Pengaruh Implementasi Kebijakan Case Mix INA Cbgs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 terhadap Kepuasan Kerja Dokter Spesialis Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2013

(1)

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN CASE MIX INA CBGs BERDASARKAN PERMENKES NO. 40 TAHUN 2012 TERHADAP

KEPUASAN KERJA DOKTER SPESIALIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2013

TESIS

Oleh

LUKMANUL HAKIM NASUTION 117032052/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN CASE MIX INA CBGs BERDASARKAN PERMENKES NO. 40 TAHUN 2012 TERHADAP

KEPUASAN KERJA DOKTER SPESIALIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LUKMANUL HAKIM NASUTION 117032052/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN CASE MIX INA CBGs BERDASARKAN

PERMENKES NO. 40 TAHUN 2012 TERHADAP KEPUASAN KERJA DOKTER SPESIALIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2013 Nama Mahasiswa : Lukmanul Hakim Nasution

Nomor Induk Mahasiswa : 117032052

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. Juanita, S.E, M.Kes)

Anggota

(Drs. Amru Nasution, M.Kes)

Dekan

( Dr. Drs. Surya Utama, M.S )


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 12 Pebruari 2014

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes

Anggota : 1. Drs. Amru Nasution, M.Kes

2. Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp. J.P 3. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H


(5)

SURAT PERNYATAAN

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN CASE MIX INA CBGs BERDASARKAN PERMENKES NO. 40 TAHUN 2012 TERHADAP

KEPUASAN KERJA DOKTER SPESIALIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2014

Lukmanul Hakim Nasution 117032052/IKM


(6)

ABSTRAK

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Case-Mix INA-CBGs

(Indonesian Case Base Groups). Pelaksanaan Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan pun tidak lepas dari berbagai kendala. Salah satunya adalah kendala dalam melakukan diagnosa dan pengkodeannya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 131 orang. Analisis data dilakukan dengan uji statistik linear regression.

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa ukuran dan tujuan kebijakan; sumber daya; sikap pelaksana; dan komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana kebijakan Case Mix INA CBGs memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Diperlukan peningkatan seminar, pelatihan ataupun penyebaran informasi (sosialisasi) mendalam mengenai Case Mix INA CBGs sehingga tidak terjadi kesalahan informasi mengenai kebijakan tersebut. Selain itu diperlukan peningkatan komunikasi antar organisasi atau pelaksana kebijakan Case Mix INA CBGs, sehingga informasi mengenai kebijakan tersebut cepat sampai dan dimengerti oleh para pelaksana kebijakan. Selanjutnya diperlukan pengawasan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dokter spesialis, salah satunya adalah kepuasan dokter spesialis sehingga diperoleh kepuasan kerja yang maksimal.


(7)

ABSTRACT

Health constitutes human rights and automatically becomes the investment for the success in nation building. A hospital is a health service facility which plays a strategic role to expedite the increase in the health standard of the Indonesian people, Indonesian Case Groups (Case INA-CBGs). The implementation of Case Mix in RSUP H. Adam Malik, Medan, is not separated from various obstacles. One of them is the obstacle in diagnosing and encoding.

The objective of the research was to analyze the influence of the implementation of Case Mix INA-CBGs policy, based on Permenkes No. 40/2012 on work satisfaction of the specialist at RSUP H. Adam Malik, Medan. The research was analytic with cross sectional design. The population was all specialists at RSUP H. Adam Malik, Medan, and 131 of them were used as the samples. The data were analyzed by using linear regression statistic test.

The result of univatriate analysis showed that the parameter and the objective of the policy, human resources, implementers’ attitude, communication of inter-organizations, and the activity of the policy implementers in Case Mix INA-CBGs had significant influences on work satisfaction of the specialists at RSUP H. Adam Malik, Medan.

It is recommended that seminars, training, and thorough information (socialization) about the policy should be increased. Besides that, communication of inter-organizations or the implementation of policy of Case Mix INA-CBGs should also be increased so that the information about the policy implementers. Moreover, the supervision of some factors which influence the specialists’ performance, and one of them is their satisfaction, should be needed so that maximal satisfaction can be achieved.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahuwata`ala, karena atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul ” Pengaruh Implementasi Kebijakan Case Mix INA Cbgs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 terhadap Kepuasan Kerja Dokter Spesialis Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2013”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu. DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.


(9)

4. Dr. Juanita, SE, M.Kes selaku Ketua Komisi Pembimbing yang penuh perhatian, kesabaran, ketelitian dalam memberikan bimbingan dan arahan serta meluangkan waktu sejak penyusunan proposal hingga selesai tesis ini.

5. Drs. Amru Nasution, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing yang penuh perhatian, kesabaran, ketelitian dalam memberikan bimbingan dan arahan serta meluangkan waktu sejak penyusunan proposal hingga selesai tesis ini.

6. Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp. J.P selaku Ketua Komisi Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

7. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H selaku Anggota Komisi Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

8. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas / Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

9. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan seluruh staf rumah sakit yang telah membantu saya dalam melakukan penelitian ini.

10.Keluarga yang memberi dukungan baik moril maupun materil, untuk kelancaran penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

11.Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman Minat Studi ARS Angkatan 2011 Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang selama ini selalu saling memberi semangat, menjaga


(10)

keharmonisan, kekompakan demi kelancaran perkuliahan sampai tugas akhir selesai dan memberi dukungan kepada penulis agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

Hanya Allah SWT yang senantiasa dapat memberikan balasan atas kebaikan yang telah diperbuat. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Maret 2014 Penulis

Lukmanul Hakim Nasution 117032052/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Lukmanul Hakim Nasution, lahir pada tanggal 20 November 1954 di Sibolga, anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan Alm. Abdul Hakim Nasution dan Almh. Siti Nurlela Simatupang.

Pendidikan formal penulis dimulai di Sekolah Dasar Negeri No.2 di Sibolga pada tahun 1961 – 1967. Sekolah Lanjutan tingkat Pertama SLTP Negeri I Sibolga pada tahun 1968 – 1970, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri VII Medan pada tahun 1971 – 1973. Fakultas kedokteran USU pada tahun 1975 – 1983. Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin tahun 1992 – 1997 di Fakultas Kedokteran USU Medan.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai dari pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil terhitung 1 Maret 1984 di Puskesmas Pematang Panggang II Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan dari tahun 1984 – 1989. Dirktur Rumah Sakit Umum Kabupaten Muara enim Sumatera Selatan tahun 1990 – 1992. Sebagai Kepala Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Pusat h.Adam Malik pada tahun 2003 – 2007. Kepala Bidang Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2007 – 2009, Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Umum Pusat haji Adam Malik tahun 2011 – 2012, sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat haji Adam Malik tahun 2013 sampai sekarang.


(12)

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat peminatan Administrasi rumah Sakit di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2011 – 2014 dan meyelesaikan pendidikan tahun 2014.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... ` 7

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Kepuasan Kerja ... 9

2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja ... 9

2.1.2 Teori-teori Motivasi ... 11

2.1.3 Teori-teori Lain tentang Kepuasan Kerja ... 16

2.1.4 Faktor - faktor Kepuasan Kerja ... 17

2.1.5 Pengukuran Kepuasan Kerja ... 20

2.1.6 Komponen Kepuasan Kerja ... 21

2.2 Implementasi Kebijakan ... 26

2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 26

2.2.2 Teori Implementasi Kebijakan ... 27

2.3 Case Mix INA CBGs ... 31

2.3.1 Pengertian ... 31

2.3.2 Manfaat ... 32

2.4 Kerangka Teori ... 40

2.5 Landasan Teori ... 41

2.5 Kerangka Konsep ... 43

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Jenis Penelitian ... 44

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.3 Populasi dan Sampel ... 44

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 46


(14)

3.6 Aspek Pengukuran ... 48

3.7 Metode Analisis Data ... 50

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 51

4.1 Gambaran Umum RSUP H. Adam Malik Medan ... 51

4.1.1 Kedudukan dan Tugas Pokok ... 51

4.1.2 Fungsi ... 51

4.1.3 Struktur Organisasi ... 52

4.1.4 Visi, Misi dan Motto ... 52

4.1.5 Sumber Daya Manusia ... 53

4.1.6 Sejarah Berdiri ... 54

4.2 Analisis Univariat ... 56

4.2.1 Distribusi Frekuensi Implementasi Kebijakan Case Mix INA CBGs ... 56

4.2.2 Distribusi Frekuensi Kepuasan Kerja Dokter Spesialis ... 66

4.3 Analisis Bivariat ... 74

4.4 Analisis Multivariat ... 76

BAB 5. PEMBAHASAN ... 78

5.1 Pengaruh Sub Variabel Implementasi Kebijakan dengan Kepuasan Dokter Spesialis ... 78

5.1.1 Pengaruh Ukuran dan Tujuan Kebijakan dengan Kepuasan Dokter Spesialis ... 78

5.1.2 Pengaruh Sumber Daya dengan Kepuasan Dokter Spesialis ... 79

5.1.3 Pengaruh Sikap Pelaksana dengan Kepuasan Dokter Spesialis ... 80

5.1.4 Pengaruh Komunikasi Antar Organisasi dan Aktifitas Pelaksana dengan Kepuasan Dokter Spesialis ... 81

5.2 Pengaruh Implementasi Kebijakan terhadap Kepuasan Dokter Spesialis ... 83

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

6.1 Kesimpulan ... 86

6.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 3.1 Perhitungan Sampel dari Masing-Masing Dokter Spesialis ... 45 3.2 Metode Pengukuran Penelitian ... 49 4.1 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Ukuran dan Tujuan Kebijakan Case MIX INA CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 di RSUP.

