kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.
18
2. Syarat Sah Perjanjian
Syarat sah perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
19
a. Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Yang dimaksud dengan
kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu pernyataanya,
karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
1. Bahasa yang sempurna dan tertulis.
2. Bahasa yang sempurna secara lisan.
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima
oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa
yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.
4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak
lawannya. 5.
Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
20
18
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. 4, h. 4-5.
19
Prof. R. Subekti R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 339.
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis.
Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna
dikala timbul sengketa di kemudian hari. b.
Kecakapan Untuk Melakukan Perbuatan Hukum Cakap hukum adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan
mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak jika orang
tersebut belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke
atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau
pemboros.
21
c. Adanya Objek Perjanjian
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi pokok perjanjian. Prestasi adalah
apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak
20
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, h. 33.
21
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta: RajaGrafindo, 2007, Cet. 1, h. 29.
kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan yang positif dan negatif. Prestasi terdiri dari:
1. Memberikan sesuatu.
2. Berbuat sesuatu.
3. Tidak berbuat sesuatu pasal 1234 KUH Perdata.
22
d. Adanya Kausa Yang Halal
Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian kausa yang halal. Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan
kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
23
Syarat yang pertama dan kedua syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat
ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka
perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang
disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak
terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
24
22
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, h. 34.
23
R. Subekti R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 342.
24
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, h. 35.
3. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian
a.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi: ”Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”.
25
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Mengadakan perjanjian.
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya. 4.
Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. b.
Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat 1
KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak.
26
c. Asas Pacta Sunt Servanda
25
R. Subekti R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 342.
26
Ibid., h. 339.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta
sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang- undang”.
27
d. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
e. Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.
28
4. Bentuk-Bentuk Perjanjian
27
Ibid., h. 342.
28
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, h. 9.
Istilah perjanjian bernama atau kontrak bernama merupakan terjemahan dari istilah “nominaat contract” Inggris “benoemde”
Belanda penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam pasal 1319 KUH Perdata, disebutkan dua macam
perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian bernama nominaat dan perjanjian tidak bernama innominaat.
29
a.
Perjanjian Bernama nominaat
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata. Yang termasuk dalam perjanjiaan bernama jual beli, tukar-
menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa,
penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain.
b.
Perjanjian Tidak Bernama innominaat
Perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH Perdata.
Yang termasuk dalam perjanjiaan tidak bernama adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan,
production sharing, dan lain-lain.
30
5. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah
melakukan wanprestasi. Selain dapat mengajukan tuntutan pembatalan,
29
R. Subekti R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 339.
30
Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta: RajaGrafindo, 2006, Cet. 1, h. 49-50.
kreditur dapat pula mengajukan tuntutan yang lain yaitu pembatalan perjanjian dan ganti kerugian, ganti kerugian saja, pemenuhan perikatan
dan ganti kerugian. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk pembatalan perjanjian,
yaitu: a.
Perjanjian harus bersifat timbal balik; b.
Harus ada wanprestasi; c.
Harus dengan putusan hakim.
31
Dasar hukum pembatalan perjanjian adalah pasal 1266 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
1. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-
perjanjian yang bertimbal balik, manakalasalah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
2. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum,
tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. 3.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam
perjanjian. 4.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si
tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga
31
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2010, Cet. 1, h. 230.
memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
32
Perjanjian yang bersifat timbal balik adalah perjanjian dimana kedua belah pihak sama-sama mempunyai kewajiban untuk memenuhi
prestasi, misalnya jual-beli, tukar menukar, sewa-menyewa. Jika dalam perjanjian yang bersifat timbal balik ini salah satu pihak tidak memenuhi
prestasi atau kewajibannya maka disebut wanprestasi, pihak lainnya dapat menuntut pembatalan. Namun, sebelum kreditur menuntut pembatalan,
debitur harus diberikan teguran atau pernyataan lalai ingebrekestelling. Pembatalan tidak terjadi dengan sendirinya dengan adanya wanprestasi
tersebut, melainkan harus dimintakan kepada hakim dan yang akan membatalkan adalah putusan hakim tersebut. Jadi putusan hakim bersifat
konstitutif yaitu membatalkan perjanjian antara penggugat dan tergugat, bukan bersifat deklaratif yang menyatakan batal perjanjian antara
penggugat dengan tergugat.
