keberhasilan pengendalian HIV. Sebanyak 40 persen pasien HIV di Indonesia meninggal dunia karena infeksi TB dan penyebarannya mencapai lima kali lipat di
negara-negara dengan prevalensi HIV yang tinggi Gambit, 2007.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis di RSUP H.Adam Malik, Medan dari tahun 2008 hingga 2010.
1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 TUJUAN UMUM
Menentukan Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Pusat RSUP Haji Adam Malik, Medan dari tahun 2008 hingga 2010.
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
berdasarkan usia. 2. Untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
berdasarkan jenis kelamin. 3. Untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
berdasarkan status sosioekonomi. 4. Untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
berdasarkan faktor risiko.
Universitas Sumatera Utara
1.4 MANFAAT
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Agar masyarakat mengerti bahaya penyakit tuberkulosis pada pasien HIV
yang dapat menyebabkan kematian sehingga dapat dilakukan pencegahan sejak dini.
2. Agar menjadi panduan kepada institusi kesehatan pendidikan dan sebagai masukan kepada Rumah Sakit Umum Pusat RSUP Haji Adam Malik, Medan
untuk merencanakan suatu strategi pelayanan kesehatan yang lebih baik dalam pencegahan tuberkulosis pada pasien HIV.
3. Peneliti pula dapat mengembangkan pengetahuan dan kemahiran dalam bidang penelitian serta mengaplikasikan teori yang pernah peneliti peroleh sepanjang
mengikuti kuliah dan menambah pengetahuan peneliti tentang tuberkulosis pada penderita HIV.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV Human Immunodeficiency Virus 2.1.1 Definisi atau pengertian HIV
Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari
Perancis, yang awalnya menamakannya LAV lymphadenopathy-associated virus dan oleh Robert Gallo
2.1.2 Epidemiologi HIV
dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III human T lymphotropic virus type III. HIV adalah anggota dari genus
lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari host-sel awal yang mengelilingi
sebuah pusat proteinRNA. HIV-1 dan HIV-2 adalah dua sepsis HIV yang menginfeksi manusia. HIV-1 adalah yang lebih virulent dan lebih mudah menular,
dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia sedangkan HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika Barat Puraja, 2008.
Dari semua wilayah di dunia, sub-Sahara Afrika adalah yang paling sering terjangkit HIV, yang mengandung sekitar 70 dari orang yang hidup dengan
HIV. Sebagian besar negara di Asia tidak melihat ledakan epidemi pada masyarakat umum sampai sekarang tapi penggunaan narkoba dan pekerja seks
mula meningkat dan menghancurkan harapan demikian Morison, 2001. Suatu temuan terbaru menyatakan bahwa prevalensi HIV global telah stabil
pada 0,8 dengan 33 juta orang yang hidup dengan HIV yaitu 2,7 juta infeksi baru, dan 2,0 juta kematian di tahun 2007 Peter, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Sejak awal abad ke-21, peningkatan jumlah kasus semakin mencemaskan di Indonesia. Pada akhir tahun 2003, 25 provinsi telah melaporkan adanya kasus
AIDS. Para ahli epidemiologi Indonesia dalam kajiannya tentang kecenderungan epidemi HIV dan AIDS memproyeksikan bahwa apabila tidak ada peningkatan
upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan pada
tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang Komisi Penanggulangan AIDS.
2.1.3 Risiko Penularan dan Transmisi
Penularan HIV membutuhkan kontak dengan cairan tubuh khususya darah, air mani, cairan vagina, air susu ibu, air liur, atau eksudat dari luka atau kulit dan
mukosa yang mengandungi virion bebas atau sel yang terinfeksi. Transmisi umumnya oleh perpindahan cairan tubuh secara langsung melalui hubungan
seksual, berbagi jarum yang terkontaminasi darah, persalinan, menyusui dan prosedur medis seperti transfusi dan paparan instrumen yang terkontaminasi
McCutchan, 2009.
2.1.4 Patofisiologi HIV
Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan
infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya homeostasis
dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas. Gejala
penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas seluler, disamping imunitas humoral karena gangguan sel T helper Th untuk
mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme, antara lain: terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi
Universitas Sumatera Utara
oportunistik, terjadinya reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas dan
kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum
suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada
permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4 saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi dapat diinfeksi oleh HIV
yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus
kedalam sel. Di samping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya HIV ke dalam sel
yaitu CCR5 dan CXCR4 Merati, 1999. HIV yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, ‘membajak’ sel tersebut, dan
kemudian menjadikannya sebagai medium yang membuat miliaran tiruan virus. Ketika proses tersebut selesai, sel mirip HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke
sel CD4 yang lain. Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel ini hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi
tubuh kita dari serangan penyakit. Keadaan ini membuat kita mudah terseranÐÏÎÍB
Universitas Sumatera Utara
t, karena dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh yang sehat.
