Analisis Struktur Musik dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee di Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh

(1)

ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH

TESIS

Oleh

ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 4

ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE DI BIARA TIMU, JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH


(2)

Tesis

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M. Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Oleh: AnggaEka Karina

NIM.127037001

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 4

Judul Tesis :ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE DI BIARA TIMU, JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH. Nama : Angga Eka Karina


(3)

Nomor Pokok : 127037001

Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ridwan Hanafiah, SH., M.A. Drs. Irwansyah, M.A. NIP 19560705 198903 1 002 NIP. 19621221 199703 1 001

Program Studi Magister (S2) Dekan Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan dan Pengkajian Seni

Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M. A. NIP. 19621221 199703 1 001 NIP. 195111013 197603 1 001

Telah diuji pada

Tanggal 2014


(4)

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS Ketua :Drs. Irwansyah, M.A.

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.

AnggotaI :Dr. Ridwan Hanafiah, SH., MA.

AnggotaII : Dr. Asmyta Surbakti, M. Si.

AnggotaIII : Dra. Rithaony, M. A.

Telah disetujui oleh: Komisi Pembimbing Ketua,


(5)

Dr. Ridwan Hanafiah, SH., MA.

NIP 19560705 198903 1 002 tanggal ... Anggota,

Drs. Irwansyah, M.A. tanggal………

NIP. 19621221 199703 1 001

Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. tanggal………

NIP. 19621221 199703 1 001

ABSTRACK

This research is titled An Analysis of Music Structures and The Social-Culture Function of Rapa’i at Biara Timu, Jambo Aye, Aceh Utara, Aceh


(6)

Province. It learned about the function of socio-cultural and music structures in art traditional performance of Rapa’i Pasee. The background of this research is Rapa’i in Aceh has been a media which used by the societies to give motivation of spirit live struggle and relegion messages. This research is important because Rapa’i Pasee has used by Aceh society for a long time continually until now. The purpose of this research is to know the function of social-culture and how are the music structure of Rapa’i Pasee art in Panton Labu, Aceh Utara. The research method is qualitative-descriptive method and explained with social science interdicipliner.

The main problem of this research are the music traditional instrument of Rapa’i is the music structures, that was the kind of songs rhytme in Rapa’i Pasee that has social meaning and the spirit live in daily live. The social-culture’s function of Rapa’i Pasee toward the societies in Panton Labu, Aceh Utara which included emosional expression, estetis, entertaiment, communication and symbol related with social norms, culture, society integration and problem related with music structures such as rhytme of Rapa’i Pasee’s songs.

The result of the research show that the music structures of Rapa’i Pasee is devided into some hit that has kind of sound (timbre) dum and teng, sound of dum was heard lower and sound of teng was heard higher. Kind of hit in Rapa’i pasee is devided into lagu sa that show the music performance was start. lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung, and lagu duablah. The kind of hit in Rapa’i Pasee show togetherness and spirit of struggle.

Rapa’i Pasee has eight functions in field research result. Based on Merriam that has ten function of social-culture, not all of the functions suitable with Rapa’i Pasee it self, the functions are entertainment, communication, symbol, social norm, culture, society integration, and emotional function.

Key words : Rapa’i Pasee, Music structure and social-culture function.


(7)

Penelitian ini berjudul Analisis Struktur Musik Dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee di Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh.

Penelitian ini mengkaji struktur musik dan fungsi sosial budaya pada seni pertunjukan tradisional Rapa’i Pasee. Adapun latar belakang penelitian ini bahwa Rapa’i di Aceh merupakan media dalam bentuk kesenian yang digunakan oleh masyarakat Aceh untuk menyampaikan pesan-pesan semangat perjuangan hidup dan menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui permainan Rapa’i Pasee, penelitian ini merupakan sesuatu yang penting karena Rapa’i Pasee ini sejak dahulu secara terus menerus sampai sekarang ini masih digunakan oleh masyarakat Aceh khususnya daerah Aceh Utara untuk memberikan apresiasi pesan sosial, semangat perjuangan dan syiar agama Islam, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur musik dan fungsi sosial budaya kesenian Rapa’i Pasee di Panton Labu Aceh Utara. Metode penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan struktur musik dan fungsi sosial budaya dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan dibahas secara interdisipliner ilmu sosial.

Pokok-pokok masalah yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah struktur musik yaitu bentuk ritem pada lagu-lagu didalam Rapa’i Pasee yang mempunyai makna sosial dan semangat perjuangan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi sosial budaya Rapa’i Pasee terhadap masyarakat dikota Panton Labu Aceh Utara yang meliputi fungsi pengungkapan emosional, estetika, hiburan, komunikasi, perlambangan, berkaitan dengan norma-norma sosial, kesinambungan kebudayaan, dan pengintegrasian masyarakat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:

Struktur musik Rapa’i Pasee yang terdiri motif pukulan yang mempunyai warna suara (timbre) dum dan teng, bunyi dum terdengar lebih rendah dan bunyi teng terdengar tinggi, bentuk pukulan Rapa’i Pasee terdiri dari lagu sa yang menunjukkan awal mulainya sebuah permainan musik, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung, dan lagu duablah. Motif pukulan-pukulan Rapa’i Pasee mencerminkan kebersamaan dan semangat perjuangan.

Rapa’i Pasee mempunyai delapan fungsi hasil penelitian lapangan, dari sepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam, tidak semua fungsi sesuai dengan Rapa’i Pasee ini, fungsi-fungsinya adalah, fungsi penghayatan estetis, fungsi sebagai hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, sebagai fungsi kesinambungan budaya, fungsi pengintegrasian masyarakat,dan fungsi emosional.


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu., DTM & H, M, Sc. (CTM), Sp. AK., selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberikan fasilitas dan sarananya dalam proses pembelajaran bagi penulis sehingga dapat menuntut ilmu dikampus Universitas Sumatera Utara ini dalam kondisi yang nyaman.

3. Bapak Drs. Irwansyah, M. A., selaku ketua program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), dan selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M. Hum selaku sekretaris Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak Dr. Ridwan Hanafiah, M. A selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan hingga selesainya tesis ini


(9)

tepat pada waktunya dan memberikan ilmu yang banyak bermanfaat bagi penulis.

6. Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M. Si dan Dra. Rithaony Hutajulu, M. A selaku penguji satu dan penguji dua banyak memberikan masukan, saran, dan kritik sehingga tesis ini dapat disempurnakan.

7. Bapak Ponisan selaku bagian staf tata usaha Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), atas bantuan dan informasi yang sangat bermanfaat dalam proses perkuliahan maupun dalam penyusunan tesis ini.

8. Kepada para dosen - dosen Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), yang telah memberikan wawasan dan ilmunya yang membuka cakrawala ilmu bagi penulis dan menjadi bekal dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Kepada bapak Hasbullah, S. Pd selaku narasumber dan Zunuanis selaku seniman Aceh, dan bapak Razali penerus seniman Rapa’i Pasee Panton Labu Aceh Utara.

10. Kepada Rektor Universitas Al-Muslim, dosen, Staf atas dukungan selama ini. 11. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan kuliah di pascasarjana Program

Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU).

12. Kepada yang tercinta, kedua orang tua peneliti, untuk Doa yang selalu mengalir, nasehat, kepercayaan dan kasih sayang yang selalu menguatkan


(10)

peneliti. Tesis ini adalah salah satu bentuk pembuktian bahwa ayah dan ibu telah berhasil menjadi orangtua yang sukses untuk anak-anaknya.

Terima kasih buat semuanya dan buat orang-orang yang belum sempat disebutkan. Peneliti menyadari bahwa Tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan Tesis ini nantinya. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2014 Penulis,

Angga Eka Karina, S. Pd NIM. 127037001


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama Lengkap : Angga Eka Karina, S. Pd

2. NIDN : 01 130787 01

3. Pangkat/ Jabatan Fungsional : -

4. TTL : Batuphat Timur/ 13 juli 1987

5. Agama : Islam

6. Jenis Kelamin : Laki-laki 7. Pendidikan Terakhir : S1 Seni Musik

8. Alamat : Dusun Tengah Blang Pulo

lhokseumawe, Provinsi Aceh.