33
Dengan demikian, wanprestasi hanyalah alasan hakim untuk memberikan putusan yang membatalkan perjanjian, dan hakim
memberikan tenggang waktu satu bulan kepada debitur untuk memenuhi prestasinya. Jadi tuntutan kreditur untuk membatalkan perjanjiannya
dengan debitur tidak selamanya dikabulkan oleh hakim, tetapi hakim memeriksa dan mempertimbangkan lebih dulu besar kecilnya wanprestasi
tersebut. Apabila wanprestasi hanya mengenai hal kecil maka hakim akan
32
R. Subekti R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 328.
33
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, h.231.
menolak membatalkan perjanjian dan apabila wanprestasi cukup besar merugikan kreditur tentu saja hakim akan membatalkan perjajian tersebut.
Apabila hakim telah menjatuhkan putusan membatalkan perjanjian, maka hubungan hukum antara para pihak yang semula mengadakan perjanjian
menjadi batal, sehingga tidak perlu lagi memenuhi prestasinya. Apabila salah satu pihak sudah melakukan prestasi namun dilain pihak belum
melakukan maka wajib dikembalikan, dan apabila tidak mampu maka dihargai dengan materi.
34
6. Penggantian Kerugian
Ketentuan tentang ganti rugi dalam KUH Perdata diatur pada pasal 1243-1252 KUH Perdata. Dari pasal-pasal itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perjanjian untuk
memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-
nyaa telah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian
debitur. Sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan. Kerugian-kerugian yang dapat dituntut:
Walaupun debitur yang wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur untuk membayar ganti kerugian, tetapi kerugian yang dituntut oleh
34
Ibid., h.232.
kreditur jumlahnya tidak dapat dituntut sekehendak hati kreditur, maka dari itu harus memiliki batasan yang diatur dalam undang-undang.
Batasan pertama untuk wanprestasi disebutkan dalam pasal 1248 KUH Perdata yaitu: bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan
keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.
35
Batasan kedua termuat dalam pasal 1247 KUH Perdata yang menentukan: si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan
bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan oleh suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.
36
D. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
1. Pengertian Asas Proporsionalitas
Pengertian asas proporsionalitas dapat dirunut dari asal kata “proporsi” proportion-Inggris; proportie-Belanda yang berarti
perbandingan, perimbangan, sedangkan “proporsional” proportional- Inggris; proportioneel-Belanda berarti sesuai dengan proporsi, sebanding,
seimbang, berimbang.
37
Menurut P.S Atijah, asas proporsionalitas dalam
35
R. Subekti R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 325.
36
Ibid.
37
Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, Cet. IV, h. 1106.
kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia bisnis, menurutnya pertemuan para pihak dalam mekanisme pasar
sesuai sesuai dengan apa yang diinginkan proportion in what they want merupakan bentuk pertukaran yang adil fair echange. Mekanisme ini
merupakan dasar fundamental yang melandasi konsep “freedom of choice
in exchange-freedom of contract ”.
38
Maka asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi
atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. Asas proporsionalitas dalam kontrak diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan
kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Proporsionalitas pembagian hak dan kewajiban ini yang diwujudkan dalam seluruh proses
hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas proporsionalitas tidak
mempermasalahkan keseimbangan atau kesamaan hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban di antara para
pihak.
39
2. Kriteria Asas Proporsionalitas
a. Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak
yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan
38
Seperti dikutip oleh Agus Yudha Hernoko dari P.S Atijah, An Introduction to The Law of Contract, 4
th
Ed, Oxford University Press Inc, New York, 1995, h. 5. Lihat Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2010, h. 13.
39
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial, h. 31-32.
kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti
“kesamaan hasil” melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan “kesetaraan kedudukan dan hak equitability”
prinsip kesamaan hak atau kesetaraan hak b.
Berlandaskan pada kesamaan atau kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang
dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka
prinsip kebebasan c.
Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban secara
proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus mendapatkan dalam jumlah
yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini maka prinsip distribusi-proporsional
terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair.
d. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian,
berat ringan kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait, harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil
penyelesaian yang elegan dan win-win solution.
40
40
Ibid., h.84-86.
3. Makna Asas Proporsionalitas
Ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas lebih dominan pada kontrak komersial dengan asumsi dasar bahwa
karakteristik kontrak komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para kontraktan yang berorientasi pada
keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang fair proporsional. Asas proporsionalitas tidak dilihat
konteks keseimbangan-matematis equilibrium, tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.
Menurut Peter Mahmud Marzuki menyebut asas proporsionalitas dengan istilah “equitability contract” dengan unsur justice serta
fairness . Makna “equitability” menunjukkan suatu hubungan yang
setara kesetaraan, tidak berat sebelah dan adil fair, artinya hubungan kontraktual tersebut pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan
wajar.
41
Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan
berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan.
Pertama, pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan kehendak dalam suatu kontrak. Pendekatan kedua,
yaitu pendekatan substantif yang menekankan kandungan atau substansi
41
Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, h. 205.