Tertebang II Proses Visualisasi
pepohonan, permainan gelap terang pada lukisan ini terlihat jelas pada objek rerumputan yang berwarna hijau muda kekuningan serta pepohon yang terkena
cahaya. Analisis bentuk dalam pengelolaan prinsip penyusunan elemen rupa pada
lukisan ini pohon yang tertebang menjadi point of interest yang didukung oleh pepohonan yang ada disekitaran objek, prinsip selanjutnya yaitu pada objek
pepohonan dengan rerumputan disekitarnya agar terwujudnya harmoni dengan warna warna pohon yang tidak terlalu kontras atau bertentangan dengan objek
lainya, pepohonan yang ada dikanan dan kiri lukisan dibuat agar bisa mendatapkan komposisi keseimbangan dalam objek lukisan kemudian objek
pepohonan satu dengan lainya yang lurus vertikal tersebut dibuat agar terwujudnya proporsi agar terlihat dinamis pada objek lukisan, kesan cahaya pada
lukisan berikut yang paling diutamakan yaitu pada bagian-bagian objek dengan permainan warna hijau dan coklat pada objek lukisan yaitu pada objek rerumputan
dan pepohonan daun dan ranting yang tersinari cahaya membentukkan ruang yang terlihat pada lukisan,
Dalam pewarnaan untuk objek pohon warna gelap menggunakan warna Brown Umber dan Brunt Sienna dengan sedikit warna Sapp Green dengan sedikit
Yellow Ocher agar terlihat sedikit tekstur pada pohon tersebut, untuk daun lebih banyaknya menggunakan warna Sapp Green dan Green dengan campuran warna
Yellow Ocher dan White Thitanium untuk bagian daun dan rumput yang tersinari oleh matahari. Teknik yang digunakan oleh pelukis sama dengan teknik lukisan
lukisan sebelumnya yaitu menggunakan teknik campuran yang menggambungkan
teknik basah dan teknik kering dalam pembuatan lukisan, tetap menggunakan Linseed Oil untuk menciptakan kehalusan pada objek lukisan.
Lukisan ini bercerita tentang pepohonan yang berdiri tegak tumbuh seubur dengan warna dominan pada lukisan adalah hijau, ditambah dengan pancaran
berkas cahaya matahari di sela-sela batang pohon. Sunyi, romantis, syahdu. Jika dilihat lebih dalam, mungkin akan berubah pikiran menyadari sisa tebangan pohon
yang pernah berada disana. Tepat di sebelah pohon yang diberi tanda silang. Ditandai setelah ditakar kematangan usianya. Siap untuk dipanen.Dalam tiap
denyut nadi mereka mengalir kekhawatiran hingga tanggal tebang mengantarkan gergaji kayu menggelitik tubuh mereka perlahan. Menyisakan serbuk kayu dan
kesakitan. Persis seperti saudara-saudaranya yang telah mendahului diangkut dengan truk-truk raksasa buatan manusia, kelak anak cucu adam tiada bisa
menjumpai belantara dimana hawa sejuk dan kesunyian menjadi peredam penatnya perkotaan. Mati sudah apa yang ada di dunia. Manusia, persis, hanya
bisa melihat dengan mata nanar penasaran tentang rimba yang selalu moyang mereka ceritakan. Tentang babi hutan dan macan yang berkeliaran. Tentang
berbatang kayu yang lambat laun dipangkas. Mereka sudah tiada lagi bersama kita. Saat itulah manusia mulai sadar, puluhan tahun lalu kita sama-sama
menunggu waktu. Sang pohon menunggu dibantai, dan si manusia menunggu ajalnya sendiri mengurangi oksigen dengan caranya sendiri.