatakan batal hibah yang dilaksanakan Tergugat I kepada almarhum Siman pada tanggal 02 Mei 2002
terhadap harta berupa seluas 384 M2 terletak di jalan....dst. 7 Kemudian juga, oleh karena objek harta tersebut saat ini terbukti dikuasai oleh
Tergugat II, maka petitum angka 3 juga dipandang cukup beralasan dan sudah
sepatuhnya dikabulkan dengan menghukum Tergugat II untuk mengosongkan dan menyerahkan harta tersebut di atas kepada ahli waris almarhumah Sinah.
Dari Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 691Pdt.G2007PA.Medan di atas, terlihat bahwa harta bersama yang telah dihibahkan oleh orang tua kepada salah
seorang anak tanpa persetujuan dari anak kandung yang lain sebagai ahli waris, yang di dalam harta yang dihibahkan itu juga termasuk harta warisan anak-anak yang tidak
mendapat hibah tersebut, ketika ibu mereka telah meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam putusan Pengadilan Agama dikabulkan gugatan penarikan hibahpembatalan
hibah para penggugat anak-anak yang lain yang tidak mendapat hibah, sehingga hibah tersebut batal demi hukum. Dan juga harta hibah itu masih dalam penguasaan si
penerima hibah tergugat sehingga dapat ditarik kembali. Pihak Tergugat dalam hal ini Ponijem isteri dari almarhum Siman penerima
harta hibah sebagai Tergugat II dalam kasus penarikan hibahpembatalan hibah dalam Putusan Nomor 691Pdt.G.2007PA.Medan di atas, mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Agama Medan. Akan tetapi gugatan banding tersebut juga tetap membatalkan
hibah itu,
sebagaimana terlihat
dalam Putusan
Nomor 27Pdt.G2008PTA.Medan, dengan dasar pertimbangan setelah Pengadilan Tinggi
Agama Medan mempelajari berkas perkara, salinan resmi putusan Pengadilan Agama Medan tanggal 17 Desember 2007 Nomor 691Pdt.G2007PA.Medan dengan
seksama, berpendapat segala alasan dan pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama adalah sudah tepat dan benar dalam membatalkan hibah, oleh karena itu
diambil alih dan dijadikan sebagai alasan dan pertimbangan hukum sendiri dalam memutuskan dan mengadili perkara ini.
BAB IV KEKUATAN HUKUM HARTA HIBAH YANG TIDAK DIAKTAKAN
DI HADAPAN NOTARIS
A. Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan