15
BAB II MASYARAKAT DESA BANDAR PASIR MANDOGE SEBELUM TAHUN
1964
2.1 Letak dan Geogafis
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge merupakan salah satu kecamatan dari 25 kecamatan yang ada dibawah Pemerintahan Kabupaten Asahan. Kecamatan Bandar
Pasir Mandoge mempunyai Ibukota Desa Bandar Pasir Mandoge, dengan koordinat 2
o
46
l
, 15
ll
LU 99
o
20
l
, 34
ll
BT. Mempunyai batas wilayah : -
Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Huta Bayu Kab. Simalungun -
Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Buntu Pane Kab. Asahan -
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Bandar Pulau, Tinggi Raja Kab. Asahan, dan Kec. Pintu Pohan Meranti Kab. Tobasa
- Sebelah Barat bebatasan dengan Kec. Hatonduhan Kab. Simalungun
11
Desa Bandar Pasir Mandoge adalah salah satu desa dari 9 desa yang ada didalam kawasan Pemerintahan Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten
Asahan.Arti Nama : Pelabuhan dengan tanah berpasir yang dipimpin oleh seorng Raja bermarga Manurung.Sejarah Nama : Tempat Perdagangan Barter antara
masyarakat dari Dataran Tinggi Toba dengan Pedagang Dari Tanjung Balai. Desa ini memiliki Luas 5500 Ha. Desa ini terdiri dari 13 Dusun, 9 Dusun Perkampungan
11
Arsip Kantor Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, dalam buku : Pembukuan Unsur Rupabumi, Administrasi dan Alami, Kab. Asahan, Tahun 2000. hal. 101.
16
Rakyat dan 4 Dusun termasuk kedalam wilayah Perkebunan Dusun 7, 8, 9, 10. Adapun batas-batas wilayahnya adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sei Kopas
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Suka Makmur
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Huta Bagasan
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Huta Padang
12
Pada awal tahun 1950an wilayah Mandoge masih terdiri dari beberapa kampung diantaranya Ujung Sipinggan, Pasar Bambu, Buntu Maraja, Saut Maraja,
Pasir Mandoge, Perladaan. Kawasan ini masih dikelilingi oleh hutan alami dengan kayu-kayu besarnya yang sangat luas. Kegiatan utama masyarakatnya adalah bertani.
2.2 Keadaan Penduduk
Pada awal tahun 1950an, Jumlah Penduduk diperkirakan sebanyak 60 KK.Suku yang mendominasi adalah Suku Batak Tapanuli Utara seperti Sitorus,
Manurung, Butar-butar dan Sirait. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Pardembanan Sirih, perpaduan antara bahasa Tapanuli Utara dengan Simalungun,
namun menggunakan Dialek bahasa Asahan. Bahasa ini berkembang pada saat wilayah ini dikuasai oleh Kolonial Belanda, dan agama sebagai batas wilayah
masyarakat. Pada saat itu mandoge merupakan wilayah perbatasan antara Melayu Islam dan Simalungun Kristen serta Tapanuli Utara Kristen.
13
12
Arsip Kantor Desa Bandar Pasir Mandoge, dalam : Papan Tabel Profil Desa dan Batas Wilayah, Sensus Penduduk 2010.
13
Hasil Wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat Bapak S. Surbakti, Dusun II Desa Bandar Pasir Mandoge, 19 Maret 2015, Pukul 16.30 WIB.
Namun
17
masyarakatnya juga masih terkenal dengan ilmu-ilmu hitam atau ilmu ghaib. Bahkan julukan kampung ilmu ghaib pernah dilekatkan pada kampung-kampung yang ada di
Mandoge ini. Namun seiring berjalannya waktu, semua segi kehidupan mengalami perubahan. Bahkan saat ini isu ilmu ghaib sudah tidak terdengar lagi dilingkungan
masyarakat.
