Optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan

(1)

OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT

DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG

PROVINSI SULAWESI SELATAN

HASNI YULIANTI AZIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Hasni Yulianti Azis NIM. C261050101


(3)

ABSTRACT

HASNI YULIANTI AZIS. Optimized seaweed resources management in the coastal region of Bantaeng Regency, South Sulawesi Province. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN and WIDODO FARID MA’RUF.

Seaweed culture has been growing fast in Bantaeng Regency as it creates benefits with small capital and low risks, making fishermen and fish farmers change their works to be seaweed farmers. Main problem in seaweed culture management is high enthusiasm of coastal community cause the uncontrolled seaweed culture development without concerning suitability principles and capacity region for seaweed culture. Besides un-optimum harvesting. The aims of the study were to evaluate suitability and carrying capacity of region; to study sustainability of seaweed culture management; to optimize seaweed culture management. The study was conducted in two disctricts within Bantaeng Regency, namely Bantaeng District and Bissapu District. Survey method was applied to evaluate biophysic characteristic of seaweed culture region as a basis for suitability and capacity determination of seaweed culture. Region suitability was analyzed by GIS and carrying capacity was measured based on two approaches, that are region capacity approach and N assimilation approach; optimized utilization with dynamic system and sustainability analysis with RAP-RL, modification of RAPFISH. Results of the study revealed that suitable region for seaweed culture in the study area was 2 313.29 ha, consisted of highly suitable region of 415.31 ha and conditional suitable region of 1 897.99 ha. Aquatic carrying capacity with marine waters capacity approach was 1 203.23 ha, which was equal to 5 942 units. Meanwhile, with assimilation capacity approach was 1 650.64 ha or 6 603 units for brown Kappaphycu alvarezii (doty) and 2 073.72 ha or 8 295 culture units for green Kappaphycu alvarezii (doty). Optimization analysis showed in optimistic scenario was anthropogenic waste input to the coastal waters environment of Bantaeng and Bissapu Districts increased 50% from beginning condition (current condition), and this provided best result compared to increased 10% and 25% anthropogenic waste input from beginning condition, either in production, income, income contribution to the government, and labour use aspects. Analysis results from RAP-RL showed that sustainability value index of ecology dimension was 67.95% and economy dimension was 67.95% (enough sustainable); socio-culture dimension was 56.47% (enough sustainable); technology dimension was 32.42% and institution dimension was 39.83% (less sustainable). While, index value of sustainable multidimensions was 54.11% (enough sustainable).

Key words: seaweed cultivation, area suitability, carrying capacity, Optimized and sustainable.


(4)

RINGKASAN

HASNI YULIANTI AZIS. Optimasi Pengelolaan Sumberdaya RL di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G BENGEN, dan WIDODO FARID MA’RUF.

Potensi budidaya rumput laut wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng tidaklah terlalu besar jika dibandingkan dengan potensi beberapa Kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun mempunyai kontribusi yang besar bagi masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat umumnya bahkan Pemda Kabupaten Bantaeng dan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu produsen Kappaphycus alvarezii. Panjang garis pantainya secara keseluruhan hanya 21 km dan khusus untuk wilayah kajian panjang garis pantainya hanya 10.6 km.

Permasalahan utama dalam pengelolaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng adalah antusiasme masyarakat yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan pengembangan usaha budidaya rumput laut sangat pesat sehingga tidak terkendali akibatnya hampir semua wilayah pesisir telah ditanami rumput laut, menjorok ke laut hingga 3-4 km. Dan yang mengkhawatirkan bagi keberlanjutan usaha budidaya rumput laut ini adalah pengelolaan yang tidak memperhitungkan azas kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya.

Hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan lahan yang optimal dan pengelolaan budidaya rumput laut lebih ke arah peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, menentukan daya dukung lingkungan, optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut untuk keberlanjutan usaha budidaya rumput laut. Metoda dalam penelitian meliputi : (i) survei lapang untuk menilai kelayakan biofisik wilayah kajian; (ii) kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (GIS); (iii) daya dukung kawasan menggunakan 2 pendekatan; (iv) optimasi dengan sistem dinamik; dan (v) keberlanjutan dengan Rapfish. Hasil pengukuran parameter kualitas air masih layak atau mendukung untuk kegiatan budidaya rumput laut. Sementara kondisi oseanografi (kec.arus dan gelombang) hanya layak pada musim Barat dan musim Transisi.

Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) = 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) = 1 897.99 ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha.

Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut di kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan menggunakan pendekatan kapasitas perairan adalah 1 203.23 ha. Dan jumlah unit usaha budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut sebanyak 5 942 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi, diperoleh daya dukung kawasan sebesar 1 650.64 ha atau 6 603 unit untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 2 073.72 ha atau 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (doty) hijau. Penggunaan dua varietas rumput laut yakni


(5)

rumput laut berwarna coklat dan berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput laut tersebut.

Untuk analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut digunakan Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio). Biaya investasi Rp19 135 457; biaya operasional Rp3 324 764; biaya pemeliharaan Rp382 052; Pendapatan Rp33 659 130. Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75% memberikan nilai Rp18 040 887. Hasil perhitungan BCR memberikan nilai 9.58

Skenario yang paling optimal adalah skenario ke 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir wilayah kajian mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 757.28 ton. Luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 978.03 ha–2 815.16 ha atau 7 912 unit– 11 261 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas 2 485.03 ha–3 536.73 ha atau 9 940 unit–14 147 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan menjadi 1 312.94 ton/hari–1 868.59 ton N/hari. Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 11 216.59–16 013.12 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 45304–17 778.21 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 098.29–18 699.37 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 14 091.57–20 117.39 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 15 644.94–22 335.02 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 16 455.57–23 492.29 ton.

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat: jarak tanam 25 cm sebesar Rp7 217 626 176.22–Rp10 272 233 877.83; jarak tanam 35 cm sebesar Rp7 278 792 499.74–Rp10 359 286 707.30; jarak tanam 45 cm sebesar Rp7 274 921 213.44–Rp10 353 777 034.55 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp721 762 617.62–Rp1 027 223 387.78; Rp727 879 249.97–Rp1 035 928 670.73; Rp727 492 121.34–Rp1 035 377 703.45

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii hijau: jarak tanam 25 cm sebesar Rp9 067 611 041.88; jarak tanam 35 cm sebesar Rp9 144 455 203.25–

Rp13 014 525 862.06; jarak tanam 45 cm sebesar Rp9 139 591 648.73 – Rp13 007 603 978.30 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing

sebesar Rp906 761 104.19–Rp1 290 516 009.85; Rp914 445 520.32– Rp1 301 452 586.21; dan Rp913 959 164.87–Rp1 300 760 397.83

Tingkat serapan tenaga kerja untuk K.alvarezii jenis coklat sebanyak 23 736–33 781 orang atau 569 672–810 766.44 HOK/th. Sedangkan K.alvarezii jenis hijau sebanyak 29 820–42 440 orang atau 715 688–1 018 577 HOK/th.

