pihak yang beritikad baik tersebut tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 dua tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai indikasi geografis.
C. Perlindungan Hukum Bagi Perusahaan Atas Hak Merek Terdaftar Terhadap
Penyelesaian Perselisihan Pada Pemakaian Merek Yang Sama
Perlindungan atas Merek atau Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek terdaftar dalam Daftar Merek Umum. Untuk jangka waktu
tertentu pemegang hak atas merek dapat menggunakan sendiri merek tersebut ataupun memberi izin kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau Badan Hukum
untuk menggunakannya. Perlindungan atas Merek Terdaftar yaitu adanya kepastian hukum atas Merek Terdaftar, baik untuk digunakan diperpanjang maupun sebagai alat bukti bila
terjadi sengketa pelaksanaan atas Merek Terdaftar. Suatu merek dapat juga mencerminkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap suatu
barang atau jasa. Produk dengan merek terkenal lebih mudah dipasarkan sehingga mendatangkan banyak keuntungan finansial bagi pemegang hak atas merek tersebut.
Berdasarkan alasan-alasan inilah maka perlindungan hukum terhadap Hak Merek dibutuhkan karena 3 tiga hal:
66
1 Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para penemu merek, pemilik merek, atau
pemegang hak merek; 2
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas Hak atas Merek sehingga keadilan hukum dapat diberikan kepada pihak yang berhak;
3 Untuk memberi manfaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong untuk
membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.
66
Utomo, Tomi Suryo, 2010 Hak Kekayaan Intelektual HKI di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu,Yogyakarta, hal 68
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan hukum kepada pemegang hak atas merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intekektual sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 Tentang Merek. Perlindungan hukum ini diberikan dalam jangka waktu 10 sepuluh tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu dapat diperpanjang. Hal ini
diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Perkembangan dunia bisnis dan banyaknya transaksi bisnis yang berkaitan dengan
bidanga HAKI, misalnya merek dagang dalam level nasional maupun multinasional, dibutuhkan penyelesaian sengketa secara bisnis b to b yang amicable solution bagi para
pihak yang berkepentingan atas bisnis atau sengketa tersebut. Belum lagi penyelesaian sengketa atau transaksi bisnis yang menyangkut bidang
HAKI yang berkaitan dengan perdagangan secara elektronik E-commerce, tentu menambah rumit atau kompleksnya suatu masalah. Karena itu, disamping keahlian dalam hukum
misalnya dalam hukum kontrak dan HAKI juga diperlukan keahlian dalam bidang seperti teknologi, informatika bisnis, dan manajemen. Tuntutan penyelesaian secara bisnis ini bukan
semata-mata karena tekanan dari negara maju ke negara-negara berkembang terutama yang besar akses terhadap perdagangan bidang HAKI ke berbagai negara di seluruh dunia ataupun
ketidakpercayaan mesyarakat khususnya pelaku bisnis akan proses jalur pengadilan. Bagaimana jalur pengadilan tetap diperlukan sebagai the resort dari penyelesaian
bisnis itupun dengan bentuk pengadilan yang kompeten. Kontrak bisnis internasional selalu melibatkan para pihak yang tunduk pada dua atau lebih sistem hukum nasional yang berbeda
sehingga apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak tersebut, selalu timbul masalah hukum dalam menyelesaikannya.
Masalah yang sering timbul adalah menentukan sistem hukum negara manakah yang akan digunakan. Persoalan ini lazimnya dikenal sebagai persoalan tentang “the proper law of
Universitas Sumatera Utara
contract”, yaitu pilihan hukum yang seharusnya digunakan dalam menyelesaikan sengketa dalam pelaksanaan kontrak antara dua atau lebih sistem hukumnya yang beda.
67
Hukum yang seharusnya digunakan dalam menyelesaiakn suatu sengketa dalam pelaksanaa kontrak dapat berupa hukum pilihan para pihak sendiri. Apabila para pihak tidak
menentukan, akan berlaku hukum pilihan hakim. Apabila hukum pilihan para pihak sendiri yang diberlakukan, baik oleh lembaga peradilan maupun lembaga arbitrase sebagai “the
proper law of contract”, pilihan itu dianggap mengikat dan berlaku sebagai hukum terhadap para pihak.