H. Adam Malik Medan ... 56 4.2 Distribusi Ukuran dan Tujuan Kebijakan Case MIX INA

CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 di RSUP.

H. Adam Malik Medan ... 57 4.3 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Sumber Daya Kebijakan Case MIX INA CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 di RSUP. H.

Adam Malik Medan ... 58 4.4 Distribusi Sumber Daya Case MIX INA CBGs Berdasarkan

Permenkes No. 40 Tahun 2012 di RSUP. H. Adam Malik

Medan ... 59 4.5 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Karakteristik Agen Pelaksana Kebijakan Case MIX

INA CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 di

RSUP. H. Adam Malik Medan ... 59 4.6 Distribusi Karakteristik Agen Pelaksana Case MIX INA

CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 di RSUP.

H. Adam Malik Medan ... 60 4.7 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Sikap Pelaksana Kebijakan Case MIX INA CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 di RSUP. H.


(16)

4.8 Distribusi Sikap Pelaksana Case MIX INA CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 di RSUP. H.

Adam Malik Medan ... 62 4.9 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Komunikasi Antar Organisasi dan Aktifitas Pelaksana Case MIX INA CBGs Berdasarkan Permenkes No.

40 Tahun 2012 di RSUP. H. Adam Malik Medan ... 62 4.10 Distribusi Komunikasi Antar Organisasi dan Aktifitas

Pelaksana Case MIX INA CBGs Berdasarkan Permenkes No.

40 Tahun 2012 di RSUP. H. Adam Malik Medan ... 63 4.11 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Case MIX INA CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012

di RSUP. H. Adam Malik Medan ... 64 4.12 Distribusi Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Case MIX

INA CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 di

RSUP. H. Adam Malik Medan ... 65 4.13 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Pemenuhan Kebutuhan Dokter Spesialis di RSUP.

H. Adam Malik Medan ... 66 4.14 Distribusi Pemenuhan Kebutuhan Dokter Spesialis di RSUP.

H. Adam Malik Medan ... 67 4.15 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Perbedaan pada Dokter Spesialis di RSUP. H.

Adam Malik Medan ... 68 4.16 Distribusi Perbedaan pada Kebutuhan Dokter Spesialis di

RSUP. H. Adam Malik Medan ... 68 4.17 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Pencapaian Nilai Dokter Spesialis di RSUP. H.

Adam Malik Medan ... 69 4.18 Distribusi Pencapaian Nilai Kebutuhan Dokter Spesialis di


(17)

4.19 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan Mengenai Keadilan pada Dokter Spesialis di RSUP. H. Adam

Malik Medan ... 71 4.20 Distribusi Pencapaian Keadilan pada Dokter Spesialis di

RSUP. H. Adam Malik Medan ... 71 4.21 Distribusi Jawaban Responden per Item Pernyataan

Mengenai Komponen Genetik Dokter Spesialis di RSUP. H.

Adam Malik Medan ... 72 4.22 Distribusi Komponen Genetik pada Dokter Spesialis di

RSUP. H. Adam Malik Medan ... 73 4.23 Distribusi Frekuensi Kepuasan Kerja Dokter Spesialis di

RSUP. H. Adam Malik Medan ... 74 4.24 Tabulasi Silang Implementasi Kebijakan Case Mix INA

CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 Terhadap Kepuasan Kerja Dokter Spesialis Di RSUP. H. Adam Malik

Medan ... 74 4.25 Identifikasi Variabel Dominan Implementasi Kebijakan Case

Mix INA CBGs Berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 Terhadap Kepuasan Kerja Dokter Spesialis Di RSUP. H.


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1 Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn ... 30 2.2 Kerangka Teori ... 41 2.3 Kerangka Konsep Penelitian ... 43


(19)

ABSTRAK

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Case-Mix INA-CBGs

(Indonesian Case Base Groups). Pelaksanaan Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan pun tidak lepas dari berbagai kendala. Salah satunya adalah kendala dalam melakukan diagnosa dan pengkodeannya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 131 orang. Analisis data dilakukan dengan uji statistik linear regression.

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa ukuran dan tujuan kebijakan; sumber daya; sikap pelaksana; dan komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana kebijakan Case Mix INA CBGs memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Diperlukan peningkatan seminar, pelatihan ataupun penyebaran informasi (sosialisasi) mendalam mengenai Case Mix INA CBGs sehingga tidak terjadi kesalahan informasi mengenai kebijakan tersebut. Selain itu diperlukan peningkatan komunikasi antar organisasi atau pelaksana kebijakan Case Mix INA CBGs, sehingga informasi mengenai kebijakan tersebut cepat sampai dan dimengerti oleh para pelaksana kebijakan. Selanjutnya diperlukan pengawasan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dokter spesialis, salah satunya adalah kepuasan dokter spesialis sehingga diperoleh kepuasan kerja yang maksimal.


(20)

ABSTRACT

Health constitutes human rights and automatically becomes the investment for the success in nation building. A hospital is a health service facility which plays a strategic role to expedite the increase in the health standard of the Indonesian people, Indonesian Case Groups (Case INA-CBGs). The implementation of Case Mix in RSUP H. Adam Malik, Medan, is not separated from various obstacles. One of them is the obstacle in diagnosing and encoding.

The objective of the research was to analyze the influence of the implementation of Case Mix INA-CBGs policy, based on Permenkes No. 40/2012 on work satisfaction of the specialist at RSUP H. Adam Malik, Medan. The research was analytic with cross sectional design. The population was all specialists at RSUP H. Adam Malik, Medan, and 131 of them were used as the samples. The data were analyzed by using linear regression statistic test.

The result of univatriate analysis showed that the parameter and the objective of the policy, human resources, implementers’ attitude, communication of inter-organizations, and the activity of the policy implementers in Case Mix INA-CBGs had significant influences on work satisfaction of the specialists at RSUP H. Adam Malik, Medan.

It is recommended that seminars, training, and thorough information (socialization) about the policy should be increased. Besides that, communication of inter-organizations or the implementation of policy of Case Mix INA-CBGs should also be increased so that the information about the policy implementers. Moreover, the supervision of some factors which influence the specialists’ performance, and one of them is their satisfaction, should be needed so that maximal satisfaction can be achieved.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan guna meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Kesinambungan dan keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh tersedianya pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan (Depkes RI, 2011).

Dalam upaya mendukung tercapainya pembangunan kesehatan tersebut, ketersediaan sarana prasarana kesehatan yang cukup merupakan hal yang penting. Namun, hingga saat ini jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih belum memadai. Jumlah puskesmas untuk seluruh Indonesia sebanyak 7.237 unit, puskesmas pembantu sebanyak 21.267 unit dan puskesmas keliling 6.392 unit. Sementara itu, untuk rumah sakit terdapat sebanyak 1.215 rumah sakit, terdiri dari 420 rumah sakit pemerintah, 605 swasta, 78 rumah sakit milik BUMN dan 112 rumah sakit milik TNI dan Polri, dengan jumlah seluruh tempat tidur sebanyak 130.214 buah. Penyebaran sarana dan prasarana kesehatan belum merata. Rasio sarana dan prasarana kesehatan terhadap jumlah penduduk di luar Pulau Jawa lebih


(22)

baik dibandingkan dengan di Pulau Jawa. Hanya saja keadaan transportasi di luar Pulau Jawa jauh lebih buruk dibandingkan dengan Pulau Jawa (Depkes RI, 2011).

Rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Peran tersebut semakin penting mengingat perkembangan epidemiologi penyakit, perubahan struktur demografis, perkembangan ilmu dan teknologi, dan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat (Aditama, 2003).