Hasil analisis Rap-RP (adaptasi dari Rapfish) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 67.95%, ekonomi sebesar 67.95%, sosial-budaya 56.47% dengan status cukup berkelanjutan, teknologi sebesar 32.42% dan kelembagaan 39.84% dengan status kurang berkelanjutan. Sedangkan nilai indeks multi-dimensi sebesar 54.11 % dengan status cukup berkelanjutan.

Kata kunci: rumput laut, kesesuaian kawasan, daya dukung perairan, Optimasi dan keberlanjutan


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang – Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI

WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG,

PROVINSI SULAWESI SELATAN

HASNI YULIANTI AZIS

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Ujian Tertutup Tanggal 22 November 2010 Penguji Luar Komisi:

1. Dr. Ir. Etty Riani, MS

(Staf Pengajar Departemen MSP IPB) 2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

(Staf Pengajar Departemen MSP IPB)

Ujian Terbuka Tanggal 24 Januari 2011 Penguji Luar Komisi:

1. Dr. Ir. Etty Riani, MS

(Staf Pengajar Departemen MSP IPB) 2. Prof. Ir. Nurdin Abdullah, MSc., Ph.D


(9)

Judul Disertasi : Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng,

Provinsi Sulawesi Selatan Nama : Hansi Yulianti Azis

NIM : C261050101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

Anggota Anggota

Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc. Ph.D

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

dan Lautan

Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian 22 November 2010 Tanggal Lulus...


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul ” Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan”.

Disertasi ini memuat 9 bab yang terdiri atas pendahuluan; tinjauan pustaka; metodologi penelitian; kondisi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi; kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya; optimasi pemanfaatan wilayah pesisir; keberlanjutan usaha budidaya rumput laut; arahan pengelolaan sumberdaya rumput laut dan kesimpulan dan saran. Bagian dari disertasi ini akan dimuat pada buletin penelitian Seri Sosial Budaya dan Humaniora serta jurnal Nusa Esda.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

o Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing serta Prof.Dr.Ir.Dietriech G. Bengen, DEA dan Bapak Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc., Ph.D masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kebaikan dan kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

o Keluarga Bapak Drs.H.Nurland/Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MSi, Ketua Pusat Studi Gender Universitas Hasanuddin dan Keluarga Prof. Dr. Ir. H. Restu, Msi. Dekan Fak. Kehutanan Universitas Hasanuddin atas segala doa, semangat dan bantuan materi selama penulis dalam proses pendidikan Doktoral.

o Bapak Prof. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Sc. sekeluarga, Bupati Bantaeng atas segala fasilitas dan bantuan dana selama penulis melaksanakan penelitian di Kabupaten Bantaeng.

o Bapak Ir. Muh. Kasang, Msi, mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelauatan Kabupaten Bantaeng; Bapak Ir. Edy Wahyudi, KaSubdin Perikanan Kabupaten Bantaeng, atas segala bantuan dan kemudahan yang penulis alami selama penelitian.

o Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS selama tiga tahun. o Coremap yang telah memberikan bantuan penulisan disertasi

o Pimpinan Universitas Hasanuddin dan Dekan FIKP Unhas yang telah memberikan izin studi.

o Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas perkenannya sehingga saya bisa kuliah di sini.

o Ketua Departemen MSP dan Ketua Program Studi SPL serta seluruh staf Program Studi SPL atas segala pelayanan akademik yang bersahabat selama penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi SPL.

o Rekan-rekan di FIKP Unhas yang selalu menyemangati supaya cepat selesai. Juga kepada Nur Ikhsan (Iccank) yang telah membatu selama survey dan pengambilan sampel di Laut serta Baharuddin yang sangat lihay mengendalikan


(11)

perahunya sehingga penulis tetap bisa mengukur dan mengambil sampel di tengah gelombang.

o Rekan – rekan pada Program Studi SPL dan terkhusus kepada Pak David Hermawan, Ibu Fatmawati, dan Ibu Nirmala atas segala persaudaraan, persahabatan dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan di SPL serta adik Awir, Ir. Muh Yusuf Halim, MSi, Dr. Rahman Kurniawan, Dr. Muhammad Hery Riyadi Alauddin, Dr. Alimuddin Laapo, Ir. Dori Rachmawani, MSi atas segala bantuannya selama proses analisis data serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu selama kuliah dan pelaksanaan penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi ini.

o Kepada Ibu Nadiarti, Kel. Bapak Haris Bahrun, Kel. Bapak Arif Nasution, Kel. Ibu Rosmawaty Anwar, teman dalam suka dan duka selama pendidikan.

o Khusus kepada “Pahlawanku” dan “Teladanku”, Ibundaku tercinta, Hanisa (almarhumah), yang single parent, dalam kondisi ekonomi yang sangat jauh dari mencukupi, berjuang dengan sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi semoga semuanya menjadi amal ibadah Ibunda disisiNya; untuk Ayahanda tercinta Abd. Azis (almarhum) yang telah pergi mendahului sejak kami kecil, atas semangat juang yang diwariskan kepada anak-anaknya; kepada Bapaknya anak-anak Ir. Syamsul Holiq dan anak-anakku tersayang Arga Probowisesa, Sudewo Were ri Langi dan Rio Priantoro, adik-adikku Ir. Muh. Natsir Azis sekeluarga dan Haslinda Azis, SE sekeluarga; keluarga besar Bapak Mayor (Purnawirawan) H.P. Jaya dan seluruh keluarga yang lain atas dukungan moril/materil, pengertian, kesabaran, doa, dan kasih sayang selama penulis mengikuti pendidikan di IPB serta yang tak kalah besar peranannya, Bi Tinah, yang setia membantu membereskan segala urusan rumah tangga sejak kami di Bogor.

Saya menyadari bahwa penelitian dan disertasi ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran untuk perbaikannya sangat kami hargai. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bisa diaplikasikan oleh masyarakat nelayan rumput laut umumnya dan khususnya nelayan rumput laut Kabupaten Bantaeng.

Bogor, Januari 2011

Hasni Y. Azis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada 27 Juli 1964. Merupakan sulung dari tiga bersaudara, putri pasangan Hanisa (almarhumah) dan Abd. Azis (almarhum).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Perikanan Universitas Hasanuddin dan Magister sains di Program Sistem-Sistem Pertanian Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Kemudian melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) di IPB sejak tahun 2005. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi budidaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1991.


(13)

xv DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ...

