FRAKSINASI TINJAUAN PUSTAKA A.

9 Selandia Baru minyak DAG telah terdaftar dalam Food Standards Australia New Zealand FSANZ Empie, 2004.

C. FRAKSINASI

Menurut Gunstone 1997, fraksinasi merupakan proses termomekanikal dimana bahan dasar raw material dipisahkan menjadi dua atau lebih fraksi. Pada dasarnya fraksinasi merupakan suatu teknik pemisahan minyak berdasarkan titik leleh minyak dimana tiap jenis minyak memiliki karakteristik titik leleh yang berbeda-beda. Fraksinasi tersebut menyangkut kristalisasi minyak menjadi beberapa fraksi. Fraksinasi juga digunakan untuk memisahkan asam lemak, mono- dan digliserida, dan turunan minyak lainnya, untuk menghasilkan fraksi dengan sifat yang diinginkan untuk aplikasinya dalam industri pangan, industri sabun, industri oleokimia dan farmasi O’Brien et.al, 2000. Secara umum proses fraksinasi dilakukan dalam dua tahap yaitu proses kristalisasi dengan cara mengatur kondisi suhu, dan tahap kedua memisahkan fraksi tersebut dengan cara penyaringan filtrasi. Menurut Breeding dan Marshal 1995, proses kristalisasi biasanya menggunakan suhu rendah dan proses filtrasinya menggunakan membran press filter. Menurut Winarno 1997, bila suatu lemak didinginkan, hilangnya panas akan memperlambat gerakan partikel-partikel dalam molekul, sehingga jarak antara molekul lebih kecil. Proses kristalisasi membutuhkan tahap nukleasi pembentukan inti kristal. Sekali inti kristal terbentuk maka akan terjadi pertumbuhan kristal pada inti kristal tersebut. Menurut Rye et.al 2005, terdapat tiga macam nukleasi dalam proses kristalisasi lemakminyak, yaitu nukleasi homogen, nukleasi heterogen dan nukleasi sekunder. Nukleasi homogen adalah akibat dari reaksi biomolekuler antara molekul-molekul sejenis yang mengalami supercooling 30 o C atau lebih di bawah titik lelehnya. Inti kristal pada nukleasi homogen ini hanya terbentuk tanpa kehadiran partikel-partikel asing. Adanya pengadukan dan gradien suhu akan menyebabkan nukleasi tidak homogen. Nukleasi heterogen adalah nukleasi yang paling umum terjadi dalam proses kristalisasi. Nukleasi ini dipicu oleh adanya partikel- 10 partikel asing atau pengotor yang bersifat katalis sehingga untuk terjadi nukleasi ini membutuhkan suhu lebih rendah daripada nukleasi homogen. Nukleasi sekunder adalah pembentukan inti kristal karena pengaruh adanya suatu inti kristal yang lain. Antara inti-inti kristal ini membentuk jalinan sehingga mengakibatkan pertambahan ukuran kristal. Nukleasi sekunder biasa terjadi sebagai akibat dari pengadukan. Dalam kristalisasinya, lemak mempunyai sifat polimorfisme, yaitu mampu membentuk lebih dari satu bentuk kristal bergantung pada pola kristalnya. Perbedaan posisi rantai hidrokarbon dan keragaman sudut kemiringan rantai hidrokarbon menyebabkan perbedaan bentuk polimorfisme tersebut. Menurut Metin dan Hartel 2005, bentuk-bentuk polimorfisme lemak sering kali diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan meningkatnya kestabilan berturut-turut, yaitu α, β’ dan β. Bentuk α merupakan bentuk yang paling tidak stabil dengan titik leleh dan kalor laten penggabungan paling rendah. Bentuk β adalah yang paling stabil dengan titik leleh tertinggi dengan titik leleh dan kalor laten yang paling tinggi. Bentuk kristal DAG asimetris 1,2-DAG adalah bilayer yang dibentuk dari orientasi kepala-kepala polar oleh molekul yang memiliki monolayer berdekatan seperti susunan membran fosfolipid. Berbeda dengan bentuk kristal DAG simetris 1,3-DAG yang berbentuk seperti huruf V dengan ikatan hidrogen yang lebih stabil. Bentuk susunan kristal DAG asimetris dan simetris dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Bentuk