Karena kuman tersebut memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh sistem kekebalan tubuh yang rusak, penyakit yang disebabkannya disebut infeksi
oportunistik Yayasan Spritia, 2009.
2.1.5 Gejala klinis
Gejala HIV akan berbeda dari orang ke orang dan juga akan tergantung pada tahap penyakit. Seseorang tidak akan mengalami perubahan dalam kesehatan
mereka secara segera setelah terinfeksi. Indikasi pertama infeksi adalah seperti gejala flu, ruam atau kelenjar yang membengkak dan sering dianggap sebagai
gejala minor. Ada empat tahapan yang berbeda pada HIV dengan gejala yang berbeda.
IHIV-Akut
Beberapa minggu setelah terpapar virus HIV, beberapa orang mengalami penyakit yang disebut sindrom HIV akut. Indikator fase pertama infeksi meliputi
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar getah bening, kelelahan, hilangnya nafsu makan, diare, ruam kulit, rasa mual dan nyeri otot. Ini
adalah gejala awal dan akan terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah terinfeksi virus. Selama tahap awal, sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi
antibodi HIV dan limfosit sitotoksik sebagai respons terhadap HIV.
IIHIV-Asimtomatik
Tahap kedua dari penyakit ini dikenal sebagai asimtomatik. Ini karena, selama pasien mengambil obatan yang dipreskripsi, mereka bebas dari gejala.
Tingkat HIV juga turun ke tingkat yang lebih rendah. Pasien harus sedar bahwa meskipun gejala-gejala tidak lagi hadir, virus ini masih berkembang biak dan
menghancurkan sel-sel kekebalan tubuh pasien dan obat-obatan harus diambil
Universitas Sumatera Utara
secara konsisten untuk memaksimalkan kualitas hidup pasien. Tahap ini berlangsung rata-rata dari 8 hingga 10 tahun.
IIIHIV–Simtomatik
Pada saat infeksi ini, sistem kekebalan tubuh telah rusak dengan parah oleh HIV. Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa hal ini terjadi seperti
kerusakan kelenjar getah bening dan jaringan yang sudah bertahun lamanya. HIV bermutasi dan menjadi lebih kuat serta lebih bervariasi dan langsung
menyebabkan kerusakan sel tubuh yang lebih banyak sehingga tidak mampu bersaing dan
menggantikan sel T pembantu yang hilang. Gejala klinis tahap ketiga meliputi keringat malam, pembengkakan kelenjar getah
bening secara menetap, demam persisten, infeksi kulit, sesak nafas dan batuk kering. Tahap ini berlangsung hampir untuk 1 hingga 3 tahun.
IV
Tahap terakhir adalah perkembangan dari HIV menjadi AIDS di mana infeksi oportunistik seperti radang paru-paru, penyakit syaraf atau jenis kanker tertentu
berkembang dan bermanifestasi. Diagnosis AIDS ditentukan apabila pasien dengan HIV mengembangkan satu atau lebih dari sejumlah tertentu infeksi
oportunistik atau kanker. Saat ini tidak ada obat untuk AIDS. Namun ada sejumlah perawatan yang tersedia untuk membantu memperpanjang rentang hidup
dan kualitas hidup pasien dengan HIV dan AIDS Hunt, 2009.
Perkembangan dari HIV
2.1.6 Diagnosa
Infeksi HIV biasanya didiagnosis dengan tes darah yang mendeteksi antibodi tubuh dalam upaya untuk memerangi virus. Hal ini dapat memakan waktu bagi
sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi yang cukup untuk tes antibodi untuk mendeteksi mereka. Periode ini sering disebut sebagai “periode
jendela” dan dapat mengambil masa enam minggu sampai tiga bulan setelah
Universitas Sumatera Utara
infeksi. Pengujian awal sangat penting, karena pengobatan awal untuk HIV membantu orang menghindari atau meminimalkan komplikasi. Selain itu, perilaku
berisiko tinggi dapat dihindari, sehingga mencegah penyebaran virus ke orang lain.