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

ix xvii xix xxvii

I PENDAHULUAN………...…………

1.1 Latar Belakang ……….…..……….. 1.2 Rumusan Masalah ……….……...………… 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….……… 1.3.1 Tujuan Penelitian ……….……… 1.3.2 Kegunaan Penelitian ……….………… 1.4 Kerangka Pikir ……… 1.5 Novelty Penelitian ………

1 1 3 4 4 4 5 7

II TINJAUAN PUSTAKA ………

2.1 Pengertian Wilayah Pesisir ……….. 2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan

Wilayah Pesisir Secara Terpadu ……… 2.3 Rumput Laut ……….. 2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii………. 2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut …….… 2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut……… 2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut .. 2.3.5 Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut Indonesia … 2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut …….…………. 2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut….……… 2.6 Pemodelan Sistem Dinamik ………

9 9 10 20 20 22 22 23 25 27 29 31

III METODOLOGI PENELITIAN ………

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 3.2 Tahapan Penelitian ……… 3.3 Metode Penelitian ………

37 37 38 38


(14)

xvi

3.3.1 Sumber Data dan Prosedur Penelitian ……… 3.3.2 Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir ……… 3.4 Analisis Data ……… 3.4.1 Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 3.4.2 Analisis Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut.. 3.4.3 Analisis Kelayakan Usaha... 3.4.4 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut

dengan Pendekatan Sistem Dinamik ... 3.4.5 Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut ...

38 38 40 40 42 44 45 52 IV V

KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG ………

4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi) ... 4.1.1 Administrasi ... 4.1.2 Topografi ... 4.1.3 Iklim ... 4.1.4 Kondisi Oseanografi ... 4.1.5 Parameter Kualitas Air ... 4.2 Aspek Sosial-Budaya ...

4.2.1 Penduduk ... 4.2.2 Pendidikan... 4.2.3 Kesehatan... 4.2.4 Kelembagaan ... 4.3 Aspek Perekonomian ...

4.3.1 Sumberdaya Perikanan... 4.3.2 Kegiatan Usaha Budidaya Rumput Laut... KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT ………. 5.1 Kesesuaian Kawasa Budidaya Rumput Laut...

5.2 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 5.2.1 Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut...

59 59 59 60 60 63 66 73 73 75 78 79 83 84 87 91 91 93 96


(15)

xvii VI

VII

OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR

KABUPATEN BANTAENG ……….…… 6.1 Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ………. 6.2 Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut ……… 6.3 Sub Model Ekonomi ……… 6.4 Sub Model Tenaga Kerja ………. 6.5 Simulasi Skenario Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengelolaan

Budidaya Rumput Laut ………. KEBERLANJUTAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT …… 7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ... 7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ... 7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya... 7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi... 7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan... 7.6 Status Keberlanjutan Multi-Dimensi...

99 101 102 103 104

104 129 129 132 135 137 141 144 VIII

IX

ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT……….. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 5.1 Kesimpulan ………. 5.2 Saran ………

149 155 155 155 DAFTAR PUSTAKA ... 157


(16)

xviii DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Kondisi dan persyaratan tumbuh Kappaphycus alvarezii... Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009 ... Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut

Indonesia Tahun 2001-2004 ... Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten. Bantaeng

Tahun 2001-2008 ... Jenis, alat/cara analisis dan sumber data dalam rencana penelitian... Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode

longline. ... Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput

laut di Kab. Bantaeng ... Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut

yang optimal di Kabupaten Bantaeng ... Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng... Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ... Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ... Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan ….. Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut ……….. Luas Wilayah Daratan dan Pembagian Wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bantaeng 2007 ... Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007 ... Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007... Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, 2009...

22 25 26 27 38 40 46 50 50 51 52 54 56 59 77 77 78


(17)

xix 18

19 20 21 22

23 24

Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut Kecamatan di Kabupaten Bantaeng 2007 ... Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008... Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 2008 ...

Hasil analisis usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 2009 …. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik

pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………..……… Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte

Carlo.....

Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²)….. 84 85 87 96

100 147 147


(18)

xx DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Alur Pikir Optimasi Pengelolaanan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng………. Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)...

Kappaphycus alvarezii (doty) (Doty, 1985) ...

Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010)... Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007... Peta lokasi penelitian ... Tahapan rencana penelitian ... Skema unit budidaya rumput laut. ………. Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di

Kabupaten Bantaeng... Diagram input-output (Hartrisari, 2007)... Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 1998) ... Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput lautdi Kabupaten Bantaeng... Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya

rumput laut ……….. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha rumput lautn di Kabupaten Bantaeng………. Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng... Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten

Bantaeng... Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……… Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………. Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…. Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…….. Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………..

6 15 21 24 26 37 38 43 47 48 49 51 56 57 61 62 64 66 67 68 69


(19)

xxi 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

Peta pH perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……….. Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng… Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng… Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun 2003-2007 ... Persentase penduduk usia 10 ke atas menurut status pendidikannya di Kabupaten Bantaeng ………

Persentase mata pencaharian masyarakat pesisir yang menjadi responden……….. Persentase kisaran usia responden. ……… Peta kesesuaian lahan budidaya rumput Laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………. Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ……… Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut ……….... Sub Model Ekonomi Rumput Laut ………..….… Sub Model Tenaga Kerja budidaya Rumput Laut ………..….. Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik

selama masa pemeliharaan (45 hari) ………... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan

budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……… Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan

(minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng ………..…….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………..

70 71 72 74 76 87 88 93 101 102 103 104 106 106 107 107 108 108


(20)

xxii 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52

Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) ……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min–

maks.)………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal –

maksimal) ……… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik

selama masa pemeliharaan (45 hari) ………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari

pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir

Kabupaten Bantaeng ……….. Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ……….

108 109 110 110 111 111 112 112 112 113 113 114


(21)

xxiii 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64

Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25cm) Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) ………... Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut 5jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik

selama masa pemeliharaan (45 hari) ………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari

pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng ……… Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………... Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam

114 115 115 116 116 117 117 118 118 119 119 119


(22)

xxiv 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77

( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)…… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)……… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik

selama masa pemeliharaan (45 hari) ………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi peraira pesisir Kabupaten Bantaeng ………... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ……….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……….………..

120 121 121 121 122 122 123 123 124 124 125 125 125


(23)

xxv 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91

Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitasasimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan

(jarak tanam 25 cm) ………...……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan

(jarak tanam 35 cm) ………. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……… Indeks keberlanjutan dimensi ekologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ..……… Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya usaha budidaya rumput

laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……… Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan

dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi teknologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………. Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan usaha budidaya rumput

laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……….. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan

126 127 127 128 128 130 131 133 134 136 137 138 142 143


(24)

xxvi 92

93 94

dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari lima dimensi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir

Kabupaten Bantaeng ... Indeks keberlanjutan multidimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ……… Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam

bentuk nilai root mean square (RMS)...

144

145 146 147


(25)

xxviii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Produsen dan jumlah produksi K.alvarezii dunia... Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di

Kabupaten Bantaeng ... Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten

Bantaeng ... Data oseanografi dan kualitas air wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng 2009 ………... Unit pelayanan kesehatan menurut Kecamatan di Kabupaten.

Bantaeng, 2007 ……… Perkembangan personil lingkup kesehatan di Kabupaten Bantaeng

2002-2007 ………..……….. Produksi Subsektor Rumput Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun

2000-2004 ...

Identitas nelayan budidaya rumput laut (responden) ... Luas lahan budidaya rumput laut per responden di Kabupaten

Bantaeng 2009 ……….

