KETIADAAN AKTA KELAHIRAN KETIADAAN AKTA KELAHIRAN KETIADAAN AKTA KELAHIRAN KETIADAAN AKTA KELAHIRAN KETIADAAN AKTA KELAHIRAN
B. KETIADAAN AKTA KELAHIRAN B. KETIADAAN AKTA KELAHIRAN B. KETIADAAN AKTA KELAHIRAN B. KETIADAAN AKTA KELAHIRAN B. KETIADAAN AKTA KELAHIRAN
Oleh Jamie Davis
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF pada Mei 2002 memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37 persen balita Indonesia belum mempunyai akta kelahiran (situs UNICEF Australia). Pasal 9 Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Laporan itu mengimbau agar dilaksanakan pendaftaran kelahiran gratis bagi semua anak, seraya menambahkan bahwa pendaftaran universal merupakan tujuan yang dapat dicapai oleh semua negara. Konvensi itu diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990.
Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang diberikan hukum karena di mata negara secara teknis mereka tidak ada. Tanpa akta kelahiran, seseorang akan sulit membuktikan umurnya, menerima perlindungan khusus sebagai orang di bawah umur, membuktikan kewarganegaraan atau izin tinggalnya, masuk ke sekolah, memperoleh paspor, membuka rekening bank, menerima layanan kesehatan, diadopsi, melakukan ujian, menikah, memegang surat izin mengemudi (SIM), mewarisi uang atau harta benda, memiliki rumah atau tanah, memberikan suara dalam pemilu atau mencalonkan diri untuk posisi tertentu dalam pemerintahan.
Ada bermacam-macam alasan mengapa begitu banyak anak tidak terdaftar kelahirannya. Orang tua yang miskin mungkin merasa biaya pendaftaran terlalu mahal atau mereka tidak menyadari pentingnya akta kelahiran. Banyak yang tidak tahu bagaimana mendaftarkan seorang bayi yang baru lahir. Studi UNICEF menyatakan bahwa keluarga di pedesaan mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk mendaftarkan bayi mereka ketimbang keluarga di daerah perkotaan. Perempuan desa mungkin lebih cenderung melahirkan bayi mereka di rumah dengan bantuan bidan, ketimbang di rumah sakit dengan bantuan seorang dokter. Sementara rumah sakit dapat membantu pendaftaran bayi yang baru lahir atau secara otomatis akan mendaftarkan seorang bayi, kelahiran di rumah mungkin tidak akan terdaftar. Bukti anekdotal juga mengusulkan bahwa di Indonesia anak tidak didaftarkan karena sulitnya menjangkau kantor pemerintah untuk melakukan pendaftaran kelahiran (lokasinya terlalu jauh dari rumah), korupsi di kalangan pejabat pemerintah yang meminta uang ketika seorang bayi hendak didaftarkan dan kurangnya pemahaman mengapa anak yang baru lahir perlu didaftarkan (Kunjungan lapangan proyek).
Rendahnya registrasi kelahiran, khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar mereka dapat bekerja di luar negeri. Contohnya, seperti yang dikemukakan dalam bagian Kalimantan Barat dari laporan ini (bagian
V F), agen yang sah maupun gelap memakai kantor imigrasi di Entikong, Kalimantan Barat, untuk memproses paspor palsu bagi gadis-gadis di bawah umur. Kantor imigrasi tersebut
Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia
mengatakan bahwa mereka harus mengeluarkan paspor bagi para gadis itu meskipun mereka kelihatan masih begitu muda, karena mereka tidak dapat mempertanyakan KTP yang dikeluarkan oleh kantor kabupaten. Kantor kabupaten di Entikong juga melaporkan bahwa mereka harus mengeluarkan KTP bila seorang gadis muda dapat memperlihatkan surat dari kepala desa yang berisi tanggal lahirnya. Kepala desa sering mengeluarkan surat dengan tanggal lahir palsu untuk membantu gadis-gadis muda bermigrasi. Praktik semacam ini ditemukan di banyak daerah lain di Indonesia. Di daerah-daerah lain, pejabat pemerintah, termasuk pimpinan desa, mungkin menerima bayaran dari agen untuk mengeluarkan dokumen palsu (Kunjungan lapangan proyek). Penipuan oleh para oknum pejabat ini sulit dibuktikan jika akta kelahiran tidak ada.
