Pengetahuan terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak.

orang ustadz, penerapan sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh santri merupakan hukuman yang bersifat mendidik atau lebih dipahami sebagai sebuah metode pembelajaran dan bukan tindak kekerasan terhadap anak. Hukuman dalam rangka mendidik memang dapat dibenarkan dalam ilmu pendidikan seperti apa yang dikatakan oleh Dimyati dan Mudjiono 1999:95 bahwa yang termasuk kategori tindakan mendidik adalah hadiah, pujian, teguran, hukuman dan nasihat. Persoalan yang muncul adalah bentuk hukuman yang bagaimana dibolehkan atau dikategorikan dalam hukuman yang mendidik. Dalam hal inilah terjadi perbedaan antara para orang tua dan pengurus pondok. Para orang tua nampaknya tidak mengkatagorikan kekerasan sebagai hukuman yang mendidik. Perbedaan interpretasi terhadap memukul dalam rangka mendidik inilah yang kemudian menjadi sumber terjadinya kekerasan terhadap anak di pondok. Para pengurus pondok memperluas makna dibolehkan memukul tidak hanya sekedar untuk anak-anak yang tidak melaksanakan sholat, akan tetapi menjadikan memukul sebagai bagian dari metode pendidikan di pondok khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku applied attitude.

d. Pengetahuan terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak.

Undang-undang yang mengatur perlindungan anak sudah cukup lama diberlakukan di Indonesia, bahkan, pasal 28 B atau 2 UUD 1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Pada tahun 2003 pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut “Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak” ayat 1. Untuk terlakasananya undang-undang tersebut Negara dan pemerintah diberi kewajiban untuk mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak” ayat 2. Meskipun sudah 7 tahun undang-undang no 23 tahun 2002 diundangkan akan tetapi belum semua lembaga khususnya lembaga pendidikan pondok pesantren yang terkait dengan anak memahami esensi undang-undang tersebut. Pengetahuan para pengurus pondok, guru, kepala sekolah, dan pembina sekolah terhadap undang-undang masih kurang memadai. Mereka mengaku sudah pernah mendengar adanya undang-undang perlindungan anak tersebut akan tetapi kurang mengetahui isi undang-undang tersebut. Meskipun demikian mereka menyambut baik adanya undang-undang tersebut karena dianggap dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan. Calon siswasantri ketika mendaftarkan diri untuk menjadi warga belajar di Pondok Pesantren, kepada mereka telah diperlihatkan tata tertib dan peraturan yang telah dilengkapi dengan sanksi yang berlaku dalam keberlangsungan kehidupan pondok. Jika mereka dan orang tuawalinya tidak sepakat dengan butir-butir dalam peraturan tersebut, maka sebaiknya mengundurkan diri sejak awal. Butir-butir peraturan yang ditawarkan dan menjadi semacam kontrak belajar tersebut ditujukan untuk membina dan melahirkan santri-santri yang berkualitas. Pondok Pesantren Thawalib misalnya telah membuat peraturan tata tertib siswa untuk mengatur hak dan kewajiban, larangan, dan sanksi dalam bentuk peraturan yang dibukukan. Peraturan ini disosialisasikan melalui berbagai media yang ada di pondok maupun pada saat siswa pertama kali masuk pesantren. Akan tetapi sosialisasi mengenai undang- undang tentang Perlindungan Anak masih belum dilakukan di pondok. Para Kepala sekolah yang diwawancarai mengakui bahwa selama ini masih belum mensosialisasikan undang- undang tersebut. Berbeda dengan siswa, pengetahuan terhadap undang-undang perlindungan lebih baik dibandingkan para guru, pengurus, pembina sekolah. meskipun jumlah siswa yang 43 mengetahui hanya 20 siswa, 80 siswa lainya mengaku tidak tahu. Pengetahuan siswa terhadap undang-undang perlindungan anak tidak sekedar hanya tahu tetapi 13 siswa mampu menyebutkan esensi hak anak yang diakui dalam undang-undang tersebut. Dari berbagai peraturan yang dibuat oleh pondok pesantren, semuanya hanya mengatur perilaku siswa selama belajar di pondok. Sementara yang mengatur perilaku guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar belum diatur dengan aturan tertulis. Secara lisan memang telah ada instruksi dari pimpinan pondok untuk tidak melakukan tindak kekerasan bagi para santri khususnya pemukulan. Dalam berbagai kesempatan para kepala sekolah selalu mengingatkan untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Namun secara defacto, kekerasan dalam bentuk dicubit, dijewer, terhadap santri di pondok masih saja terjadi. Keadaan ini kadang-kadang masih tetap dilakukan karena adanya anggapan dari sebagian guruustadz bahwa salah satu metode yang paling tepat untuk menanamkan suatu kedisiplinan adalah melalui hukuman fisik. Sebab santri tidak akan “takut” hanya dengan dinasehati atau diperingati saja. Hal inilah yang membuat tindak kekerasan yang dimaksud masih tetap terjadi walau tidak sekeras dulu lagi.

4.2. Upaya Mencegah Dan Mengatasi Tindak Kekerasan Terhadap Anak