Mereka bertempat tinggal di perladangan masing-masing karena menganut sistem ladang berpindah.Penduduk Desa Mandoge pada awal tahun 1950an juga
sudah mengenal pakaian namun pakaiannya masih bersifat konvensional seadanya dan sudah tidak primitif lagi pakaian terbuat dari kulit kayu. Mereka sudah
mengenal tempat tinggal, walaupun tidak layakpakai pada masa itu, yaitu rumah dengan ukuran 5x6 M yang berbentuk rumah Panggung sekarang seperti gubuk
diladang, dimana atap rumah terbuat dari anyaman ilalang ataupun anyaman daun rumbia.
Ada juga atap yang lebih tahan lama tanpa dianyam yang ditumpuk menjadi satu dan disebut dengan Bane, apabila rumahnya menggunakan atap ini sang pemilik
rumah sudah dikategorikan sebagai orang kaya pada masa itu, karena atap ini sangat mahal. Tiang rumah terbuat dari batang kayu bulat, dan dibalut dengan dinding yang
terbuat dari kulit kayu ataupun daun bagot. Sedangkan lantai rumah terbuat dari belahan batang pinang ataupun batang nibung, dan sebagian juga ada yang dialasi
dengan tikar. Tidur diatas tikar dan tidak menggunakan bantal. Tujuan rumah panggung adalah untuk menghindari serangan dari binatang-binatang buas seperti
18
harimau, beruang, babi, dan lainnya, karena pada saat itu hutan alami masih sangat luas di wilayah Mandoge. Masyarakat bertempat tinggal diladang bertujuan untuk
menjaga ladang. Namun ada juga beberapa rumah yang sudah dibangun di pinggir jalan. Kalau berjalan malam harus bergandengan tangan, untuk menghindari terlepas
dari rombongan. Setiap pagi masyarakat pergi ke jurang Sungai mata air untuk mandi
ataupun mengambil air untuk kebutuhan minum dan memasak. Mengambil air menggunakan batang bambu yang biasa disebut Garigit
14
dan juga Tabu
15
yang dipikul.Ibu-ibu memasak menggunakan tungku dari batu dan menggunakan bahan
bakar dari kayu. Makan dengan ubi dicampur nasi, lauk ikan asin, sambal belacan dan lalapan.
16
Penyakit yang paling banyak menyerang masyarakat adalah demam,malaria dan sebagian TBC. Biasanya masyarakat berobat kepada Tabib atau Dukun kampung,
karena belum ada petugas kesehatan. Hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ghaib atau mistis juga sangat kental dimasyarakat.
17
14
Garigit adalah batang bambu yang salah satu ruasnya dilubangi sehingga bisa untuk tempat menyimpan air.
15
Tabu ini seperti buah labu, buah yang sudah kering kemudian bijinya dibuang, selain tempat air juga bisa sebagai tempat penyimpanan beras.
16
Hasil Wawancara dengan Bapak Syah Mu’in Aritonang, Dusun VI Desa Bandar Pasir Mandoge, 20 Maret 2015, Pukul 17.05 WIB.
17
Hasil Wawancara dengan Ibu Noor Br. Panjaitan, Dusun V Desa Bandar Pasir Mandoge, 20 Maret 2015, Pukul 11.10 WIB.
19
Masyarakat juga sudah mengenal agama, masyarakat terbagi kepada agama Islam, Kristen dan sebagian kecil aliran kepercayaan siPelebegu. Hal ini ditandai
dengan sudah adanya bangunan tempat ibadah seperti Mesjid dan Gereja yang terbuat dari papan dan atap rumbia. Masih berlantaikan Tanah. Ukurannya juga tidak terlalu
besar. Acara khusus keagamaan belum ada, hanya Ibadah wajib yang dilakukan masyarakat baik itu Islam ataupun Kristen seperti Sholat dan Sekolah minggu. Sudah
ada pemangku adat ataupun orang-orang Tua yang disegani dalam hal keagamaan.
