Gambar 10. Oksigen Terlarut DO di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada musim peralihan
Menurut Boyd 1990, kadar oksigen terlarut perairan yang diperuntukkkan bagi kepentingan perikanan tidak kurang dari 5 mgl. Dalam
Akbar dkk 2002 mengatakan bahwa, untuk kegiatan budidaya ikan kerapu macan dan kerapu tikus dalam keramba jaring apung konsentrasi oksigen dalam
air yang sesuai lebih dari 5 mgl, lebih lanjut dijelaskan bahwa konsentrasi oksigen terlarut dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan dan
mengurangi daya dukung perairan. Oleh karena itu kondisi DO perairan pantai kecamatan Ampibabo dinilai sangat layak untuk kegiatan perikanan budidaya.
c. Biologycal Oxygen Demand BOD
Pengukuran BOD
5
pada bulan Mei 2006, diperoleh nilai BOD
5
berkisar antara 0.6 – 2.3 mgl dengan rata-rata 1.27 mgl. Nilai tertinggi 2.3 mgl
diperoleh di dekat dasar perairan pada stasiun 4 atau dekat pelabuhan desa Paranggi, sedangkan nilai terendah 0.6 mgl di peroleh pada permukaan air
stasiun 8Gambar 11. Tingginya nilai BOD menggambarkan semakin besarnya bahan organik
yang akan di dekomposisi dengan menggunakan oksigen di perairan. Apabila tidak diimbangi dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi juga, maka akan
mengganggu biota yang hidup di perairan. Selain itu akan menghasilkan bahan- bahan beracun sebagai hasil dari dekomposisi seperti amonia dan hidrogen
sulfida. Masih kurangnya kegiatan yang menghasilkan limbah, terutama limbah organik di wilayah pantai Ampibabo menyebabkan rendahnya nilai BOD
5
. Untuk kegiatan budidya ikan sistem keramba jaring apung nilai BOD
5
yang sesuai 5 mgl FAO, 1989. Lebih lanjut, berdasarkan kriteria baku mutu air laut
KEPMENLH Nomor 51 tahun 2004 untuk biota perairan nilai BOD
5
harus 20 mgl, dengan demikian nilai BOD
5
pada stasiun-stasiun pengamatan memenuhi kriteria untuk budidaya perikanan.
d. Derajat Keasaman pH
Berdasarkan hasil analisis lapangan pada musim peralihan, air laut menunjukkan nilai pH berkisar antara 7.1 – 8.9 dengan rata-rata 8.4. Nilai pH
pada permukaan berkisar antara 7.1 – 8.4 dengan rata-rata 8.05, pada pertengahan perairan berkisar antara 7.6 – 8.4 dengan rata-rata 8.10, sedangkan dekat dasar
perairan berkisar antara 7.8 – 8.4 dengan rata-rata 8.18 Gambar 12. Nilai pH yang diperoleh pada setiap stasiun umumnya bersifat basah, terkecuali nilai pH
pada permukaan muara sungai Towera yang hampir mendekati netral atau tujuh karena pengaruh air tawar.
- 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
1 2
3 4
5 6
7 8
9
Stasiun BO
D5 m
g l
Permukaan Pertengahan
Dekat Dasar
Gambar 11. Nilai BOD
5
di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006
Hinga 2002, mengatakan bahwa pada sebagian besar lingkungan pesisir mengalami perubahan 1 unit nilai pH dari 7.5 sampai 8.5, terkadang juga terjadi
perubahan dari pH lebih besar dari 9 atau kurang dari 7. Setiap spesies mempunyai batasan dalam beradaptasi terhadap perubahan nilai pH, karena
sebagian besar organisme laut mempunyai sesuai pada kisaran pH 7 sampai 8.5, di luar daripada itu dapat menggangu perumbuhannya. Lebih Lanjut, McDonald
1983 dalam Beveridge 1987, bahwa pH merupakan ukuran dari aktifitas ion hidrogen, penting dalam kegiatan budidaya karena nilai pH yang terlalu asam atau
basa dapat dengan cepat merusak permukaan insang, sampai menyebabkan kematian.
e. Amonia NH
3
-N
Berdasarkan hasil analisis contoh air di laboratorium diperoleh kadar Amonia pada stasiun 1 sampai 9 berkisar antara 0.277 – 0.535 mgl dengan rata-
rata 0.32 mgl. Nilai amonia tertinggi diperoleh pada stasiun 1 dekat dasar
perairan pantai desa lemo, sedangkan nilai terendah diperoleh pada stasiun 4 yaitu permukaan perairan pantai desa Paranggi atau dekat pelabuhan perikanan.
Gambar 13.
6.0 6.5
7.0 7.5
8.0 8.5
1 2
3 4
5 6
7 8
9
Stasiun PH
Permukaan Pertengahan
Dasar
Gambar 12. Nilai pH di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006
Perairan pantai kecamatan Ampibabo, di sekitarnya belum banyak terdapat aktivitas atau kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi kondisi perairan.
Dalam Hodgkiss Lu 2004, bahwa peningkatan aktifitas manusia di wilayah pesisir seperti limbah dan buangan manusia, peningkatan penggunaan pupuk
dalam kegiatan pertanian, aliran permukaan, masukan nutrien dari sungai, kegiatan pariwisata, budidaya laut, dan sebagainya merupakan penyebab
pencemaran lingkungan. Untuk kegiatan budidaya laut kadar amonia yang optimum mencapai 0
mgl. Akan tetapi dalam kisaran tertentu masih dapat di toleransi karena kondisi alamiah. Kadar amonia yang diperoleh hampir seluruh stasiun belum melebihi
batas nilai yang ditentukan untuk budidaya perikanan. Dalam FAO 1989, untuk kegiatan budidaya ikan sistem keramba jaring apung kandungan amonia di
perairan haruslah 0.5 mgl. Lebih lanjut, dalam KEPMENLH nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, memberikan batasan kadar amonia 0,3 mgl.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dari hasil pengukuran kadar amonia perairan layak untuk kegiatan budidaya atau untuk kehidupan biota lainnya.
f. Nitrat NO