68
Pilihan hukum sangat erat hubungannya dengan pilihan forum choice of forum dan pilihan yuridiksi choice of yurisdiction . Kedua kata ini, forum dan yurisdiksi sering
disamakan artinya dan penggunaanya sering dipertukarkan. Sebenarnya forum mengacu kepada suatu lembaga tertentu, yaitu lembaga tempat suatu sengketa dicarikan
penyelesaiannya, seperti lembaga peradilan atau lembaga arbitrase. Kata yurisdiksi mengacu kepada kewenangan . Misalnya suatu sengketa merupakan yurisdiksi peradilan di Indonesia,
ataupun forum yang dipilih untuk sengketa itu adalah arbitrase yang dibentuk berdasarkan peraturan-peraturan ICC International of Chanbers of Commerce, the WIPO Arbitration
Center, dan lain-lain. Di Indonesia ketentuan ini diatur berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata. Namun
penerapan pilihan hukum choice of law oleh para pihak tetap dibatasi oleh apa yang dikenal dengan public policy.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan seperti ini
biasanya berakhir dengan putusnya jalur komuniksi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib atau kepentingan lainnya.
67
Ibid, hal 70
68
http:www.educationalwriting.netresource_centerThesisWritingpemegang hakatas
merek. diakseskan tanggal 10 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
Agar tercipta proses penyelesaian sengketa yang efektif, persyaratan yang harus dipenuhi adalah kedua belah pihak harus sama-sama memperhatikan atau menjunjung tinggi
hak yang dimiliki oleh masing-masing pihak yaitu hak untuk mendengar dan hak untuk didengar. Dengan persyaratan tersebut proses dialog dan pencarian titik temu commond
ground yang akan menjadi panggung proses penyelesaian sengketa baru sehingga dapat berjalan, jika penyelesaian sengketa tidak berjalan dalam arti sebenarnya.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu : 1.
Kepentingan interest 2.
Hak-hak right, dan 3.
Status kekuasaan power Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingan tercapai, hak-haknya
dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras
mempertahankan ketiga faktor tersebut diatas. Sejarah perkembangan ADR penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau
penyelesaian sengketa alternatif di negara tempat pertama kali dikembangkan yaitu Amerika Serikat dilatarbelakangi oleh kebutuhan sebagai berikut :
1. Mengurangi kemacetan di peradilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan
menyebabkan proses pengadilan sering kali berkepanjangan sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa
3. Memperlancar serta memperluas akses keadilan
4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan
keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan.
Universitas Sumatera Utara
Dasar pengaturan ADR sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa
ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati bersama oleh para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dengan landasan hukum bagi pelaksanaan ADR ini, maka memberikan kepastian
hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan yang diharapkan berprosedur informal dan efisien. Dilain pihak hal itu memberikan kemudahan bagi
masyarakat untuk berperan serta mengembangkan mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri dan mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.
Pada umumnya, dalam praktik atau aktivitas bisnis dapat terlihat dalam setiap perjanjian yang dilakukan terutama dalam bidang perdata, khusunya bidang perdagangan,
masyarakat umumnya dihadapkan pada pilihan sengketa secara litigasi atau pengadilan tetapi sekarang masyarakat dihadapkan atau mendapat pilihan untuk menggunakan sarana atau
lembaga ADR sebagai pilihan penyelesaian sengketanya yang mungkin timbul dalam aktivitas bisnis mereka.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase dibedakan dengan alternatif penyelesaian sengketa yang metode penyelesaiannya melalui antara lain :
a. konsultasi,
b. negosiasi,
c. konsiliasi,
d. atau penilaian ahli.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian arbitrase Pasal1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
69
Pengertian alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase telah diperkenalkan sebagai suatu institusi atau lembaga yang dipilih para pihak apabila timbul beda pendapat atau
sengketa. Dengan demikian alternatif penyelesaian sengketa oleh Undang-Undang bertindak sebagai lembaga independen di luar arbitrase. Dan arbitrase oleh Undang-Undang
mempunyai ketentuan, cara dan syarat-syarat tersendiri untuk pemberlakuan formalitasnya. Namun kedua-duanya terdapat kesamaan mengenai bentuk sengketa yang dapat diselesaikan,
yaitu : 1.
sengketa atau beda pendapat secara perdata di bidang perdagangan 2.
menurut perundang-undangan sengketa atau beda pendapat tesebut dapat diajukan dengan upaya “damai” perdamaian.