18
Setelah dibangunnya asrama tentara ini kemudian masyarakat dikumpulkan disebuah barak di Kampung Buntu Maraja,disekitar lingkungan asrama untuk
menghindari serangan dari para pemberontak. Sebagian masyarakat ada yang mengungsi ke Kisaran dan Tanjung Balai untuk menyelamatkan diri dengan
meninggalkan semua perladangan mereka dan hanya membawa perbekalan seadanya. Para pengungsi ini menumpang motor balok ataupun motor tentara untuk menuju
Pada awal tahun 1958 sampai dengan tahun 1960, terjadi peperangan antara tentara pusat Pemerintah dengan kelompok pemberontak yang dinamakan PRRI
yang dipimpin oleh Simbolon dan Nainggolan. Markas Tentara berada di pinggir jalan, sedangkan para pemberontak bermarkas di tengah hutan.Masuknya tentara
kewilayah ini kemudian dilanjutkan dengan pembangunan asrama tentara dari kesatuan Batalion 138, pada tahun 1959.
18
Hasil Wawancara dengan Bapak Bahrim Panjaitan, Dusun VI Desa Bandar Pasir Mandoge, 24 Maret 2015, pukul. 20.00 WIB
20
Kisaran, yang memakan waktu 1 hari perjalanan, berangkat pagi sampai sore atau malam.
Pada tahun 1959 ini juga terjadi pemotongan harga uang dari Rp. 1000 menjadi Rp. 100, yang merupakan kebijakan dari Pemerintah Pusat yang bertujuan
untuk melemahkan nilai tukar mata uang dari pemberontak, sehingga melemahkan perekonomian mereka. Karena kuat dugaan para pemberontak ini mendapatkan
suplay persenjataan dari pihak asing.
19
Pada awal tahun 1960an ini sebenarnya masyarakat sudah mengenal sistem pemerintahan desa. Namun waktu itu masih disebut Kepala kampung. Beberapa
tahun kemudian sebutan untuk kepala kampung berubah menjadi Pangulu, Pak Ketua, dan terakhir Kepala Desa. Hal ini ditandai dengan sudah adanya jabatan kepala
kampung yang dipimpin oleh Muhammad Yusup. Kepala Kampung sudah dipilih langsung oleh masyarakat. Hal ini menandakan mereka sudah menganut sistem
Setelah Pemberontakan menyerah di Tapanuli pada tahun 1960, kemudian banyak masyarakat yang awalnya mengungsi ke Kisaran kembali lagi ke Mandoge
untuk berladang seperti semula. Karena keadaan sudah aman, masyarakat memulai kembali untuk berladang, ada beberapa masyarakat membangun rumah di pinggir
jalan utama kampung. Rumahnya masih berbentuk rumah panggung yang beratap nipah, berdinding kulit kayu dan berlantai batang pinang. Namun sebagian besar
masyarakat masih bertempat tinggal di ladang seperti biasanya.
19
Hasil wawancara dengan Bapak M. Djamil Sitorus, Dusun V Desa Bandar Pasir Mandoge, 22 Maret 2015, pukul 16.05 WIB.
21
demokrasi. Orang yang dipilih biasanya orang-orang yang memiliki pendidikan ilmu keagamaan dan pengetahuan yang luas, juga termasuk orang-orang yang
disegani di kampung tersebut. Namun belum ada aturan yang menetapkan berapa lama seseorang bisa menjabat sebagai kepala kampung.
Pada Tahun 1965, ada beberapa orang yang ditangkap oleh tentara pada saat terjadinya Gestapu. Banyak tentara yang didatagkan ke Bandar Pasir Mandoge untuk
melakukan pengamanan karena adanya organisasi terlarang PKI. Pemerintah menyuruh masyarakat membuat lubang letter L di dpan rumah masing-masing,
dengan tujuan awal untuk tempat perlindungan dan persembunyian. Akan tetapi, ternyata lubang itu adalah tempat untuk kuburan massal, karena pada saat itu banyak
masyarakat yang diberondong peluru tajam dan dimasukkan kedalam lubang tersebut. Masyarakat merasa ditipu oleh pemerintah.
2.3 Mata Pencaharian Perekonomian