9. No. HP : 081397175123

10. Golongan Darah : B

11. Jenjang Pendidikan :

No. Jenjang Pendidikan Tempat Tahun

1. Taman kanak-kanak Islam Fajar

Meutia Batuphat Barat

1992 – 1993 2. MIN Blang Mane II Batuphat Timur 1993 – 1999

3. SLTP Negeri I Lhokseumawe 1999 – 2002

4. SMA Negeri I Lhokseumawe 2002 – 2005

5. Universitas Negeri Medan (UNIMED) Medan 2005 – 2009

12. Pengalaman Kerja

a. Tahun 2010 Dosen Tetap Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Al-Muslim

b. Tahun 2010 Kepala Laboratorium Sendratasik Universitas Al-Muslim 13. Prestasi

a. The best Keyboard Rencong Festival Musik Se- Aceh 2011

b. Juara beberapa festival Seni Tari se- Kopertis Wilayah I Medan tahun 2012

c. Mewakili Muhibah Seni ke luar negeri ke Malaysia, Singapore, Thailand, Jepang dan Korea Selatan 2013-2014.

Matangglumpangdua, Juli 2014 Angga Eka Karina, S. Pd


(12)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam suatu perguruan tinggi dan sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain , kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan didalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014 Penulis,

Angga Eka Karina, S. Pd NIM. 127037001


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRACT ... iv

ABSTRAK ... v

PRAKATA ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

HALAMAN PERNYATAAN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Konsep dan Landasan Teori... 8

1.4.1 Konsep ... 8

1.4.2 Landasan Teori ... 9

1.4.2.1 Teori Fungsional ... 9

1.4.2.2 Teori Analisis dan Transkripsi Musik ... . 15


(14)

1.5.2 Penelitian lapangan ... 22

1.5.2.1 Observasi ... 23

1.5.2.2 Wawancara ... 24

1.5.2.3 Kerja laboratorium ... 24

1.6 Lokasi Penelitian ... 25

1.7 Alat yang digunakan ... 27

1.8 Sistematika Penulisan ... 27

BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU 2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ... 29

2.2 Tinjauan Geografis Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ... 34

2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu... 36

2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ... 37

2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu ... 37

2.4.2 Agama ... 38

2.4.3 Jumlah penduduk ... 38

2.4.4 Masyarakat kesenian desa Jambo Aye kota Panton Labu ... 39

2.4.5 Unsur kesenian masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu ... 39

2.4.6 Tari... 39


(15)

BAB III STRUKTUR MUSIK KESENIAN RAPA’I PASEE : DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

3.1 Sejarah Rapa’i Di Aceh ... ... 46

3.2 Klasifikasi Jenis Musik Aceh ... ... 50

3.3 Rapa’i Pasee ... ... 54

3.3.1 Latar Belakang Rapa’i Pasee ... ... 54

3.3.2 Organologi Rapa’i Pasee ... ... 55

3.3.3 Bentuk Kesenian Rapa’i Pasee ... ... 60

4.1 Proses Penstranskripsian ... 62

4.2 Notasi Ritem (Motif Pukulan) Pada Struktur Musik Rapa’i Pasee ... 68

4.2.1 Deskripsi Lagu Sa... 69

4.2.2 Deskripsi Lagu Dua ... 69

4.2.3 Deskripsi Lagu Lhee ... ... 70

4.2.4 Deskripsi Lagu Limeung... ... 71

4.2.5 Deskripsi Lagu Tujoh ... ... 71

4.2.6 Deskripsi Lagu Sikureung ... ... 72


(16)

BAB IV DESKRIPSI FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE : DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

5.1 Penggunaan dan Fungsi Rapa’i Pasee ... ... 75

5.1.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ... ... 75

5.1.1.1 Pengertian Fungsi ... ... 76

5.1.1.2 Penggunaan Rapa’i Pasee ... ... 89

6.1 Fungsi Kesenian Rapa’i Pasee ... ... 93

6.1.1 Fungsi Pengungkapan Emosional... ... 93

6.1.2 Fungsi Pengungkapan Estetika ... .. . 94

6.1.3 Fungsi Hiburan ... .. . 97

6.1.4 Fungsi Komunikasi ... .. . 97

6.1.5 Fungsi Perlambangan ... . .. 99

6.1.6 Fungsi Berkaitan Dengan Norma Sosial ... .. . 101

6.1.7 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ... . . 101

6.1.8 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat .. ... ... 103

BAB V PENUTUP 7.1 Kesimpulan ... ... 105

7.2 Salam ... ... 108 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR INFORMAN


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Provinsi Aceh sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia merupakan salah satu daerah yang kaya akan kebudayaan. Sejarah telah membuktikan semenjak adanya kerajaan-kerajaan kecil di masa silam sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya hingga dewasa ini Aceh tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaannya bahkan nilai-nilai budaya ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh. Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar, contohnya Cina, India, Persia, Arab yang berdagang di Aceh masuk melalui pelabuhan Peurlak, Samudra Pasai dan lamuri, Hasbi (2006:5).Kebudayaan di Aceh dipengaruhi oleh peradaban Islam termasuk didalamnya tarian tradisional, musik tradisional, dan instrument tradisional.

Daerah Provinsi Aceh dihuni oleh beberapa sub etnik, dan masing-masing sub etnik memiliki kekhasan sendiri di bidang kebudayaan. Melihat beragamnya kebudayaan daerah Aceh, maka keadaan itu juga selaras dengan keberagaman budaya suku-suku bangsa di Indonesia. Daerah provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang mempunyai beragam bentuk alat musik tradisional. Salah satu bentuk alat musik tradisional tersebut adalah Rapa’i.

Rapa’iadalah alat musik pukul (mebranophone), yang berasal dan berpengaruh dari Bagdad/Irak, setelah agama Islam masuk ke Aceh melalui Samudra Pasai, Rapa’i ini terus dikembangkan, bentuk dan cara memainkan telah disesuaikan dengan Islam. Nama Rapa’i berasal dari seorang ahli Tasawuf yang


(18)

bernama Ahmad Rifa’i, beliau juga salah seorang penyiar agama Islam di Aceh, beliau mencetuskan Rapa’i ini di Aceh besar sekitar tahun 900 M dan mulai dipertunjukkan pada masyarakat di Aceh, dan akhirnya Rapa’i ini menjadi permainan kesenian rakyat.

Rapa’i merupakan alat musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapa’i dibuat dari batang kayu yang keras biasanya dari batang nangka, batang pohon aren, batang kelapa yang sudah tua, batang Tuwalang, pertama dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing atau kulit lembu sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak. Rapa’i berkembang dan digunakan sejak adanya kerajaan Aceh yaitu kerajaan Samudra Pasai. Pada zaman kerajaan Samudra Pasai, Rapa’i digunakan untuk mengumpulkan masyarakat berperang melawan penjajah, mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah, memberi isyarat tanda bahaya, dan memberi tanda bahwa waktu sholat telah tiba, masyarakat pada saat itu menggunakan Rapa’i sebagai Alat komunikasi1

Rapa’i terus berkembang dan masyarakat menggunakan Rapa’i untuk Acara kesenian rakyat dalam berbagai bentuk penampilan yang berbeda-beda. Dilihat dari perangkatan besar dan kecilnyaukuran Rapa’i ini dapat dibedakan beberapa jenis Rapa’i yang disebut Rapa’i Pasee, Rapa’i Puloet, Rapa’i

.


(19)

geurimpheng, Rapa’i Daboh dan Rapa’i Geleng. Hampir semua bentuk Rapa’i sama yang membedakan adalah cara menampilkan permainannya. Salah satu contoh jenis kesenian Rapa’i Pasee yang akan penulis angkat sebagai kajian dalam penulisan tesis ini.

Nama Rapa’i Pasee diambil dari nama kerajaan Samudra Pasai dan sekarang sudah menjadi nama suatu daerah dikabupaten Aceh utara. Rapa’i Pasee hanya ada di wilayah Aceh Utara saja berkembang di desa-desa pada Kota Lhokseumawe, Geudong,Alue ie Puteh, dan Panton labu. Salah satu desa yang melestarikan sampai sekarang yaitu desa Biara timu kecamatan jambo aye kota Panton labu. Letak kota Panton Labu dari kabupaten Aceh utara dapat ditempuh dengan waktu satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor, pelestarian permainan kesenian Rapa’i Paseedi wilayah Aceh utara dan sekitarnya tergantung oleh masyarakat setempat yang tetap ingin menjaga kelestariannya, oleh karena itu sampai saat ini desa Biara timu kecamatan jambo aye masih terus melestarikanya, dalam kenyataannya dapat ditemui sampai sekarang ini sanggar seni Rapa’i Pasee, masyarakat desa masih membuat acara pertandingan Rapa’i Pasee antar desa, masih ditemui pemimpin kesenian Rapa’i Pasee sekaligus narasumber untuk sejarah dalam bentuk lisan Rapa’i Pasee didesa tersebut. Oleh karena itu peneliti memilih desa Biara timu kecamatan jambo aye untuk melakukan penelitian dalam menyelesaikan tesis ini.

