Aktor Pelaku Tindak Kekerasan Seksual

Anak-anak yang tidak senang mendapat julukan adalah anak yang mendapat panggilan atau julukan bajak, bapak, cik lalek, gaek, India, kapuyuk balado, kokor, kuda, madam, makcong, naruto, ateng, si pendek, pisket, tunggeng, upiek bareh yang semua itu mempunyai konotasi yang jelek. Sedangkan anak-anak yang senang mendapatkan julukan adalah adek, bule, buya, desna, dragula, gerard, uncu, ustad, datuak, wan.

c. Aktor Pelaku Tindak Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah tindakan yang menekan, menipu atau menekan anak untuk berhubungan seksual. Termasuk di dalamnya tingkah laku tidak menyentuh seperti orang dewasa menunjukkan pada anak atau meminta anak untuk menyaksikan hal-hal yang berhubungan dengan pornografi. Secara singkat, kekerasan seksual, adalah menggunakan anak untuk memuaskan kebutuhan atau hasrat seksual orang dewasa. Oleh karena itu kekersan seksual tidak selalu dalam bentuk hubungan kelamin secara paksa, segala tindak pemaksaan yang bertujuan untuk memenuhi hasrat seksual dapat dikatakan sebagai tindak kekerasan seksual. Aktor pelaku tindak kekerasan seksual kebanyakan adalah orang dewasa, dan laki- laki lebih banyak melakukan hal tersebut. Sementara perempuan lebih banyak menjadi obyek seksual. Terdapat tiga kasus tidak kekerasan seksual yang pernah dialami siswa di pondok pesantren yaitu diintip waktu sedang mandi, dibuka roknya, dan diraba-raba badanya. Kasus siswa diintip pada saat sedang mandi sebanyak 10 orang. Kebanyakan pelaku yang mengintip siswa yang sedang mandi adalah orang luar pondok atau tukang yang kebetulan sedang bekerja di lingkungan pondok. Sedangkan kasus kekerasan seksual dalam bentuk siswa dibuka roknya sebanyak 6 orang. Pelaku terbanyak adalah teman-teman para siswa sendiri disamping para senior. Tindakan membuka rok seringkali dilakukan dengan bercanda tanpa ada kesadaran bahwa tindakan tersebut sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan seksual. Sedangkan tindakan meraba-raba badan terjadi hanya 3 kasus siswa yang pernah mengalaminya. Aktor pelaku tindakan tersebut juga teman atau senior para siswa sendiri. Meskipun jumlah kasusnya relatif sedikit akan tetapi terdapat kasus dimana frekuensi seorang siswa mendapat perlakuan tersebut lebih dari 2 kali. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan karena seseorang telah menjadi obyek seksual yang berkali-kali. 3.2. Perlawanan terhadap Tindak Kekerasan Tindak kekerasan yang diterima oleh siswa dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup di lingkungan pondok maupun di luar pondok. Dari 86 kasus tindak kekerasan yang pernah dialami oleh siswa didik, 53 dilakukan secara terbuka diluar klas tetapi masih di lingkungan pondok. Disamping itu 26 siswa juga pernah mengalami tindak kekerasan yang dilakukan secara terbuka di depan klas, 5 dilakukan di luar sekolah, 4 di ruang kepala sekolah, dan 3 dilakukan di ruang BK. Tempat-tempat yang digunakan untuk melakukan tindak kekerasan adalah antara lain di dalam kamar tidur, kamar mandi, klas masjid, asrama, kamar pembina, dan halaman sekolah. Siswa yang mengalami tindak kekerasan 32 tidak melakukan perlawanan atau diam saja menerima perlakukan tersbut, 55 melakukan perlawanan. Bentuk perlawanan yang dilakukan tidak selalu dengan cara melakukan tindakan yang menimbulkan perkelahian tetapi dengan mengadukan pelaku ke teman kelompoknya, guruwali klas, guru Bimbingan dan Konseling BK dan orang tuanya. Tabel 3: Tempat Mengadu Tempat Mengadu Ya Tidak NA Jumlah Teman Sekelompok 11 11 76 76 13 13 100 100 GuruWali Klas 21 21 66 66 13 13 100 100 36 Guru BK 6 60 81 81 13 13 100 100 Kepala Sekolah 4 4 83 83 13 13 100 100 Orang tua 9 9 78 78 13 13 100 100 Sumber data: Kuesioner pertanyaan no II.1,III.18 Guruwali klas merupakan orang yang masih cukup dipercaya untuk menyelesaikan masalah yang menimpa siswa khususnya persoalan mengenai tindak kekerasan yang diterimanya. Kebanyakan siswa mengadu ke guruwali klas ketika mendapat perlakuan tersebut, kemudian baru orang tua dan teman sekelompok. Dari 73 kasus siswa yang mengalami tindak kekerasan fisik misalnya, 20 mengadukan ke Guruwali klas, hanya 4 yang mengadu ke Kepala Sekolah. Guru BK nampaknya belum banyak digunakan oleh siswa sebagai tempat mengadu bagi siswa yang mengalami masalah tindak kekerasan fisik. Gambaran tersebut memberikan makna bahwa siswa belum begitu akrab dengan institusi bimbingan dan konseling yang biasanya selalu ada di sekolah atau pondok. Para siswa lebih banyak yang mengadukan perlakuan tindak kekerasan kepada teman-teman sekelompoknya dan orang tua bila dibandingkan kepada guru BK . Demikian juga dengan tindak kekerasan psikis, kebanyakan 26 siswa lebih banyak mengadukan tindak kekerasan yang diterima kepada guruwali klasnya dibandingkan kepada guru bimbingan dan konselingnya. Sementara teman sekelompok masih tetap menempati rangking kedua sebagai tempat mengadu bagi siswa yang mendapat tindak kekerasan psikis.

3.3. Hukuman terhadap Siswa