6. Padatan Terlarut Total
Pada perlakuan BA dan bahan pelapis, Padatan Terlarut Total PTT menurun dari awal hingga 14 HSP kemudian mengalami kenaikan kembali hingga
16 HSP kemudian terjadi penurunan sampai akhir pengamatan. Perlakuan BA 20 ppm menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada perlakuan lainnya setelah 12
HSP. Perlakuan minyak sawit 25 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan cek dan perlakuan lainnya hingga 22 HSP. Pada 16 HSP perlakuan
minyak sawit 25 mempunyai hasil yang lebih tinggi dari cek dan khitosan 1,5 namun secara nyata tidak berbeda dengan lilin lebah 6. Kenaikan yang terjadi
pada 16 HSP mungkin disebabkan karena proses hidrolisis pati menjadi sukrosa. Sukrosa yang dihasilkan akan digunakan untuk proses repirasi klimaterik yang
biasanya terjadi antara 20-22 HSP. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah 1981 peningkatan gula disebabkan karena terjadinya akumulasi gula sebagai
hasil dari degradasi pati, sedangkan penurunan gula disebabkan karena sebagian gula digunakan untuk proses repirasi.
Gambar 21. Pengaruh Perlakuan BA terhadap Padatan Terlarut Total
17 18
19 20
21 22
23
2 4
6 8
10 12 14 16 18 20 22 24 P
a d
a ta
n T
e rl
a ru
t T
o ta
l B
ri x
W aktu Pengamatan HSP
0 ppm 20 ppm
40 ppm Cek
Gambar 22. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Padatan Terlarut Total Berdasarkan Tabel Lampiran 4 ditunjukkan bahwa perlakuan BA
memberikan pengaruh nyata terhadap padatan terlarut total pada 2 dan 4 HSP . Perlakuan bahan pelapis memberikan pengaruh nyata lebih baik terhadap padatan
terlarut total pada 2 HSP dan sangat nyata pada 4 HSP. Interaksi kombinasi perlakuan BA dan bahan pelapis berpengaruh nyata lebih baik terhadap padatan
terlarut total pada 4 HSP dan berpengaruh sangat nyata pada 2 HSP. Tabel 3. Pengaruh Interaksi Kombinasi BA dan Bahan Pelapis terhadap Padatan
Total Terlarut pada 2 dan 4 HSP Waktu
Pengamatan BA
Bahan Pelapis Khitosan
1,5 M. Sawit
25 L. Lebah 6
0 ppm 21.03 a
21.43 a 21.40 a
2 HSP 20 ppm
21.07 a 20.83 a
20.83 a 40 ppm
17.63 b 20.33 a
21.63 a 0 ppm
20.53 abc 21.30 a
21.43 a 4 HSP
20 ppm 19.90 bc
20.97 ab 21.33 a
40 ppm 20.17 abc
19.33 c 20.40 bc
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5
17 18
19 20
21 22
23
2 4
6 8
10 12 14 16 18 20 22 24 P
a d
a ta
n T
e rl
a ru
t T
o ta
l B
ri x
W aktu Pengamatan HSP
Khit osan 1,5 M inyak Saw it
Lilin Lebah Cek
Tabel 3 menunjukkan bahwa kombinasi BA 40 ppm-lilin lebah 6 mempunyai nilai padatan terlarut total paling tinggi namun tidak berbeda nyata
dengan semua kombinasi perlakuan kecuali kombinasi 40 ppm-khitosan 1,5 pada pengamatan 2 HSP. Pada pengamatan 4 HSP, kombinasi BA 0 ppm-lilin
lebah 6 memberikan hasil padatan terlarut total paling tinggi namun tidak berbeda nyata dengan semua kombinasi perlakuan kecuali kombinasi BA 20 ppm-
khitosan 1,5, BA 40 ppm-minyak sawit 25 dan BA 40 ppm-lilin lebah 6. Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal hampir pada semua perlakuan BA
dan perlakuan bahan pelapis tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap padatan terlarut total.
Rasa manis disebabkan adanya peningkatan jumlah gula-gula sederhana dan berkurangnya senyawa fenolik Mattoo et al., 1989. Semakin tinggi nilai
padatan terlarut total maka buah akan semakin manis. Menurut Sjaifullah 1996, kandungan padatan terlarut total menunjukkan derajat ketuaan dan kematangan.
Kadar padatan terlarut total meningkat seiring dengan proses penuaan. Secara umum kadar padatan terlarut total pada buah mengalami penurunan
selama waktu penyimpanan. Semakin lama penyimpanan maka komponen gula yang terurai akan semakin banyak sehingga padatan terlarut total akan semakin
menurun Pratiwi, 2008. Nilai padatan terlarut total bervariasi, karena buah yang digunakan pada setiap pengamatan berbeda destruktif.
7. Total Asam Tertitrasi