Rapa’i Pasee digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, hari-hari besar Islam, tamu kehormatan, media kampanye politik dan permainan/perlombaan kesenian


(20)

tradisional. Memainkan Rapa’i dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Didalam satu grup ada seorang pemimpin permainan Rapa’i disebut syeh mempunyai peran sebagai pemberi isyarat untuk pergantian dari lagu pertama ke lagu selanjutnya, ada sebutan canang yaitu orang yang memainkan pukulan variasi dan rando yaitu orang yang memainkan pukulan dasar.

Rapa’i Pasee berukuran besar (digantung) biasanya dibawah kolong muenasah 2

Rapa’i Pasee tidak mempunyai tangga nada, Rapa’i Pasee tidak ada nyanyian suara vokal serta gerakan tarian yang berpola. Rapa’i Pasee hanya sebagai ritme (tempo) oleh Penaboh

beratnya 20-50 kg yang berfungsi sebagai induk dan mempunyai gelar tersendiri sebagai kebangaan dari group tersebut contohnya : Rapa’i Raja Kuning. Unit besar terdiri dari 30 buah Rapa’i, unit sedang 15 buah, sedangkan unit kecil terdiri dari 10 – 12 buah.

3

. Bentuk pukulan/ritem Rapa’i Pasee terdiri dari lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah semua adalah sebutan untuk urutan permainan ritem pada Rapa’i Pasee. Rapa’i Pasee mempunyai dua warna suara (timbre) yaitu dum dan teng4

2

Meunasah : tempat beribadah umat islam didesa biasanya terbuat dari kayu dan tinggi. 3

Orang yang memukul alat musik Rapa’i pasee.

. Bentuk penampilan Rapa’i Pasee pada sebuah pertunjukan terdiri dari jenis pukulan yang berurutan, pemain Rapa’i Pasee memainkannya sambil berdiri, penampilannya dalam sebuah ansambel (grup) biasanya satu grup terdiri dari jumlah pemain terkecil 15 0rang dan terbesar sampai 60 orang.


(21)

Rapa’i Pasee mempunyai keunikan gema suaranya yang besar, Suaranya dapat didengar dari satu desa sampai kedesa lainnya.Rapa’i Pasee mempunyai ukiran dipinggiran kayunya yang disebut larik5, setiap larik mempunyai makna, larik satu bermakna siang dan malam, larik lima bermakna rukun Islam ada lima perkara, larik tujuh bermakna seminggu ada tujuh hari dan ada satu garis besar menandakan hari jumat dilarang untuk memukul Rapa’i dan larik delapan ada empat garis besar dan empat garis kecil bermakna yaitu Tuha peut dan tuha lapan orang yang dituakan atau penasehat dalam sebuah desa setempat6

5

Larik garis melingkar dipinggiran baloh (kayu) yang jumlahnya berbeda –beda .

. Menurut pakar seni budaya wilayah Aceh utara saudara Hasbullah bahwa Rapa’i Pasee alat musik tradisional Aceh (Uroh deng) maksudnya Alat musik yang dimainkan secara berdiri dan masyarakat menampilkan Rapa’i Pasee secara (Tunang) yaitu lawan antara satu grup desa dan satu grup desa lainnya. Setiap satu grup atau lawan harus dapat bermain Rapa’iPasee ini dengan menghasilkan suara yang besar, membuat variasi pukulan dan dapat bertahan selama waktu yang ditentukan.

Dalam masyarakat Aceh kesenian Rapa’i Pasee bukan saja sekedar pertunjukan seni atau perlombaan tetapi Rapa’i Pasee sebuah ajang untuk menguatkan tali persaudaraan antar masyarakat Aceh, dan silaturahmi seperti ajaran dalam Agama Islam. Banyak terdapat masalah dan keunikan dari penjelasan di atas, Inilah hal-hal yang menarik hingga penulis sangat tertarik untuk mengajukan sebagai tesis.


(22)

Untuk menjaga kelestarian alat musik tradisional Aceh tersebut di kemudian hari, akibat dari perkembangan zaman dan juga untuk menggalakkan adanya usaha-usaha untuk penyesuaian dengan selera pasar dan keinginan para pemusik untuk mengklaim permainan Rapa’i Pasee ini, maka perlu untuk dilakukan studi terhadap Alat musik tradisional Aceh Rapa’i Pasee ini. Seperti yang penulis lakukan saat ini, sehingga baik fungsi sosio budaya dan struktur musik serta urutan-urutan penampilannya hendaknya mempunyai ketentuan yang jelas dan baku. Penentuan Rapa’i Pasee ini untuk di angkat kedalam satu topik tulisan yang berjudul Analisis Struktur Musik Dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee Di Biara timu, Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh merupakan salah satu usaha pelestarian pertunjukan Rapa’i Pasee tersebut.

Demikian menariknya keberadaan Rapa’i Pasee Di Biara timu, Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, baik ditinjau dari aspek sosial, budaya, estetika, dan filsafat yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, secara keilmuan, khususnya melalui kajian seni, Rapa’i Pasee ini sangat menarik untuk diteliti, didokumentasi, dianalisis, dan tentu saja dipublikasikan keberadaannya.

1.2Pokok permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu

1. Bagaimana bentuk struktur musik pertunjukan Rapa’i Pasee melalui pendekatan metode deskriptif dan transkripsi.Khususnya dalam dasar musiknya sebagai bahan dokumentasi dan referensi.


(23)

2. Bagaimana fungsi kesenian Rapa’i Pasee terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Biara timu, kecamatan Jambo Aye kota Panton Labu Aceh utara.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi kesenian Rapai Pasee baik pada

masa lalu maupun perkembangan saat ini.

2. Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu dalam pertunjukan Rapa’i Pasee.

3. Untuk mengetahui fungsi sosio budaya kesenian Rapa’i Pasee dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah referensi tentang kesenian (khususnya Rapa’i Pasee) bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) sehingga dapat digunakan oleh guru kesenian sebagai bahan pembelajaran.

2. Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar sendratasik (seni drama, tari, dan musik), untuk menambah wawasasan seni dan kemudian mengajarkannya kepada generasi muda Indonesia, khususnya Aceh.


(24)

3. Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni musik, agar dapat mengetahui penyajian Rapa’i Pasee termasuk pada konteks hiburan pada masyarakat Aceh.

4. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan budaya daerah.

5. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian Rapa’i Pasee. 6. Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional

yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Provinsi Aceh pada khususnya dan Indonesia secara umum.

7. Penelitian tentang Rapa’i Pasee ini akan dapat memberikan manfaat tentang bagaimana masyarakat Aceh membumikan ajaran Islam dalam konteks wilayah budaya etnik, yang spesifik dan bijaksana (arif).

1.4 Konsep dan landasan teori 1.4.1 Konsep

Konsep dari penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana kesenian Rapa’i Pasee yang mempunyai fungsi sosio budaya terhadap masyarakat di desa biara timu kecamatan jambo aye kota panton labu, melalui pengkajian struktur musik dan struktur pertunjukannya sehingga diharapkan dapat memberi penjelasan seluas-luasnya bagi yang ingin mengetahui dan mempelajarinya, namun demikian oleh karena latar belakang penulis dibidang musik maka dalam penulisan tesis ini lebih menitik beratkan pada kajian strukur musiknya saja dalam pertunjukannya,


(25)

motif pukulan Rapa’i Pasee terdiri dari lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah, sebutan lagu pada permainan Rapa’i Pasee bukanlah lagu yang mempunyai lirik atau teks melainkan lagu tersebut adalah bentuk ritem atau motif pukulan.

1.4.2 Landasan Teori

Berikut ini akan disajikan beberapa teori yang akan digunakan sebagai alat untuk membedah berbagai masalah yang berkenaan dengan topik tulisan ini.

1.4.2.1Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi sosio budaya Rapa’i Pasee dalam kebudayaan masyarakat Biara Timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, khususnya di kawasan penelitian, maka penulis menggunakan teori fungsionalisme.Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah gurubesar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan


(26)

yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).

Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).

Bagi Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat.


(27)

Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;

2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.


(28)

Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang manjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.

Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski, radcliffe-Brown (Ihromi, 2006), mengatakan, bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.

Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya membuat deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi. Dalam mendekripsi etnografi The Andaman Islander, itu merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional, di mana berbagai upacara agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan di mana pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan


(29)

antara warga dalam suatu komunitas desa Andaman yang kecil, menjadi tampak jelas.

Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya, dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut:

1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berprilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;

2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut;

3. Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat;

4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu; 5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa

warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922:233-234).

Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada soladaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “… the social function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from


(30)

one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it constituted) depends for its existence.”

Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowskiyaitu teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsional struktural, ia mengatakan, “… bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahakan struktur sosial masyarakat danstruktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.”

Jadi, menurut penulis, kedua teori fungsional ini memfokuskan fungsi-fungsi sosial budaya pada apa penyebabnya. Bagi Malinowski penyebab fungsi-fungsi itu adalah pada kebutuhan dasar manusia sebagai individu-individu. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk memenuhi sistem sosial yang telah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama.

Dalam konteks penelitian ini Rapa’i pasee dalam kebudayaan masyarakat Biara TimuJambo Aye Aceh Utara jika dianalisis dari teori fungsionalnya Malinowski bahwa setiap individu orang Aceh perlu mengekspresikan perasaan keindahannya melalui seni Rapa’i pasee. Berbagai kegiatan dalam budaya Aceh seperti perayaan hari besar agama Islam, menyambut tetamu, festival budaya menggunakan seni Rapa’i Pasee ini. Jadi faktor individulah yang paling dominan menurut teori fungsionalnya Malinowski ini.Kalau menurut teori fungsionalismenya Radcliffe-Brown maka semua aktivitas budaya yang melibatkan penggunaan seni Rapa’i Pasee adalah karena memenuhi sistem-sistem sosial yang dikendalikan secara bersama oleh masyarakat Aceh. Jadi menurut


(31)

teori fungsionalisme Radcliffe-Brown, Rapa’i Pasee timbul karena kebutuhan masyarakat secara bersama, bukan karena individu.

1.4.2.2Teori analisis dan transkripsi musik

Teori analisis dan transkripsi musik digunakan sebagai sebuah proses pentranskripsian yang merupakan langkah awal dalam kerja analisis yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi musik kedalam suatu lambang bunyi. Dalam hal ini lambang bunyi dari bentuk musik notasi Rapa’i Pasee ditranskripsikan kedalam bentuk notasi musik barat hal ini bertujuan untuk melihat dan memahami bunyi musik tersebut sebagai tingkah laku masyarakat pemiliknya dalam bentuk visual. Transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan apa yang didengar yang memungkinkan untuk membantu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar itu7, meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik kedalam bentuk visualisasi tidak pernah bisa persis sama sebagaimana ketika musik itu disajikan.8

Demikian kira-kira gambaran umum teori yang akan penulis gunakan nantinya dalam mengkaji Fungsi sosio budaya, dan struktur musik yang dipertunjukan dalam kesenian Rapa’i Pasee di Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara.

7

Bruno Nettl, The study of Rthnomusicology. Twenty-nine Issues and concept (Chicago: University Press, 1983,16)

8

pada umumnya transkripsi dipengaruhi oleh interpretasi transkriptor terhadap karakter musik tersebut,hal ini dapat menimbulkan perbedaan pada suatu segmen musikal apabila penstrankripsian musik dilakukan oleh dua orang atau lebih. Seperti dalam artikel Torang Naiborhu: transkripsi dan analisis (Medan, Universitas Sumatra Utara,


(32)

1.5 Metode Penelitian

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini berdasarkan prosedur kualitatif hal ini dilakukan untuk memperoleh data secara sistematis yang didapat dari hasil pernyataan-pernyataan atau pun dalam bentuk hasil tulisan-tulisan yang berasal dari kelompok maupun individu yang terlibat dalam kesenian Rapa’i Pasee tersebut baik sebagai pelaku maupun pemerhati, sebagai masyarakat pendukungnya.9

Dalam menganalisis struktur musik pada objek penelitian kesenian Rapa’i Pasee ini Penulis melakukan metode transkripsi yang digunakan sebagai bentuk Kemudian penulis menjelaskan hasil penelitian ini melalui metode deskriptif yaitu dengan menggambarkan atau mengamati fakta-fakta yang sedang berlangsung. Teknik pengumpulan data dan penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Tekhnik pengolahan dan analisa data di gunakan metode deskripsi kualitatif yaitu, menguraikan bagaimana Fungsi sosio budaya, dan struktur Musik Rapa’i Pasee ini sesuai dengan yang di katakan Arikunto, (2003:309-310), yaitu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang di maksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian di lakukan. Adapun pengertian deskriptif menurut Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang di teliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang di teliti secara tepat.

9


(33)

pendokumentasian lagu-lagu yang ada dalam Rapa’i Pasee ini kedalam bentuk notasi. Proses pentranskripsian merupakan langkah awal dalam kerja analisis yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi kedalam suatu lambang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nettl bahwa:

“Transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik kedalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas”.10

1. Untuk mendapatkan rekaman lantunan lagu Rapa’i Pasee, penulis merekam langsung bunyi dari pemain baik dalam proses penelitian maupun dalam konteks pertunjukannya di berbagai even pertunjukan kesenian lokal maupun nasional.

Maka dalam hal ini penulis mencoba mendapatkan transkripsi lagu-lagu Rapa’i Pasee dengan beberapa langkah yang penulis lakukan, diantaranya sebagai berikut:

2. Rekaman tersebut didengarkan secara berulang-ulang agar mendapatkan hasil yang maksimal, dan kemudian ditranskripsikan kedalam bentuk notasi.

3. Pendekatan transkripsi yang dilakukan adalah pendekatan preskriptif, yaitu menuliskan perjalanan melodi secara makro dam garis besar saja. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan bagaimana struktural umum pukulan yang berbentuk melodi dari pola ritmis dari pertunjukan Rapa’i Pasee tersebut.

10


(34)

4. Ritmis maupun melodi lagu dalam Rapa’i Pasee dituliskan dengan notasi Barat agar dapat lebih mudah dimengerti, karena dalam notasi Barat tinggi dan rendahnya nada, pola ritme, dan simbol-simbol, terlihat lebih jelas ditransmisikan kepada para pembaca melalui tanda-tanda dalam garis paranada.

Dalam proses pentranskripsian ini penulis menggunakan perangkat lunak (software) Sibellius 7, yang digunakan untuk membantu proses pentranskripsian agar mengetahui bentuk ritmis pada lagu-lagu yang dimainkan dalam kesenian Rapa’i Pasee tersebut.

Oleh karena itu dalam hal penelitian lapangan untuk memperoleh data yang akurat dan sistematis tersebut penulis melakukan beberapa tahapan-tahapan sebagai langkah penyelesaian tesis ini dengan beberapa tahap yaitu melalui pengumpulan data dan tulisan-tulisan kepustakaan sebagai semberrujukan yang berhubungan dengan pokok permasalahan pada topik penulisan tesis ini, melakukan penelitian dilapangan, observasi, wawancara, kerja laboratorium dengan menganalisis melalui transkripsi lagu-lagu yang ada pada kesenian Rapa’i Pasee.

1.5.1 Kajian Pustaka

Dalam rangka kerja studi kepustakaan yang berkaitan dengan penulisan Pertunjukan Rapa’i Pasee ini, maka sebahagian besar digunakan buku-buku yang secara saintifik dipandang relevan dan berkait dengan pokok masalah penelitian. Di antara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut.


(35)

1.5.1.1Kajian sejarah

1. Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh yang berjudul Budaya Aceh Propinsi Daerah istimewa Aceh, tahun 2009, yang didalamnya terdapat pembahasan tentang sejarah budaya Aceh dan Alat musik Rapa’i.Sejarah Rapa’i yang dibahas mencakup masa kesultanan Aceh, masa penjajahan Belanda,dan masa kemerdekaan yang mempengaruhi perkembangan alat musik tradisional Rapa’i di Aceh.

2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh yang berjudul Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Istimewa Aceh, yang berisikan tentang budaya dan kesenian pariwisata Aceh.

3. Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, yang berjudul “Bagaimana Islam Memandang Kesenian”(1972) yang berisikan tentang bagaiman agama Islam memandang kesenian dari sudut keagamaan.

4. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid I) yang diterbitkan tahun 2007. Buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan perjuangan Rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh. Pendekatan yang dilakukan Mohammad Said adalah pendekatan sejarah.

5. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid II), buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan


(36)

perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh, diterbitkan tahun 2007.

6. Ali Hasymy menulis buku yang bertajuk Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Benua di Jakarta tahun 1983. Adapun isi buku ini secara umum adalah uraian mengenai kebudayaan Aceh, filsafat-filsafatnya, dan sejarah perkembangan kebudayaan Aceh.

1.5.1.2Kajian teori

1. Alan P. Merriam menulis buku yang berjudul The Anthropology of Music, yang berisikan tentang ilmu antropologi musik. Di dalam buku ini juga dibahas secara mendalam bagaimana guna dan fungsi musik di dalam kebudayaan manusia di dunia ini.

2. Bronislaw Malinowski yang berjudul “ Teori Fungsional Dan Struktural” yang berisikan tentang teori- teori fungsional dan structural yang menjadi acuan juga dalam merumuskan permasalahan pada pendekatan teoritis dalam mendeskripsikan fungsi social budaya terhadap objek penelitian ini.

1.5.1.3Kajian bentuk kesenian Rapa’i Pasee yang diantaranya :

1. Margaret kartomi, Musical Journey in Sumatra, 2013. Berisikan journal tentangjenis musik yang ada disumatera termasuk Aceh yang mendeskripsikan tentang bentuk seni tari dan musik di Aceh khusunya pada beberapa bentuk kesenian yang menggunakan alat musik Rapa’i.


(37)

2. Rita dewi, Rapai Pasee pada Masyarakat Aceh didesa Lam Awe Kecamatan Syamtalira Aron : Analisis Musik Dalam Konteks Pertunjukan. (skripsi sarjana), jurusan etnomusikologi, fakultas sastra, Universitas Sumatera Utara, 1995 berisikan hasil penelitian tentang Rapa’i Pasee didaerah Lam Awe, Aceh Utara sebagai masukan kajian sejarah Rapa’i di Aceh.

3. Dindin achmad nazmuddin, Analisis Fungsi Sosial Budaya dan Struktur Musik Kesenian Rapa’i Geleng Di Kota Banda Aceh. (tesis), jurusan pencintaan dan pengkajian seni fakultas ilmu budaya, Universitas Sumatera Utara, 2013. Sebagai masukan kajian sejarah Rapa’i diAceh.

1.5.1.4Kajian Metode Penulisan

1. Arikunto, (2003:309-310), yaitu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang di maksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian di lakukan.

2. Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang di teliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang di teliti secara tepat.

Inilah sebahagian pustaka penting yang menjadi rujukan penulis dalam rangka mengkaji keberadaan Rapa’i Pasee di Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara. Keberadaan sumber tertulis ini menjadi dasar utama keilmuan penulis dalam


(38)

rangka meneliti dan kemudian menganalisisnya berdasarkan multidisiplin dan interdisiplin ilmu, sebagaimana yang selama ini penulis peroleh dari kuliah di Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Selanjutnya penulis melakukan penelitian lapangan.

1.5.2 Penelitian lapangan

Penelitian lapangan (fieldwork) adalah menjadi fokus utama kegiatan penulis dalam rangka penelitian Rapa’i Pasee di Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara. Hal ini dilakukan mengacu kepada disiplin etnomusikologi dan antropologi yang sangat mementingkan penelitian lapangan. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bandem dalam konteks kegiatan ilmuwan etnomusikologi di dunia ini. Menurut I Made Bandem, etnomusikologi merupakan sebuah bidang keilmuan yang topiknya menantang dan menyenangkan untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik, etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan budaya. Sebagai disiplin yang amat populer saat ini, etnomusikologi merupakan ilmu pengetahuan yang relatif muda umurnya. Kendati umurnya baru sekitar satu abad, namun dalam uraian tentang musik eksotik sudah dijumpai jauh sebelumnya. Uraian-raian tersebut ditulis oleh para penjelajah dunia, utusan-utusan agama, orang-orang yang suka berziarah dan para ahli filologi. Pengenalan musik Asia di Dunia Barat, pada awal-awalnya dilakukan oleh Marco Polo, pengenalan musik China oleh Jean-Babtise Halde tahun 1735 dan Josep Amiot tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh


(39)

Guillaume-Andre Villoeau hun 1809. Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi. Masa ini pula diterbitkan Ensiklopedi Musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya tahun 1768, yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi (Bandem, 2001:1-2).

Penelitian lapangan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara dengan para tokoh seniman tradisional (pelaku seni) Rapa’i Pasee, dan para pegawai pemerintah di lingkungan Dinas Pariwisata dan kebudayaan Aceh utara. Observasi adalah pengamatan dengan cara sebagai pengamat yang terlibat dalam kegiatan seni secara langsung. Kemudian wawancara adalah dilakukan kepada terutama informan kunci untuk mengetahui Sejarah, Fungsi Sosio budaya Rapa’i Pasee dalam konteks kebudayaan Aceh.

1.5.2.1Observasi

Observasi digunakan untuk mengetahui secara langsung bentuk penyajian Rapa’i Pasee. Rapa’i Pasee merupakan suatu kegiatan yang dilihat langsung dalam aspek penyajian yaitu, motif pukulan, tempo, pola ritme, variasi pukulan, dan busana pemain Rapa’i Pasee. Dalam observasi ini penulis mempersaksikan pertunjukan Rapa’i Pasee di beberapa peristiwa budaya, terutama Rapa’i Pasee (uroh doeng) pertandingan, dilokasi tempat tinggal pimpinan Rapa’i Pasee desa Jambo Aye. Pentingnya melakukan observasi ini adalah untuk melihat langsung pertunjukan dan kemudian melakukan wawancara. Selepas itu penulis akan menganalisisnya dan melakukan penafsiran-penafsiran cultural berdasarkan ilmu dan pengalaman yang penulis peroleh selama ini.


(40)

1.5.2.2Wawancara

Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data atau memperoleh informasi secara langsung bertatap muka dengan informan, sehingga mendapatkan gambaran lengkap tentang objek yang sedang diteliti. Wawancara dilakukan dengan pemusik, pelatih, dan tokoh Musik di Aceh maupun di luar Daerah Provinsi Aceh. Wawancara dilakukan sesuai dengan format yang telah penulis siapkan dengan tujuan data-data yang di inginkan akan di uraikan, sehingga mendukung hasil penelitian. Hal-hal yang akan diwawancarai berkaitan dengan dua pokok masalah, yaitu (1) fungsi sosial dan budaya Rapa’i Pasee dalam kebudayaan masyarakatnya; dan (2) struktur musik Rapa’i Pasee.

1.5.2.3Kerja laboratorium

Setelah pengumpulan data di laksanakan, data penelitian ini diolah dengan menggunakan pendekatan deskrptif kualitatif yaitu, dengan mendeskripsikan Sejarah, bentuk alat musik, busana pemusik, dan cara penyajian musik Rapa’i Pasee. Seterusnya berdasarkan fakta sosial, penulis akan menganalisis guna dan fungsi Rapa’i Pasee dalam kebudayaan masyarakat Aceh di Provinsi Aceh. Seterusnya, sesuai dengan bidang keilmuan penulis yaitu pengkajian seni, maka tidak lupa penulis akan mengkaji struktur musik Rapa’i Pasee.

Sebelum menganalisis pertunjukan Rapa’i Pasee terlebih dahulu penulis mendeskripsikannya, dengan menggunakan gambar dalam bentuk foto dan dijelaskan dengan kalimat demi kalimat. Ini dilakukan untuk mempermudah para pembaca mengerti gambaran visual yang terjadi. Demikian pula untuk mengkaji


(41)

struktur musik, penulis terlebih dahulu mentranskripsikannya dalam bentuk visual, yang merupakan pemindahan dimensi dengar ke dimensi penglihatan. Adapun transkripsi dilakukan dengan pendekatan transkripsi preskriptif, yaitu menuliskan ritem-ritem utama, tidak serinci mungkindengan demikian Rapa’i Pasee termasuk budaya musik yang melogenik.11

1.6 Lokasi Penelitian

Dalam tulisan ini akan di bahas hasil penelitian tentang pertunjukan Rapa’i Pasee yang dilaksanakan di daerah Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara, penetilian ini di laksanakan di desa Biara Timu,Jambo Aye Aceh Utara dengan daftar observasi terlampir serta di lengkapi dengan foto-foto mengenai pertunjukan Rapa’i Pasee hasil penelitian tersebut dapat di paparkan sebagai berikut.

