Penokohan Tokoh dan Penokohan

Tokoh profeminis yang terdapat dalam novel Sang Maharani adalah Rani dan Arik karena mereka merupakan tokoh yang mendukung emansipasi perempuan. Mereka mencoba untuk menyuarakan hak-hak kaum perempuan. Hal yang mereka bela adalah masalah pendidikan. Bagi mereka, pendidikan merupakan hak setiap orang baik perempuan ataupun laki-laki. Karena itulah, mereka berani menyuarakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Selain itu, tokoh Rani juga telah menunjukkan kegigihan seorang perempuan yang selalu dipandang sebelah mata oleh kaum pria. Rani membuktikan diri sebagai perempuan yang berani dan mampu bangkit dari keterpurukan. Emansipasi perempuan yang didukung oleh tokoh profeminis ternyata ditentang oleh tokoh kontrafeminis. Tokoh kontrafeminis dalam novel Sang Maharani, antara lain Sari, Tiar, Janoear, dan Lastri. Mereka digolongkan sebagai kontrafeminis karena mereka menentang ide-ide emansipasi perempuan yang diusung Rani dan Arik. Misalnya tokoh Sari yang menentang Rani untuk bersekolah tinggi. Baginya, perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena perempuan pada akhirnya hanya ditugaskan di dapur dan mengurus rumah tangga.

2.3.5 Penokohan

Teknik pelukisan tokoh yang dominan dalam novel Sang Maharani adalah teknik ekspositoris. Pengarang mendeskripsikan sikap, watak, tingkah laku, dan ciri fisik tokoh secara langsung. Teknik ini sering digunakan saat pengarang novel ingin menggambarkan keadaan fisik dan psikis para tokoh, seperti Rani, Arik, Moetiara, dan Janoear. Misalnya keadaan fisik Rani digambarkan oleh pengarang dengan teknik ekspositoris dalam kutipan berikut. Ia termasuk kelompok Eurasian Indo-Eropa, yang mempunyai hak sama dengan orang Belanda. Ia tidak pernah merasakan penderitaan dan ketidakadilan. Semua adil baginya. Dari ibunya yang keturunan Jawa priyayi, ia mewarisi tingkah laku yang lemah-lembut dan perasa. Dari ayahnya yang asli Belanda, ia mewarisi ketegaran dan otak yang cerdas. Dari keduanya, ia mewarisi kecantikan alami yang dimiliki oleh sebagian besar anak indo campuran. Kulitnya putih, hidung mancung, mata besar, dan rambut ikal berwarna kecoklatan. Secara fisik semuanya sangat proporsional, ia betul-betul seperti boneka porselen Belanda yang diletakkan Ayu, ibunya, di atas bufet di ruang tamu hlm. 9 —10. Contoh lain teknik ekspositoris ditemui dalam penggambaran keadaan psikis Arik, seperti dalam kutipan berikut. Ia selalu terpuruk di bawah pesona Rani dan tidak berani membayangkan apa yang terjadi bila gadis itu marah. Rani hanya menatap Meotiara tanpa menyiratkan apa-apa, apakah ia marah atau tidak. Gadis itu menggenggam tangan Arik dan mengajaknya masuk. Moetiara menatap kepergian mereka dengan sedih. Alangkah baiknya jika Rani memarahinya seperti Arik. Ia akan bisa membalas dengan lantang dan tidak merasa bersalah seperti ini. Dari awal pertemuan mereka, ia sudah mengagumi gadis itu. Ia merasa aneh, kenapa hatinya resah seolah telah melakukan kesalahan yang amat besar? hlm. 31. Selain teknik ekspositoris, pengarang novel juga menggunakan teknik dramatik untuk mendeskripsikan keadaan fisik dan psikis para tokoh. Teknik ini terlihat saat pengarang novel menggambarkan keadaan fisik dan psikis tokoh Sari, Moetiara, dan beberapa tokoh lain. Misalnya keadaan fisik dan psikis Sari digambarkan oleh pengarang dengan teknik dramatik dalam kutipan berikut. “Ratna Sari Ah, masih cantik saja. Lihat aku, sudah karatan begini,” kata Lastri, begitu melihat Sari. Sari tersenyum dengan wajah berseri-seri. “Ah, Kak Lastri bisa saja. Kata siapa aku masih cantik?” Lastri memicingkan mata dan melihat dari atas ke bawah dengan pandangan menilai. “Dalam pandanganku nilaimu masih sembilan puluh.” “Kenapa tidak seratus?” “Seratus untuk anakmu.” hlm. 167—168. “Lihat saja, baru minggu lalu ia menyelenggarakan pesta dansa yang diadakan untuk pertama kalinya di rumah kita sejak ibu meninggal. Apakah kau sudah mendengar kabar? Dua minggu lagi adalah hari ulang tahunnya dan ia ingin mengadakan pesta lagi. Rani Rani Kau harus melakukan sesuatu Jangan membiarkan ibu tirimu begini terus Dia akan menghabiskan harta Ayah” hlm. 55—56. Contoh lain teknik dramatik ditemui dalam penggambaran tokoh Moetiara yang diceritakan telah membuka bar, seperti pada kutipan berikut. ...”Bibi Kau ikut aku saja,” katanya. “Ikut apa?” “Aku membuka beberapa bar, Bibi bisa membantu kami mengawasi bar itu,” ujar Tiar, bersemangat. “Benarkah? Tentu saja aku mau Sekarang aku sedang menganggur. Aku akan sangat senang bisa mengurus bar seperti dulu” ujarnya senang hlm. 165.

2.3.6 Rangkuman