Perlindungan hukum terhadap HAKI ini pada dasarnya adalah pengakuan hak intelektual atas kekayaan tersebut, dan hak itu dalam waktu tertentu dapat dinikmati atau
dieksploitasi sendiri oleh pemilik hak. Selama waktu tertentu, pihak lain dapat menikmati atau menggunakan atau mengeksploitasi hak tersebut atas izin pemilik hak. Karena
perlindungan dan pengakuan tersebut hanya diberikan secara khusus kepada orang yang memiliki kekayaan itu, sehingga disebut sifatnya yang eksklusif.
Hukum dan ekonomi merupakan dua subsistem dalam sistem kehidupan sosial yang lebih luas. Subsistem ekonomi melakukan adaptasi terhadap lingkungan fisik masyarakat,
bertugas mendayagunakan sumber-sumber daya untuk kelangsungan dan perbaikan hidup masyarakat, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya buatan.
69
Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, hal 79
Universitas Sumatera Utara
Hukum berpengaruh pada kehidupan ekonomi dalam bentuk pemberian norma-norma yang mengatur tindakan-tindakan ekonomi dan membutuhkan peraturan-peraturan untuk
mengendalikan perbuatan manusia agar penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dengan tertib, tanpa menimbulkan kekacauan. Kemungkinan terjadinya konflik
antara hukum dan ekonomi merupakan masalah interaksi antara hukum dan ekonomi pada umumnya. Akan tetapi, justru dari dialektika konflik antara hukum dan ekonomi ini, dapat
diketahui pola interaksi berupa pengaruh pertimbangan ekonomi dalam kehidupan hukum. Berikut ini adalah 2 dua contoh kasus pelanggaran di bidang merek di Indonesia
yang cukup menonjol:
70
1. Kasus “Channel” palsu Duduk perkaranya adalah sebagai berikut: Ni Made Geben alias Keben didakwa
memperdagangkan barang-barang berupa dompet dan tas yang menggunakan logo Channel palsu antara tahun 1995 - 1996. Oleh Pengadilan Negeri Denpasar, terdakwa dijatuhi
hukuman penjara selama 10 sepuluh bulan dengan masa percobaan selama 1 satu tahun 6 enam bulan.
Terhadap putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar, akan tetapi hasil putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tidak memuaskan
Jaksa Penuntut Umum, karena selain menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar, terdakwa hanya dikenai hukuman membayar denda sebesar Rp. 1.000 seribu rupiah.
Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasus ini ke Mahkamah Agung RI. Jaksa Penuntut Umum menyatakan keberatannya pada putusan Pengadilan Negeri dan juga
putusan Pengadilan Tinggi yang sama sekali tidak mempertimbangkan tujuan dasar dari diundangkannya Undang-Undang Merek, yaitu untuk melindungi pemegang hak atas
merek sesungguhnya dan yang telah terdaftar, karena walaupun Tergugat bukan orang
70
http:annisahanumpalupi.blogspot.com2010_04_01_archive.html, diakseskan tanggal 20 November 2010
Universitas Sumatera Utara
yang memproduksi barang tersebut, tetapi sudah seharusnya Tergugat mengetahui bahwa barang yang dijualnya adalah barang palsu dan hal tersebut adalah merupakan tindakan
yang melawan hukum. Dengan adanya hukuman pidana percobaan yang dijatuhkan kepada Tergugat, hal itu tidak dapat menimbulkan efek jera pada pelaku tindak pidana tersebut.
