76 masyarakat lebih memilih usaha pemenuhan kebutuhan mereka secara
sendiri-sendiri 7.
Pembangunan rumah adat Batak Toba sudah jarang dilakukan mengingat kayu dan biaya yang dibutuhkan lebih besar dibanding membangun rumah
biasa. Hal ini disebabkan kayu yang digunakan untuk membangun rumah adat seperti sappinur tali, sappinur bunga, martolu bolon, martolu hapashapas
sudah susah ditemukan dan juga di lain sisi kayu tersebut hanya tumbuh dilahan hutan milik Negara. Pak Sagala mengatakan bahwa
“Dang holan hau na maol ni dapot, adong pe hau um godang do adong ilahan pemerintah jala
ikkon marijin do anggo lao pajongjong hon jabu” yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: Bukan hanya kayu yang sulit didapat, adapun kayu
lebih banyak dilahan pemerintah kemudian harus punya ijin kalau mau membangun rumah, sebut bapak Sagala selaku kepala desa Sianjur Mula-
mula.
4.6. MasyarakatPengusaha dan Pemerintah
Masyarakat pengusaha yang dimaksud ialah merupakan masyarakat yang mengelola hutan untuk dijadikan sumber pendapatan mereka. Masyarakat
pengusaha dalam pengelolaan hutan masih kerap melakukan sebuah tindakan yang menurut pemerintah merupakan sebuah pelanggaran hukum. Untuk alasan
yang dikeluarkan oleh masyarakat terkait hal tersebut mereka beralasan bahwa hal tersebut bukan dilakukan dengan sengaja tetapi hanya karena ketidaktahuan
masyarakat saja.
Universitas Sumatera Utara
77 Aturan hukum kegiatan pengelolaan hutan sudah diatur dalam Peraturan
Bupati seperti berikut: “Setiap orang atau badan hukum yang memiliki hutan
hakrakyat dan atau orang yang akan melakukan penebangan pohon pada hutan hakrakyat, melaporkanmemohon rencana
penebangan kayunya kepada Pejabat Penerbit SKAU Kepala Desa dan Kepala UPTD setempat dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Samosir” Peraturan Bupati Samosir Nomer 28 Tahun 2014 Pasal 12 Ayat
1 Tentang Proses Penebangan Kayu.
Berbincang dengan salah seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya, mengutarakan masalah sering sekali terjadi ketika proses pengambilan
kayu di hutan oleh masyarakat. Warga yang merupakan seorang Ibu tersebut mengatakan bahwa:
“Hau na ni tanom hami do na ibuat hami, dungi hami do mananom, jadi boasa ikkon ni baen suratna? Tano nami do
on ”Kayu yang kami tanamnya yang kami ambil, setelah itu
kami yang tanam jadi kenapa harus pakai surat? Tanah kami ini sebut Ibu S.
Dalam prosesnya dilapangan peneliti menyadari bahwa masyarakat terkesan ketakutan dan berusaha menutup diri jika ditanyai mengenai penebangan
kayu hutan yang melibatkan masyarakat, masyarakat pengusaha, pengusaha dan pemerintah. Keempat pihak ini terkesan bersaing demi tujuannya masing-masing
namun satu hal yang pasti adalah bahwa motif utama dibalik semua itu adalah motif ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
78 Gambar 4.2. Papan pengumuman yang melatarbelakangi hutan yang masih
terjaga kelestariannya Sumber: Samuel Sagala Dalam konsep ekonomi dan politiknya yang telah berkembang, seperti
ditemukan di buku Ekologi Marx menggunakan konsep “metabolisme”
Stoffwechsel untuk men jelaskan proses kerja sebagai “Sebuah proses antara
manusia dan alam. Sebuah proses di mana manusia lewat tindakannya memediasi, mengatur dan mengontrol metabolisme dirinya dan alam”. Namun,
sebuah “keretakan tidak dapat diperbaiki” telah muncul pada metabolisme ini akibat hubungan kapitalis dalam produksi dan pemisahan antagonis antara kota
dan desa. John. B. Foster 2013:149. Kembali ke persoalan perbedaan pandangan antara masyarakat pengusaha
dan pemerintah mengenai aturan pengelolaan hutan. Pemahaman yang berkembang dikalangan masyarakat adalahmasyarakat menganggap kayu yang
mereka ambil dari tanah atau hutan milik mereka tidak harus mengikuti proses yang ditentukan oleh Pemerintah. Karena kayu lahan tersebut adalah milik
Universitas Sumatera Utara
79 mereka maka secara otomatis semua yang ada didalamnya berhak mereka
manfaatkan sepenuhnya tanpa harus ada intervensi dari pihak luar.
Gambar 4.3. Papan pengumuman yang membelakangi hutan yang hangus terbakar akibat aktifitas pembakaran warga Sumber: Samuel
Pihak masyarakat pengusaha melakukan penebangan kayu hanya sebatas menggunakan surat dari Kepala Desa setempat. Surat ini akan menjadi modal
bagi mereka untuk memperjual belikan kayu tanpa sepengetahuan Dinas Kehutanan atau menjual kayu sebelum proses dari Dinas Kehutanan selesai.
Hanya proses inilah yang terjadi antara masyarakat pengusaha yang akan menjual kayu mereka kepada pihak-pihak tertentu yang pada umumnya merupakan para
pengusaha bahan bangunan. Masyarakat perngusaha dan pengusaha bahan bangunan secara bersama-sama melakukan penjualan kayu tanpa surat izin dari
Dinas Kehutanan yang kemudian disebut pemerintah sebagai perambah liar.
Universitas Sumatera Utara
80
4.7. Pertentangan Antara Masyarakat, Pengusaha, LSM dan Pemerintah