Karateristik Usaha Ternak Sapi Potong Berbasis Produk Samping I ndustri Kelapa Saw it

12 I V. HASI L DAN PEMBAHASAN

4.1. Karateristik Usaha Ternak Sapi Potong Berbasis Produk Samping I ndustri Kelapa Saw it

Hasil identifikasi yang dilakukan terlihat bahwa 34 orang peternak sapi potong di Kabupaten Seluma, 82,2 termasuk dalam usia produktif yaitu antara 25 - 55 tahun. Sedangkan 6 orang 17,8 peternak sudah tidak produktif lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Harjono, dkk 1990 bahwa umur produktif tenaga kerja antara 25 - 55 tahun, sedangkan menurut pernyataan Soekartawi 1988 bahwa secara praktis pengertian produktif dan bukan produktif hanya dibedakan atas umur, dimana pada umur 20 tahun sampai 65 tahun digolongkan kepada usia produktif. Rata-rata umur peternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Umur Peternak Umur tahun Jumlah Responden orang Persentase 25 – 55 28 82,2 56 – 72 6 17,8 Sumber: diolah dari data primer tahun 2016. Tenaga kerja yang produktif sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu usahatani karena biasanya tenaga produktif memiliki pola pikir yang dinamis dan kemampuan fisik yang prima dalam mengelola usaha ternaknya, sehingga penerapan teknologi pemeliharaan ternak akan lebih mudah, hal ini sesuai dengan pendapat Chamdi 2003 yang menyebutkan bahwa semakin muda usia peternak usia produktif 20-45 tahun umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi. Pendapat tersebut didukung oleh Mardikanto 2009 yang mengatakan bahwa semakin tua seseorang biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan- kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Tingkat pendidikan peternak sapi potong di Kabupaten Seluma umumnya masih rendah berpendidikan SD. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang diperoleh oleh para peternak di Kabupaten Seluma masih rendah, sehingga perlu adanya upaya yang serius dari pemerintah untuk 13 mengadakan bimbingan teknis maupun pelatihan penyuluhan tentang budidaya ternak sapi guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dari peternak dalam hal melakukan usaha ternak peternakan khususnya ternak sapi. Menurut Murwanto 2008, bahwa tingkat pendidikan peternak merupakan indikator kualitas penduduk dan merupakan peubah kunci dalam pengembangan sumberdaya manusia. Pendidikan peternak yang memadai akan mempermudah dalam proses penerimaan inovasi dan teknologi peternakan sapi potong. Selain itu Soekartawi 2008 menambahkan bahwa mereka yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi relatif lebih cepat melaksanakan adopsi inovasi daripada mereka yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan peternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dolihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat Pendidikan Pendidikan tahun Jumlah Responden orang Persentase SD 6 28 82,2 SMP 9 4 11,8 SMA 12 2 5,8 Sumber: diolah dari data primer tahun 2016. Tingkat tinggi rendahnya pendidikan petani akan menanamkan sikap yang menuju penggunaan praktek pertanian yang lebih modern. Mengenai tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi I brahim, dkk, 2003. Hal ini sesuai dengan pendapat Gaold dan Saupe dalam Budiharjo, dkk 2011 bahwa umur, pendidikan dan pelatihan sebagai variabel yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dalam off-farm, pekerjaan usaha tani dan rumah tangga. Pengalaman beternak sapi potong peternak di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Pengalaman Beternak Sumber: diolah dari data primer tahun 2016. Pengamalan tahun Jumlah Responden Orang Persentase 0 – 5 16 47,1 5 – 10 6 17,8 10 12 35,3 14 Pengalaman seseorang dalam melakoni usahatani memiliki peranan penting dalam terhadap perolehan informasi terutama terhadap inovasi teknologi yang berhubungan erat dengan usahanya. Lamanya pengalaman usaahatani diukur mulai sejak peternak tersebut aktif secara mandiri mengusahakan usahataninya sampai pengkajian dilaksanakan Fauzia dan Tampubolon 1991. Pengalaman beternak juga berpengaruh pada skala kepemilikan ternak, sebab semakin lama pengalaman beternak seseorang maka semakin banyak pula pengetahuan yang diketahui oleh peternak yang dapat mendorong perkembangan usaha peternakan. Hal ini sesuai dengan Murwanto 2008 yang mengatakan pengalaman beternak sapi potong merupakan peubah yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan peternak dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak sapi dan sekaligus upaya peningkatan pendapatan peternak. Pengalaman beternak adalah guru yang baik, dengan pengalaman beternak sapi yang cukup peternak akan lebih cermat dalam berusaha dan dapat memperbaiki kekurangan di masa lalu. Tingkat kepemilikan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Tingkat kepemilikan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma. Sumber: diolah dari data primer tahun 2016. Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa tingkat kepemilikan ternak sapi potong untuk setiap peternak masih rendah berkisar antara 1-3 ekor, sehingga masih tergolong kepada usaha sampingan. Menurut pendapat Aziz 1993 dalam Prawira, dkk. 2015 bahwa pada tingkat pemeliharaan 6 ekor maka dikategorikan sebagai peternakan sapi potong baru bersifat dimiliki, belum diusahakan, biasanya ternak merupakan status sosial, serta pemasaran yang baru dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan. Sistem pemeliharaan dan perkawinan ternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 7. Jumlah ternak ekor Jumlah Responden orang Persentase 1 - 3 20 58,8 4 - 5 10 29,4 6 -10 6 17,6 10 4 11,8 15 Tabel 7. Sistem Pemeliharaan dan Perkawinan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma. Jumlah ternak ekor Jumlah Responden orang Persentase Sistem Pemeliharaan • Semi I ntensif • I ntensif 16 18 47,10 52,90 Sistem Perkawinan • Kawin Alam • I B • Campuran 12 16 6 35,3 47,1 17,6 Sumber: diolah dari data primer tahun 2016. Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di Kabupaten Seluma bersifat semi intensif sebanyak 47,1 , dimana ternak sapi pada siang hari diangonkan di kebun kelapa sawit atau di padang pengembalaan dan pada malam hari dikandangkan. Sistem ini biasanya dilakukan pada pemeliharaan ternak sapi indukan atau pengembangan. Untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi, peternak biasanya memberikan pakan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng 1996 menyatakan sistem pemeliharaan semi intensif yaitu pada siang hari ternak dilepas dikebun atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur, kemudian sore harinya ternak dimasukkan dalan kandang dan pada malam harinya ternak sapi diberi minum berupa hijauan rumput atau dedaunan. Sedangkan untuk sapi penggemukan, biasanya dilakukan dengan cara mengandangkan ternak sapi baik siang atau malam hari intensif sebanyak 52,9 . Pada sistem pemeliharaan dengan sistem intensif ini, ternak sapi diberikan hijauan berupa rumput unggul maupun rumput lapangan sesuai dengan kebutuhan ternak sapi 10 dari berat badan dan pakan tambahan berupa solid, dedak, ampas tahu,dan lain-lain. Sistem perkawinan yang dilakukan oleh peterkan sapi potong di Kabupaten Seluma ada 3 macam yaitu kawin alam, I B dan campuran keduanya, dimana perkawinan secara I B lebih sering dilakukan oleh peternak. Hal ini disebabkan karena peternak sudah memahami teknologi I B tersebut lebih menguntungkan dan sebagian disebabkan oleh ketersediaan pejantan yang langka di daerah peternakan mereka. 16

4.2. Analisis Usaha Ternak Sapi Potong Berbasis Produk Samping I ndustri Kelapa Saw it.