Sekali lagi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Denpasar dikalahkan oleh Terdakwa pada tingkat kasasi, karena MARI menolak permohonan kasasi pemohon dan hanya
menghukum termohonterdakwa dengan pidana kurungan 10 sepuluh bulan dengan masa percobaan 1 satu tahun 6 enam bulan dan juga untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 2.500 dua ribu lima ratus rupiah. Dalam Putusan MA No. 417 KPid1998 diputuskan bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi, yaitu Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Denpasar atas kasus perdagangan barang berlogo Channel palsu.
2. Kasus Merek “Holland Bakery” Duduk perkaranya adalah sebagai berikut, DR. Drs. F.X. J. Kiatanto, didakwa melakukan
pemalsuan merek dengan meniru merek milik PT. Mustika Citra Rasa, yaitu Holland Bakery. PT. MCR adalah pemegang merek Holland Bakery yang terdapat gambar kincir
angin, dan terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dengan nomor register 260637 dan telah mendapat sertifikat merek pada tanggal 28 Juni 1990 untuk jenis barangjasa kelas produk
30, yaitu makanan, roti dan kue-kue. Sedangkan DR. Drs. F.X. J. Kiatanto adalah pemilik merek Holland Bakery disertai gambar bunga tulip untuk usaha jasa caférumah makannya
di Yogyakarta. Merek tersebut juga telah terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dengan nomor register 317559 dan telah mendapat sertifikat merek pada tanggal 21 November
1994 untuk kelas barangjasa 43, yaitu jasa-jasa di bidang penyediaan makanan dan minuman, bar, kedai kopi café, kafetaria, tempat makan yang menghidangkan kudapan
Universitas Sumatera Utara
snack bar, warung kopi coffee shop, jasa boga rumah makan catering, jasa ruang bersantai untuk minum cocktail.
Mengetahui mereknya digunakan pihak lain, PT. MCR melaporkan Kiatanto ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta
memutuskan dalam Putusan No. 26Pid.B2002PN.YK bahwa terdakwa DR. Drs. FX Kiatanto terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum yaitu melakukan pemalsuan merek dengan meniru merek milik PT. Mustika Citra Rasa. Namun demikian Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan
merupakan tindak pidana. Karena itu Terdakwa, DR. Drs. FX Kiatanto dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 26Pid.B2000PN.YK diputuskan bahwa Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi dinyatakan bukan
sebagai tindak pidana sehingga dibebaskan dari tuntutan hukum. Pendapat hakim tersebut dapat dipahami secara formal, karena telah sesuai dengan rumusan delik dalam Undang-
Undang. Akan tetapi hakim telah mengabaikan suatu landasan penting dalam dunia usaha, yaitu kejujuran dan itikad baik. Sebenarnya seluruh bukti-bukti sudah dapat memberikan
gambaran adanya upaya peniruan tersebut, namun Majelis Hakim tetap mempertahankan kebenaran formal. Dalam Pasal 10 bis Konvensi Paris dinyatakan bahwa tiap perbuatan
yang bertentangan dengan honest practice in industrial and commercial matters dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak jujur. Yurisprudensi terkenal yang mengedepankan
unsur adanya itikad buruk seharusnya juga dapat menjadi bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim, sebagaimana dalam perkara merek Tancho.