Tingkat kesehatan penduduk Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Angka kematian ibu tahun 2008 masih sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup, sementara di Philipina 170, Vietnam 160, Thailand 44 dan Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun masyarakat untuk kesehatan dan besarnya cakupan asuransi kesehatan. Sebuah solusi yang efektif diperlukan untuk menanggulangi masalah tersebut. Departemen Kesehatan RI menetapkan sebuah solusi yang dapat menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau yaitu dengan menetapkan standar biaya pelayanan kesehatan berdasarkan sistem yang dikenal dengan nama INA-DRG (Indonesia Diagnose Related Group) (Depkes RI, 2008).

INA-DRG didefinisikan sebagai suatu sistem klasifikasi kombinasi beberapa jenis penyakit dan prosedur/tindakan pelayanan disuatu RS dengan pembiayaan yang dikaitkan dengan mutu dan efektifitas pelayanan terhadap pasien. Sistem INA-DRG ini juga dapat digunakan sebagai salah satu standar penggunaan sumber daya dalam


(23)

memberikan pelayanan kesehatan di RS, dengan kata lain INA-DRG adalah sistem pemerataan, jangkauan yang berhubungan dengan mutu pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan kesehatan atau mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran.

Case-Mix INA-CBGs (Indonesian Case Base Groups) merupakan kelanjutan dari aplikasi INA-DRG yang lisensinya berakhir pada tanggal 30 September 2010. Dengan demikian aplikasi CBG's akan menggantikan fungsi dari aplikasi INA-DRG.

Dalam pembayaran menggunakan

Sistem Informasi INA-CBG’s adalah suatu sistem klasifikasi kombinasi dari beberapa jenis penyakit/diagnosa dan prosedur/tindakan di rumah sakit dan pembiayaannya yang dikaitkan dengan mutu serta efektifitas pelayanan terhadap pasien. INA-CBG’s juga merupakan sistem pemerataan, jangkauan dan berhubungan dengan mutu pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan kesehatan. Selain itu sistem ini juga dapat digunakan sebagai salah satu standar penggunaan sumber daya yang diperlukan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit (Gustini, 2011).

INA-CBG's, baik rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Diagnostic Related Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuikan dengan jenis


(24)

diagnosis maupun kasus penyakitnya. Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan pasien di sarana pelayanan kesehatan adalah dengan Fee-for-service (FFS), yaitu provider layanan kesehatan menarik biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada di rumah sakit. Tarif ditentukan setelah pelayanan dilakukan. Dengan sistem fee for service kemungkinan moral hazard oleh pihak rumah sakit relatif besar, karena tidak ada perjanjian dari awal antara pihak rumah sakit dengan pasien, tentang standar biaya maupun standar lama waktu hari perawatan (length of stay) (Gustini, 2011).

Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan tidak lepas dari upaya peningkatan mutu dan kinerja dari semua sumber daya manusia dan keprofesian yang ada di rumah sakit, dan salah satu asset sumber daya manusia terpenting adalah kinerja tenaga dokter spesialis, karena dokter merupakan gate yaitu sebagai pintu gerbang pasien yang berobat di rumah sakit selain itu merupakan profesi yang berhubungan langsung dan lebih lama dengan pasien. Dokter spesialis merupakan staf medis fungsional dan tidak hanya sebagai pegawai saja, juga mempunyai fungsi strategis di rumah sakit sebagai agent atau pembawa pasien bagi rumah sakit tersebut (Gustini, 2011).

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dinyatakan bahwa seorang dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur


(25)

operasional serta kebutuhan medis pasien. Oleh karena itu setiap dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya, di mana dalam rangka pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diselenggarakan audit medis. Pengertian audit medis adalah upaya evaluasi secara professional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam medis yang dilaksanakan oleh profesi medis.

Penelitian Oktamianiza (2011) mengenai analisis keefektifan pengelolaan informasi kesehatan berdasarkan sistem Case-Mix INA-CBGs diketahui bahwa kebijakan secara operasional belum ada, Tim casemix sudah dibentuk, motivasi dan edukasi belum optimal, monitoring/evaluasi belum diterapkan. Analisa kuantitatif didapatkan 75,3% kinerja tidak baik, 78,7% kinerja dokter tidak baik dan 48,3% pengelolaan informasi tidak efektif. Tidak ada hubungan antara kinerja dengan keefektifan informasi (p value = 0,124) dan ada hubungan kinerja dokter dengan keefektifan informasi (p value = 0,024).

Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner dan Kinicki (2005), bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya. Terdapat banyak cara untuk mengukur kepuasan kerja


(26)

karyawan dalam suatu organisasi/perusahaan baik besar maupun kecil. Paling tidak terdapat empat cara yang dapat dipakai untuk mengukur kepusan kerja, yaitu

Implementasi suatu program tertentu juga berperan dalam menentukan kepuasan kerja seorang karyawan. Bila program tersebut bersifat memberatkan karyawan dengan menambah beban kerja, maka kepuasan kerja karyawan tersebut tidak akan tercapai. Selain itu bila tidak ada output atau timbal balik berupa keuntungan tertentu, biasanya hal ini juga akan meningkatkan ketidakpuasan dari seorang karyawan. Hal ini lah yang menjadi dasar penelitian ini, dimana belum diketahuinya pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2012.

(1) Rating Scale, (2) Critical incidents, (3) Interviews dan (4) Action Tendencies.

Pelaksanaan Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan pun tidak lepas dari berbagai kendala. Salah satunya adalah kendala dalam melakukan diagnosa dan pengkodeannya. Sampai dengan sekarang, di rumah sakit ini belum semua penyakit dilakukan pengkodean medis, padahal, kunci sukses dari penyusunan Case-Mix

adalah pada diagnosa dan pengkodean yang teliti. Selain itu, pengumpulan informasi tentang berbagai variabel serta biaya dalam Case-Mix juga tidak mudah. Memerlukan usaha yang keras, komitmen, serta motivasi yang tinggi. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi juga tengah diusahakan demi mempermudah penerapan

Case-Mix.

Salah satu pelaksana dari Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan adalah dokter spesialis. Dalam banyak kasus di rumah sakit ini, banyak dokter yang malah


(27)

merasa terbebani kerjanya akibat adanya pelaksanaan Case-Mix di RSUP. H. Adam Malik Medan. Efeknya, kepuasan kerja dokter spesialis menjadi menurun dan kinerjanya juga cenderung terlihat menurun. Misalnya saja, sebagai gambaran menurunnya kinerja dokter spesialis, terlihat dalam laporan kinerja dimana jumlah pasien yang ditangani oleh dokter spesialis dari Bulan Januari (335 pasien) turun pada bulan Maret tahun 2013 (256 pasien).

Hasil survei pendahuluan membuktikan bahwa beberapa dokter merasa tidak puas dengan adanya implementasi Case Mix INA CBGs di RSUP. H. Adam Malik Medan. Hal yang mendasari ketidakpuasan ini adalah besaran jasa medis dirasa dokter spesialis tidak sesuai dengan jasa medis berdasarkan pola tarif rumah sakit. Keluhan yang sering diutarakan adalah “Saya melakukan operasi besar yang biasa dapat bayaran mahal, sekarang jadi dapat bayaran murah”.

1.2Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2013.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun


(28)

2012 terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2013.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh implementasi kebijakan Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan masukan bagi Kementerian Kesehatan Indonesia untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit dalam pengimplementasian Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 dan menentukan apakah program ini memberikan efek positif terhadap kepuasan dokter spesialis, sehingga mereka menunjukkan kinerja yang maksimal.

b. Memberikan masukan bagi pihak manajemen Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) di Indonesia mengenai pelaksanaan Case Mix INA CBGs berdasarkan Permenkes No. 40 Tahun 2012 yang baik sehingga mampu meningkatkan pelayanan kesehatan maksimal.

c. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Kerja

2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya (Berry,1998; Robbins,1996). Sesungguhnya belum ada keseragaman pendapat para ahli tentang definisi kepuasan kerja, namun pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil diantara mereka. Menurut Wexley dan Yuki (1992), kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya (the way an employee feels about his/her job). Hoppeck, seperti dikutip oleh As`ad (1995), menyimpulkan setelah melakukan penelitian terhadap 309 karyawan suatu perusahaan di Pennsylvania,AS bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.

Kepuasan kerja sebenarnya merupakan sesuatu yang sulit didefinisikan meski dalam bentuk yang sederhana, tetapi beberapa ilmuwan mencoba untuk mendefinisikan yang dimaksud dengan kepuasan kerja. Menurut Strauss dan Sayles yang dikutip dari Handoko (1995), kepuasan kerja penting untuk aktualisasi diri, kepuasan kerja mempunyai arti penting dalam menciptakan keadaan yang positif didalam lingkungan kerja perusahaan. Fraser (1992) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi yang amat subjektif yang masing-masing merasakan


(30)

sebagai suatu hal yang menguntungkan atau tidak baginya, sehingga kepuasan kerja bersifat individual.