Rapa’i Pasee adalah kesenian tradisional Aceh, Rapa’i Pasee berkembang hanya di daerah Aceh Utara saja, daerah Aceh lainnya saat ini hampir tidak ada kesenian tersebut.Semua penduduknya beragama Islam, masyarakat di desa Biara Timupada umumnya bermata pencahariannya adalah sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagai pegawai negeri.

Penelitian ini penulis lakukan di Biara Timu Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara, komunikasi antara penduduk disini penulis perhatikan

11

Sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukankepada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi atau bunyi-bunyia lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menyelidikinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang bisa ditelusuri melalui pikiran mereka. Melogenic (pengutamaan pada musik).


(42)

menggunakan bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan bahasa komunikasi antar etnis mereka. Masyarakat Biara timu tidak mudah menerima adat-adat baru dari pendatang luar, karena pada umumnya mereka masih berpijak kepada adat tradisional daerah mereka. Saat ini upacara-upacara tradisional masih kuat melekat di kalangan mereka dalam acara adat seperti adat perkawinan, sunat Rasul, dan memperingati hari-hari besar.

Masyarakat Biara Timu tidak hanya menampilkan Rapa’i Pasee, namun berbagai bentuk kesenian lain seperti tari saman, rateb meuseukat, tari rapa’i saman, tari laweut, tari raneup lampuan, tari likok puloh, tari pho, dan tari lainnya. Alat musik Rapa’i Pasee di desa ini merupakan kesenian tradisional yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Biara Timu. Pertunjukan alat musik musik ini berpatokan kepada tradisi, karena pada umumnya masyarakat Biara timu menampilkan Rapa’i Paseepada acara tertentu, seperti memperingati hari-hari besar, kampanye politik, menyambut tamu kehormatan, perlombaan Rapa’i Tunang dan acara hiburan lainnya.

Sumber data dalam penelitian ini adalah: (1) pemusik Rapa’i Pasee di Biara Timu, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Medan; (2) pelatih Rapa’i Pasee di Biara Timu, Lhokseumawe , Banda Aceh, dan Medan; (3) tokoh-tokoh pemusik Rapa’i Pasee di Biara Timu, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Medan; dan (4) para narasumber di Biara Timu, Banda Aceh, dan Medan. Dengan kerja yang sedemikian rupa ini maka diharapkan tesis ini akan mengikuti standar penelitian yang berlaku di Program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.


(43)

1.7 Alat yang digunakan

Alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang dijadikan data sebagai bahan dan sumber penelitian ini adalah sebagai berikut : handycam, merk sony dan mini DV, cassette.

1.8 Sistematika Penulisan

Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab. Setiap bab secara saintifik dianggap memiliki isi yang dekat. Setiap bab akan dibagi menjadi sub-sub bab. Secara keseluruhan tesis ini di bagi ke dalam tujuh bab, dengan perincian sebagai berikut.

Pada Bab I yang merupakan pendahuluan, akan diisi oleh uraian mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, (dirinci menjadi tujuan penelitian serta manfaat penelitian), konsep dan landasan teori dirinci menjadi konsep serta landasan teori), teori diuraikan lagi yaitu dengan menggunakan teori fungsi oleh Merriam dan Bruno nettle untuk teori transkipsi musik, metode penelitian (yang diperinci lagi menjadi studi kepustakaan dan penelitian lapangan yang terdiri dari: observasi dan wawancara serta kerja laboratorium), lokasi penelitian, gambaran umum lokasi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II adalah etnografi masyarakat Jambo Aye Panton Labu, sejarah desa Jambo Aye kota Panton Labu Aceh Utara, tinjauan geografis desa Jambo Aye kota Panton Labu, sistem pemerintahan kota Panton Labu, masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu , stratifikasi masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu,


(44)

agama, jumlah penduduk, masyarakat kesenian desa Jambo Aye kota Panton Labu, unsur kesenian masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu, tari dan musik.

Bab III diberi berisikan tentang : Struktur musik kesenian Rapa’i Pasee: di biara timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, sejarah Rapa’i di Aceh, klasifikasi jenis alat musik Aceh, Rapa’i Pasee diuraikan yaitu latar belakang Rapa’i Pasee, Organologi Rapa’i Pasee, bentuk kesenian Rapa’i Pasee, proses penstranskripsian, notasi ritem (Motif pukulan) pada struktur musik Rapa’i Pasee diuraikan yaitu : deskripsi ritem 1 (lagu sa), deskripsi ritem 2 (lagu dua), deskripsi ritem 3 (lagu lhee), deskripsi ritem 5 (lagu limeung), deskripsi ritem 7 (lagu tujoh), deskripsi ritem 9 (lagu sikureung), deskripsi ritem 12 (lagu duablah). Bab IV adalah berjudul Deskripsi fungsi sosio budaya Rapa’i Pasee di biara timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, Bab ini dibangun oleh sub-sub bab yaitu penggunaan dan fungsi Rapa’i Pasee, pengertian penggunaan dan fungsi diuraikan menjadi pengertian fungsi dan pengertian penggunaan, fungsi kesenian Rapa’i Pasee, fungsi penggungkapan emosional, fungsi penggungkapan estetika, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi berkaitan dengan norma sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan dan fungsi penginteghrasian masyarakat.

Bab V Kesimpulan dan Saran, bab ini dibagi lagi menjadi kesimpulan dan beberapa saran dalam konteks penelitian ini.


(45)

BAB II

ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu Aceh Utara

Sejarah Aceh Utara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara).

Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu :


(46)

1. Onder Afdeeling Bireuen 2. Onder Afdeeling Lhokseumawe 3. Onder Afdeeling Lhoksukon.

Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik. Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia Serikat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berlaku Undang-Undang Sementara 1950 seluruh Negara bagian bergabung dan statusnya berubah menjadi propinsi. Aceh yang pada saat itu bukan negara bagian, digabungkan dengan Propinsi Sumatera Utara. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom setingkat Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, terbentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara yang juga termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara.


(47)

Keberadaan Aceh di bawah Propinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas pada para tokoh Aceh yang menuntut agar Aceh tetap berdiri sendiri sebagai propinsi dan tidak berada di bawah Sumatera Utara. Tetapi ide ini kurang didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh. Keadaan ini menimbulkan kemarahan tokoh Aceh dan memicu terjadinya pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru padam setelah datang Wakil Perdana Menteri Mr Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh. Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu:

1. Kewedanan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan 2. Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan 3. Kewedanan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan

Dua tahun kemudian keluar Undang-Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969,


(48)

Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah menjadi Kabupaten Bireuen. Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen. Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang makin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.

Sebagai penjabaran dari UU nomor 5 tahun 1974 pasal 11 yang menegaskan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II maka pernerintah melaksanakan proyek percontohan otonomi daerah. Aceh Utara ditunjuk sebagai daerah tingkat II percontohan otonomi daerah. Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan menambah empat kecamatan baru berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999. Seiring dengan


(49)

pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang-Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen. Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe. Saat ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 Km2 dan berpenduduk sebanyak 477.745 jiwa membawahi 27 kecamatan.

Aceh Utara hingga tahun 2006 memiliki 850 desa dan 2 kelurahan, yang terbagi ke dalam 56 buah mukim. Sebanyak 780 buah desa berada di kawasan dataran dan 72 desa di kawasan berbukit. Desa yang terletak di daerah berbukit dijumpai di 12 kecamatan. Yang paling banyak desanya di kawasan perbukitan adalah di Kecamatan Sawang, Syamtalira Bayu, Nisam, Kuta Makmur, dan Muara Batu. Disamping itu, terdapat 40 buah desa yang berada dikawasan pesisir. Aceh Utara yang beriklim tropis, musim kemarau berlangsung antara bulan Februari sampai Agustus, sedangkan musim penghujan antara bulan September sampai Januari. Suhu dimusim kemarau rata-rata 32.8oC dan pada musim penghujan rata-rata 28oC.

Flora dan fauna, flora yang terdapat di daerah ini terdiri dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan antara lain: kayu merbau, damar, damar laut, semantok, meranti, cemara, kayu bakau, rotan dan sebagainya. Semua jenis tumbuh-tumbuhan hidup subur dikawasan hutan merupakan kekayaan dan potensi yang


(50)

dapat mendukung pembangunan ekonomi jika mampu dikelola dengan baik tanpa merusak kelestarian alam dan lingkungan.

Sedangkan fauna, Aceh Utara juga memiliki kekayaan dengan berbagai jenis hewan liar seperti gajah, harimau, badak, rusa, indus¬ kijang, orang hutan, babi, ular dan lain-lain sebagainya.

