KEMISKINAN KEMISKINAN KEMISKINAN KEMISKINAN KEMISKINAN

A. KEMISKINAN A. KEMISKINAN A. KEMISKINAN A. KEMISKINAN A. KEMISKINAN

Oleh Jamie Davis

Yuni Mulyono, yang diperdagangkan untuk dijadikan pembantu rumah tangga (PRT) di Jakarta dan kemudian di Amerika Serikat, dalam kesaksiannya kepada Jaringan Pertahanan Ketenagakerjaan di AS menjelaskan mengapa ia menjadi seorang PRT:

Saya menjadi PRT di Indonesia karena keluarga saya miskin – saya tidak mempunyai pilihan lain. Ayah saya adalah seorang petani dan pembuat perabotan rumah tangga, dan saya memiliki enam adik lelaki dan seorang adik perempuan. Tidak ada pekerjaan di kota kecil di Sumatra tempat saya dibesarkan, sehingga ketika saya berusia 15 tahun, seorang gadis yang tinggal di sebelah rumah saya mengajak saya ke Jakarta dan memberikan pekerjaan kepada saya (Bacon, 1997)

Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa kurang lebih 38 juta dari 213 juta penduduk Indonesia pada saat ini hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp.9.000,00 per hari. Pengangguran di Indonesia juga berjumlah paling tidak sama banyaknya dengan perkiraan di atas (‘Bombings,’ 2002). Menurut beberapa estimasi, hampir separuh penduduk Indonesia hidup dengan penghasilan di bawah Rp.18.000,00 per hari (Uchida, 2002a).

Situasi perekonomian Indonesia belum memperlihatkan banyak kemajuan sejak krisis ekonomi tahun 1997 menghantam. Pada akhir Oktober 2002, pemerintah menurunkan estimasi resmi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2003 dari 5 persen menjadi 4 persen akibat peristiwa Bom Bali yang terjadi pada pertengahan bulan yang sama. Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Andrew Steer, mengumumkan bahwa mungkin hingga 3 juta lagi penduduk Indonesia akan jatuh ke bawah garis kemiskinan menyusul Bom Bali (‘Bombings’, 2002). Diperkirakan bahwa perekonomian Indonesia harus tumbuh antara 5 sampai 6 persen untuk dapat secara efektif mengurangi pengangguran dan kemiskinan (‘Govt., House Agree’, 2002).

Kemiskinan yang begitu akut dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk melakukan migrasi di dalam dan ke luar negeri guna menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri. Sebuah studi mengenai

Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia

perdagangan di 41 negara menunjukkan bahwa keinginan untuk memperbaiki situasi ekonomi ditambah dengan langkanya peluang ekonomi di tempat asal merupakan salah satu alasan utama mengapa perempuan mencari pekerjaan di luar negeri (Wijers dan Lap-Chew 1999: 61). Peneliti di Indonesia juga menyatakan bahwa motivasi utama bagi kebanyakan pekerja untuk bermigrasi adalah motivasi ekonomi (Hugo, 2002: 173; Suryakusuma, 1999: 7). Wawancara dengan pekerja seks di seantero negeri juga menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi merupakan alasan utama mereka untuk memasuki industri seks (Wawancara, 2002). Keluarga yang miskin mungkin tidak akan sanggup mengirim anak mereka ke sekolah dan biasanya akan mendahulukan pendidikan bagi anak lelaki jika mereka hanya mampu mengirim sebagian dari anak-anak mereka ke sekolah (Oey-Gardiner, 1999). Jika orang tua tidak mampu mencari pekerjaan, maka anak mereka akan disuruh bekerja, di ladang atau di pabrik dekat rumah, atau di dalam situasi yang lebih berbahaya serta jauh dari rumah seperti di pertambangan, jermal, rumah keluarga lain (sebagai PRT), bahkan di rumah bordil. Melalui semua jalur ini, kemiskinan membuat perempuan dan anak semakin rentan terhadap perdagangan.

Namun harus dingat bahwa kemiskinan bukan satu-satunya indikator kerentanan seseorang terhadap perdagangan. Jutaan penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan tidak menjadi korban perdagangan. Namun ada penduduk yang bernasib relatif lebih baik dan tidak hidup dalam kemiskinan absolut malah menjadi korban perdagangan. Banyak orang bermigrasi untuk mencari pekerjaan bukan karena mereka tidak mempunyai cukup uang untuk menyediakan makanan di meja bagi keluarga mereka, namun karena mereka ingin memperbaiki keadaan ekonomi serta menambah kekayaan materiil mereka. Kenyataan ini didukung oleh media pendapatan di beberapa provinsi Indonesia yang terkenal memiliki tingkat migrasi yang tinggi – dan juga merupakan daerah pengirim yang besar bagi migrasi dan perdagangan. Statistik BPS untuk bulan September 2000 memperlihatkan bahwa Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara memiliki median pendapatan jauh di bawah rata-rata nasional Rp.78.000,00 per minggu – masing-masing di level Rp.57.900,00, Rp.47.300,00 dan Rp 58.500,00. Karena median penghasilan suatu provinsi merupakan ukuran kemiskinan, angka-angka ini menunjukkan bahwa ketiga provinsi ini mungkin mengalami tingkat kemiskinan yang lebih buruk dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Namun Sumatra Utara dan Jawa Barat, dua provinsi lain yang terkenal sebagai daerah pengirim besar untuk perdagangan, memiliki median pendapatan jauh di atas rata- rata nasional – masing-masing sebesar Rp.95.500,00 dan Rp.90.300,00 per minggu (BPS, 2000h). Data ini menunjukkan bahwa kemiskinan bukan satu-satunya faktor yang membuat perempuan dan anak rentan terhadap perdagangan. Juga ada indikasi bahwa kurangnya alternatif pekerjaan atau peluang di kampung halaman, bukan hanya kemiskinan, adalah faktor-faktor yang mendorong perempuan untuk bermigrasi dan menjadi rentan terhadap perdagangan.

Kendati demikian, kemiskinan dan keinginan untuk memperbaiki keadaan ekonomi seseorang masih menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan ketika menyusun kebijakan dan program untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan menempatkan orang dalam keputusasaan, membuat mereka semakin rentan terhadap eksploitasi.

Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perdagangan