susunan kristal 1,3-DAG dan 1,2-DAG Sumber : Lo et.al 2007 11 Menurut Gunstone 1997, fraksinasi suatu minyaklemak biasanya dilakukan dengan berbagai alasan, antara lain menghilangkan komponen minor yang tidak diinginkan dalam aplikasi pada minyak, misalnya penghilangan lilin pada minyak bunga matahari, pengkayaan trigliserida tertentu, dan pemisahan menjadi dua fraksi untuk aplikasi yang lebih luas, misalnya fraksinasi minyak kelapa sawit menjadi fraksi olein dan stearin. Menurut O’Brien et.al 2000, ada tiga prinsip dasar yang berbeda dalam fraksinasi antara lain fraksinasi kering dry fractionation, fraksinasi dengan pelarut solvent fractionation, dan fraksinasi menggunakan deterjen atau bahan kimia lain detergent fractionation. Fraksinasi kering dry fractionation adalah proses yang paling mudah dan murah karena tidak menggunakan bahan tambahan apapun dan tidak memerlukan perlakuan khusus setelah diperoleh produk. Proses fraksinasi kering ini dicirikan dengan adanya proses panning dan pressing. Proses panning dilakukan dengan menebarkan minyak dalam loyang logam dan disimpan pada suhu dingin untuk mengkristalkannya. Setelah diperoleh kekerasan tertentu kemudian minyak dibungkus dengan kain saring umumnya kapas, diletakkan dalam loyang yang berlubang dalam pompa hidrolik dan dipompa 200 bar. Hasilnya memang tidak sebaik fraksinasi dengan pelarut tetapi sangat baik untuk menghasilkan fraksi stearin dengan kualitas baik dan rendemen yang tinggi. Biaya yang dikeluarkan pun jauh lebih murah daripada fraksinasi dengan pelarut. Fraksinasi dengan pelarut solvent fractionation adalah proses yang dikenal paling efisien. Kristalisasi terjadi karena adanya pelarut, umumnya heksana atau aseton, dengan perbandingan antara 3 sampai 5:1 pelarut:minyak. Pemisahan biasanya dilakukan dengan penyaring vakum vacuum filter. Keuntungan dari solvent fractionation adalah efisiensi pemisahan yang tinggi. Kelemahannya adalah investasi dan biaya operasi yang tinggi. Proses fraksinasi dengan deterjen atau bahan kimia lain detergent fractionation memerlukan wetting agent, umumnya sodium lauril sulfat, biasanya dikombinasikan dengan elektrolit, umumnya magnesium sulfat, 12 dalam proses kristalisasi minyak untuk mendapatkan kristal yang tersuspensi dalam fase cair. Fase cair dan fase padat dipisahkan menggunakan sentrifuse. Setelah pemisahan, fase cair dan fase padat dipanaskan, dicuci dan dikeringkan untuk menghilangkan bahan kimia yang ditambahkan. Seringkali masih ada bahan kimia yang tertinggal dan sebagian minyak yang hilang ketika pencucian. Proses ini biasanya dilakukan di industri non-pangan dan memerlukan keterampilan teknik dan biaya yang cukup tinggi. Proses fraksinasi kristalisasi ini juga biasa disebut rekristalisasi. Rekristalisasi adalah suatu proses pemurnian senyawa organik yang semuanya larut dalam suatu pelarut pada suhu ruang. Kelarutan tersebut akan berkurang dengan berkurangnya suhu sehingga membentuk kristal. Komponen yang berbeda akan mulai membentuk kristal pada suhu yang berbeda pula. Akibatnya kita bisa membuat komponen yang kita inginkan menjadi kristal dan komponen yang tidak kita inginkan tetap dalam larut bersama pelarut atau sebaliknya. Pemisahan dapat dilakukan dengan penyaring vakum, membran press atau dengan kertas saring biasa. Fraksinasi juga biasa dilakukan pada saat proses pembuatan minyak diasilgliserol DAG atau mono-dan diasilgliserol MDAG sebagai tahap pemurnian untuk meningkatkan kadar komponen yang diharapkan. Minyak kaya DAG atau MDAG dilarutkan dengan suatu pelarut organik pada suhu ruang kemudian didinginkan pada suhu tertentu. Inkubasi pada