Layer/peta tematik analisis kesesuaian kawasan budidaya rumput alut

di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan

Bissapu………... Analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan kapasitas perairan ………. Estimasi luas kawasan budidaya ruput laut berdasarkan kapasitas asimilasiperairan pesisir Kabupaten Bantaeng………. Biaya investasi budidaya rumput laut ………..……… Biaya operasional budidaya rumput laut ……….…… Biaya pemeliharaan budidaya rumput laut per panen ………..

165 165 166 166 167 167 168 169 170 171 175 176 182 183 185


(26)

xxix 16

17

Analisis Biaya usaha budidaya rumput laut ……….……… Analisis B/C Ratio budidaya rumput laut……….…

188 189 18

19 20 21

Model matematis sub produksi rumput laut... Model matematis sub daya dukung rumput laut... Model matematis sub ekonomi rumput laut... Model matematis sub tenaga kerja usaha budidaya rumput laut...

191 194 197 199


(27)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif jika ditinjau dari berbagai macam peruntukannya (Supriharyono 2000) dan sumberdaya yang dimilikinya (Dahuri 2001). Kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir antara lain; pemukiman, industri, pengilangan minyak, rekreasi dan pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap (Bengen 2005), dan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya nir-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati terdiri dari berbagai jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nir-hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir (Undang undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007).

Realitas sebagaimana dikemukakan di atas juga dijumpai di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, diantaranya saat ini masyarakat memanfaatkan wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut berkembang seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan serta mahalnya biaya operasional akibat harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus naik. Perkembangan kegiatan rumput laut yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng bisa dilihat dari produksi dan area budidaya yang terus meningkat. Pada tahun 2001, luas area yang dimanfaatkan sebesar 505.2 ha dengan total produksi rumput laut yang dihasilkan sebesar 120.1 ton, sedangkan pada tahun 2008 luas areal yang dimanfaatkan telah bertambah menjadi 3 792 ha dengan produksi 7 677.55 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 2009). Dengan demikian, dalam kurun waktu dari tahun 2001-2008 untuk luas areal budidaya telah bertambah menjadi 3 286.8 ha (657%) dan untuk produksi rumput laut yang dihasilkan telah bertambah menjadi 7 557.44 ton (630%).


(28)

2

Terjadinya peningkatan budidaya rumput laut diantaranya diakibatkan oleh meningkatnya permintaan pasar dunia terhadap karagenan (Ma’ruf 2005).

Karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii (K.alvarezii).

Permintaan pasar karagenan pada tahun 2005 adalah 260 571.05 ton dan diproyeksikan pada tahun 2008 permintaan akan mencapai 1 643 561 ton.

Karagenan diperlukan sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengental),

pembentuk gel, pengemulsi pada industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno 1996) dan menurut Ma’ruf (2005), dari jumlah kebutuhan tersebut pada saat ini produsen rumput laut dunia baru dapat memenuhi sekitar 70%. Dengan demikian, seiring dengan pertambahan penduduk dunia, yang tentunya diikuti dengan peningkatan kebutuhkan pangan, obat-obatan dan industri lainnya, maka pasar karagenan semakin terbuka lebar baik untuk kebutuhan ekspor maupun domestik.

Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di

dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Adapun Provinsi Sulawesi Selatan

merupakan Provinsi penyumbang rumput laut K.alvarezii terbesar di Indonesia,

memiliki luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut sekitar 250 000 ha dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Produksi pada tahun 2003 mencapai 21 581 Ton berat kering. Menurut Subdin Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 2006, dari produksi Provinsi Sulawesi Selatan tersebut, Kabupaten Bantaeng menyumbang sekitar 720.4 ton berat kering yang diproduksi dari lahan seluas 1 875 ha Hasil penelitian Crawford (2002) di Sulawesi Utara dan Filipina, mendapatkan kegiatan budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil. Demikian halnya dengan masyarakat pesisir Kabupaten Bantaeng. Saat ini kegiatan rumput laut bukan lagi hanya sekedar pekerjaan sampingan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, akan tetapi telah menjadi salah satu mata pencaharian utama. Bahkan kegiatan rumput laut menjadi tumpuan harapan baru untuk memperbaiki kondisi ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan mereka yang selama ini identik dengan kemiskinan.


(29)

3

Kegiatan budidaya rumput laut K.alvarezii dipilih oleh masyarakat karena

beberapa kelebihannya, antara lain: 1) masa panen relatif singkat yaitu 45 hari, tanpa menggunakan pupuk dan bibit yang khusus, mempunyai nilai ekonomis yang tinggi tanpa merusak lingkungan, 2) budidaya mudah dan biaya rendah, dan 3) pasar tersedia, terutama melalui ponggawa (Ma’ruf 2005).

Selain itu, antusiasme masyarakat terhadap kegiatan rumput laut juga dipacu dengan tingginya harga rumput laut. Pada bulan Juli 2008, harga rumput laut kering di tingkat petani Kabupaten Bantaeng, mencapai Rp8 000,- /kg berat kering dan naik lagi menjadi sekitar Rp12 000,-/kg berat kering pada Mei 2010 (komunikasi pribadi).

Kondisi tersebut di atas, mengakibatkan kegiatan rumput laut di pesisir Kabupaten Bantaeng, menjadi tidak terkendali. Masyarakat memanfaatkan setiap jengkal laut pesisir untuk budidaya rumput laut, sehingga sepanjang garis pantai Kabupaten Bantaeng, telah ditanami rumput laut hingga lebih 3 km ke arah laut yang diduga tanpa memperhitungkan azas kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Apabila hal ini terus berlanjut maka kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan yang bisa menurunkan produktivitas dan kualitas rumput laut yang dihasilkan sehingga kegiatan rumput laut yang saat ini telah menjadi harapan baru bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraannya, diduga bisa terancam keberlanjutannya. Karena itu, penelitian tentang kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut, perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah utama dalam upaya optimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, sebagai berikut:

1. Pengembangan yang tidak terencana dengan baik

2. Meningkatnya harga rumput laut akibat permintaan pasar


(30)

4

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang dilakukan adalah:

1. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk pengembangan

rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

2. Mengoptimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten

Bantaeng.

3. Menelaah keberlanjutan pengelolaan kegiatan rumput laut di wilayah pesisir

Kabupaten Bantaeng.

1.3.2 Kegunaan Penelitian.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:

1. Ilmu Pengetahuan. Selama ini penelitian tentang kegiatan rumput laut

dilakukan secara parsial, sedangkan penelitian ini dilakukan dengan melihat berbagai dimensi secara menyeluruh, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan. Karena itu, diharapkan dapat menjadi acuan yang lebih komprehensif bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi dalam pengembangan kegiatan rumput laut yang berkelanjutan.

2. Nelayan rumput laut. Pengembangan kegiatan rumput laut oleh masyarakat

akan disesuaikan dengan daya dukung lahan, sehingga kegiatan mereka dapat optimal dan berkelanjutan.

3. Pengusaha. Akan diperoleh bahan baku yang memiliki kualitas, kuantitas dan

kontinyuitas yang terjamin untuk industri pengolahan rumput laut.