2.2 Tinjauan geografis desa Jambo Aye kota Panton labu Aceh Utara

Kabupaten Aceh Utara merupakan bagian dari Provinsi Aceh yang berada di sebelah utara. Berdasarkan Peta Bakosurtanal skala 1 : 50.000, maka secara geografis Kabupaten Aceh Utara terletak pada posisi 960 47’ – 970 31’ Bujur Timur dan 040 43’ – 050 16’ Lintang Utara. Batas wilayah Kabupaten Aceh Utara dengan wilayah lainnya adalah:


(51)

- Sebelah utara - Sebelah timur - Sebelah selatan - Sebelah barat

: : : :

Kota Lhokseumawe Kabupaten Aceh Timur Kabupaten Bener Meuriah Kabupaten Bireuen

Luas wilayah Kabupaten Aceh Utara yang tercatat adalah 3.296,86 km2, atau 329.686 Ha. Dengan panjang garis pantai 51 km, dan kewenangan kabupaten adalah sampai 4 mil laut, maka luas wilayah laut kewenangan ini adalah 37.744 Ha atau 3.774,4 km2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1

No Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Persentase

1 Sawang 384,65 11,67

2 Nisam 42,74 3,48

3 Nisam Antara 84,38 2,56

4 Bandar Baro 42,35 1,28

5 Kuta Makmur 151,32 4,59

6 Simpang Keramat 79,78 2,42

7 Syamtalira Bayu 77,53 2,35

8 Geurudong Pase 269,28 8,17

9 Meurah Mulia 202,57 6,14

10 Matang Kuli 56,94 1,73

11 Paya Bakong 418,32 12,69

12 Pirak Timu 67,70 2,05

13 Cot Girek 189,00 5,73


(52)

15 Langkahan 150,52 4,98

16 Seunuddon 100,63 3,05

17 Baktiya 158,67 4,81

18 Baktiya Barat 83,08 2,52

19 Lhoksukon 243,00 7,37

20 Tanah Luas 30,64 0,93

21 Nibong 44,91 1,36

22 Samudera 43,28 1,31

23 Syamtalira Aron 28,13 0,85

24 Tanah Pasir 20,38 0,62

25 Lapang 19,27 0,58

26 Muara Batu 33,34 1,01

27 Dewantara 39,47 1,20

Kabupaten 3.296,86 100,00

Sumber Data : Aceh Utara Dalam Angka 2012

2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu

Kabupaten Aceh Utara dipimpin oleh seorang Bupati dan mempunyai wakil Bupati, secara admisnistrasi pemerintahan Aceh utara diatur oleh seorang sekretatis daerah (Sekda) kota dengan sistim pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang pemerintah Republik Indonesia.


(53)

2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu

2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa jambo aye kota Panton Labu

Berdasarkan pendekatan historis baik pada sebelum maupun sesudah kemerdekaan, stratifikasi masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia Umara dapat diartikan sebagai pemerintahan atau pejabat pelaksana pemerintahan dalam satu unit wilayah kekuasaan, contonhnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Ulee balang sebagai pimpinan unit pemerintah Nanggro (negri), Panglima Sago (Panglima Segi) yang memimpin unit pemerintah Segi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintah Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintah gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagi lapisan pimpinan adat, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler. Hal ini berlaku juga di Kota Panton Labu, namun dalam perkembangannya saat setelah perang kemerdekaan usai dan Indonesia sebagi sebuah Negara Merdeka dan Berdaulat, mempunyai tata pemerintahannya sendiri dalam hal ini kedudukan sultan, Ulee balang maupun panglima sagoe, ditiadakan karena Aceh termasuk dalam wilayah Negara kesultanan Republik Indonesia yang semuanya di atur oleh sistem pemeritahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang 1945, melalui Departemen Dalam Negeri sedangkan bentuk pimpinan unit pemerintah seperti Imeum, Mukim, Keuchik, Kepala gampong dan sebagainya merujuk pada


(54)

undang-undang otonomi khusus dan keistimewaan daerah Aceh, sementara kedudukan geuchik, kepala mukim, tuha peut masih dipertahankan sebagai sistem Pemerintahan tradisional dilapisan bawah masyarakat yang setara dengan lurah, kepala dusun, dan sebagainya.

2.4.2 Agama

Mayoritas penduduk kota Panton labu merupakan penganut agama Islam. Meskipun yang dominan adalah pemeluk agama Islam, namun kita juga dapat menjumpai beberapa tempat ibadah bagi agama-agama non Muslim sepeti Gereja dan Klenteng ditempat tertentu dan terbatas.

2.4.3. Jumlah penduduk kota Panton Labu

Menurut data dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil berdasarkan laporan kependudukan Kota Panton labu, menurut jumlah Kartu keluarga, jumlah penduduk dan jumlah wajib KTP pada bulan April 2014, diperoleh data jumlah penduduk kota Panton labu keseluruhan adalah berjumlah 41.032.

2.4.4. Masyarakat kesenian di desa Jambo Aye kota Panton Labu

Yang di maksud dengan masyarakat adalah sekumpulan manusia, yang dalam kehidupannya melakukan kerjasama secara kolektif, karena saling ketergantungan sosial diantara mereka12

, kesenian merupakan hasil karya, karsa, dan cipta manusia baik berupa wujud maupun gagasan atau ide yang mengandung


(55)

unsur keindahan yang digunakan dalam kehidupan manusia. Maka masyarakat kesenian di Kota Panton Labu adalah sekelompok masyarakat yang beraktifitas dibidang kesenian baik sebagai pelaku maupun sebagi penontonnya, yang ada di Kota Panton labu, yang di kelompokkan menjadi dua kelompok masyarakat kesenian diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat kesenian yang ada pada masyarakat umum, di sekitar Kota Panton Labu (gampong, desa, ataupun kecamatan) seperti sanggar-sanggar,

komunitas-komunitas seni dan sebagainya, misalnya Sanggar Jeumpa Aceh dan Sanggar Pocut Meurah Insen.

2. Masyarakat kesenian yang ada di institusi sekolah (SD,SMP,SMA), dan perguruan Tinggi (seperti, Sanggar seni sekolah, atau unit kegiatan mahasiswa).

2.4.5. Unsur Kesenian Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu 2.4.6 Tari

a. Tari Ranup Lampuan

Tari Ranup Lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang

ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan

penyambutan tamu secara resmi. Ranup dalam bahasa Aceh yaitu Sirih,

sedangkan Puan yaitu Tempat sirih khas Aceh. Ranup Lampuan bisa diartikan "Sirih dalam Puan". Sirih ini nantinya akan diberikan kepada para tamu sebagai tanda penghormatan atas kedatangannya.


(56)

b. Tari Likok Pulo

Tarian Likok Pulo ini lahir sekitar tahun 1949 yang diciptakan oleh

seorang Ulama berasal dari Arab yang tinggal di Pulo Aceh, yaitu salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar.Tarian ini pada hakekatnya adalah zikir kepada Allah SWT dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan tarian pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman atau kesetaraan dengan memfungsikan anggota tubuh bagian atas, tangan sama-sama ke depan, ke samping kiri atau kanan, dari depan ke belakang, keatas dan kebawah, dengan tempo yang lambat hingga cepat. Tarian ini membutuhkan energi yang tinggi.

c. Tari Tarek Pukat

Tarek Pukat ini menggambarkan aktifitas para nelayan yang menangkap ikan dilaut.Tarek yang berarti "Tarik", dan Pukat adalah alat sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.

d. Tari Rapa’i Geleng

Rapa`i Geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Nama Rapa`i diadopsi dari nama Syeik Ripa`i yaitu orang pertama

yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan Rapa`i Geleng juga

disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal

kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan


(57)

(lagu-lagu) yang dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial.

e. Tari Saman

Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh ataupun Gayo. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh.Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada kenyataannya nama "Saman" diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman.Tari Saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech.Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna.Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.

f. Tari Laweut

Sebelum sebutan Laweut dipakai, tarian ini mulanya disebut "Seudati Inong", karena tarian ini khusus ditarikan oleh para wanita. Gerak tarian ini, yaitu


(58)

penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

g. Tari Pho

Perkataan Pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari rakyat. Hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

h. Tari Seudati.

Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan ratoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan


(59)

tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah.Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

2.4.7 Musik

a. Serunee Kalee

Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu nangka, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tem baga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan

bersama genderang dan Rapa’i dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi

tarian-tarian tradisional.

b. Gendang (Geundrang)

Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune


(60)

kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara lainnya.

Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit.Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.

c. Rapa’i

Rapa’i merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang tuwalang) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak).

Rapa’i digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan


(61)

tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan


(62)

BAB III

STRUKTUR MUSIK KESENIAN RAPA’I PASEE: DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

3.1 Sejarah Rapa’i Di Aceh

Sejarah masuknya alat musik Rapa’i ini telah ada sekitar abad XIII seiring masuknya agama Islam di Aceh yang kemudian menjadi media dakwah dalam penyebaran Agama Islam dimasa kerajaan Islam pertama di Nusantara yaitu Samudera Pasai yang dipimpin Raja Islam pertama Yaitu Sultan Malikul Saleh di daerah Pasai (Pase, Aceh Utara), yang kemudian berkembang menjadi suatu kesenian yang mempunyai fungsi sosial budaya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Alat musik Rapa’i ini merupakan hasil akulturasi budaya Islam yang masuk ke daerah Aceh sekitar abad XIII, yang dibawa oleh para ulama dan saudagar Islam dari Timur Tengah melalui jalur perdagangan dunia yang melintasi Asia tengah dan selatan seperti Pakistan, India, dan sebagainya, Kemudian menjadi alat penyebaran Agama Islam diseluruh Aceh dan Nusantara. Pada Awalnya budaya alat musik Rapa’i dibawa oleh seorang Ulama besar Islam Syekh Abdul Qadir Zailani, yang meneruskan ajaran Islam dari seorang Ulama Ahli Tasawuf dari Baghdad Irak yang bernama. Syekh Ahmad Rifa’i yang kemudian ulama ini terkenal dengan aliran Tasawuf ‘’rifaiyyah’’ dan zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, alat musik ini sering digunakan untuk keperluan penyambutan tamu kerajaan, sehingga menjadi budaya masyarakat Islam di Indonesia, hal ini dapat kita lihat pada banyaknya ragam alat musik perkusi sejenis Rebana di Nusantara ini yang bentuknya hampir menyerupai Rapa’i .


(63)

Bahkan hampir semua instrumen tersebut digunakan untuk mengiringi perayaan hari besar keagamaan agama Islam seperti Maulid Nabi (hari kelahiran Nabi Muhammad), Isra Mi’raj (perjalanan nabi Muhammad dari mesjidil Haram ke Masjidil Aqsa), hingga Sidratul Munthaha atau Langit ke Tujuh untuk menerima perintah shalat dari Allah SWT) dalam hal tersebut selalu dilantunkan Shalawat Nabi (memuliakan dan mendoa’kan) terhadap Nabi Muhammad beserta keluarganya.

Nama Rapa’i sendiri diambil dari seorang ulama besar di Arab yang mensyiarkan Islam melalui dakwah yang cara berdakwahnya menggunakan alat musik berbentuk Frame drum (perkusi sejenis rebana dengan satu permukaan yang dimainkan dengan cara dipukul atau ditepuk) yang kemudian disebarkan oleh para pengikut aliran tasawuf rifa’iyyah (lihat Snouck Hugronje 1994:2:216-247). Dalam sebuah panton Aceh disebutkan bahwa Rapa’i diperkenalkan oleh seorang ulama besar Islam kelahiran Persia, yaitu Syekh Abdul Qadir Zailani. Atau lebih dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah (1077-1166), beliau pertama kali datang ke Aceh mendiami sebuah kampung yaitu Kampog Pande, yang sekarang letaknya berada sekitar kecamatan Mesjid Raya, wilayah kabupaten Aceh Besar. Bentuk Rapa’i di Aceh pada awalnya mirip seperti alat musik rebana dengan satu permukaan yang terbuat dari kayu yang dilapisi oleh kulit kambing atau lembu yang digunakan sebagai pengiring meu-dike (berdzikir) untuk menyemangati para pengikut ajaran Islam agar selalu kepada Allah sebagai Tuhan yang menguasai seluruh alam dan sebagai sosialisasi ajaran agama Islam pada masa itu, hal ini dapat terlihat pada penyebaran Islam di kerajaan Islam pertama di


(1)

______________.1982. Pra Survey Kepariwisataan Daerah Istimewa Aceh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Departemen Perhubungan Direktorat Jendral Pariwisata.

______________. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Kartomi, Margaret. Musical Journey in Sumatera, 2013.

Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh. 1990. Pedoman Umum Adat Aceh Edisi 1. Banda Aceh: LAKA Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Muhammad. 1970. “Adat Atjeh.”Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Merriam, Allan P. The Antrhropology of Music, (e book: internet). Malinowski, “Toeri Fungsional dan Struktural”, (e book: internet).

Melalatoa, Junus. M. Memahami Aceh sebuah perspektif budaya, Aceh kembali ke masa depan, SMK Grafika Desa Putera,2005.

NasrudinSulaiman, dkk.1992. Aceh Manusia Masyarakat Adat dan Budaya, Banda Aceh: PDIA.

Pekerti, Widia, dkk. 1999. Pendidikan Seni Musik /Tari / Drama. Jakarta: Universitas Terbuka..

PPKD. 1994. “Adat Istiadat Daerah Propinsi Istimewa Aceh, Banda Aceh: Proyek P2NB Depdikbud.

RuslanH. Prawiro, 1966. Kependudukan, Teori, Fakta, danMasalah. Bandung: Alumni.

Said, Mohammad. Jilid 1, yang berjudul Aceh Sepanjang Abad, 2007. Said, Mohammad. Jilid 2, yang berjudul Aceh Sepanjang Abad, 2007.

Salam, Aprinus. 1998. Umar kayam dan Jaring-Jaring Semiotika. Jogyakarta:Pustaka Pelajar.

Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan. Sekolah Tinggi Kesenian Wildaktika, Surabaya

Soedarsono, 1974.Dances In Indonesia. Jakarta : Gunung Agung.

__________.1977, Estetika. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Yogyakarta.

__________. 1978. “Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari.”Diktat Yogyakarta.

__________. 1972. “Beberapa Masalah Perkembangan Tari di Indonesia.” Surakarta: Kertas Kerja pada Seminar Kesenian.

__________. 1977. Tari-Tari di Indonesia 1. Jakarta: Proyek Pengembangan Media dan Kebudayaan.

Stein, Leon. 1979. Structur& Style. The Study and Analysis of Musical Form. Princeton: Summy-Birchard Music.

Sudjiman, Panuti. Art Van Zoestt. 1996, Serba Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia.

Sukardi. 2003. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumarsono, 2003.Restorasi Seni Tari dan Transformasi Budaya ,Joyakarta : El Kapli.


(2)

Surjanto, A dkk. 1985. Kamus Istilah Pariwisata. Jakarta P3D Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sutrisno, Mudji&Verhak, Christ. 1993, Estetika, Filsafat Keindahan, Jogyakarta: Kanisius.

Syamsuddin, T. dkk. 1978. “Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh.” Jakarta: Depdikbud.

The Liang Gie, 1976. Garis Besar Estetika: Yogyakiarta: Super Sukses.

Universitas Syiah Kuala, 1983. Propinsi Inventasi daerah Istimewa Aceh. Pemerintah Daerah Istimewa Aceh bekerja Sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.

Van Zest, Art .1993. Semiotika ( terj.AniSoekawati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Wadjid Anwar, 1980. Filsafat Estetik.,Yogyakarta: Nur cahaya.

Widiasarana Indonesia Pusat Penelitian Sejarah Budaya.1978/1979. “Enkslopedi Musik dan Tari Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.”Penelitian dan Pencatatan Budaya Daerah. Banda Aceh.

Yusmidar. 1999. “Mengenal Tari Tradisional Aceh.”Aceh: Dinas Pendidikan Banda Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Zentgraaf, Ac &Gondoever RA.1985. Van Sumatranfjis Medan Deli Autonobiel ta.

__________________. 1981. “Masyarakat Aceh dan Kegiatan Pariwisata” (Brosur) Banda Aceh : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh.

__________________. 1983/1984.Inventarissasi Obyek-obyek Pariwisata Daerah Istimewa Aceh.Banda Aceh: Sekretariat Daerah Istimewa Aceh.


(3)

LAMPIRAN

Foto : Wawancara dengan narasumber Tgk. Razali di desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara


(4)

Foto : Nama grup Rapa’i Pasee di desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara


(5)

Foto : Narasumber menjelaskan makna larik pada Rapa’i Pasee


(6)