Kepuasan kerja juga merupakan suatu keadaan yang tidak dapat bertahan lama (Davis & Newstrom,1985). Adanya perubahan pada kebutuhan dan tujuan hidup juga menyebabkan kondisi kepuasan kerja tidak dapat bertahan lama (Winardi,1992), hal ini menyebabkan kondisi kepuasan kerja harus diperhatikan dan pengukuran kepuasan kerja dilakukan secara berkesinambungan.

Hasibuan (1996) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Tolok ukur tingkat kepuasan kerja yang mutlak tidak ada karena secara individu berbeda standar kepuasannya.

Menurut As`ad (1995) kepuasan kerja yaitu perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Konsepsi semacam ini melihat kepuasan sebagai suatu hasil dari interaksi manusia dan lingkungannya. Jadi determinasi semacam ini meliputi perbedaan-perbedaan maupun situasi lingkungan pekerjaan. Disamping itu perasaan seseorang terhadap pekerjaannya tentulah sekaligus merupakan refleksi dari sikapnya terhadap pekerjaannya.

Kepuasan kerja ternyata merupakan topik yang sangat menarik dan populer dikalangan para ahli psikologi industri dan manajemen. Hal ini terbukti dari banyaknya penelitian yang dilakukan pada para pekerja di industri besar selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 1972 diperkirakan ada 3350 buah artikel atau disertasi mengenai masalah ini karena memang sangat besar manfaat pemahaman kepuasan


(31)

kerja baik bagi kepentingan individu, industri maupun masyarakat (Nord,1977), seperti dikutip oleh As`ad (1995).

2.3.2. Teori-teori Motivasi yang Berhubungan dengan Kepuasan Kerja (Berry,1998; Hasibuan,1996; Rakich,1985; Robbins,1996; Zainun,1994) Motivasi dipandang sebagai bagian integral dari administrasi kepegawaian dalam rangka proses pembinaan, pengembangan dan pengarahan tenaga kerja dalam suatu organisasi, oleh karena manusia merupakan unsur terpenting, paling utama dan paling menentukan bagi kelancaran jalannya administrasi dan manajemen maka soal-soal yang berhubungan dengan konsepsi motivasi patut mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari setiap orang yang berkepentingan dengan keberhasilan organisasi dalam mewujudkan usaha kerjasama manusia (Zainun,1994).

a. Teori-teori kepuasan (Content Theories)

Teori tentang kepuasan atau kebutuhan menemukan bahwa kebutuhan dan motif yang ada dalam diri seseorang dapat menggerakkan, mengarahkan, melanjutkan dan memberhentikan prilaku orang itu. Teori kepuasan atau kebutuhan yang populer adalah :

a.1. Teori hierarki kebutuhan Maslow

Teori ini beranggapan bahwa setiap individu mempunyai kebutuhan yang bertingkat-tingkat yaitu :

a.1.1. Faal (fisiologis) antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks dan kebutuhan ragawi lainnya.


(32)

a.1.2. Keamanan antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.

a.1.3. Sosial mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik dan persahabatan. a.1.4. Penghargaan mencakup faktor rasa hormat internal seperti harga diri, otonomi

dan prestasi, dan faktor rasa hormat eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian.

a.1.5. Aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi, mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya dan pemenuhan diri.

a.2. Mc Clelland menampilkan Teori kebutuhan yang memfokus pada tiga kebutuhan yaitu : kebutuhan merasa berhasil, kebutuhan untuk bergaul dan kebutuhan untuk berkuasa. Sekalipun semua orang mempunyai kebutuhan namun kekuatan pengaruh kebutuhan itu tidak sama bagi setiap orang, bahkan untuk satu orang yang sama tidak sama kuatnya pada setiap saat atau saat yang berbeda. Namun demikian Mc Clelland sudah menggunakan teori ini untuk meningkatkan kinerja suatu pekerjaan dengan jalan menyesuaikan kondisi sedemikian rupa sehingga dapat menggerakkan orang kearah pencapaian hasil yang diinginkannya.

a.3. Yang paling dikenal dengan teori kebutuhan atau kepuasan ini yaitu Herzberg yang terkenal dengan teori dua faktor. Ia membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu:

a.3.1. Faktor satisfier (motivator), bersifat intrinsik ialah faktor yang dianggap sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi yang diraih, penghargaan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan promosi. Semua faktor


(33)

ini mempengaruhi kepuasan kerja dan membimbing kearah motivasi kerja yang lebih tinggi.

a.3.2. Faktor dissatisfier (hygiene), bersifat ekstrinsik ialah faktor yang terbukti menjadi sumber ketidak puasan yang terdiri dari kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan, gaji, hubungan antar pribadi, kondisi kerja, keamanan dan status. Berkurangnya faktor ini akan menimbulkan rasa tidak puas terhadap pekerjaan.

Jadi menurut Herzberg yang dapat memacu orang untuk bekerja dengan baik dan bergairah hanyalah kelompok satisfier. Longest, dikutip dari Rakich (1985) mendapatkan bahwa urutan faktor-faktor untuk memotivasi perawat di sebuah rumah sakit berdasarkan teori ini sebagai berikut : prestasi yang diraih, hubungan antar perawat, pekerjaan itu sendiri, kebijakan dan administrasi, tanggung jawab, supervisi, gaji, kondisi tempat kerja, pengakuan dan kesempatan maju.

Penelitian terhadap teori ini memberikan hasil yang tidak sama seperti dikutip dari Berry (1998) : Deci (1971) dalam penelitiannya menunjukkan pemberian suatu faktor ekstrinsik kepada seseorang yang melakukan pekerjaan yang memang disukainya tidak akan meningkatkan kinerjanya. Berbeda dengan penelitian Deci, Mawhinney (1990) mendapatkan tidak ada perbedaan kinerja pada orang-orang yang telah termotivasi dengan sangat kuat oleh faktor intrinsiknya walaupun orang tersebut diberi tambahan atau dikurangi faktor ekstrinsik.


(34)

b. Teori-teori proses (Teori Kognitif)

Teori proses menunjukkan cara untuk mengerahkan orang lebih giat mencapai tujuan yang diinginkan. Teori ini merupakan proses sebab dan akibat bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang akan diperolehnya.

Termasuk dalam teori proses ini adalah : b.1. Teori keadilan (Equity Theory)

Teori ini dikembangkan oleh Adams (1965), menurut teori ini yang paling menentukan kinerja seorang karyawan adalah rasa adil atau tidaknya keadaan di lingkungan kerja karyawan itu. Tingkat keadilan itu dapat diukur dengan rasio antara kerja dan upah yang diterima seorang karyawan lain dalam satu lingkungan kerja yang sama. Komponen utama teori ini terdiri dari :

b.1.1. Masukan (input), sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, banyaknya usaha yang dicurahkan, jumlah jam kerja dan peralatan pribadi yang digunakan untuk pekerjaannya.

b.1.2. Hasil (outcomes), sesuatu yang dianggap bernilai oleh pekerja yang diperoleh dari pekerjannya, seperti gaji, keuntungan sampingan, simbol status, fasilitas, penghargaan serta kesempatan untuk berhasil.

b.1.3. Perbandingan antara masukan dan hasil (O/I ratio), seseorang akan membandingkan O/I rationya dengan O/I ratio orang lain. Jika perbandingan itu dianggap cukup adil maka ia akan merasa puas, sedangkan jika perbandingan itu tidak seimbang akan menimbulkan ketidak puasan.


(35)

b.2. Teori harapan (Expectancy Theory)

Teori harapan ini dikemukakan oleh Vroom (1964) yang menyatakan bahwa kuatnya kecenderungan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu itu. Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan mengatakan seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik, suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran organisasional seperti bonus, kenaikan gaji atau suatu promosi dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan itu. Teori harapan membantu menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaannya dan hanya melakukan yang minimum yang diperlukan untuk menyelamatkan diri. Oleh karena itu teori harapan memfokuskan pada tiga hubungan :

b.2.1. Hubungan upaya – kinerja : Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja.

b.2.2. Hubungan kinerja – ganjaran : Derajat sejauh mana individu itu meyakini bahwa berkinerja pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu keluaran yang diinginkan.

b.2.3. Hubungan ganjaran – tujuan pribadi : Derajat sejauh mana ganjaran organisasional memenuhi tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan daya tarik ganjaran potensial tersebut untuk individu itu.