4. Pemerintah. Pertama, suatu referensi tentang tata ruang terkait dengan

pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; kedua, mendukung pemerintah di

dalam penentuan produk unggulan daerah; dan ketiga, sebagai bahan acuan

dalam merumuskan kebijakan pada pengembangan kegiatan rumput laut agar menjadi basis yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, utamanya bagi petani rumput laut yang selama ini masih hidup dalam kemiskinan.


(31)

5

1.4 Kerangka Pikir

Kegiatan rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten

Bantaeng. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan luas lahan budidaya rumput laut setiap tahun, yakni pada tahun 2001 baru 505.2 ha; tahun 2002 menjadi 885.2 ha; tahun 2003, 1 875 ha; tahun 2004, 1952 ha; dan pada tahun 2005 telah mencapai 1965 ha (Subdin Perikanan dan Kelautan 2006). Akan tetapi pengelolaannya belum optimal, baik dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologinya maupun kelembagaannya.

Penanaman rumput laut yang dilakukan di sepanjang wilayah pesisir yang lebarnya mencapai 3-5 km ke arah laut tidak memperhatikan unsur kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan sehingga bisa berakibat terjadinya degradasi lahan budidaya jika dilihat dari dimensi ekologi. Efek selanjutnya kemungkinan produktivitas dan kualitas bisa menurun yang berarti akan mempengaruhi dimensi ekonomi dengan menurunnya pendapatan yang diperoleh petani rumput laut. Menurunnya tingkat pendapatan akan mempengaruhi kesejateraan keluarga petani sehingga sulit memenuhi kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya dan kesehatan keluarga. Budidaya yang memanfaatkan wilayah pesisir secara maksimal tanpa menyisakan jalur lalu lintas perahu dan ruang untuk kegiatan

memancing kadang-kadang menimbulkan konflik diantara stakeholder. Sampai

saat ini, belum ada kelembagaan yang bisa memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses modal, keterampilan budidaya, peningkatan kualitas produk dan informasi pasar.

Permasalahan rumput laut sampai saat ini di Kabupaten Bantaeng adalah pemanfaatan lahan yang tidak terkendali akibat antusiasme masyarakat yang sangat tinggi terhadap kegiatan rumput laut. Apabila hal ini terus berlanjut tanpa adanya pengaturan, dikhawatirkan akan mengakibatan terlampauinya daya dukung perairan terhadap budidaya rumput laut yang bisa menyebabkan degradasi lahan yang pada akhirnya bisa berpengaruh terhadap produktivitas, kualitas dan kontinuitas produksi rumput laut. Lebih ke belakang lagi, faktor-faktor penyebab

permasalahan ini disebabkan karena para stakeholder belum terkoordinir serta

belum mempunya visi yang sama pada pengelolaan kegiatan rumput laut, mulai dari petani rumput laut sebagai produsen, pedagang pengumpul (ponggawa),


(32)

6

pedagang besar hingga ke pengusaha pengolah chip dan powder serta semua jasa

pendukungnya dalam rangka kemajuan bersama.

Gambar 1 Alur Pikir Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng

Kawasan Pesisir Kabupaten Bantaeng

Analisis Pengelolaan RL di Kawasan pesisir Kab. Bantaeng

Kesesuaian Biofisik

1. Teknologi BD 2. Pascapanen 3. SDM

4. Kelembagaan

Akar Permasalahan

1. Antusiasme

masyarakat

2. Pengelolaan

belum tepat

1. Konflik Pemanfaatan Tata Ruang 2. Pencemaran

Analisis:

1. Kelayakan

Kegiatan

2. Teknologi BD

3. Kelembagaan

4. Kebutuhan

Daya Dukung Kawasan

Keberlanjutan

Kesesuaian Oseanografi

Kesesuaian Kualitas Air

Analisis Kesesuaian

MODEL OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBEDAYA RUMPUT LAUT

DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG


(33)

7

Pengelolaan yang optimal dan terpadu diantara semua stakeholder,

merupakan salah satu konsep yang bisa mengatasi permasalahan tersebut dari

akarnya. Dan agar semua stakeholder bisa dikoordinir maka konsep pengelolaan

tersebut harus bisa memberikan keuntungan secara proporsional kepada setiap

stakeholder. Konsep pengelolaan yang terpadu dan bisa memberikan keuntungan

secara proporsional kepada setiap stakeholder, dengan dukungan data dari

berbagai hasil analisis seperti hasil analisis kesesuaian lahan, daya dukung

lingkungan, ekonomi, sosial budaya, supply-demand, teknologi budidaya dan

pasca panen, diharapkan akan bisa menjamin keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut masyarakat, baik dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi maupun kelembagaan.

1.5 Novelty Penelitian:

Hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, diperoleh informasi bahwa penelitian rumput laut yang telah dilakukan sudah sangat banyak, seperti yang telah dilakukan oleh Syahputra (2005) tentang pertumbuhan dan kandungan

karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan

dan jarak tanam yang berbeda; tentang pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut

K.alvarezii (Amarullah 2007); Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan

karaginan rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di

perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara (Kusdi HI Iksan 2005); Kajian

ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii di

kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT (Kamlasi 2008); Kajian ekologi-ekonomi kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara (Lukas Lotharius Jansen Josef Mondoringin 2005); Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan

rumput laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari

Kepulauan Seribu (Amiluddin 2007) serta Kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sallata 2007).

Penelitian yang telah dilakukan tersebut, adalah penelitian aspek-aspek budidaya, ekonomi, ekologi, penanganan pascapanen dan pengolahan pasca panen


(34)

8

yang dilaksanakan secara parsial pada setiap aspek. Belum dilakukan secara menyeluruh pada setiap aspek. Lokasi dari setiap penelitian di atas merupakan daerah terlindung, seperti teluk, sesuai dengan referensi bahwa salah satu kriteria/persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah wilayah yang terlindung atau perairan pulau-pulau kecil yang tidak terlalu dipengaruhi oleh gelombang dan

arus kuat, pencemaran antropogenik dan limpasan air tawar dari aliran sungai.

Berbeda dengan wilayah kajian yang merupakan peraian terbuka yang berada pada wilayah pesisir pulau besar.

Ditinjau dari aspek produksi rumput laut yang dihasilkan, produksi pada perairan terbuka pada musim timur sama atau bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan terlindung. Produktivitas pada wilayah kajian adalah 2-3 ton//ha/panen sementara hasil penelitian Kamlasi 2008, menemukan 1.5 ton/ha/panen; Budiyono 2003, mendapatkan 40-60 ton berat basah/ha/Tahun; Mondoringi 2005, mendapatkan 3 093 ton berat kering/ha/panen

Novelty dari penelitian ini adalah:

1. Dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dari berbagai aspek yaitu aspek

ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan mulai dari tahap budidaya sampai tahap pemasaran.