Bepergian dengan dokumen palsu membahayakan seorang imigran atau korban perdagangan. Pada waktu mereka di luar negeri, buruh migran Indonesia yang ditemukan dengan dokumen palsu dapat dituntut dan/atau dideportasi. Korban perdagangan juga melaporkan bahwa karena mereka tidak mempunyai dokumen yang disyaratkan, kelemahan mereka ini dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan, majikan, pemilik rumah bordil, pejabat imigrasi, dan polisi sebagai jalan untuk memeras uang dari mereka dan/atau memaksa mereka untuk tinggal dalam kondisi yang amat buruk. Banyak korban yang tidak berani melarikan diri atau mengadukan kekerasan yang dialami kepada pihak berwenang karena takut akan dideportasi atau dipenjara (Kunjungan lapangan proyek).
D. Pendidikan – Kebutahurufan Anak Perempuan D. Pendidikan – Kebutahurufan Anak Perempuan D. Pendidikan – Kebutahurufan Anak Perempuan D. Pendidikan – Kebutahurufan Anak Perempuan D. Pendidikan – Kebutahurufan Anak Perempuan
Ketika korban perdagangan Indonesia diwawancarai, terungkap bahwa banyak dari antara perempuan dan gadis muda ini (terutama yang berasal dari pedesaan) hampir tidak bisa membaca dan menulis sama sekali dan hanya pernah bersekolah selama beberapa tahun. Banyak di antaranya yang hanya berbicara dalam bahasa daerah mereka saja dan bukan bahasa Indonesia, bahasa nasional, yang biasanya diajarkan di sekolah.
Kebijakan Pemerintah Indonesia seperti Program SD Inpres (program sekolah dasar khusus) yang diterapkan di SD Negeri, yang membidik paling tidak satu sekolah per desa dan Program Wajib Belajar 6 Tahun (Program Pendidikan Wajib Selama Enam Tahun), yang bertujuan untuk menghapuskan uang sekolah di tingkat SD, membantu meningkatkan pendidikan anak lelaki dan perempuan di tingkat dasar. Contohnya, antara tahun 1986 sampai 1994, populasi usia produktif dengan tingkat pendidikan yang rendah atau nihil berkurang dari 50 menjadi 38 persen, dan mereka yang lulus SD naik empat poin persen menjadi 35 persen (Oey-Gardiner, 1999: 32-33).
Seperti halnya kebanyakan negara berkembang, pekerja urban dalam sektor formal di Indonesia berpendidikan lebih baik (pada tahun 1997, 57 persen lulus SLTP, dengan total lama sekolah selama 9 tahun) ketimbang pekerja di desa (21 persen lulus SLTP). Kaum lelaki berpendidikan lebih tinggi (37 persen tamat SLTP) ketimbang perempuan (27 persen)
Oleh Neha Misra
Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perdagangan
(Oey-Gardiner, 1999: 113). Menurut Mayling Oey-Gardiner, perempuan desa di Indonesia semakin ketinggalan dari rekan-rekan mereka di kota, “kesenjangan antargender berkurang lebih cepat ketimbang kesenjangan kota dan desa. Kesenjangan kota dan desa tetap stabil di 35 poin persen namun semakin melebar untuk perempuan, dari 26 menjadi 35 poin persen.” (1999: 113)
Meski pendidikan anak perempuan di Indonesia telah menikmati kemajuan yang signifikan, di Jakarta, sejak awal krisis moneter 1997, bukti anekdotal secara tersirat menyatakan bahwa “untuk pertama kalinya sejak tahun 1990-an, pendaftaran di SD dan SLTP lebih rendah bagi perempuan ketimbang lelaki” (Oey-Gardiner, 1999: 39). Orang tua cenderung mendahulukan pendidikan anak lelaki dalam kondisi keuangan yang terbatas, dan tampaknya kelesuan ekonomi di Indonesia sejak akhir 1990-an mungkin sudah berdampak negataif terhadap pendidikan anak perempuan (Oey-Gardiner, 1999, hal. 39).
