58
BAB IV PENGELOLAAN HUTAN
4.1. Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Lokal
Pengelolaan hutan oleh masyarakat Samosir telah berlangsung sejak turun temurun. Cara-cara yang ada pada zaman dahulu diwariskan kepada para generasi
penerus yang saat ini masih setia mendiami Samosir. Cara-cara yang dipakai oleh masyarakat Samosir dalam mengelola hutan selalu mengalami perkembangan
dari masa ke masa. Pengelolaan hutan oleh masyarakat ditujukan untuk pembuatan lahan
pertanian, untuk memperoleh makanan ternak, pemenuhan kebutuhan sehari-hari pengambilan kayu dan makanan dari hutan. Berikut ini adalah cara-cara
pengelolaan hutan di Samosir yang mengealami perkembangan dari masa kemasa.
4.1.1 Pada Zaman Dahulu zaman setelah adanya penggunaan besi.
Mengambil kayu: Marsiruppa saling membantugotong royong saat akan mengambil kayu, setelah melakukan ritual doa Martongo di kampung,
maka mereka akan memperoleh petunjuk dari penguasa yang disampaikan kepada ketua adat sebagai pemimpin ritual. Petunjuk-petunjuk yang diperoleh adalah
seperti waktu yang tepat untuk melakukan penebangan pohon. Sesampainya di hutan, mereka akan melakukan ritual doa dan meletakkan daun sirih didepan
pohon tersebut.
Universitas Sumatera Utara
59 Adapun doa yang dipanjatkan oleh kepala adat sebagai pemimpin ritual
yang disebutkan oleh Opung marga Sagala ayah dari Bapak Agus Sagala adalah sebagai berikut:
“Ale Oppung Namaringan di Harangan On, tonga-tongana do na ibuat hami anggo bonana dohot Pussuna I ho do Oppung
Boru Tun Dolok, Ima Oppung Martua Huta Martua Tun Dolok au namambuat hau mon do Oppung, Huelek maho, marsantabi
do hami tu ho
”Wahai kakektetua yang meninggali hutan ini, bagian tengahnya la yang kami ambil kalau buah dan tunasnya
itu hanya untuk nenektetua, itu lah tetua yang ada di bukit ini aku akan mengambil kayu milik mu, aku bujuk dirimu, aku
meminta izin kepadamu ”
Hal ini dilakukan kepada setiap pohon yang akan ditebang, kecuali pengambilan kayu dilakukan di lokasi yang berdekatan atau bersebelahan. Maka
masyarakat pun akan mengambil kayu dengan cara bergotong royong. Mereka hanya menggunakan peralatan pemotong seperti parang dan kapak. Mereka
memotong kayu secara bersama-sama dan bergantian hal ini mengingat alat yang masih terbatas sementara kayu yang ditebang sangat besar.
Setelah dipotong, kayu pun dibelah langsung di hutan dan dipikul secara bersama-sama untuk dibawa ke kampung. Hal ini juga diakui oleh masyarakat
menjadi salah satu penyebab jarangnya terjadi pembangunan rumah adat Batak Toba pada zaman itu. Proses yang sangat panjang dan membutuhkan banyak
tenaga dalam pengerjaannya membuat masyarakat enggan untuk membangun rumah adat. Adapun kayu juga diambil untuk membuat solu sampan tradisional,
kayu bakar dan alat-alat rumah tangga lainnya. Masyarakat juga melakukan pengambilan kayu tidak hanya di satu lokasi berdekatan saja, melainkan
mengambil kayu dengan tidak berfokus di satu titik saja. Menurut masyarakat hal
Universitas Sumatera Utara
60 ini dilakukan agar kayu tidak habis disatu lokasi saja dan kayu sempat mengalami
proses tumbuhnya kembali pohon yang mereka tebang.