2. Lokasi penelitian yang merupakan perairan terbuka menurut panduan teknis

budidaya tidak memenuhi syarat untuk kegiatan budidaya rumput laut ternyata produktivitasnya sama bahkan lebih besar dibandingkan dengan perairan yang terlindung


(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Wilayah Pesisir

Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini belum ada definisi wilayah

pesisir yang baku. Namun demikian, berdasarkan beberapa literatur terdapat kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan

dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir

mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai

(long shore) dan batas yang tegak lurus pantai (cross shore). Dalam Undang

Undang No. 27 Tahun 2007, disebutkan bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Hampir sama dengan yang telah didefinisikan oleh Bengen (2004a), yakni wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dari daratan, batasnya meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan yang tidak tergenang tetapi masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi air laut. Adapun batas di laut berupa daerah-daerah yang dipengaruhi proses-proses laut seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di

daratan. Demikian juga menurut Carter (1988) dalam Haslett (2000) bahwa

wilayah pesisir adalah area arah ke darat yang masih dipengaruhi laut dan batas ke

arah laut yang masih dipengaruhi daratan serta menurut Beatley et al. (1994)

dalam Dahuri (2001) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir didefinisikan

sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut

meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Kay dan Alder (2005)

melaporkan bahwa ada beberapa definisi yang digunakan oleh berbagai organisasi/pemerintahan internasional dan nasional, yanng secara garis besar dapat dipilah dalam dua kecenderungan, yaitu: definisi berdasarkan pendekatan biofisika dan definisi berdasarkan pendekatan kebijakan.

Ditinjau dari berbagai macam peruntukannya, wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif (Supriharyono 2000). Menurut Rokhmin (2001), Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi


(36)

10

daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat.

Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait

(stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk

meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait tersebut menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun pihak lain. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu kompetisi pemanfaatan dan tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Bila konflik ini berlangsung terus akan mengurangi efektivitas pengelolaannya sehingga sumberdaya pesisir akan mengalami degradasi biofisik.

Degradasi biofisik sumberdaya pesisir dibeberapa tempat, telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, antara lain: deforestasi hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, merosotnya kualitas taman bawah laut, tangkap ikan lebih

(overfishing), terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong;

meningkatnya laju pencemaran, berkembangnya erosi pantai, meluasnya sedimentasi serta intrusi air laut (Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu). Sebab itu, untuk mengeliminir degradasi biofisik di kawasan pesisir yang terus berlangsung diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu.

2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Pengelolaan adalah suatu upaya agar suatu perairan tetap memiliki fungsi/kemampuan memproduksi secara berkelanjutan secara alami maupun melalui pemanfaatan. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara


(37)

11

ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Undang undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007). Selanjutnya, Dahuri (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu

(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.

Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis, maupun administratif. Batas hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan akan mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan batas administratif dibutuhkan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui dengan jelas.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didefinisikan oleh Cicin-Sain dan Knecht (1998), sebagai suatu proses dinamis dan kontinu dalam membuat keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan kawasan pesisir dan lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Jadi pada dasarnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah bertujuan agar pemanfaatan sumberdaya bisa berkelanjutan, yakni pemanfaatan (pembangunan) yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas Munasinghe (2002) menyatakan bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the

World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987

dengan laporannya yang berjudul Our Common Future (Cicin-Sain dan Knecht,

1998; Kay dan Alder, 2005; Chua, 2006). Laporan ini sering disebut Laporan

Brundtland (The Brundtland Report) karena dibuat oleh tim ahli yang dipimpin


(38)

12

pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Banyak definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam literatur, mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kebijakan (Pizzey,

1989; Daly, 1994; Dixon dan Fallon, 1989; Turner et al., 1993; Tiesdal, 1991;

Cicin-Sain, 1993 dalam Haq, 1997).

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju

kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan

alam, untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa

lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi

mendatang (Bengen 2003). Atau Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan sosioekonomi secara positif yang tidak merusak atau mengurangi sistem ekologi

dan sosial dimana masyarakat bergantung (Rees 1988 dalam Charles 2001).

Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan pesisir dan lautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam

kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders)

sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan

jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity)

kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri 2001).

Debat tentang pengertian Pembangunan berkelanjutan melahirkan ratusan definisi. Saat ini telah diterima secara luas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan adalah saling ketergantungan antara sosial, ekonomi dan lingkungan

(Chua 2006). Young (1992) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan adanya

3 tema yang mendasari konsep keberlanjutan, yang disarikan sebagai: 1) Integritas lingkungan; 2) Efisiensi ekonomi; dan 3) keadilan, yang didefinisiskan sebagai mencakup generasi kini dan masa datang serta mempertimbangkan dimensi budaya selain dimensi ekonomi.

Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia,


(39)

13

khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sedangkan sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe 2002).

Budiharsono (2006) juga berpendapat sama, bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi

yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth),

keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta

keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological

balance). Sangat sesuai dengan pendapat Bengen dan Rizal (2002) bahwa dimensi

sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan.

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara

garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik serta hukum–kelembagaan (Dahuri 2001).

1) Dimensi ekologis. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin

tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial; (ii) Kapasitas asimilasi; (iii) Pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis seperti ini, pada dasarnya menyajikan informasi daya dukung (kemampuan


(40)

14

suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan

pembangunan dan kehidupan manusia (Dahuri et al., 1996).

2) Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.

3) Dimensi sosial politik. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan hanya

akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini, maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.

4) Dimensi hukum dan kelembagaan . Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang–undangan yang berwibawa dan konsisten serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan

Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus

berdasarkan pada empat faktor yaitu (1) terpadunya konsep ”equity ’ lingkungan

dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus dimensi ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus dimensi lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus dimensi sosial budaya.

Selanjutnya Reid (1995) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan

persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu:

1) integrasi antara konservasi dan pengembangan;

2) pemenuhan kebutuhan dasar manusia;

3) peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non-materi;

4) berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan;


(41)

15

6) memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan

sikap percaya diri; dan

7) memelihara integritas ekologi.

Pitcher dan Preikshot (2001) membagi komponen pembangunan berkelanjutan dalam lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika. Sedangkan Charles (2001) mengemukakan konsep pembangunan berkelanjutan mengandung dimensi :1) Keberlanjutan ekologi, yaitu: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama, 2) Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. 3) Keberlanjutan komunitas, yaitu: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan, dan 4) Keberlanjutan kelembagaan, yakni: menyangkut pemeliharaan dimensi finansial dan administrasi yang sehat, seperti digambarkan pada Gambar 2.

KEBERLANJUTAN EKOLOGI

KEBERLANJUTAN KEBERLANJUTAN SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS

Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)

Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak

KEBERLANJUTAN INSTITUSI


(42)

16

tersentuh. Karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002).

Bengen dan Rizal (2002) mengusulkan 6 hal yang perlu dikerjakan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia, yaitu:

1) rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan;

2) internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan;

3) penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan;

4) laut dikelola secara co-management;

5) reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat;

6) laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.

Kesimpulan umum yang dapat diambil dari diskusi-diskusi yang sedang berlangsung saat ini bahwa penggunaan berkelanjutan terhadap barang dan jasa-jasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan ekonomi (Haq 1997).

