Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

UU RI nomor 4 tahun 1994 tentang perumahan dan pemukiman menyatakan pada bab I bahwa yang dimaksud rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Sedangkan perumahan adalah kelompok yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sarana lingkungan merupakan fasilitas penunjang yang berfungsi sebagai penyelenggara dan mengembangkan kehidupan ekonomi. 1 Pemberian KPR sebagai salah satu produk jasa di dalam dunia perbankan sangat membantu masyarakat menengah ke bawah pada umumnya di dalam memenuhi kebutuhan yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli secara kontan. Seperti KPR yang ditawarkan kepada pegawai negeri dan swasta atau KPR Rumah sederhana RS maupun Rumah Sangat Sederhana RSS bagi masyarakat menengah ke bawah. 2 Selama ini penyediaan kredit pemilikan rumah KPR merupakan salah satu kegiatan bank konvensional yang tidak lepas dari bunga. Dalam penyelenggaraan 1 “UU No. 4 tahun 1994 tentang perumahan dan pemukiman”, diakses pada tanggal 26 Mei 2008 dari http:www.pu.go.idditjen_mukimperaturanperumahandan permukiman4_1992a.pdf. 2 Mahfudin, “Kesesuaian Aplikasi Jual Beli Murabahah dalam Pembiayaan KPR Syariah studi kasus pada UUS PT. Bank Permata Tbk.”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 5. kredit kepemilikan rumah ini terlibat unit-unit usaha lain, seperti perseroan terbatas PT, yang menyediakan lokasi tanah pembangunan rumah. Hal yang ditetapkan dalam KPR antara lain harga jual kontan, uang muka, suku bunga, angsuran bulanan dan benda-benda lain yang harus dibayar oleh pembeli debitur. Misalnya biaya penyambungan listrik, provisi bank, dan biaya notaris. 3 Menggunakan jasa keuangan konvensional menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang. Sebab, bisa jadi kondisi politik dan ekonomi menjelang kenaikan harga BBM dan pemilu berubah. Jika hal itu terjadi, suku bunga naik dan akhirnya berdampak pada besarnya cicilan yang harus dibayarkan bank. Cicilan rumah yang tadinya rendah bisa tiba-tiba naik drastis karena mengikuti perkembangan tingkat suku bunga. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, perbankan menawarkan alternatif solusi berupa pola pembiayaan berbasis syariah. Kredit pemilikan rumah KPR syariah lebih aman bagi nasabah karena memiliki kepastian besarnya cicilan. Jadi meskipun tingkat suku bunga naik, besarnya cicilan tidak berubah. Dengan model pembiayaan syariah, meskipun terjadi peningkatan suku bunga, tidak akan menyebabkan kenaikan margin yang diambil bank. Sebab dari awal perjanjian atau akad kreditnya sudah menetapkan margin yang diambil bank dan besarnya cicilan yang harus dibayar nasabah. Jika nasabah membeli rumah lewat KPR syariah, maka hingga jangka waktu pengambilan kredit berakhir, besarnya cicilan yang harus dibayar tetap. Dengan 3 Chuzaimah T. Yanggo dan Haifiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. III, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, h. 51. prinsip syariah, karena perjanjian di depan, maka sampai tenor selesai besarnya cicilan fixed dan tidak ada perubahan. Sedangkan pembiayaan KPR secara konvensional ada yang fixed-nya hanya setahun, dua, atau tiga tahun. Setelah itu bunga bersifat floating naik turun tergantung perkembangan pasar. Masih ada anggapan di masyarakat bahwa bank syariah hanya diperuntukkan untuk muslim saja, padahal ini tidaklah benar. Bank Islam atau bank syariah tidak khusus diperuntukkan untuk sekelompok orang, namun sesuai dengan landasan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, didirikan guna melayani masyarakat tanpa membedakan keyakinan yang dianut. Bagi kaum muslimin, kehadiran bank syariah adalah memenuhi kebutuhannya, namun bagi masyarakat lainnya, bank Islam adalah sebagai sebuah alternatif lembaga jasa keuangan di samping perbankan konvensional yang telah ada. 4 Suatu hal yang menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom muslim telah mencurahkan perhatian