Pengujian HIV terdiri dari 2 proses. Pertama, tes skrining dilakukan. Jika tes positif, tes kedua Western blot dilakukan untuk mengkonfirmasi hasilnya. Enzim
Immunoassay EIA yang digunakan pada darah adalah tes skrining yang paling umum. Tes EIA lain dapat mendeteksi antibodi dalam cairan tubuh selain darah
seperti cairan oral, urine, dan cairan vagina. Rapid Test pula adalah tes skrining alternatif yang menghasilkan hasil yang cepat di sekitar 20 menit. Ada tes yang
disetujui FDA yang menggunakan darah atau cairan oral. Tes-tes ini memiliki tingkat akurasi yang sama dengan tes EIA tradisional. Selain itu, alat tes HIV atau
home-testing kits tersedia di banyak toko obat lokal. Darah diperoleh dengan menusukkan jari terlebih dahulu dan kemudian darah diusap pada strip filter.
Darah dimasukkan ke dalam amplop pelindung dan dikirimkan ke laboratorium untuk diuji. Semua tes skrining yang positif harus dikonfirmasi dengan tes darah
yang disebut Western blot untuk menegakkan diagnosisnya jka positif. Pada individu yang tidak terinfeksi HIV, jumlah sel CD4 dalam darahnya
normal iaitu di atas 500 sel per milimeter kubik mm3 darah. Pada orang yang disuspek menghidap HIV, dihitung jumlah sel CD4 nya. Orang yang terinfeksi
HIV umumnya tidak beresiko menghadapi komplikasi sehingga sel CD4nya menjadi kurang dari 200 sel per mm3. Pada kadar CD4 ini, sistem imun tidak
berfungsi baik dan makin menurun. Pasien-pasien yang mempunyai sel CD4 kurang dari 200 sel per mm3 disebut sebagai kondisi imunosupresi. Penurunan
jumlah sel CD4 artinya membuktikan bahwa penyakit HIV tersebut sedang berlanjut. Jadi, sel CD4 yang rendah adalah sinyal bahwa orang tersebut dalam
resiko terhadap satu atau banyak infeksi yang tidak biasa disebut infeksi
Universitas Sumatera Utara
oportunistik yang terjadi pada individu dalam keadaan imunosupresi Szeftel ,
2.1.7 Penatalaksanaan
2010.
Ketika HIV pertama kali diidentifikasi pada awal tahun 1980, ada beberapa
obat yang digunakan untuk mengobati virus dan infeksi oportunistik yang terkait dengannya. Sebuah panel ahli AIDS terkemuka telah mengembangkan
rekomendasi untuk penggunaan obat anti-retroviral pada orang dengan HIV. Tujuan ART Anti-Retroviral Therapy adalah untuk mengurangi jumlah virus
dalam darah meskipun hal ini tidak berarti bahwa virus akan hilang. Hal ini biasanya dicapai dengan kombinasi tiga atau lebih obat-obatan.
Meskipun tidak ada obat untuk memerangi AIDS, obat telah sangat efektif dalam memerangi HIV dan komplikasinya. Pengobatan membantu mengurangi
virus HIV dalam tubuh, menjaga sistem kekebalan tubuh sesehat mungkin dan menurunkan komplikasi. Berikut adalah beberapa obat yang disetujui oleh US
Food and Drug Administration FDA untuk mengobati HIV dan AIDS :
Obat ini menghambat kerja virus dari duplikasi, yang dapat memperlambat penyebaran HIV dalam tubuh. Antaranya adalah, Abacavir Ziagen, ABC,
Didanosine Videx, dideoxyinosine, ddI, Emtricitabine Emtriva, FTC, Lamivudine Epivir, 3TC, Stavudine Zerit, d4T, Tenofovir Viread, TDF,
Zalcitabine Hivid, ddC dan Zidovudine Retrovir, ZDV or AZT. Kombinasi NRTI disarankan untuk diambil pada dosis yang lebih rendah dan
mempertahankan effektivitasnya.
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors NRTI.
Universitas Sumatera Utara
Obat-obat yang disetujui FDA ini menghambat replikasi virus pada tahap lanjut dalam siklus hidup virus. Protease inhibitors meliput i Amprenavir
Agenerase, APV, Atazanavir Reyataz, ATV, Fosamprenavir Lexiva, FOS, Indinavir Crixivan, IDV, Lopinavir Kaletra, LPVr, Ritonavir Norvir, RIT
dan Saquinavir Fortovase,Invirase, SQV.