Pemerintah Indonesia juga telah melaksanakan program untuk memperbaiki tingkat melek huruf di Indonesia. Bahkan tingkat melek huruf keseluruhan di Indonesia cukup mengesankan baik untuk lelaki maupun perempuan, khususnya ketika dibandingkan dengan negara berkembang lain di kawasan; 90,9% bagi lelaki dan 80,5% bagi perempuan (UNDP/ BPS, 2001). Kendati demikian, ada populasi tertentu yang dikecualikan dari kemajuan- kemajuan ini, yang menunjukkan tingkat melek huruf yang luar biasa rendah. Seperti yang digambarkan oleh Tabel 16 di bawah ini, tingkat melek huruf di kabupaten-kabupaten tertentu di Indonesia jauh lebih rendah daripada standar nasional. Banyak dari kabupaten- kabupaten ini yang juga memiliki tingkat migrasi amat tinggi dan terkenal sebagai daerah pengirim untuk perdagangan.
Tabel 16: Tingkat Melek Huruf di Kabupaten Pengirim Besar Tertentu Berdasarkan Gender
Provinsi/
Rata-Rata Lama Bersekolah Kabupaten
Tingkat Melek Huruf
Penduduk Dewasa (%) Perempuan
Perempuan Lelaki Indonesia
Lelaki
6,9 Jawa Barat
4,7 Jawa Tengah
Source: UNDP/BPS, 2001 Jelas bahwa kebutahurufan dan pendidikan rendah merupakan faktor yang turut
menyebabkan kerentanan terhadap perdagangan. Rendahnya pendidikan dan keterampilan menyulitkan para gadis muda untuk mencari pekerjaan lain atau jalan lain agar dapat
Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia
menghidupi keluarga mereka. Seorang pengamat dalam negeri mengemukakan bahwa “Anak gadis didorong untuk memperoleh penghasilan begitu mereka berhenti sekolah, agar dapat menjadi mandiri dari segi keuangan [sehingga keluarganya tidak perlu lagi memberinya makan] dan untuk menghidupi keluarganya. Karena pendidikan formal yang diperoleh hanya sedikit, banyak gadis yang hanya berhasil mendapat pekerjaan dengan bayaran rendah, kebanyakan sebagai pelayan, [PRT], penjaga toko atau penyanyi karaoke.” (Dzuhayatin & Silawati, n.d.(b): 77).
Banyak dari pekerjaan-pekerjaan yang hanya membutuhkan sedikit keterampilan ini menuntut migrasi ke kota besar atau ke luar negeri di mana para gadis muda dan perempuan dapat menjadi target pelaku perdagangan dan pihak lain yang berniat mengeksploitasi mereka. Dengan rendahnya tingkat melek huruf, tanpa pendidikan dan kurangnya keterampilan kerja yang memadai, para gadis muda dari desa-desa yang disebutkan di atas hanya mencari pekerjaan di sektor informal. Pekerja di sektor informal, seperti pramuwisma atau penjual minuman di kaki lima, tidak memperoleh perlindungan dari peraturan pemerintah dan tenaga kerja, melalui serikat buruh, atau dari majikan. Nasib serupa dialami oleh buruh migran perempuan, terutama mereka yang berangkat melalui jalur ilegal atau dengan status gelap, mereka dapat dengan mudah jatuh di luar perlindungan hukum, atau tidak mengetahui hak- hak mereka, dan karena itu rentan terhadap eksploitasi.
Pendidikan yang minim dan tingkat melek huruf yang rendah semakin menyulitkan sebagian perempuan, gadis muda, dan anak untuk mencari pertolongan ketika mereka menghadapi kesulitan pada saat bermigrasi atau mencari pekerjaan. Mereka mungkin tidak tahu bagaimana mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat membaca atau mengerti brosur atau iklan layanan masyarakat lain mengenai rumah singgah atau nomor telepon yang dapat dihubungi untuk memperoleh bantuan, atau tidak merasa cukup percaya diri untuk mencari bantuan. Selain itu, seorang perempuan atau anak yang buta huruf atau hanya berpendidikan rendah mungkin tidak akan dapat mengerti kontrak kerja atau dokumen resmi lainnya (seperti dokumen perjalanan dan paspor). Buruh migran sering kali secara lisan dijanjikan akan mendapat jenis pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun kontrak yang mereka tanda tangani (dan yang mungkin tidak dapat mereka baca) mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang jauh berbeda, yang mengarah ke eksploitasi.
Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perdagangan