Berburu dan Menjerat Jobang: dalam kegiatan berburu dan menjerat,
masyarakat akan melakukan ritual doa terlebih dahulu dikampung mereka tinggal. Setelah ritual doa selesai barulah mereka berangkat ke hutan untuk
berburu. Saat masyarakat sampai dihutan, warga akan kembali melakukan ritual doa sebagai sarana untuk meminta izin kepada para roh penunggu hutan. Hal ini
dilakukan dengan harapan, penguasa hutan akan mengizinkan dan mempermudah mereka saat melakukan perburuan, selain itu warga yang berburu juga berharap
mendapatkan keselamatan selama proses berburu. Begitu juga halnya saat melakukan jobang menjerat. Saat menemukan tempat yang pas untuk membuat
jerat, mereka akan mendoakan jeratan dan tempat dimana mereka memasang jerat tersebut. Masyarakat mengambil hewan buruan mereka seperlunya saja, seperti
kita ketahui, menjerat hanya akan menghasilkan satu ekor hewan dalam satu jeratan. Jumlah personil yang terbatas juga mempengaruhi banyaknya hewan
yang akan mereka bawa dari hutan. Pertanian : Menurut pengakuan masyarakat yang ditemui oleh peneliti,
sebelum masyarakat membuka lahan pertaniannya maka akan terlebih dahulu mereka melakukan pembatasan lahan, dengan cara menebang pohon dan
membersihkan rumput yang ada dilahan yang akan mereka jadikan lahan pertanian. Setelah dibersihkan, mereka akan mengumpulkan rumput dan ranting-
ranting pohon tersebut ditengah lahan, kemudian rumput-rumput dan dedaunan tersebut akan dijemur sampai kering dan mudah untuk dibakar.
Universitas Sumatera Utara
61 Proses ini termasuk dalam proses penyiangan yang pada daerah-daerah
lain juga sering dilakukan. Seperti yang dikutip dari tulisan M. R. Dove dalam bukunya Sistem Perladangan Di Indonesia 1998 bahwa tujuan langsung
menyiangi ialah untuk membantu mengurangi tanaman-tanaman tertentu yang tumbuh di ladang.
Namun, ada perbedaan yang mendasar yang membedakan antara kajian Michael. R. Dove dengan penelitian ini yakni jika dalam tulisan Dove rumput-
rumput yang akan disiangi adalah rumput yang tidak dipakai dan memang sengaja dihilangkan untuk keperluan pertanian oleh suku Kantu maka dalam
tulisan ini peneliti menemukan bahwa rumput yang disiangi dan nantinya akan dibakar adalah untuk dijadikan pupuk bagi tanah yang akan mereka Tanami.
Kembali ke proses pengelolahan lahan tadi. Setelah beberapa hari dilakukan proses penyiangan maka rumput tersebut pun akan mereka bakar.
Pembakaran akan dilakukan saat angin tidak kencang dan dapat dikontrol sehingga memperkecil kemungkinan merembetnya api dari kegiatan penyiangan
ke lahan yang bukan dipersiapkan untuk lahan pertanian. Pembakaran ini dilakukan dengan penjagaan yang ketat sampai selesai. Hal ini untuk
mengantisipasi bila sewaktu-waktu api akan merembet ke lahan yang lain. Apabila api berkobar sangat besar maka mereka akan membakar lahan
pada bagian lain sebagai pembatas api saat merembet. Hasil dari pembakaran tersebut akan mereka gabungkan saat mereka mangombak proses pengangkatan
akar-akar tanaman dengan cangkul. Setelah itu lahan akan dibiarkan beberapa hari dibawa terik matahari sehingga kemungkinan akan tumbuh tunas baru akan
sulit. Lahan ini pun akan mulai dikelola setelah menginjak musim hujan.
Universitas Sumatera Utara
62 Peternakan. Masyarakat Batak Toba dahulu menjadikan peternakan
sebagai salah satu kegiatan yang sangat penting. Hal ini terlihat dari bentuk rumah adat masyarakat batak Toba juga. Menurut salah seorangpejabat Dinas
Kehutanan dan tokoh masyarakat Desa SianjurMula-Mula, dahulu hampir setiap rumah adat Batak Toba pasti memiliki ternak.
Ternak ini mereka tempatkan pada bara Ruang diantara lantai dan tanah rumah adat Batak Toba. Pada awal pembangunan, rumah ini juga sengaja
menyediakan ruang kosong ini untuk menjadi kandang ternak mereka kerbau, lembu dan babi. Para parmahan peternak ini akan menggembalakan lembu dan
kerbau mereka ketempat yang ditumbuhi banyak rumput pada pagi hari dan mengembalikan ternak mereka tersebut kedalam bara pada sore hari.
Pada umumnya mereka akan membawa lembu dan sapi mereka ke lahan yang memiliki banyak tulmok yang diterjemahkan Warneck 1977:273 dikutip
dalam buku Manusia dan Alang-alang hal 75 “lalang yang baru bertunas
kembali ”. Saat tulmok sudah habis, mereka akan melakukan pembakaran lahan
hutan yang ditumbuhi lalang dengan harapan akan cepat tumbuh tunas muda yang nantinya akan menjadi makanan ternak mereka lagi. Hal peremajaan ini
dilakukan agar ternak mereka makan dengan lahap, karena ternak sangat menyukai rumput-rumput muda.
4.1.2. Pada Zaman Sekarang