Protease Inhibitor PI
Pengobatan lain :
Fusion inhibitor adalah obat dari kelas baru yang bertindak melawan HIV dengan mencegah virus dari bergabung dengan bagian dalam sel sekaligus
mencegah dari replikasi. Kelompok obat-obatan termasuk Enfuvirtide yang juga dikenal sebagai Fuzeon atau T-20.
Fusion Inhibitors
Pada tahun 1996, terapi antiretroviral ART diperkenalkan untuk orang dengan HIV dan AIDS. ART sering disebut sebagai anti-HIV cocktail iaitu
kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan, seperti Protease Inhibitors dan obat anti-retroviral yang lain. Pengobatan ini sangat efektif dalam memperlambat virus
HIV bereplikasi sendiri. Tujuan ART adalah untuk mengurangi jumlah virus dalam tubuh atau viral load ke tingkat yang tidak bisa lagi dideteksi dengan tes
darah.
Highly Active Antiretroviral Therapy HAART
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors NNRTIs memblok infeksi sel baru HIV. Obat-obat ini dapat ditentukan dalam kombinasi dengan obat anti-
retroviral lainnya. NNRTs meliputi Delvaridine Rescriptor, DLV, Efravirenz Sustiva, EFV dan Nevirapine Viramune, NVP Coffey, 2007.
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors NNRTI
Universitas Sumatera Utara
2.1.8 Prognosa dan pencegahan
Para peneliti telah mengamati dua pola umum penyakit pada anak yang terinfeksi HIV. Sekitar 20 persen dari anak-anak mengembangkan penyakit serius
pada tahun pertama kehidupan, sebagian besar anak-anak ini meninggal pada usia 4 tahun. Perempuan yang terinfeksi HIV dan terdeteksi dini serta menerima
pengobatan yang tepat, bertahan lebih lama daripada pria. Orang tua yang didiagnosis HIV tidak hidup selama orang muda yang memiliki virus ini.
Meskipun ada upaya yang signifikan, namun tidak ada vaksin yang efektif terhadap HIV. Satu-satunya cara untuk mencegah infeksi oleh virus ini adalah
untuk menghindari perilaku yang membuat kita berisiko, seperti berbagi jarum atau berhubungan seks tanpa kondom dan menjauhkan diri dari seks.
Berhubungan seks dengan mitra tunggal yang tidak terinfeksi dan hubungan monogami antara pasangan yang tidak terinfeksi menghilangkan risiko penularan
HIV secara seksual. Kondom menawarkan perlindungan jika digunakan dengan benar dan konsisten. Jika bekerja di bidang kesehatan, ikuti panduan nasional
untuk melindungi diri terhadap jarum tongkat dan paparan cairan terkontaminasi. Risiko penularan HIV dari wanita hamil kepada bayinya secara signifikan akan
berkurang jika ibu mengambil obat selama kehamilan dan persalinan serta bayinya diberi obat untuk enam minggu pertama kehidupan Szeftel,
2010.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Sistem Imun 2.2.1 Definisi
Sistem kekebalan adalah suatu sistem pada semua vertebrata hewan dengan tulang belakang yang dalam istilah umum, terdiri dari dua jenis sel penting iaitu
sel-B dan sel-T. Sel-B bertanggung jawab untuk produksi antibodi protein yang dapat mengikat bentuk molekul tertentu , dan sel-T bertanggung jawab dalam
membantu sel-B untuk membuat antibodi, atau atas pemusnahan sel asing kecuali bakteri di dalam tubuh. Dua jenis utama dari sel-T adalah sel-T pembantu dan
sel-T sitotoksik. Setiap kali ada zat asing atau agen memasuki tubuh kita, sistem kekebalan tubuh diaktifkan. Sel- B-dan sel-T menemui ancaman dan akhirnya
menghasilkan substansi penghapusan dari tubuh kita Brown, 1995. Sistem imun ini melibatkan semua mekanisme yang digunakan oleh
tubuhuntuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Pertahanan tersebut terdiri atas sistem imun alamiah atau non-spesifik naturalinnate dan didapat atau spesifik adaptiveacquired Baratawidjaja,
1996.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 di atas menunjukkan cabangan pada sistem imun Dikutip dari Buku Immunologi Dasar, Edisi Ketiga, 1996
2.2.2 Defisiensi imun Kehadiran defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda dari
peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Defisiensi imun primer atau kongenital diturunkan, tetapi defisiensi imun sekunder atau didapat ditimbulkan berbagai
faktor setelah lahir. Penyakit defisiensi imun sering dikaitkan dengan limfosit,
komplemen dan fagosit. Defisiensi imun terbahagi kepada dua iaitu Defisiensi
Imun Non-Spesifik dan Defisiensi Imun Spesifik. HIV digolongkan dalam
Defisiensi Imun Spesifik Baratawidjaja, 1996.