Selain pada kasus merek Tancho maupun pada merek Playboy, keduanya hanyalah sebagian kecil dari contoh-contoh kasus pembajakan merek. Para pendaftar pembajak merek
tersebut jelas tidak memiliki itikad baik dalam mendaftarkan merek. Tujuan pendaftaran
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak lain adalah untuk mendompleng ketenaran merek yang sudah terkenal. Memang, perlindungan merek pada prinsipnya bersifat teritorial meski demikian bukan
berarti bahwa tidak ada lagi perlindungan bagi pemilik merek yang sebenarnya. Keputusan Mahkamah Agung tersebut untuk memenangkan kasus Tancho adalah hal yang sangat tepat
dan merupakan terobosan baru dalam perlindungan merek karena telah sesuai dengan Pasal 4 UU Merek, yaitu merek tidak dapat didaftarkan atas dasar Permohonan yang diajukan oleh
pemohon yang beritikad tidak baik. Bentuk gugatan perdata yang dapat dilakukan oleh pemegang merek diatur dalam
Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara
tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa gugatan ganti rugi, danatau
penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Dari Pasal 76 ayat 1 ini, dapat diketahui jenis bentuk gugatan perdata atas pelanggaran merek terdaftar
dapat berupa gugatan ganti rugi atau penghentian penggunaan merek yang dilanggarnya. Ganti rugi di sini dapat berupa ganti rugi materiil dan ganti rugi immateriil. Ganti rugi
materiil berupa kerugian yang nyata dan dapat dinilai dengan uang. Sedangkan ganti rugi immateriil berupa tuntutan ganti rugi yang disebabkan oleh penggunaan merek dengan tanpa
hak, sehingga pihak yang berhak menderita kerugian secara moral. Berdasarkan bukti yang cukup pihak yang merasa dirugikan dapat meminta pada
Hakim pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara pengadilan, yang bertujuan penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek, mencegah
masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak atas merek, dan adanya kekhawatiran pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan menghilangkan barang bukti.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 85 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan
Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang: a. Pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak merek.
b. Penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek tersebut. Pengadilan Niaga akan segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan
dan memberikan kesempatan kepadanya untuk didengar keterangannya bila penetapan sementara pengadilan telah dilaksanakan. Jika hakim Pengadilan Niaga telah menerbitkan
surat penetapan sementara, dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari sejak dikeluarkannya penetapan sementara hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa
tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan pengadilan yang bersifat sementara tersebut. Bila penetapan sementara pengadilan dikuatkan,
uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan dapat mengajukan gugatan. Sedangkan bila penetapan sementara
dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.
Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan Niaga, Pasal 86 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dengan persyaratan sebagai
berikut: a. Melampirkan bukti kepemilikan merek;
b. Melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran merek; c. Keterangan yang jelas mengenai jenis barang danatau dokumen yang diminta, dicari,
dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian; d. Adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran merek akan dapat
dengan mudah menghilangkan barang bukti; dan
Universitas Sumatera Utara
e. Membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank, yang besarnya harus sebanding dengan nilai barang atau nilai jasa yang dikenai penetapan sementara.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis memaparkan mengenai Sistem Pendaftaran Merek Berdasarkan UU 15 Tahun 2001 Tentang Merek Sebagai Upaya Menanggulangi Pendaftaran Merek Tanpa Hak
maka pada bagian akhir dari skripsi ini penulis akan membuat kesimpulan serta mengajukan saran-saran.
A. Kesimpulan
1. Perlindungan Hukum Merek sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek adalah sistem konstitutif yang dapat diketahui dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 15 tahun 2001. Sistem konstitutif ini memberikan hak atas merek yang
terdaftar. Jadi siapa yang mereknya terdaftar dalam daftar umum Kantor Merek, maka dialah yang berhak atas merek tersebut. Sehingga peraturan mengenai merek ini pada
dasarnya sudah memadai, tetapi pada pelaksanaannya masih belum memadai untuk mendukung terwujudnya pelaksanaan kebijakan hukum merek itu sendiri.
2. Kedudukan pemilikan hak atas merek sebagai pemegang merek yang sah adalah adanya
kepastian hukum bagi pemilik atau pemegang merek yang sah dalam bentuk sertifikat sebagai bukti hak atas merek sekaligus dianggap sebagai pemegang pertama merek yang
bersangkutan, pemilik merek mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun.
3. Fungsi pendaftaran Hak atas Merek adalah mencegah orang lain untuk beritikad buruk
terhadap merek yang sudah punya reputasi, pemilik merek terdaftar juga memiliki hak untuk mendapat perlindungan hukum hak atas merek dalam wujud ganti rugi maupun
berdasarkan tuntutan pidana serta permohonan pembatalan pendaftaran merek terhadap merek yang memiliki kesamaan dengan merek yang ia miliki.
Universitas Sumatera Utara