(36)

Sebagai ringkasan, kunci teori harapan adalah pemahaman dari tujuan seorang individu dan tautan antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan ganjaran serta antara ganjaran dan tujuan pribadi. Disamping itu, hanya karena kita memahami kebutuhan apakah yang dicari oleh seseorang untuk dipenuhi tidaklah memastikan bahwa individu itu sendiri mempersepsikan kinerja tinggi sebagai pasti menghantar ke pemenuhan kebutuhan itu.

2.3.3. Teori-teori Lain tentang Kepuasan Kerja

a. Teori ketidaksesuaian nilai (Value Discrepancy Theory)

Locke (1976) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada selisih antara keinginan (expectation) dengan apa yang menurut persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Jika yang didapatkan lebih besar daripada yang diinginkan, maka disebut discrepancy positif, sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga menjadi discrepancy negatif, maka makin besar pula ketidak puasan seseorang terhadap pekerjaannya.

Studi Wanous dan Lawler menemukan bahwa para pekerja memberikan tanggapan yang berbeda menurut bagaimana selisih itu didefinisikan. Mereka menyimpulkan bahwa orang memiliki lebih dari satu jenis perasaan terhadap pekerjaannya dan tidak ada cara terbaik yang tersedia untuk mengukur kepuasan kerja melainkan ditentukan oleh tujuan pengukurannya.


(37)

b. Teori aspek kerja (Facet Theory)

Tujuan utama dari teori ini adalah untuk memprediksi besarnya kepuasan kerja dari berbagai aspek kerja yang berbeda. Lawler (1973) menggunakan hipotesis ketidaksesuaian dan teori keadilan dari Adams untuk menjelaskan teori ini. Dikatakan bahwa tingkat kepuasan terhadap suatu aspek kerja ditentukan oleh perbandingan antara harapan dari apa yang seharusnya diterima dari suatu aspek kerja dengan persepsi terhadap apa yang diterima. Harapan dari apa yang seharusnya diterima ditentukan oleh persepsi dari upaya yang diberikan pada suatu pekerjaan, permintaan terhadap pekerjaan tersebut serta upaya dan hasil yang diterima pekerja. Bila jumlah yang diterima adalah sama dengan jumlah yang diharapkan maka kepuasan terjadi, sebaliknya bila tidak sama akan terjadi ketidak puasan.

2.3.4. Faktor - faktor Kepuasan Kerja

Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada karyawan tergantung pada pribadi masing-masing karyawan. Berikut adalah pendapat beberapa pakar tentang faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja:

Menurut Hasibuan (1995), faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain: balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai dengan keahliannya, berat ringannya pekerjaan, suasana dan lingkungan kerja, peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, sikap pemimpin dan sifat pekerjaan.

Willan (1990) mengemukakan bahwa untuk mencapai kepuasan kerja maka seseorang membutuhkan kenyamanan yang meliputi: gaji yang sesuai dengan


(38)

kebutuhan hidup mereka, lingkungan pekerjaan yang aman dan tunjangan keuangan bila tidak dapat bekerja. Disamping itu mereka juga membutuhkan penghargaan dan perhatian atasan atas pekerjaan yang mereka kerjakan dengan baik dan rasa kebersamaan.

Menurut Robbins (1996) sedikitnya ada empat faktor yang berhubungan dengan pencapaian kepuasan kerja yaitu : pekerjaan yang penuh tantangan, sistim penghargaan yang adil berupa upah dan promosi, kondisi kerja yang mendukung serta sikap orang lain dalam organisasi. Dalam hal pendidikan, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin besar keinginannya untuk memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilannya sehingga bila ilmu yang dimilikinya tidak dimanfaatkan secara optimal akan merasa tidak puas.

Handoko (1995) mengatakan semakin tinggi kedudukan/pangkat seseorang dalam organisasi, maka tingkat kepuasannya lebih tinggi. Hal ini karena mereka biasanya mendapat kompensasi yang lebih baik, kondisi kerja yang lebih baik serta memungkinkan mereka menggunakan kemampuan dengan sepenuhnya. Sarana atau kondisi lingkungan tempat bekerja akan mempengaruhi seseorang dalam bekerja, lingkungan yang menyenangkan, bersih, nyaman dan ventilasi serta penerangan yang cukup akan mengurangi kelelahan dan mempengaruhi gairah kerja sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerja.

Gaji dan tunjangan atau disebut juga sebagai sistim imbalan berhubungan dengan kepuasan kerja seseorang, organisasi harus mengembangkan sistim imbalan atau pemberian kompensasi ini karena imbalan tidak hanya sebagai pemuas secara


(39)

material, tetapi dikaitkan dengan martabat seseorang. Kompensasi yang diberikan kepada karyawan atas pekerjaan yang dilakukannya harus cukup memadai sesuai dengan kemampuan organisasi sehingga dapat memungkinkan mereka hidup wajar tanpa menggantungkan pemenuhan kebutuhannya kepada orang lain.

Ada hubungan yang erat antara kepuasan dengan hubungan interpersonal dimana komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan, teman sejawat, dengan klien dan keluarganya serta dengan dokter akan sangat membantu dalam menyelesaikan masalah atau mendapat informasi tentang sesuatu. Hubungan kerja yang tidak baik dapat mengakibatkan masalah yang serius sehingga mengakibatkan rasa tidak puas.

Closkey (1974) yang dikutip Siagian (1995) berpendapat bahwa seseorang akan merasa puas bila hasil kerjanya dihargai orang lain. Penghargaan yang diberikan dapat berupa materi atau non materi seperti ucapan terima kasih, promosi jabatan dan sebagainya. Kesempatan karyawan untuk maju juga merupakan salah satu bentuk penghargaan yang diberikan atasan, kesempatan untuk berkembang memberikan harapan kepada karyawan untuk dapat maju dan meningkatkan kepuasan kerja karena merasa dihargai.

Dari berbagai pendapat di atas dapat dirangkum faktor–faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu :

a. Kepuasan Psikologi, merupakan faktor kepuasan yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan ketrampilan.


(40)

b. Kepuasan sosial, merupakan faktor kepuasan yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasan maupun dengan karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.

c. Kepuasan fisik, merupakan faktor kepuasan yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan. d. Kepuasan finansial, merupakan faktor kepuasan yang berhubungan dengan jaminan

serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistim dan besarnya gaji, jaminan sosial, tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi.

2.3.5. Pengukuran Kepuasan Kerja

Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi baik dari segi analisa statistik maupun pengumpulan datanya. Berbagai alat ukur dalam bentuk kuesioner dapat digunakan untuk mengukur kepuasan kerja. Ada beberapa tipe kuesioner yang digunakan antara lain (Berry,1998):

a. Minnesota Satisfaction Questionaire (MSQ)

Tipe ini dikembangkan oleh Weiss, Davis, England dan Lofquist (1967). MSQ mempunyai dua bentuk yaitu bentuk panjang dan bentuk pendek. Bentuk panjang terdiri dari 100 item pertanyaan mencakup 20 faktor yang berhubungan dengan pekerjan termasuk kepuasan dengan pembayaran, teman sekerja, supervisi, tanggung jawab, status sosial dan keamanan. Bentuk pendek terdiri dari 20 item pertanyaan yang mengukur kepuasan kerja secara keseluruhan. Responden menjawab


(41)

setiap item dalam skala Likert yang terdiri dari lima pilihan yaitu: sangat puas, puas, netral, tidak puas, sangat tidak puas.

b. Job Description Index (JDI)

Tipe ini dikembangkan oleh Smith, Kendall dan Hulin (1969). JDI mempunyai validitas dan reliabilitas yang cukup tinggi. Tipe ini membedakan skala untuk kepuasan dengan gaji, promosi, pengawasan kerja dan teman sekerja serta dapat menghitung kepuasan karyawan secara keseluruhan. JDI telah banyak digunakan dengan banyak variasi sampel, responden cukup menjawab ya atau tidak dalam setiap item yang ditanyakan.

c. Need Satisfaction Questionaire (NSQ)

Tipe ini dikembangkan oleh Porter (1961). NSQ berdasarkan teori ketidak-sesuaian (discrepancy theory) dimana setiap item berisi dua pertanyaan tentang apa yang seharusnya ada dan apa yang ada sekarang. Skor semua item dijumlahkan kemudian dicari selisihnya untuk mengetahui tingkat ketidak puasan yang dirasakan karyawan.