Universitas Sumatera Utara
Defisiensi Imun Non-Spesifik
A.Defisiensi Komplemen 1 Komplemen Kongenital
2 Komplemen Fisiologik 3 Komponen Didapat
B.Defisiensi Interferon dan Lisozim
1 Interferon Kongenital 2 Interferon dan Lisozim
Sekunder
C.Defisiensi Sel NK 1 Sel NK Kongenital
2 Sel NK Didapat
D.Defisiensi Sistem Fagosit 1 Fagosit Kongenital
2 Fagosit Fisiologik 3 Fagosit Didapat
Defisiensi Imun Spesifik
A.Defisiensi Kongenital
B.Defisiensi Fisiologik 1 Kehamilan
2 Usia Lanjut
C.Defisiensi Didapat 1 Malnutrisi
2 Infeksi 3 HIVAIDS
4 Obat 5 Penyinaran
6 Penyakit berat 7 Kehilangan IgLeukosit
8 Agamaglobulinemia dengan timoma
Tabel 2.1 menunjukkan pembagian defisiensi sistem imun Dikutip dari Buku Immunologi Dasar, Edisi Ketiga, 1996
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Defisiensi Imun Spesifik Didapat 2.2.3.1 Sindrom Defisiensi Imun Didapat HIV
Human Immunodeficiency Virus HIV telah diakui sebagai virus penyebab AIDS. Virus golongan retroviridae ini adalah limfotropik dan menimbulkan efek
sitopatologik pada sel ThhelperinducerT4. Virus ini hidup dan berkembang biak di dalam sel Th dan mengakibatkan hancurnya sel-sel tersebut. Virus diikat
petanda permukaan T4 sehingga sel tersebut dibunuhnya, dengan akibat jumlah T4 di bawah T8.
Efek sitopatologik HIV tersebut menimbulkan limfopenia yang selektif pada Th, sehingga perbandingan Th:Ts atau perbandingan T4:T8 menjadi terbalik atau
lebih kecil daripada 1. Induksi sel T diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel- sel faktor sistem imun lainnya agar tetap baik. Pada HIVAIDS, sel Th tidak
berfungsi dengan baik, karenanya tidak dapat memberikan induksi yang diperlukan. Gangguan kuantitas dan kualitas sel Th akan menimbulkan kerentanan
yang meninggi terhadap infeksi opurtunistik. Sering juga ditemukan peningkatan IgG dan IgA. Dalam serum penderita
AIDS telah ditemukan faktor supresif terhadap proliferasi sel T sehinga sel tersebut tidak memberikan respons terhadap mitogen dan dalam mixed lymphocyte
culture MLC. Beberapa peneliti menduga bahwa faktor supresif tersebut adalah antibody terhadap sel T dan dibentuk oleh sel monosit akibat interaksi dengan sel
T. Mekanisme faktor supresif ini belum jelas, tetapi diduga kerjanya mencegah sintesis dan sekresi limfokin, antara lain interleukin-2 IL-2 atau T cell Growth
Factor. Infeksi HIV tersebut akan menghancurkan dan mengganggu fungsi sel Th
sehingga tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Tanpa adanya induksi Th, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik,sel NK
dan sel B tidak dapat berfungsi dengan baik Baratawidjaja, 1996.
Universitas Sumatera Utara
2.3 TB Tuberkulosis 2.3.1 Definisi
Tuberkulosis TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
yang nama ilmiah adalah Mycobacterium tuberculosis . Ini pertama kali diisolasi
pada tahun 1882 oleh seorang dokter Jerman bernama Robert Koch yang menerima hadiah Nobel untuk penemuan ini. TB paling sering mempengaruhi
paru-paru, tetapi juga dapat melibatkan hampir semua organ tubuh George, 2010.
