3.3 Emansipasi Perempuan
Emansipasi perempuan merupakan gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan
ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumya. Berikut emansipasi perempuan yang terdapat dalam novel Sang Maharani.
3.3.1 Perempuan Berani Bangkit dari Keterpurukan
Menurut R.I. Sarumpaet 1975: 16 —17, seorang wanita memiliki sifat
kejiwaan yang berbeda dengan pria. Seorang wanita berjiwa lemah. Pada umumnya, wanita tidak kuat menahan ketegangan pikiran. Untuk melepaskan diri
dari ketegangan jiwa, wanita suka menangis atau marah-marah. Hal tersebut dilakukan untuk melegakan jiwa dan merasa terlepas dari ketegangan tersebut
walaupun hanya untuk sementara waktu. Ketegangan jiwa bisa timbul dari pertengkaran, kedudukan, dan kerugian yang menimpa seorang wanita. Seorang
wanita juga mudah menyerah pada nasib. Hal tersebut dapat disaksikan dalam rumah tangga dan dalam pergaulan.
Pemikiran di atas ditentang oleh pemikiran Kartini dalam Wanita Indonesia dan Kepribadian Wiraswasta yang dikutip oleh Lies Hermin Siregar
1984: 482 dalam buku yang berjudul Perjuangan Wanita Indonesia: 10 Windu Setelah Kartini 1904
—1984. Lies
mengemukakan tiga hal pokok dalam mewujudkan cita-cita Kartini untuk mengubah kedudukan wanita demi perbaikan
nasib dan kemajuan masyarakat, yaitu: 1 tidak menyerah pada nasib buruk, tidak pasrah saja kepada nasib jelek; 2 kemampuan yang diperlukan untuk dapat maju
adalah sikap mental positif yang harus dibentuk sehingga menjadi watak yang memungkinkan orang untuk dapat maju; dan 3 menguasai berbagai kepandaian
dan keterampilan sehingga kita dapat memperoleh penghidupan sendiri. Pemikiran Kartini tersebut merupakan hubungan yang jelas antara cita-cita Kartini
dan kewiraswataan. Di balik itu semua, tentu diperlukan sebuah kepercayaan terhadap diri
sendiri. Pada intinya perempuan harus mempercayai bahwa perempuan adalah sosok yang juga kuat dan dapat membela dirinya sendiri. Kepercayaan diri,
kemandirian, keterbukaan, dan ketegasan dalam bersikap merupakan salah satu hal yang dapat menghindarkan diri dari korban kekerasan Ervita dan Puji Utami,
2002:29. Pemikiran Kartini dalam mencapai cita-citanya selaras dengan
kebangkitan yang hendak dilakukan oleh tokoh Rani untuk memulai kembali kehidupannya. Rani mencoba untuk tidak pasrah terhadap keadaan yang telah
membuatnya kehilangan sisi kewanitaannya akibat dipaksa menjadi jugun ianfu. Rani mencoba bangkit dan membuktikan dirinya bahwa ia pun mampu menjadi
perempuan yang berani. Selanjutnya, keterampilan Rani dalam memasak dan membuat roti ketika masih menjadi jugun ianfu membuatnya mampu untuk
membuka toko roti sendiri sehingga mampu untuk hidup mandiri. Bentuk kebangkitan yang dilakukan Rani dapat dilihat dari berbagai segi
kehidupan, antara lain segi fisik dan sosial. Dari segi fisik, Rani berusaha untuk membenahi dirinya yang memang sudah lama tidak ia urus pasca menjadi jugun
ianfu. Ia mencoba untuk pergi berbelanja pakaian baru, membeli beberapa barang-
barang, dan pergi ke salon untuk menata rambutnya yang memang sudah tidak rapi. Hal itu dilakukannya karena ia tidak mau terus dianggap lemah dan menjadi
bahan tertawaan ibu tirinya jika ibu tirinya mengetahui keadaannya saat ini. Rani mencoba bangkit dan membalas semua kejahatan Sari. Berikut kutipannya.
Ia mencoba berdiri dengan seluruh kekuatannya, dan matanya memancarkan tekad. Aku tidak bisa begini, aku harus bangkit Selama
Arik masih hidup, ia pasti bisa ditemukan. Bila ibu tirinya melihat keadaannya sekarang, ia pasti tertawa gembira. Aku harus hidup Terus
hidup untuk dua tujuan, pertama mencari Arik, kedua membalas dendam pada ibu tirinya yang telah membuatnya begini.
Rani menyisir rambutnya yang panjang, dan menjalaninnya membentuk konde yang rapi di atas tengkuk. Ia memakai gaunnya yang paling baik
dan memakai bedak. Ia lalu pergi ke pasar dan membeli beberapa perabot untuk mengisi rumahnya. Di sepanjang jalan ia berkenalan dengan
penduduk sekitar situ. Ia membeli beberapa gaun dan perlengkapan wanita. Uangnya banyak, tapi baru kali ini ia merasa bersyukur karenanya.
Ia akan mendandani rumahnya agar menjadi tempat yang nyaman untuk ditempati.