suhu 5-15 o C akan membuat komponen MAG dan DAG dalam minyak tersebut mengkristal sedangkan komponen TAG masih tetap larut dalam pelarut sehingga TAG dapat dipisahkan dengan penyaring vakum maupun kertas saring biasa. Jenis pelarut yang biasa digunakan untuk fraksinasi minyak DAG maupun MDAG adalah heksana yang bersifat non polar karena tujuan fraksinasi minyak DAG biasanya adalah untuk menghilangkan TAG yang bersifat non polar. Selain harganya relatif murah, heksana juga aman untuk memproses produk-produk minyak makan. Aseton adalah pelarut non polar yang sedikit polar yang akan mampu melarutkan senyawa-senyawa yang 13 semi polar, seperti DAG dan MAG. Campuran heksana dan aseton dengan kombinasi tertentu diharapkan akan dapat menghilangkan TAG dan MAG sehingga akan dapat diperoleh minyak dengan kadar DAG tinggi. Daftar beberapa penelitian pembuatan minyak DAG dan MDAG yang disertai fraksinasi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Beberapa penelitian pembuatan minyak DAG dan MDAG yang disertai fraksinasi Jenis Penelitian Peneliti Tahun Bahan Baku Suhu Fraksi- nasi Waktu Fraksi- nasi Jenis pelarut Pembuatan MDAG Pujiastuti 1998 Destilat asam lemak sawit 10 o C 24 jam heksana Pembuatan MDAG Atmadja 2000 Destilat asam lemak sawit Suhu refrige- rator 24 jam heksana Pembuatan MDAG Christina 2000 Destilat asam lemak sawit 15 o C 24 jam heksana Pembuatan MDAG Kitu2000 Destilat asam minyak kelapa 5 o C 24 jam heksana Pemanenan MDAG dari CPO Andria 2001 Minyak sawit kasar 10 o C 7 hari heksana Pembuatan MDAG Affandi 2007 Minyak inti sawit Suhu refrige- rator 16-18 jam heksana Pembuatan MDAG Mulyana 2007 Minyak kelapa Suhu refrige- rator 18-20 jam heksana Pembuatan MDAG Zaelani 2007 RBDPO Suhu refrige- rator 16-18 jam heksana Pembuatan MDAG Anggirasti 2008 RBDPO 7 o C 16-18 jam heksana 14 Kelarutan minyak dan lemak dalam suatu pelarut ditentukan oleh sifat polaritas asam lemaknya. Asam lemak yang bersifat polar cenderung larut dalam pelarut polar sedangkan asam lemak non polar cenderung larut dalam pelarut non polar. Semakin panjang rantai karbon, maka minyak dan lemak tersebut semakin sukar larut. Minyak dan lemak yang tidak jenuh lebih mudah larut dalam pelarut organik daripada asam lemak jenuh dengan panjang rantai karbon sama. Asam lemak dengan derajat ketidakjenuhan lebih tinggi akan lebih mudah larut daripada asam lemak dengan derajat ketidakjenuhan rendah Ketaren, 2005. Salah satu parameter kepolaran yang dimiliki oleh pelarut adalah nilai log P. Menurut Grant dan Higuchi 1995, nilai P atau biasa disebut P ow adalah koefisien partisi, yaitu perbandingan antara konsentrasi komponen yang larut dalam n-oktanol terhadap konsentrasi komponen yang larut dalam air. Dengan menggunakan nilai logaritma dari koefisien partisi log P, kita dapat mengukur secara kuantitatif kapolaran suatu pelarut. Semakin tinggi nilai log P suatu pelarut maka kepolarannya semakin berkurang. Pelarut dengan log P3 memiliki kecenderungan hidrofilik, pelarut dengan nilai log P3 mempunyai kecenderungan hidrofobik dan komponen dengan nilai 2logP4 dapat bervariasi sifat hidrofilik dan hidrofobiknya Gunawan, et.al, 2004. Dengan mengetahui nilai log P suatu pelarut kita dapat memilih pelarut yang cocok untuk melarutkan komponen tertentu dalam bahan berdasarkan sifat kepolarannya. Berikut adalah daftar nilai log P untuk beberapa jenis pelarut Tabel 5. Tabel 5. Nilai log P beberapa jenis pelarut Pelarut Nilai log P Heptana 4.397 Heksana 3.500 Diklorometana 1.249 Dietil eter 0.870 Etil asetat 0.711 Tetrahidrofuran 0.526 2-Propanol 0.074 Aseton -0.208 Metanol -0.764 Air -1.380 15

III. BAHAN DAN METODE A.