2.3.2 Epidemiologi TB
Prevalensi tertinggi infeksi tuberkulosis dan taksiran tahunan risiko infeksi tuberkulosis berada di sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Secara keseluruhan,
hampir 3,8 juta kasus tuberkulosis dilaporkan di dunia dalam 1990, dimana 49 berada di Asia Tenggara. Pada tahun 1990, 7,5 juta kasus diperkirakan dan 2,5
juta angka kematian dicatat di seluruh dunia Raviglione, 1995. TB merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia. Selain itu,
Indonesia menduduki peringkat ke-3 di kalangan negara dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia
adalah sekitar 5,8 dari total jumlah pasien TB dunia. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000
orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70 usia produktif. Dalam pada itu
kerugian ekonomi akibat TB juga cukup besar Bakti Husada, 2010.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Faktor Risiko Beberapa faktor risiko infeksi tentu saja termasuk riwayat kontak pasien
dengan TB menular, misalnya dalam pengaturan rumah tangga, penjara dan
pekerjaan tertentu, seperti kerja di rumah sakit. Perkembangan penyakit dapat
difasilitasi oleh co-morbiditas, seperti HIV AIDS, diabetes atau silikosis, serta kekurangan gizi dan merokok. Selain itu, hasil yang merugikan secara langsung
atau secara tidak langsung berhubungan dengan alkoholisme dan penggunaan obat intravena serta kemiskinan WHO, 2005.
2.3.3.1 Bagaimana pasien HIV bisa terinfeksi Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis, organisme penyebab tuberkulosis menyebar hampir secara eksklusif melalui jalur pernafasan. Orang dengan TB paru aktif
menularkannya melalui batuk atau bersin. Ketika seorang individu rentan menghirup partikel berukur 10 mikron, ia akan mencapai alveoli kantung udara
kecil di paru-paru, dan menetapkan infeksi TB. Dengan sistem kekebalan yang kuat, pasien tidak akan mengembangkan penyakit TB. Orang dengan infeksi TB
laten adalah asimtomatik dan tidak menyebarkan TB ke orang lain. Satu-satunya bukti bahwa mereka telah memiliki infeksi TB adalah hasil tes kulit tuberkulin
positif. Karena depresi sistem imunitas pada pasien dengan penyakit HIV, sistem kekebalan tubuh tidak dapat melawan organisme yang menyerang tubuh.
Multiplikasi yang cepat terjadi pada pelbagai lokasi organ secara bersamaan. Pasien dengan penyakit HIV mungkin tidak dapat membatasi multiplikasi
Mycobacterium tuberculosis dan dengan demikian orang yang terinfeksi HIV mungkin memiliki kerusakan multiorgan Verma, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Patogenesis 2.3.4.1 Tuberkulosis Primer
Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik
yang disebut sarang primer atau afek primer atau sarang fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivitas. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus limfangitis regional. Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus limfadenitis regional. Sarang primer limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer
Ranke. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat sembuh sama sekali tanpa meninggalkan kecacatan. Ini sering
terjadi atau pasien bisa sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis- garis fibrotik dan kalsifikasi di hilus.
2.3.4.2 Tuberkulosis Sekunder Post - Primer
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa. Mayoritas reinfeksi
mencapai 90. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun yang disebabkan malnutrisi, pengambilan alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal
ginjal. TB post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru bagian apikalposterior lobus superior atau inferior. Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru. Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan
proses yang berlebihan antara sitokin dengan TNF-nya Israr, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Gejala Klinis Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik. 2.3.5.1 Gejala sistemikumum
Gejala sistemik yang bisa ditemui adalah seperti, batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu dapat disertai dengan darah, demam tidak terlalu tinggi yang
berlangsung lama, penurunan nafsu makan dan berat badan dan perasaan tidak enak malaise serta lemah.
2.3.5.2 Gejala khusus:
Gejala khusus tergantung dari organ tubuh mana yang terkena. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus saluran yang menuju ke paru-paru akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak. Kalau ada cairan di rongga pleura
pembungkus paru-paru, timbul keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang. Pada anak-anak dapat mengenai otak
lapisan pembungkus otak dan disebut sebagai meningitis radang selaput otak dan gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-
kejang Werdhani, 2008.
2.3.5.3 Gejala klinis pada pasien HIV yang terinfeksi Tuberkulosis
Antara gejala klinis yang ditemui pada pasien HIV yang menderita Tuberkulosis adalah seperti batuk yang berlanjutan selama tiga minggu atau lebih,
kekurangan berat badan, demam selama empat minggu atau lebih, berkeringat di malam hari selama empat minggu atau lebih, indeks massa tubuh BMI 18 atau
kurang, dan limfadenopati di bawah kulit, batuk berdahak, nyeri dada, kelemahan atau kelelahan, kurangnya nafsu makan Werdhani, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.3.6 Diagnosa
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah anamnesis yang baik
terhadap pasien maupun keluarganya, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium darah, dahak, cairan otak, pemeriksaan patologi anatomi PA,
Rontgen dada dan Uji tuberkulin Werdhani, 2008. Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen
yang positif, perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka
penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan harus dilakukan. Bila
tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas misalnya Kotrimoksasol atau Amoksisilin selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan,
namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau
hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB
BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB. Beberapa gambaran yang patut dicurigai sebagai proses
spesifik adalah infiltrat, kavitas, kalsifikasi dan fibrosis pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif dengan lokasi di lapangan atas
paruapeks Werdhani, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium melibatkan darah, sputum, tes tuberkulin, serologi, Enzym linked immunosorbent assay ELISA , Mycodot, dan Uji peroksidase anti
peroksidase PAP Israr, 2009.
