karakter-karakter tertentu yang selama ini dimiliki oleh ritel tradisionalkecil, yang diharapkan bisa tetap dilaksanakan dan memberi ruang bagi mereka
untuk bisa tetap bertahan dalam persaingan ritel yang sangat ketat saat ini.
Beberapa pelaku usaha ritel keciltradisional membuka gerainya berbeda- beda. Untuk warungtoko tradisional mereka melakukannnya mulai dari pagi
sampai sekitar pukul 08.00-09.00 malam. Sementara pasar tradisional biasanya buka hampir 24 jam kerja. Melalui pembatasan jam buka yang
ditetapkan oleh Perpres 1122007 dan Permendag 532008, maka diharapkan akan tetap ada ruang bagi pelaku usaha ritel keciltradisional untuk bisa
memperoleh konsumen yang berbelanja di tokowarung dan pasar.
Dalam Perpres 1122007 dan Permendag 532008 waktu jam buka untuk hipermarket, supermarket dan Department Store ditetapkan jam 10.00
sampai 22.00 untuk setiap hari Senin – Jum’at dan 10.00 sampai 23.00 untuk setiap hari Sabtu – Minggu. Tetapi sayangnya hal ini tidak terjadi
untuk ritel modern skala kecil yakni minimarket dan convenience store. Padahal potensi ritel ini mendistorsi pasar pelaku usaha ritel keciltradisional
sangat besar sekali, terutama bagi warungtoko jenis pop mom store yang biasanya juga buka sepanjang hari.
Jam buka yang ditutup sekitar jam 22.00-23.00 dan dibuka kembali jam 10.00, sangat membantu pasar tradisional yang umumnya mulai melakukan
aktivitasnya sekitar pukul 24.00 dan berakhir pukul 08.00-09.00. Melalui model seperti ini, maka ruang bagi pasar ritel tradisional masih ada.
6.2. Analisis Kebijakan Terkait Ritel Modern versus Pemasok
Berdasarkan analisis sebelumnya sangat jelas bahwa hubungan antara pemasok dan peritel modern, lebih banyak menyangkut terjadinya ketidakseimbangan daya
tawar antara keduanya, yang bermuara pada hadirnya model eksploitasi dan kesewenang-wenangan oleh peritel modern terhadap pemasok yang umumnya
terdiri dari pelaku usaha kecil dan menengah.
Langkah untuk mengatasi hadirnya potensi eksploitasi adalah melalui kebijakan yang mendorong terjadinya peningkatan kekuatan daya tawar pelaku usaha
pemasok terhadap peritel atau membatasi proses eksploitasi peritel terhadap pemasok. Hal ini antara lain dilakukan dengan membatasi jumlah trading terms.
Dan hal inilah yang kemudian dilakukan oleh Pemerintah dalam Perpres 1122007 dan Permendag 532008. Dengan membatasi trading terms pada yang berkaitan
langsung dengan upaya penjualan produk pemasok dan hanya ada 7 tujuh jenis trading terms
yang diperbolehkan.
Melalui pembatasan trading terms ini, diharapkan biaya-biaya yang cenderung eksploitatif dapat dibatasi dan pemasok memiliki ruang yang cukup untuk bisa
berproduksi dan mengembangkan usahanya karena biaya yang harus diserahkan kepada peritel menjadi lebih kecil. Dalam hal inilah maka pada akhirnya potensi
eksploitasi menjadi dapat direduksi.
6.3. Analisis Kebijakan Terkait Distribusi Tradisional Versus Distribusi Ritel
Modern
Hal ini yang mungkin luput dari perhatian yang diatur dalam Perpres 1122007 dan Permendag 532008. Hal ini bisa dimengerti mengingat Perpres 1122007 dan
Permendag 532008 lebih banyak mengatur perlindungan terhadap pemasok dan peritel keciltradisional yang selama ini muncul menjadi permasalahan besar
dalam ritel Indonesia.
Potensi hancurnya peran distributor tradisional memang tidak kelihatan, mengingat dia lebih banyak menjadi perantara bisnis antara pemasok dan peritel.
Tetapi tidak banyak orang yang sadar bahwa dalam bisnis ini terdapat banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya. Mereka bergerak menjadi distributor
dan sub distributor untuk mendistribusikan barang ke konsumen.
Tidak adanya kebijakan terkait hal ini sangat mungkin didorong oleh fakta yang selama ini terasa menyesakkan yakni mahalnya jalur distribusi Indonesia.
Distributor adalah penting bagian dari rantai distribusi. Ketika hadir jalur
distribusi baru yang lebih banyak didorong oleh keinginan ritel modern untuk mendapatkan produk yang lebih murah, dengan langsung memotong jalur
distribusi langsung ke manufakturpabrikan, maka hal tersebut sebagai langkah positif menuju efisiensi jalur distribusi. Padahal pada saat yang bersamaan
beberapa perusahaan distribusi pelan tapi pasti mendapatkan kenyataan, pasar mereka semakin menyusut.
Berdasarkan fakta di lapangan diketahui bahwa upaya-upaya perlindungan sebagaimana diatur dalam Perpres 1122007, sampai saat ini perkembangannya
masih sangat minim. Berdasarkan survey yang dilaksanakan oleh tim, diperoleh fakta bahwa di beberapa daerah kebijakan yang diambil berbeda-beda. Padahal
Pemerintah daerahlah ujung tombak implementasi dari Perpres 1122007.
Beberapa daerah seperti Kabupaten Sragen mengambil kebijakan drastis dengan menutup daerahnya dari ritel modern. Tetapi di Kotamadya Bandung Ritel modern
bertebaran dimana-mana hampir sama dengan di Jakarta. Tetapi dari berbagai perkembangan yang ada, umumnya tim mencatat bahwa hampir tidak ada satupun
Pemerintah Daerah yang memiliki blue print tentang perkembangan industri ritel ini. Dan kebanyakan dari Pemerintah Daerah mengizinkan beroperasinya ritel
modern, sekalipun tanpa melakukan analisis kelayakan. Akibatnya persoalan menyeruak. Hal inilah yang menjadi dasar persoalan mereka mengadukan kasus
ritel ke KPPU seperti di Sukabumi, Bogor dan sebagainya.
Sesungguhnya apabila kita mencermati inti persoalan ritel secara keseluruhan maka sangat jelas bahwa akar permasalahan dari kisruh di industri ritel saat ini
adalah kehadiran market power yang sangat besar dari para pelaku usaha hipermarket, dalam pasar yang terkesan sangat bebas tanpa ada equal playing field
yang memadai sehingga akhirnya yang terjadi adalah pelaku usaha besar dengan kemampuan kapital yang tidak terbatas dengan berbagai value creationnya yang
mendorong semakin kuatnya market power mereka, berhadapan secara head to head
dengan pelaku usaha ritel keciltradisional yang menyebabkan tersingkirnya pelaku usaha ritel keciltradisional tersebut dari pasar.
Mengingat akar permasalahannya adalah munculnya kekuatan market power yang sangat kuat, maka solusi yang paling tepat adalah bagaimana agar market power
tersebut dapat direduksi sehingga lebih tercipta situasi persaingan yang seimbang karena equal playing field yang memadai.
Berdasarkan analisis ini sesungguhnya solusi yang diambil Pemerintah sudah cukup baik hanya saja sayangnya karena implementasi yang sangat lemah, maka
tujuan dari pengaturan tersebut tidak pernah tercapai sehingga permasalahan yang terjadi akhirnya terus bergulir tanpa ada yang menghentikannya.
Memperhatikan situasi yang terjadi, maka apabila kita analisis lebih dalam berbagai strategi yang diterapkan Pemerintah harus lebih disertai oleh proses
penegakan hukum yang seharusnya. Dalam hal inilah maka sejak awal Pemerintah memang harus memiliki awareness bahwa pengembangan ritel modern harus
dilakukan pembatasan dengan memperhatikan kemampuan pelaku usaha ritel keciltradisional.
6.4. Solusi Kebijakan Tepat Untuk Ritel Kecil Versus Ritel Modern