2.3.6. Komponen Kepuasan Kerja

Hackman dan Oldham (1975) seperti dikutip Wexley dan Yuki (1992) menyatakan bahwa ada tiga komponen kepuasan kerja, yaitu terhadap materi pekerjaan, kompensasi dan pengawasan.

a. Kepuasan terhadap kerja itu sendiri

Hasil berbagai studi tentang pentingnya perbedaan karakteristik pekerjaan menemukan secara konsisten bahwa sifat pekerjaan itu sendiri adalah determinan


(42)

utama dari kepuasan kerja. Hackman dan Oldham (1975) seperti dikutip Wexley dan Yuki (1992) mengoperasikan daftar pertanyaan yang dikenal dengan Job Diagnostic Survey sehingga menghasilkan lima dimensi inti dari materi pekerjaan yaitu: ragam ketrampilan (skill variety), identitas pekerjaan (task identity), kepentingan pekerjaan (task significance), otonomi (autonomy), umpan balik pekerjaan itu sendiri (Feedback from the job itself).

Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang, pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan. Akan tetapi pekerjaan yang terlalu sulit menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan (Katzel,1992 dikutip oleh Robbins,1996).

b. Kepuasan dengan kompensasi

Dari beberapa studi ditemukan bahwa upah merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi penyebab paling mungkin terhadap ketidak puasan kerja (Berry,1998). Sesuai dengan teori keadilan, para karyawan menilai upahnya dengan membuat perbandingan sosial. Jika upah yang diterima lebih rendah dari upah yang berlaku dalam masyarakat untuk suatu tipe pekerjaan itu, maka pekerja tidak akan merasa puas dengan upahnya. Selain itu kepuasan terhadap upah akan dipengaruhi oleh kebutuhan dan nilai-nilai karyawan.

Goodman (1974) menyatakan jika upah pekerja cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya, ia akan lebih puas dibanding jika ia menerima upah lebih rendah dari yang diperlukan untuk memenuhi standar hidup yang memadai.


(43)

Lawler (1967) menyatakan upah juga mencerminkan seberapa jauh para pekerja melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Jika upah tidak didasarkan atas pelaksanaan kerja, pekerja yang rajin bekerja akan tidak puas dengan pendapatan yang sama dari pekerja yang malas (Wexley dan Yuki, 1992).

Disamping itu, karyawan menginginkan kebijakan promosi yang adil, promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dengan cara adil kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjan mereka (Witt & Nye,1992 dikutip dari Robbins,1996). Robertson (1999) melaporkan perawat yang memperoleh pendidikan yang berkelanjutan memberikan skor kepuasan kerja yang tinggi dibanding dengan perawat yang tidak mendapat kesempatan mengikuti pendidikan berkelanjutan.

c. Kepuasan dengan pengawasan

Kepuasan seorang karyawan juga dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan atasannya. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila atasan langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka (Robbins,1996). Penelitian yang dilakukan oleh Moss dan Rowles (1997) terhadap 623 perawat tentang hubungan kepuasan kerja dengan gaya kepemimpinan di tiga rumah sakit Midwestern, mendapatkan kepuasan kerja perawat meningkat dengan gaya manajemen penyelia yang mendekati gaya kepemimpinan partisipatif. Fleishman,1957; Halpin dan Winer,1957; serta Hemphill dan Coons,1957


(44)

seperti yang dikutip Wexley dan Yuki (1992) menentukan dua kategori prilaku utama dari seorang pemimpin adalah consideration dan initiating structure. Consideration adalah tingkat dimana seorang pemimpin bertindak dalam cara yang hangat dan sportif serta menunjukkan perhatian kepada bawahan. Initiating structure adalah tingkat dimana seorang pemimpin mendefinisikan dan merancang peran dirinya serta peran bawahannya kearah pencapaian tujuan formal kelompok.

Byars and Rue (2005), menyatakan bahwa sistem reward organisasi sering mempunyai dampak signifikan pada tingkat kepuasan kerja karyawan. Disamping dampak langsung, cara reward extrinsik diberikan dapat mempengaruhi reward intrinsik (dan kepuasan) dari penerima. Sebagai contoh jika tiap orang menerima peningkatan gaji 5 persen adalah sulit untuk mendapatkan penyelesaian reward. Namun demikian jika kenaikan gaji dikaitkan langsung dengan kinerja, seorang karyawan yang menerima peningkatan gaji yang besar akan lebih mungkin mengalami perasaan penyelesaian dan kepuasan. Byars and Rue (2005) menyebutkan ada lima komponen utama kepuasan kerja yaitu:

1) Sikap terhadap kelompok kerja 2) Kondisi umum pekerjaan 3) Sikap terhadap perusahaan 4) Keuntungan secara ekonomi 5) Sikap terhadap manajemen

Komponen lain mencakup kondisi pikiran karyawan tentang pekerjaan itu sendiri dan kehidupan secara umum. Sikap seorang karyawan terhadap pekerjaan


(45)

mungkin positif atau negatif. Kesehatan, usia, tingkat aspirasi, status sosial, kegiatan sosial dan politik dapat mempengaruhi kepuasan kerja.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima komponen kepuasan yaitu:

1. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Discrepancies (perbedaan). Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan.

3. Value attainment (pencapaian nilai). Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

4. Equity (keadilan). Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.


(46)

5. Dispositional/genetic components (komponen genetik). Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.

2.2 Implementasi Kebijakan

2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahapan dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana sebagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program (Winarno, 2007).

Agustino (2008) menyebutkan studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan.


(47)

2.2.2 Teori Implementasi Kebijakan

Ada 6 variabel, menurut Van Metter dan Van Horn (1975), yang merupakan komponen penerapan atau implementasi kebijkan publik, yaitu :

1. Ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijkan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk di laksanakan dilevel warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menurut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang didisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumberdaya itu nihil, maka sangat sulit untuk diharapkan.

Tetapi diluar sumberdaya manusia, sumberdaya sumberdaya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumberdaya financial dan sumberdaya waktu.karena mau tidak mau ketika sumberdaya manusia yang kompeten dan kapabel telah tersedia


(48)

sedangkan kucuran dana melalui anggaran tidak tersedia,maka memang terjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yuang hendak dituju oleh tujuan kebijkan publik tersebut. Demikian halnya dengan sumberdaya waktu, saat sumberdaya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik,tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal ini pun dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijkaan.

3. Karakteristik agen pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi nonforrmal yang akan terlibat pengimplementasian kebijkan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijkan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Misalnya implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkalaku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijkan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia maka dapat dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama. Selain itu cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana.maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4. Sikap/ kecenderungan (disposition) para pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja impelementasi kebijakan publik.


(49)

Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan dilaksanakan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan,keinginan,atau permasalahan yang ingin diselesaikan.

5. Komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik semakin baik koordiansi komunikasi diantara pihak pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Kerana itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. Van Metter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan ekonomi sosial dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi karakter badan badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan pencapaian itu sendiri.


(50)

Kondisi-kondisi lingkungan dapat mempunyai pengaruh yang penting pada keinginan dan kemampuan yuridiksi atau organisasi dalam mendukung struktur struktur, vitalitas dan keahlian yang ada dalam badan badan administrasi maupun tingkat dukungan politik yang dimiliki kondisi lingkungan juga akan berpengaruh pada kecenderungan kecenderungan para pelaksana. Jika masalah masalah yang dapat diselesaikan oleh suatu program begitu berat dan para warganegara swasta serta kelompok- kelompok kepentingan dimobilisir untuk mendukung suatu program maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut. Lebih lanjut Van Meter dan Van Hon menyatakan bahwa kondisi-kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu. akhirnya,variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung pada pemberian pemberian pelayanan publik. Kondisi lingkungan mungkin memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan kecenderungan para pelaksana dan kekuatan kekuatan lain dalam model ini juga mempunyai pengaruh terhadap implementasi program.

Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn

Kebijakan Publik

Standar dan Tujuan

Sumber Daya

Aktivitas Pelaksanaan dan Komunikasi antar Organisasi

Karakteristik Agen Pelaksana

Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

Kecenderungan dari Pelaksana

Kinerja Kebijakan


(51)

2.3 Case Mix INA CBGs (Kemenkes RI, 2012) 2.3.1 Pengertian

Sistem Casemix Ina-CBG's adalah suatu pengklasifikasian dari episode perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang relatif homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan berisikan pasien2 dengan karakteristik klinik yang sejenis.(George Palmer, Beth Reid). Case Base Groups (CBG's), yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan mutu, pemerataan dan jangkauan dalam pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus campuran, merupakan suatu cara meningkatkan standar pelayanan kesehatan rumah sakit. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis. Pengklasifikasian setiap tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam kelompok yang mempunyai arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang sama serta biaya perawatan yang relatif sama.

Dalam pembayaran menggunakan CBG's, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan


(52)

sebelumnya disesuikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya.

Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan pasien di sarana pelayanan kesehatan adalah dengan fee-for-service (FFS), yaitu Provider layanan kesehatan menarik biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada di Rumah Sakit. Tarif ditentukan setelah pelayanan dilakukan. Dengan sistem fee for service kemungkinan moral hazard oleh pihak rumah sakit relatif besar, karena tidak ada perjanjian dari awal antara pihak rumah sakit dengan pasien, tentang standar biaya maupun standar lama waktu hari perawatan (length of stay).

2.3.2 Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan kebijakan program Casemix INA CBGs secara umum adalah secara Medis dan Ekonomi. Dari segi medis, para klinisi dapat mengembangkan perawatan pasien secara komprehensif, tetapi langsung kepada penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara ekonomi, dalam hal ini keuangan (costing) jadi lebih efisien dan efektif dalam penganggaran biaya kesehatan.Sarana pelayanan kesehatan akan mengitung dengan cermat dan teliti dalam penganggaranya. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), manfaat kebijakan program Casemix INA CBGs adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Bagi Pasien

a. Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan derajat keparahan


(53)

mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit, karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan.

c. Pasien menerima kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik.

d. Mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien. 2. Manfaat Bagi Rumah Sakit

a. Rumah sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja sebenarnya.

b. Dapat meningkatkan mutu & efisiensi pelayanan rumah sakit.

c. Bagi dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan, meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat memonitor QA (quality assessment) dengan cara yang lebih objektif.

d. Perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang lebih akurat. e. Dapat untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh

masing-masing klinisi.

f. Keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran. g. Mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan Clinical


(54)

3. Manfaat Bagi Penyandang Dana Pemerintah (Provider)

a. Dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan kesehatan.

b. Dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap masyarakat luas akan akan terjangkau.

c. Secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider/Pemerintah.

d. Penghitungan tarif pelayanan lebih objektif dan berdasarkan kepada biaya yang sebenarnya.

2.3.3 Clinical Pathway

Prinsip pelaksanaan Case Mix INA CBGs adalah untuk efisiensi pembiayaan pelayanan kepada pasien, untuk dapat mencapai itu perlu ada standarisasi pelayanan terhadap pasien sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk mengurangi cost pelayanan rumah sakit berusaha mencari strategi yang terbaik untuk menghemat utilisasi namun memperbaiki kualitas pelayanan (quality of care). Clinical Pathway

sebagai salah satu komponen Cost analisys. Clincal Pathway tidak digunakan untuk memperkirakan tarif melainkan untuk maintenace cost weigth (berkaitan langsung dengan standarisasi length of stay).

1. Definisi Clinical Pathway

a. European Pathways Association (EPA) I pada kongres di Slovenia, Desember 2005 telah merevisi definisi Clinical Pathways sebagai berikut: Clinical Pathways adalah metodologi dalam cara mekanisme


(55)

pengambilan keputusan terhadap layanan pasien berdasarkan pengelompokan dan dalam periode waktu tertentu.

b. Suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit (D. Firmanda, 2007).

c. An integrated care pathway determines locally agreed, multidisciplinary practice based on guidelines and best-practice evidence where available, for a specific patient/client group. It forms all, or part of, the clinical record, documents the care given and facilitates the evaluation of outcomes for continuous quality improvement.

d. Pathways adalah pelayanan medis yang berpihak pada pasien dan yang menguntungkan bagi pasien, keluarga bahkan kepada team work, memberi peluang untuk melaksanakan evaluasi serta proses perbaikan pelayanan medis yang terus menerus.

e. Clinical pathway adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien mulai masuk sampai keluar rumah sakit berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya, yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur


(56)

dan dalam jangka tertentu selama di rumah sakit. 2. Tujuan Clinical Pathway

a. Mengurangi variasi dalam pelayanan, Cost lebih mudah diprediksi. b. Pelayanan lebih terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan

(Quality of Care)

c. Meningkatkan prosedur costing.

d. Meningkatkan kualitas dari informasi yang telah dikumpulkan. e. Sebagai (counter-check) pada DRG cost.

f. Terutama pada kasus-kasus (high cost, high volume). 3. Keuntungan Clinical Pathway

a. Mendukung pengenalan evidence-based medicine dan penggunaan pedoman klinis.

b. Meningkatkan komunikasi antar disiplin, teamwork dan perencanaan perawatan.

c. Menyediakan standar yang jelas dan baik untuk pelayanan

d. Membantu mengurangi variasi dalam perawatan pasien (melalui standar)

e. Meningkatkan proses manajemen sumber daya

f. Menyokong proses Quality Improvement secara berkelanjutan g. Membantu dalam proses audit klinis

h. Meningkatkan kolaborasi antar dokter dan perawat i. Meningkatkan peran dokter dalam perawatan.


(57)

2.3.4 Peran Coding dalam Case Mix INA-CBGs

Dalam pelaksanaan Case Mix INA-CBGs, peran koding sangat menentukan, dimana logic software yang digunakan untuk menetukan tarif adalah dengan pedoman

international Classification of Disease (ICD) 10 untuk menentukan diagnois dan ICD 9 CM untuk tindakan atau prosedur. Besar kecilnya tarif yang muncul dalam software INA-CBGs ditentukan oleh diagnosis dan prosedur. Kesalahan penulisan diagnosis akan mempengaruhi tarif. Tarif bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil. Diagnosis dalam kaidah CBGs, harus ditentukan diagnosa utama dan diagnosa penyerta. Diagnosa penyerta terdiri dari Komplikasi dan Komorbiditas.

Diagnosis penyerta juga dapat mempengaruhi besar kecilnya tarif, karena akan mempengaruhi level severity (tingkat keparahan) yang diderita oleh pasien. Logikanya pasien yang dirawat terjadi komplikasi, maka akan mempengaruhi lama perawatan di rumah sakit. Jika lama perawatan bertambah lama dibanding tidak terjadi komplikasi, maka akan menambah jumlah pembiayaan dalam perawatan. Dalam logic software INA-CBGs penambahan tarif dari paket yang sebenarnya, jika terjadi level severity tingkat 2 dan level severity tingkat 3. Jika dalam akhir masa perawatan terjadi lebih dari satu diagnosis, koder harus bisa menentukan mana yang menjdi diagnosa utama maupun skunder.

1. Diagnosa Utama (Principal Diagnosis)

a. Adalah diagnosa akhir/final yang dipilih dokter pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber daya atau yang menyebabkan hari rawatan paling lama.


(58)

b. Diagnosis utama selalu ditetapkan pada akhir perawatan seorang pasien (established at the end of the episode of health care)

c. Jika terdapat lebih dari satu diagnosis maka dipilih satu diagnosis yang paling banyak menggunakan resources (SDM, bahan habis pakai, peralatan medik, tes pemeriksaan dan lain2

2. Definisi/ Ciri-Ciri Diagnosis Sekunder

a. Diagnosis sekunder adalah diagnosis selain dari diagnosis utama (Komplikasi + Ko-morbiditi)

b. Komplikasi: Kondisi/diagnosa sekunder yang muncul selama masa perawatan dan dianggap meningkatkan length of stay (LOS) setidaknya satu hari rawat pada kira-kira 75 %

c. Kondisi Ko-Morbid: kondisi yang telah ada saat admisi & dianggap dapat meningkatkan length of stay (LOS) setidaknya 3/4 hari rawat pada kira-kira 75 %

3. Prosedur /Tindakan

a. Prosedur Utama (Principal Procedure) adalah prosedur tindakan yang paling banyak menghabiskan sumber daya atau yang menyebabkan hari rawatan paling lama dan biasanya berhubungan erat dengan diagnosa utama.

b. Prosedur Sekunder

Seluruh signifikan prosedur tindakan yang dijalankan pada pasien rawat inap atau rawat jalan, membutuhkan peralatan special atau


(59)

dikerjakan oleh staf terlatih dan berpengalaman Dalam proses Case Mix Ina DRG, tidak semua prosedur atau tindakan harus di input dalam software Ina DRG. Beberapa tindakan-tindakan yang tidak perlu di input adalah:

• Prosedur/tindakan yang berhubungan dengan keperawatan • Prosedur/tindakan yang rutin dilakukan

• Prosedur/tindakan yang tidak memerlukan staf khusus • Prosedur/tindakan yang tidak memerlukan peralatan khusus 2.3.5 Keterkaitan Kode Diagnosis Dengan INA CBGs

• Ketepatan pengkelasan CBGs (CBGs grouping) sangat tergantung kepada ketepatan diagnosis utama.

• Diagnosis utama akan menentukan MDC (Major Diagnostic Category) atau sistem organ yg terlibat.

• Tingkat keparahan penyakit (severity level) ditentukan oleh diagnosis sekunder, prosedur dan umur pasien.

• Ketepatan jumlah biaya rawatan pasien ditentukan oleh ketepatan pengkelasan CBGs dan pemilihan diagnosis

• Mengikuti standar resmi WHO dalam pengkodean diagnosis (WHO Morbidity Refference Group)

• Mengikuti standar resmi aturan coding ICD 10 dan ICD 9 CM • Untuk kasus pasien bayi baru lahir (usia 0 s/d 30 hari) data


(1)

c. Sikap merupakan faktor yang dominan, untuk itu perlu fasilitas insentif dengan mengajukan permohonan kepada Kementerian Kesehatan RI dalam menentukan kebijakan agar jasa medis dokter spesialis ditetapkan pola pembayaran jasa yang sudah terumus dalam perangkat INACBG’S.

d. Perlu diadakan penelitian lain dan lebih mendalam mengenai faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja dokter spesialis terkait pelaksanaan kebijakan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adikoesoemo, S., 1995. Manajemen Rumah Sakit. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Aditama, T. Y, 2003. Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Edisi II, Penerbit

Universitas Indonesia, Jakarta.

Arikunto, S., 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi IV. Jakarta: Rineka Cipta.

As`ad, M., 1995. Psikologi Industri. Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Berry, L.M., 1998. Psychology at Work. Second Edition. Singapore: Mc Graw Hill,

Inc.

Blum, M.L., and J.C. Naylor. 1968. Industrial Psychology: Its Theoritical and Social Foundation. New York: Harper & Row.

Byars, L.L., and L. W., Rue, 2005, Human Resources Management, Mc Graw-Hill, New York

Cushway, B., dan D. Lodge. 1999. Organizational Behaviour and Design.

Terjemahan. Cetakan Kedua. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Crose, P.S., 1999. Continuing Education: Job Characteristics Related to Job Satisfaction in Rehabilitation Nursing. Association of Rehabilitation Nurses.

Davis, K., and J.W. Newstrom. 1985. Organizational Behaviour: Human Behaviour at Work. Seventh Edition. Singapore: Mc Graw Hill, Inc.

Departemen Kesehatan RI. 1994. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.

Departemen Kesehatan RI. 1994. Upaya Peningkatan Mutu pelayanan Rumah Sakit: Konsep Dasar dan Prinsip. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.

Departemen Kesehatan RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta . 2008. Penggunaan Sistem Casemix untuk Tekan Biaya


(3)

Doewes, M., 1995. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Perawat di RS Islam Kustati Solo. Tesis Program Studi Kajian Administrasi Rumah sakit. Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Fraser, T.M., 1992. Human Stress, Work, and Job Satisfaction: A Critical Approach.

Terjemahan. Cetakan Kedua. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Gibson, J.L., Ivancevich, dan Donnelly. 1997. Organization. Terjemahan. Edisi Kelima. Cetakan Kedelapan. Jakarta: Erlangga.

Gilles, D.A., 1994. Nursing Management: A System Approach. Third edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Gustini, F. 2011. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit. Bandung: Caraka Indonesia Hall, D.T., and J. Goodale. 1986. Human Resource Management: Strategy, Design

and Implementation. Glenview: Scott Foresman.

Handoko, T.H., 1995. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Cetakan Kesembilan. Yogyakarta: BPFE.

, 1997. Manajemen. Edisi Kedua. Cetakan Kesebelas. Yogyakarta: BPFE.

Hardjoprawiro, H., 1991. “Aspek Pengembangan Sumber Daya Manusia Rumah Sakit”. Cermin Dunia Kedokteran. Edisi khusus. Jakarta.

Hasibuan, M.S.P., 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia: Dasar dan Kunci Keberhasilan. Jakarta: Gunung Agung.

Hasibuan, M.S.P., 1996. Organisasi dan Motivasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.

Hersey, P., dan K. Blanchard. 1995. Management of Organizational Behaviour: Utilizing Human Resources. Terjemahan. Edisi Keempat. Cetakan Kelima. Jakarta: Erlangga.

Ilyas, Y., 2001. Kinerja: Teori, Penilaian dan Penelitian. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Istono, T.R. 2011. Pengaruh Sikap Kerja, Gaji Dan Penghargaan Terhadap Kepuasan Kerja Manajer (Studi Kasus Di PT. Pos Indonesia Surabaya Selatan). Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Surabaya


(4)

Kaluzny, A.D., 1982. Management of Health Services. Upper Saddle River. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Kinicki, Angelo and R. Kreitner, 2005, Organizational Behavior Key concepts skills and best Practice, Mc Graw-Hill, New York

Kreitner, Robert & Kinicki., Anggelo. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba Empat

LAN. 2000. Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta.

Lawler, E.E., and L.W. Porter. 1967. Antecendent Attitudes of Effective Managerial Performance. dalam Vroom, V.H., and E.L. Deci. Management and Motivation. Middlesex. England: Penguin Books.

Luthans, F., 2005, Organizational Behavior, Mc Graw-Hill Book Co-Singapore,Singapura

Meter, Donald Van, dan Carl Van Horn, 1975, "The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework dalam Administration and Society 6, 1975, London: Sage

Moon, P., 1994. Appraising Your Staff. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Moss, R., and C.J. Rowles. 1997. Nursing Management: Staff Nurse Job Satisfaction and Management Style. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Nelson, D.L., and J.C., Quick, 2006, Organizatonal Behavior Foundations Realities and Challenges, Thompson South Western, United States of America

Noe, R. A. , et all, 2006, Human Resources Management, Mc Graw-Hill, New York Notoatmodjo, S., 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Pertama. Jakarta:

Rineka Cipta.

Nurachmah. 1994. Konsep Manajemen Keperawatan. Jakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nurhayani, S. 2006. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kepuasan Kerja Dokter Spesialis di Poliklinik Rawat Jalan RSU Dr. Kanujoso Djatiwibowo


(5)

Kota Balikpapan Tahun 2006. Tesis S2 Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang

Octaviany, F. 2013. Pengaruh People (Sumber Daya Tenaga Kesehatan) dan Proses Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Jalan (Survei pada Pasien Rawat Jalan di RSUD Kota Cilegon). Jurnal Penelitian Universitas Pendidikan Indonesia, Jakarta

Oktamianiza. 2011. Analisis Keefektifan Pengelolaan Informasi Kesehatan Berdasarkan Sistem Case-mix INA-CBGs Pasien Jamkesmas Pada Bangsal Bedah Di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2011. Program Studi Kesehatan Masyarakat. Tesis S2 Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, Padang

Peraturan Menteri Kesehatan /686/MENKES/SK/VI/2010 tentang pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat

Porter, L.W., 1961. A Study of Perceived Need Satisfaction in Bottom and Middle Management Job. dalam Porter, D.E., and P.B. Applewhite. Studies in Organizational Behaviour and Management. New York: International Textbook Company.

Prawirosentono, S., 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia: Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta: BPFE.

Rakich. 1985. Managing Health Services Organizations. Second Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Robbins, S.P., 1996. Prilaku Organisasi. Jilid 1. Terjemahan. Jakarta: Prenhallindo. ., 1996. Prilaku Organisasi. Jilid 2. Terjemahan. Jakarta: Prenhallindo. Robbins dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba Empat

Robertson. 1999. “Association Between Continuing Education and Job Satisfaction of Nurses Employed in Long Term Care Facilities”. Journal of Continuing Education in Nursing. Vol.30, Iss.3:108-133.

Siagian, S.P., 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Keempat. Jakarta: Rineka Cipta.


(6)

Swanburg, R.C., 2000. Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan.

Terjemahan. Jakarta: EGC.

Tristanti, E. 2010. Pengaruh Dimensi Kualitas Pelayanan Dan Ketrampilan Komunikasi Dokter Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Tesis S2 Universitas Negeri Semarang.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Utami, I,D. 2008. Pengaruh Ukuran Perusahaan, Ukuran Dewan Komisaris, Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Asing, Dan Umur Perusahaan Terhadap Corporate Social Responsibility Disclosure Pada Perusahaan

Property Dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Wahab, A.S. 2006. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara

Walker, J.W., 1992. Human Resource Strategy. International Edition. Singapore: Mc Graw Hill, Inc.

Wexley, K.N., dan G.A. Yuki. 1992. Prilaku Organisasi dan Psikologi Personalia.

Terjemahan. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.

Widodo, 2011. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Bayu Media, Malang

Willan, J.A., 1990. Hospital Management in The Tropics and Subtropics. New York: Mac Millan, Inc.

Winardi, 1992. Manajemen Prilaku Organisasi. Bandung: Citra Aditya.

Winarno, B. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Grafindo Zainun, B., 1994. Manajemen dan Motivasi. Cetakan Keenam. Jakarta: Balai Aksara