2.3.8 Penatalaksanaan 2.3.8.1 Perawatan Medis
Tujuan pengobatan penderita tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau timbulnya resistensi
terhadap OAT dan memutuskan rantai penularan. Prinsip pengobatan obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan, agar semua kuman termasuk kuman persisten dapat dibunuh. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat jenis, dosis
dan jangka waktu pengobatan, kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat resisten. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif awal penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap semua Obat
Anti TB OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Sedangkan pada tahap lanjutan penderita mendapat
jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Paduan Obat Anti TB OAT di Indonesia berdasarkan WHO dan IUATLD
International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases merekomendasikan paduan OAT standar yang dibahagi pada 3 kategori iaitu
kategori 1 2 HRZE 4 H3R3 atau 2 HRZE 4 HR atau 2 HRZE 6 HE; kategori 2 2 HRZES HRZE 5 H3R3E3 atau 2 HRZES HRZE 5 HRE; kategori 3 2
HRZ 4 H3R3 atau 2HRZ 4 HR atau 2 HRZ 6 HE. Program Nasional
Universitas Sumatera Utara
Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan paduan OAT, yaitu : kategori 1 2 HRZE 4 H3R3; kategori 2 2 HRZES HRZE 5 H3R3E3; dan paduan obat
sisipan HRZE. Obat kategori 1 adalah 2 HRZE 4 H3R3. Tahap intensif terdiri dari
isoniazid H, rifampisin R, pirazinamid Z, dan ethambutol E. Obat–obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan 2 HRZE. Tahap ini diteruskan
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniazid H dan rifampisin R yang diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan pada
penderita baru TB Paru BTA positif , penderita TB Paru BTA negatif rontgen positif yang secara klinis sakit berat, dan penderita TB Ekstra Paru yang secara
klinis sakit berat. Obat kategori 2 adalah 2 HRZES HRZE 5 H3R3E3. Tahap intensif
terdiri dari isoniazid H, rifampisin R, pirazinamid Z, ethambutol E dan suntikan streptomisin setiap hari di unit pelayanan kesehatan selama 2 bulan.
Tahap ini dilanjutkan dengan isoniazid H, rifampisin R, pirazinamid Z, dan ethambutol E setiap hari selama 1 bulan. Setelah itu diteruskan dengan tahap
lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat kategori 2 ini diberikan pada penderita kambuh relaps, penderita gagal
failure, dan penderita dengan pengobatan yang lalai after default. Obat sisipan HRZE diberikan apabila pada akhir tahap intensif dari
pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil pemeriksaan sputum masih BTA positif. Obat sisipan HRZE diberikan setiap hari selama 1 bulan. Kini telah
diperkenalkan obat dalam bentuk FDC Fixed Dose Combination Kombinasi Dosis Tetap. Dalam satu tabletnya terdiri dari 2,3 atau 4 obat sekaligus. Obat
jenis ini harus diproduksi secara baik untuk menjamin bioavailabilitas obat-obat yang tercampur dalam satu tablet. WHO menganjurkan obat 4 FDC, yang berisi
Universitas Sumatera Utara
rifampisin 150 mg, INH 75 mg, ethambutol 275 mg, dan pirazinamid 400 mg, diberikan satu tablet untuk setiap 15 kilogram berat badan Israr, 2009.
2.3.8.2 Perawatan Bedah
Bedah reseksi dari paru-paru yang terinfeksi dapat dianggap untuk mengurangi beban bacillary pada MDR-TB. Prosedur termasuk segmentektomi
jarang digunakan, lobektomi, dan pneumonektomi. Komplikasi meliputi komplikasi perioperatif biasa, penyakit kambuhan, dan fistula bronkopleural
2.3.9 Prognosa dan Pencegahan
Thomas, 2007.
