BAB V PERMASALAHAN INDUSTRI RITEL INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF PERSAINGAN
Dalam pencermatan KPPU sebelumnya telah diketahui bahwa persoalan dalam industri ritel Indonesia lebih banyak menyangkut permasalahan ketidaksebandingan dalam
bersaing dibandingkan dengan persaingan usaha sebagaimana didefinisikan dalam UU No 5 Tahun 1999. Meskipun demikian, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa
terdapat beberapa perilaku dari pelaku usaha terutama yang memiliki market power
yang sangat besar, yang bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999.
Dalam bagian ini akan dianalisis tentang persaingan yang terjadi dalam industri ritel Indonesia, dari mulai evolusi industri ritel sampai dengan persaingan dan akibat
persaingan tersebut di dalamnya.
5.1. Evolusi Ritel Indonesia
Sebelum kita menganalisis lebih jauh tentang perkembangan industri ritel Indonesia dengan persaingan yang terjadi di dalamnya, maka kita perlu
mencermati terjadinya sebuah evolusi peran peritel dalam industri ritel Indonesia. Perubahan atau evolusi inilah yang pada akhirnya menjadi pangkal dari
permasalahan ritel yang selama ini muncul.
Sebagaimana diketahui, awalnya peran peritel adalah sama, mereka adalah pemilik tempat untuk menampung barang atau produk yang mereka beli dari
produsen atau distributor. Produk tersebut kemudian dijual kepada konsumen. Pendapatan peritel pada umumnya sama, yakni munculnya selisih harga antara
yang dijual kepada konsumen dengan harga yang diterima dari produsen distributor. Dalam hal ini persaingan antar peritel yang terjadi adalah bagaimana
mereka bisa menyediakan tempat dengan harga yang kompetitif dari setiap produk yang ditawarkannya, sehingga konsumen bisa datang ke tempat peritel
menyediakan barang dagangannya. Dalam konsep ini, bargaining position pemilik produk cukup tinggi, terlebih bagi produk dengan brand image yang kuat
atau pemasok yang memiliki lebih dari satu jenis produk dan umumnya menjadi penguasa pasar, hal ini misalnya terlihat dari Unilever dan P G.
Tetapi dalam perjalanannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, hadirnya tempat belanja dengan suasana yang nyaman juga menjadi sesuatu yang penting di
samping harga yang murah. Setelah itu kemudian berkembang lagi konsep one stop shopping
, yang menawarkan segala fasilitas dan produkjasa yang diinginkan oleh seluruh anggota keluarga konsumen. Maka kemudian berkembanglah pusat-
pusat perbelanjaan dengan penyediaan produk atau fasilitas yang selengkap
mungkin.
Dalam konsep seperti ini, kemudian berkembang sebuah model yang sama sekali baru. Beberapa peritel terutama peritel global, yang mengembangkan model
pengelolaan ritel yang jauh berbeda dari sebelumnya. Hal ini terjadi seiring dengan keberhasilan mereka mengembangkan bisnisnya sehingga menjadi market
leader di pasar. Tidak itu saja, mereka bahkan berkembang menjadi pencipta
traffic mendatangkan konsumen ke satu tempat seperti pusat perbelanjaan.
Dalam hal inilah maka pelan tapi pasti peritel berkembang memiliki bargaining position
yang kuat dibandingkan pesaing lain atau bahkan mitra kerjanya terutama pemasok. Posisi pemasok kemudian menjadi semkain terjepit, karena pada saat
yang bersamaan mereka harus berhadapan dengan pesaingnya sesama pemasok,
bahkan untuk produk-produk yang bisa menjadi substitusi produknya.
Posisi menjadi terbalik, pemasok berubah menjadi pihak yang sangat membutuhkan tempat dimana produknya akan dijual. Dan karena tempat tertentu
itu identik dengan merekformat tertentu dari peritel, maka kemudian peritel tersebut memiliki kesempatan untuk mengeksploitasi konsumen. Mereka
kemudian memandang bahwa bargaining position ini bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pendapatan tambahan dari pelaku usaha pemasok melalui berbagai
cara. Sejak saat itulah, kemudian pendapatan tambahan dari pemasok bermunculan antara lain terutama dalam bentuk trading terms, yang merupakan
sekelompok biaya yang harus dipenuhi oleh para pemasok apabila produknya mau
dijual di gerai peritel.
Kini bahkan trading terms benar-benar telah menjelma menjadi sebuah model untuk mendapatkan tambahan penghasilan bagi peritel. Konsep ritel tradisional
yang tidak lebih dari sekedar menjual barang yang didatangkan atau diperoleh dari produsen berkembang menjadi juga tempat dimana peritel sebesar-besarnya
menjual lokasi tempat penjualan produk dengan brand image peritel di dalamnya.
Mengingat peritel ini pencipta traffic dan penyedot terbesar perhatian konsumen, maka pemasok seolah memiliki kewajiban untuk menempatkan produknya di
gerai-gerai peritel besar tersebut. Inilah yang menyebabkan potensi eksploitasi menjadi semakin besar seiring dengan perkembangan industri ritel keseluruhan.
Menjadi pertanyaan besar, apakah ritel dengan menjual tempat di dalamnya bagi pemasok masih dapat dikategorikan sebagai peritel ? Masihkah Carrefour, Giant
dan Hypermart dikategorikan sebagai peritel kalau definisi ritel mengacu kepada
format ritel ketika pertama kali muncul?
5.2. Persaingan dalam Industri Ritel Indonesia