Berbagai pendapat tentang dimensi keberlanjutan yang dijelaskan di atas disarikan menjadi lima dimensi sesuai dengan kebutuhan untuk budidaya rumput laut, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Atribut-atribut dipilih dari setiap dimensi yang mewakili dimensi tersebut secara kuat, tidak tumpang-tindih dengan atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya, yang selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan.

Secara umum, kelima dimensi tersebut (diadaptasi dari Susilo 2003) diuraikan sebagai berikut:

Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya,


(43)

17

misalnya untuk usaha budidaya rumput laut, dapat berkelanjutan pula. Sebab praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukungnya akan mengarah kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat ekploitasi atau tekanan ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan menurunnya produktivitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan usaha rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis, misalnya karena rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan berlanjut. Hal ini, berpotensi untuk merusak lingkungan sehingga juga berpotensi mengancam keberlanjutan ekologis. Penurunan produktifitas dapat menjadi indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya komunitas setempat yang pada akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok akan mendorong ke arah keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik serta tingkat pendapatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis). Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi baik dalam sektor yang sama maupun dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial.

Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat kelembagaan dan hukum yang dapat mendorong keberlanjutan pemanfaatan dan


(44)

18

pengelolaan sumberdaya rumput laut. Tersedianya peraturan pemerintah, aturan adat dan agama/kepercayaan tentang pemanfaatan sumberdaya rumput laut, adanya lembaga yang memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses lembaga keuangan, informasi pasar dan peningkatan kapabilitas, secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Bengen dan Rizal (2002) menyatakan bahwa kearifan masyarakat adat telah menjadi pilar yang mampu mempertahankan kelestarian sumberdaya alam.

Dimensi ekologi (lingkungan), ekonomi, sosial dan kelembagaan merupakan empat dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan (Charles 2001). Dan pada akhirnya, keberhasilan suatu pengelolaan wilayah pesisir sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang telah dibuat (Susilo, 2003).

Beberapa indikator ekosistem wilayah pesisir dapat digunakan sebagai salah satu cara memonitor keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Menurut OECD (1993), indikator-indikator tersebut adalah:

1. Parameter fisik: luas lahan yang masih alami; luas lahan pemukiman, industri, komersial, dan rekreasi; volume dan luas pembuangan sampah, reklamasi, dan drainase tahunan; tingkat ekstraksi tahunan dari mineral, pasir, kerikil, gas, dan minyak bumi; perubahan volume pasir pantai; tingkat abrasi pantai; perubahan tingkat permukaan laut;

2. Parameter kimia/biologi: indikator kualitas air; kandungan klorofil; distribusi vegetasi wilayah pesisir; persen habitat alami yang dilindungi; jumlah species terancam punah;

3. Parameter Sosial: kepadatan populasi penduduk; perlindungan terhadap situs yang bernilai budaya dan arkeologi; rasio lahan yang telah dikembangkan terhadap yang belum dikembangkan; tingkat infrastruktur yang ada; peluang akses publik terhadap pantai; partisipasi publik dan dunia usaha (industri) dalam penentuan kebijakan dan tujuan pengelolaan; dan kemauan politik pemerintah dan politikus.

Sedangkan yang diadaptasi dari Charles (2001) dan Susilo (2003), atribut-atribut untuk rumput laut adalah:


(45)

19

1) Dimensi Ekologi: biofisik lingkungan, pertumbuhan rumput laut, kandungan

karagenan, luasan areal yang sesuai, ketersediaan dan mutu bibit.

2) Dimensi Ekonomi: keuntungan, kontribusi terhadap PAD, sistem permintaan

pasar (lokal, nasional dan internasional).

3) Dimensi Sosial budaya: kualitas SDM (tingkat pendidikan, persepsi

masyarakat), penyerapan tenaga kerja, sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (gender, kemandirian, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya, jumlah rumah tangga petani rumput laut), alternatif usaha selain menanam rumput laut.

4) Dimensi Kelembagaan: Perda tentang rumput laut, aturan adat/agama,

koperasi/kelompok tani rumput laut.

Bengen (2004) menyatakan bahwa, selain memiliki potensi sumberdaya yang besar, wilayah pesisir juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas yang dimaksud adalah 1) penentuan wilayah pesisir baik ke arah darat maupun ke arah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal kawasan tersebut; 2) adanya keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan kawasan lahan atas dan laut lepas; 3) memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga menghadirkan berbagai penggunaan/pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor pembangunan; 4) secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda; 5) adanya

sifat common property dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan

ancaman terhadap sumberdaya tersebut; dan 6) sistem sosial budaya masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam. Karena kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk pengelolaannya adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan secara sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut. Berkaitan dengan pengembangan rumput laut di wilayah pesisir, maka pengelolaan yang dilaksanakan harus terpadu dengan sektor-sektor lain agar tidak saling mematikan sehingga pengembangan rumput laut dapat berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.


(1)

158

Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan.INCUNE,No. 01/Th. II: 2-5.

Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Menelusuri Peran Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Warta Pesisir dan Lautan, No. 04/Th. III.

Bengen, DG., A. Tahir, dan B. Wiryawan. 2003. Program Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan: Tinjauan Aspek Keberlanjutan, Akuntabilitas dan Replikabilitas. Proyek Pesisir PKSPL-IPB.

Bengen, DG. 2005. Pentingnya Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Kesesuaian Lingkungan bagi Keberlanjutan Pembangunan Kelautan. Perspektif Keterpaduan dalam Penataan Ruang Darat-Laut. Merajut Inisiatif Lokal Menuju Kebijakan Nasional. Mitra Pesisir (CRMP II). Jakarta.

BPS (Biro Pusat Statistik) Sulawesi Selatan. 2002. Kabupaten Bantaeng dalam Angka. BPS Provinsi Sulawesi Selatan.

Budiharsono, S. 2006. Konsep Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan. Dalam: Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekjen DKP Jakarta.

Charles, AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. Balckwell Science. Saint Mary’s University Halifax, Nova Scotia, Canada.

Chua, TE. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management: Practical Application in Sustainable Coastal Development in East Asia. Partnership in Enviromental Management for the Seas of East Asia.

Cicin-Sain, B dan RW Knecht. 1998. Integrated Coartal and Ocean Management. Island Press, Washington DC.

Crawford, B. 2002. Seaweed Farming: An Alternative Livelihood Small-Scale Fishers? Working Paper. Coastal Resources Center, Unversity of Rhode Isla

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramita.

Dahuri, R. 2005. Potensi Ekonomi Kelautan (Menyambut Hari Nusantara 13 Desember). Republika, Selasa, 13 Desember 2005.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Kebijakan DKP: Pengelohan dan Pemasaran. Produk Olahan Rumput Laut Indonesia


(2)

159

Departemen Pertanian Kanwil DKI. 2001. Rumput Laut: Cara Budidaya dan Pengolahannya. Jakarta.