Ketika selesai berbelanja, Rani melihat salon dan tertarik untuk mampir. Rambutnya telah mencapai bokong panjangnya. Bila digerai sungguh tak
pantas dilihat. Ia memutuskan untuk masuk dan menggunting rambutnya sampai setengah lengan atasnya. Oleh pemilik salon rambutnya dicuci
sampai tiga kali, dan air pencucinya berwarna kehitaman.Rupanya karena sudah lama tidak dikeramas, rambutnya sangat kotor. Setelah dipotong
rambutnya diberi minyak hingga harum, lalu dikeringkan. Ia merasa dirinya tampil berbeda dan lebih percaya diri. Ia sadar, kini ia bukan lagi
Maharani Van Houten, putri sang Jenderal. Ia adalah Rani, gadis pribumi keturunan Belanda, yang memutuskan untuk tinggal di Indonesia sampai
masa tua dan akhir hidupnya hlm. 157
—158.
Selain itu, dari segi sosial pun, Rani berhasil bangkit untuk menemukan jati dirinya. Dengan kemampuannya dalam membuat roti, ia mencoba
berwiraswasta dengan membuka toko roti dan usahanya pun berhasil. Emansipasi yang dilakukan tokoh Rani dengan membuka toko roti baru sebatas untuk
melanjutkan kelangsungan hidupnya. Berikut kutipannya.
Pertama-tama ia membuat roti bagi para tetangganya. Ia membuat sweet roll berisi cokelat, kacang, dan keju. Ia juga membuat brownis yang penuh
dengan lemak dan cokelat, donat bertabur cokelat dan kacang, kue cinnamon yang bertabur gula halus dan kue kering berisi selai nanas.
Mereka memuji rasanya dan menyukainya. Bahkan Hartono. “Hebat Ini buatanmu send
iri?” tanyanya. Rani mengangguk dengan bangga. “Kau benar-benar berbakat. Ini suatu keahlian yang langka Apakah kau berniat
melakukan sesuatu dengan bakatmu ini?” “Ya, aku akan membuka kios roti, kecil-kecilan dulu. Nanti kalau banyak
yang suka aku akan membuat toko roti yang besar.”
“Bagus Ide bagus Di mana kau akan membukanya?” “Untuk sementara di depan rumahku dulu.”........ hlm. 176.
Ada dua
tingkatan bentuk
wiraswasta perempuan.
Pertama, kewiraswastaan perempuan sebagai usaha mencari nafkah untuk kelangsungan
hidupnya. Kedua, perempuan berwiraswasta dalam rangka gerakan nasional dalam arti berjuang untuk kemajuan, mengabdikan diri kepada masyarakat dengan
dedikasi dan tekad atas kemampuan sendiri untuk perkembangan masyarakat Siregar, 1984: 484. Dalam hal ini, posisi Rani dalam berwiraswasta merupakan
bentuk usaha untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya. Tidak hanya dengan membuka toko roti, Rani pun menunjukkan jiwanya
tidak lemah dengan berusaha berani menuntut keadilan atas kematian ayahnya. Rani berusaha mencari saksi-saksi yang mengetahui perihal racun yang diberikan
Sari kepada Van Houten. Para mantan pelayan Rani yang dahulu pernah bekerja di rumah Rani pun dicarinya hingga ke pelosok-pelosok. Ketika dirasa bukti dan
saksi telah cukup, Sari pun dijebloskan ke dalam penjara. Rani telah berhasil mendapatkan keadilannya. Hal ini membuktikan bahwa perempuan pun mampu
mendapatkan hak-haknya, dalam hal ini keadilan yang Rani kerjakan sendiri. Berikut kutipannya.
Dalam beberapa hari saja Rani sudah mendapatkan hasilnya. Ujang memang tinggal di Serang, tapi ia sudah pindah rumah beberapa kali.
Agak sulit Hasan mencari pria itu, tapi akhirnya jerih-payahnya tidak sia- sia. Pada saat Ujang dibawa menemui Rani, Ujang menceritakan hal yang
sama persis seperti yang diceritakan Nyonya Sophia padanya, yaitu bahwa Sari meracuni rolade daging yang dimasaknya untuk jenderal...... hlm.
173.
Ujang berpikir keras, lalu ia menjawab, “sebenarnya banyak yang tahu, Neng, tapi para pembantu lalu dipecat Ibu Sari, jadi saya tidak tahu di
mana mereka berada sekarang.” “Siapa saja? Sebutkan namanya, saya akan mencoba mencarinya.” Ujang
lalu menyebutkan beberapa nama, ternyata salah satunya dikenal Hasan. “Atik? Itu mah istrinya Pak Bajuri. Ia tinggal di Mester. Biar saya
samperin,” kata Hasan. Rani tertawa gembira. “Baiklah, saya senang sekali atas bantuan Pak Hasan dan Pak Ujang. Ketahuilah, saya akan
menjebloskan ibu tiri saya ke penjara.” “Bagus, Neng. Saya setuju. Ibu tiri Neng memang kejam. Ia patut
mendap atkan ganjarannya,” kata Ujang. hlm. 174.
3.3.2 Perempuan Terjun di Bidang Publik