Prognosis untuk pemulihan dari TB baik untuk sebagian besar pasien jika
penyakit ini didiagnosis dini dan diberikan pengobatan yang awal dengan obat yang sesuai dengan rejimen jangka panjang. M
TB adalah penyakit yang dapat dicegah. Pengujian kulit PPD untuk TB digunakan di populasi berisiko tinggi atau pada orang yang mungkin telah terkena
TB, seperti pekerja kesehatan. Tes kulit positif menunjukkan pajanan TB dan infeksi tidak aktif. Orang yang telah terpapar pada TB harus langsung diuji dan
harus melakukan ujian lanjutan jika tes pertama negatif. Pengobatan dini sangat penting dalam mengendalikan penyebaran TB dari orang-orang yang memiliki
penyakit TB aktif kepada mereka yang tidak pernah terinfeksi TB. Beberapa negara dengan tingginya insiden TBC menyediakan vaksinasi BCG untuk
masyarakat supaya mencegah TB Dugdale, 2009. etode bedah moden memiliki hasil
yang baik dalam banyak kasus Cramer, 2006.
2.3.10 Perawatan Pasien HIV yang terinfeksi TB
Manajemen pengobatan TB pada orang dengan HIV pada dasarnya sama seperti untuk pasien tanpa HIV tetapi ada beberapa perbedaan penting. Regimen
yang direkomendasikan pada orang dewasa terinfeksi HIV saat penyakit
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh organisme yang diketahui atau dianggap menjadi peka terhadap lini pertama obat adalah rejimen 6 bulan yang terdiri daripada fase awal isoniazid
INH, rifampisin, pirazinamid PZA, dan ethambutol EMB untuk 2 bulan yang pertama dan fase kelanjutan dari INH dan rifampisin untuk 4 bulan terakhir.
Pasien dengan jumlah CD4 100 μl harus ditangani setiap hari atau 3 kali per
minggu baik di fase awal mahupun fase lanjut. Durasi terapi selama enam bulan perlu dipertimbangkan sebagai jangka waktu minimal pengobatan untuk orang
dewasa dengan HIV. Terapi harus diperpanjang sampai 9 bulan untuk pasien terinfeksi HIV dengan responnya kurang baik terhadap terapi awal. Harus diberi
perhatian dalam mengobati TB pada orang yang terinfeksi HIV karena interaksi rifampisin RIF dengan agen antiretroviral yang lain.
Directly observed therapy DOT dan tindakan lain harus mempromosikan
strategi yang bisa digunakan pada semua pasien TB yang berhubungan dengan HIV. Perawatan untuk pasien HIV dengan TB harus mencakup perhatian terhadap
kemungkinan kegagalan pengobatan TB, kegagalan pengobatan antiretroviral, efek samping untuk semua obat yang dipakai, dan toksisitas obat CDC, 2008.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian adalah karakteristik pasien HIV dengan Tuberkulosis :
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Penderita HIV dengan
Tuberkulosis Karakteristik penderita
berdasarkan : - Usia
- Jenis Kelamin - Faktor Risiko
- Status sosioekonomi - Infeksi Opurtunistik Lain
Universitas Sumatera Utara
3.2. Definisi Operasional Variabel
1 Karakteristik didefinisikan sebagai sebuah fitur yang membantu untuk mengidentifikasi, membedakan, atau menggambarkan suatu tanda atau ciri
Livingstone, 1982 yaitu karakteristik pasien HIV dengan Tuberkulosis dari Juli 2008 sehingga 31 Juli 2010 di RSUP Haji Adam Malik.
2 Usia adalah umur pasien yaitu golongan umur 10-20 tahun, 21-50 tahun, 51-65 tahun dan lebih daripada 65 tahun.
3 Jenis kelamin adalah gender pasien yang terdapat pada status penderita HIV yang dikategorikan kepada 2 kelompok yaitu laki-laki dan perempuan.
4 Faktor risiko adalah berdasarkan heteroseksual, homoseksual, biseksual, transfusi darah,IDU Injecting Drug Users dan perinatal.
5 Status sosioekonomi berdasarkan penelitian mencakup tingkat pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi tingkat pendidikan, dibahagi kepada tidak
bersekolah, SD, SMP, SMU, Akademi dan Universitas. Bagi pekerjaan pula dibahagi kepada tidak bekerja atau bekerja. Bagi tempat tinggal pula,
dibahagikan kepada 15 jenis kotakabupaten yang berbeda. 6 Infeksi Opurtunistik lain pula adalah sama ada pasien menderita infeksi
opurtunistik lain atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian