1. Service running time yaitu waktu berjalan bus dalam pelayanan.
Service running time didapatkan dari survai waktu perjalanan. Pada umumnya service running time dibuat standard untuk satu hari, namun
pada kota-kota dimana perbedaan waktu perjalanan antara jam sibuk dan tidak sibuk terlalu mencolok, maka runnning time yang berbeda untuk
periode waktu harus dipakai dasar penjadwalan. 2.
Dead running time, yaitu waktu berjalan bus tidak dalam pelayanan. Dead running time antar terminal biasanya lebih rendah dari service
running time, karena kendaraan akan melaju lebih cepat. b.
Lay Over Time Lay over time adalah waktu yang mesti ditambahkan pada akhir perjalanan
bus, pada bagian tengah perjalanan untuk trayek yang panjang, yang diperuntukkan bagi pengaturan operasional dan memberikan kepada awak
kendaraan untuk beristirahat.
2.12 Penentuan Jumlah Kendaraan
Dalam menentukan jumlah kendaraan yang akan melayani suatu trayek tertentu dapat didekati dengan beberapa cara. Jika kebutuhan pengangkutan yang
ada atau permintaan aktualnya sudah diketahui, kemudian disediakan sejumlah kendaraan untuk melayani trayek tersebut sesuai dengan jumlah kebutuhannya,
maka kondisi ini mendekati permintaan pasar Market Leads Approach. Jika konidisi diatur sesuai kriteria atau kinerja pelayanan trayek sebagai acuan alokasi
kendaraan pada suatu trayek tertentu, kondisi ini mendekati penentuan jumlah kendaraan tersebut dengan pendekatan produksi Production Leads approach.
Jika semata-mata mempertimbangkan rencana tata ruang wilayah dan trayek yang akan dilayani diperuntukkan untuk mendukung dan mendorong pengembangan
wilayah tersebut pendekatannya mengacu dengan pendekatan arahan perencanaan Planning Objectives.
Untuk penentuan jumlah kendaraan pada trayek baru, data tentang kebutuhan angkutan didapat dari survei wawancara rumah tangga atau survei
sejenis lainnya yang memasukkan pertanyaan tentang preferensi penumpang terhadap pelayanan yang akan diberikan Departemen Perhubungan, 2002.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan pada pasal 28 ayat 1 menyatakan bahwa
“Pembukaan trayek baru dilakukan dengan ketentuan-ketentuan :
a. Adanya permintaan angkutan yang potensial, dengan perkiraan faktor muatan
di atas 70 tujuh puluh persen, kecuali angkutan perintis. b.
Tersedianya fasilitas terminal yang sesuai. Berpedoman kepada ketentuan tersebut, apabila mempunyai matriks asal
tujuan perjalanan setelah dipisahkan menurut alat angkutnya angkutan umum, penentuan jumlah kendaraan yang akan dioperasikan untuk trayek baru dapat
digunakan pedoman langkah-langkah berikut Departemen Perhubungan, 2002: 1.
Siapkan matriks asal tujuan penumpang angkutan umum. 2.
Identifikasi zona-zona potensial yang pergerakan antar zonanya besar serta belum dilayani angkutan umum secara langsung JP
l
= jumlah penumpang untuk trayek langsung.