Djojomartono, M. 1993. Pengantar umum analisis sistem. Makalah pelatihan analisis sistem dan informasi pertanian. Kerjasama BPP Teknologi-Fakultas Teknologi Pertanian IPB. 29 Juni – 26 Juli 199

Doty, MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp. Nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia In. I.A Abbot and J.N. Norris Eds. Taxonomy Economic Seaweeds. California Sea Grant College Program.

Doty, MS. 1987. The Production and Uses of Eucheuma Di dalam: Doty MS, Caddy JF, Santelices B (editors). Case Studies of Seven Commercial Seaweed Resources. FAO Fish Techn. Paper 281. Rome.

Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor.

Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor.

FAO, 2008. Cultured Aquatic Species Information Programme: Eucheuma spp. Fisheries and Aquaculture Department.

Fauzi, A. dan Anna, S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan. Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4930.

Fisheries. 1999. Rapfish Softwere for Exel. The Fisheries Centre, University of British Columbia, Fisheries Center Research Reports.

Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids. Vol 2. CRC Press, Inc.Florida.

Handoko. 2005. Quantitative Modelling of System Dynamics for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP.

Haq, SM. 1997. Ecology and Economic: Implication for Integrated Coastal Zone Management. Dalam: Bilal UH, SM Haq, G.Kullemberg dan JH. Stel (Editor): Coastal Zone Management Imperative for Maritime Developing Nations. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Hardjowigeno S, Widiatmaka, 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Fakultas Pertanian . IPB.

Hartrisari, 2007. Sistem dinamik. Konsep system dan pemodelan untuk industri dan lingkungan. SEAMEO BIOTROP

Haslett, SK. 2000. Coastal Systems. Routledge Introductions to Environment Series. London and New York.


(3)

160

Herlinah. 2008. Laju Penyerapan Nitrat dan Fosfat oleh Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) di Perairan Kabupaten Takalar. Tesis Program Pascasarjana UNHAS.

Iksan, Kusdi HI. 2005. Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Kay, R. dan J. Alder. 2005. Coastal Planning and Management. Taylor and Francis. London and York.

(KPP RI) Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2003. Bahan Pembelajaran Analisis Gender dalam Rangka Penyusunan Kebijakan, Program, Proyek dan Kebijakan yang Responsif Gender. Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia.

Kadi,A. dan Atmadja, WS. 1988. Rumput Laut Jenis Algae: Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Kamlasi. 2008. Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii di kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Kavanagh, P and Tony J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software For Rapfish: A Technique For the Rapid Appraisal of Fisheries Status. The Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259 Lower Mall. Fisheries Centre Research Reports 12(2).

Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10-2002 - Pedoman Umum Perencanaan.

Krom, MD. 1986. An Evaluation of the Concept of assimilative Capacity as Appliedto Marine water. Ambio XV (4).

Luthfy S. 1988. Mempelajari ekstraksi karagenan dengan metode semi refined. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ma’ruf, WF. 2005. Alih Teknologi Industri Rumput Laut Terpadu. Pusat Riset dan Pengelolaan Produk dan Sosial ekonomi Kelautan dan Perikanan (PRPPSE), Departemen Kelautan dan Perikanan.

Ma’ruf, WF. 2007. Klaster Industri Perumputlautan untuk Produk Karagenan yang Kompetitif. craby & starky, Buletin Pengolahan dan Pemasaran Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Edisi juli 2007.


(4)

161

Ma’ruf, FW. 2010. Isu Aktual Industri Rumput Laut Internasinal. Makalah pada SEABFEX III. Surabaya.

Madeali, M.I, M. Amin, dan E. Ratnawati. 1999. Budidaya Rumput Laut Eucheuma sp dengan Sistem Rakit dan Lepas Dasar Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Balai Penelitian Perikanan Pantai. Maros.

Mansyur, Akhmad. 2009. Pengelolaan perairan pesisir gugus pulau Kaledupa untuk usaha budidaya rumput laut. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Marimin. 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor.

Mondoringin, Lukas Lotharius Jansen Josef. 2005. Kajian ekologi-ekonomi kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Moser, CON. 1993. Gender Planning and Developmen. Theory, Practice and Training. Routledge. London.

Mubarak, H. 1975. Budidaya Rumput Laut. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.

Mubarak, 1978. Kemungkinan-Kemungkinan Budidaya Rumput Laut di Kepulauan Aru, Maluku. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat. Jakarta. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. BadanLitbang Pertanian Departemn Pertanian.

Mubarak H, Soegiarto A, Sulistyo, Atmadja WS. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya

Rumput Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbangkan. IDRC-INFIS.

Munasinghe, M. 2002. Environmental Economic and Sustainable development. World Bank Environment Paper No. 3 The World Bank. Washington.

Nurdjana, Made.L. 2006. Kebijakan dan Program Menuju Kejayaan perikanan Budidaya. Makalah. Disampaikan pada Kuliah Umum di Departemen Budidaya, IPB.

OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). 1993. Coastal Zone management: Integrated Policies. Organization for Economic Co-operation and Development. Paris.

Pamungkas, KT. 1987. Mempelajari Hubungan antara Umur Panen dengan Kandungan Karagenan dan Senyawa-Senyawa Lainnya pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spnosum. [skripsi]. Bogor. Jurusan Pengelolaan Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Pitcher TJ dan D.Preikshot. 2001. RAPFISH: a Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49


(5)

162

Pong-Masak PR. 2007. Hubungan Penyerapan Nitrogen dan Fosfat dalam Tallus Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut di Perairan Kabupaen Bantaeng, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros.

Pusat Penelitian Oseanografi. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Alga Makro/Seaweed) di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2001. Laporan Forum Rumput Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Puslitbangkan,1991. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma sp) Dengan Rakit dan Lepas Dasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Jakarta. 9 hal.

Quano, 1993. Training Manual on Assesment of the Quantity ang Type of Land Based Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Environmental, UNEF. Bangkok.

Rauf, Abd. 2007. Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulauan Tanakeke Berbasis Daya dukung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Sallata. 2007. Kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Slamet,M. 2003. Membentuk Pola Prilaku Pembangunan. Editor. Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor. IPB Press.

Sulistijo, Atmajaya WS. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Jakarta. Puslitbang-Oseanografi LIPI.

Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gamedia Pustaka Utama. Jakarta.

Suryaningrum, TD. 1988. Kajian sifat-sifat mutu komoditas rumput laut budidaya jenis Eucheuma cottonii dan eucheuma spnosum. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sushil 1993. Systems dynamics. A practical approach for managerial problems. Wiley Eastern Limited, New Delhi.

Susilo, SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepualauan Seribu, DKI Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(6)

163

Syahputra (2005). Pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan dan jarak tanam yang berbeda. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Turner, GE. 1988. Codes of Practice and Manual of Procedures for Consideration on Introduction and Transfer of Marine and Freshwater Organisms, EIFAC/CECPI, Occasional Paper No. 23.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 27.Tahun 2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Winarno, FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Yulianda, F. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir dan Lautan. Materi Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Zatnika, A dan Angkasa, WI. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah pada Seminar Pekan Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPP Teknologi Jakarta. Jakarta.