besar guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan untuk membangun model teori ekonomi yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, dan ketika masyarakat muslim Indonesia mulai menyadari dan ingin memindahkan semua transaksi yang telah dilakukannya di bank konvensional, baik berupa tabungan, deposito, dan utang ke bank syariah, maka bank syariah 4 Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, cet. I, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, h. 182- 183. harus segera meresponnya. Jangan sampai orang yang sudah berniat baik untuk meninggalkan transaksi ribawi kembali terjerumus dalam transaksi itu lagi. 5 Dalam implementasinya, upaya pengembangan perbankan syariah memerlukan aturan-aturan syariah yang mengikat bagi perbankan syariah. Dalam kaitan ini, fatwa yang terkait dengan perbankan syariah dikeluarkan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI, sangat bernilai dan berperan besar sebagai referensi utama dalam proses penyusunan peraturan Bank Indonesia bagi perbankan syariah. 6 Transaksi perpindahan take over pembiayaan dari bank konvensional ke bank syariah diatur dalam fatwa No. 31DSN-MUIVI2002 tentang pengalihan hutang. Dalam fatwa ini disebutkan ada empat alternatif akad yang dapat digunakan 7 yaitu: 1. Qard dan murabahah 2. Syirkah al-milk dan murabahah 3. Qard dan ijarah 4. Qard dan IMBT Ijarah Muntahiya bit-Tamlik 5 Mardhiyah Hayati, “Telaah Terhadap Fatwa DSN-MUI No. 31DSN-MUIVI2002”, artikel ini diakses pada tanggal 9 April 2008 dari http:msi- uii.netbaca.asp?kategori=rubrikmenu=ekonomibaca=artikel7id=211. 6 Ibid . 7 Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, cet. ketiga, edisi revisi, Ciputat: Gaung Persada, 2000, h. 185. Bank syariah saat ini menggunakan alternatif akad 1 qard dan murabahah untuk pengalihan hutang. Akad ini secara teori tidak menjadi persoalan karena memang diperbolehkan secara syariah. Permasalahan yang muncul adalah setelah dipraktekkan akad tersebut kurang sesuai dengan syariah karena menimbulkan bai’ gharar dan bai’ al-innah. Gharar didefinisikan sebagai: “a transaction which is uncertain to both parties as a result of improsing uncertain condition in natural certainty contracts suatu transaksi yang mengandung ketidakpastian bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi sebagai akibat dari diterapkannya kondisi ketidakpastian dalam suatu akad yang secara alamiah seharusnya mengandung kepastian 8 . Bai’ al-innah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli kembali sales and buy back dengan pihak sama. Bai’ al-innah adalah penjualan tunai cash sale dilanjutkan dengan pembelian tangguh deferred payment sale. 9 Bai’ al-innah adalah jual beli yang bertujuan untuk menghindar dari hutang dengan riba yaitu seseorang menjual suatu barang dengan harga tangguh bayar atau belum diterima, kemudian membelinya dengan kontan. Akad jual beli bai’ al-innah ini mempunyai kemiripan dengan pinjaman tunai dengan jaminan aset pada bank konvensional. Perbedaannya terletak pada akadnya. Sedangkan secara fisik nasabah sama-sama memperoleh dana tunai. 8 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, edisi kedua, Jakarta: The International Institute of Islamic thought Indonesia, h. 55. 9 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, edisi. 1, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, h. 189. Menurut ulama Malaysia jual beli dengan akad bai’ al-innah dibolehkan. Namun demikian ulama Timur Tengah dan Indonesia berpendapat bahwa bai’ al- innah tidak dibolehkan karena ketiga unsur iwad, yaitu risiko, kerja dan usaha, dan tanggung jawab tidak ada dalam transaksi ini, seluruh proses hanya dalam dokumen. 10 Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian lebih dalam tentang perpindahan akad pembiayaan ini ke dalam sebuah skripsi yang berjudul DESAIN AKAD PEMBIAYAAN TAKE OVER KPR SYARIAH DI BANK MUAMALAT INDONESIA.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah