Peran dan Dampak Gizi dalam Pembangunan

36 pada satu populasi, yaitu kurang gizi pada fase awal kehidupan yang memicu kelebihan gizi pada usia dewasa.

3. Dampak Pangan dan Gizi terhadap Penyakit

Dampak kekurangan pangan akan menimbulkan berbagai bentuk kekurangan gizi yang selanjutnya menimbulkan kerentanan terjadinya penyakit menular. Kekurangan pangan yang cukup lama terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang diikuti oleh permasalahan pada faktor-faktor determinan masalah gizi, maka akan menimbulkan masalah gizi di antaranya stunting yang kemudian rentan menyebabkan penyakit tidak menular. Konsumsi makanan yang lebih besar dari pada pengeluaran energi akan menimbulkan kelebihan gizi yang menjadi salah satu pemicu berbagai penyakit tidak menular. Sejak tahun 1990 sampai dengan saat ini prevalensi penyakit tidak menular terus meningkat dari semula 37 persen tahun 1990 dan menjadi 58 persen tahun 2010. Oleh karena itu selama 2 dekade terakhir ini pola penyakit berubah dan menyebabkan beban kesehatan ganda. Di satu sisi terdapat permasalahan penyakit menular yang belum tertangani dengan baik, seperti tinggi badan, malaria, dan HIV, kusta, filariasis, dan sindrom pernafasan akut. Namun pada saat yang sama terjadi pergeseran peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, diabetes, dan demensia. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengatur konsumsi pangan yang berlebihan melalui perilaku konsumsi gizi seimbang. Penyakit tidak menular PTM seperti penyakit jantung, stroke, kanker,diabetes melitus, cedera dan penyakit paru obstruktif kronik serta penyakit kronik lainnya merupakan 63 penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa per tahun WHO, 2010. Di Indonesia sendiri, penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas PTM semakin meningkat. Hal tersebut menjadi beban ganda dalam pelayanan kesehatan, sekaligus tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan. Peningkatan PTM berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa. Pengobatan PTM seringkali memakan waktu lama dan memerlukan biaya besar. Beberapa jenis PTM merupakan penyakit kronik danatau katastropik yang dapat mengganggu ekonomi penderita dan keluarganya. Selain itu, salah satu dampak PTM adalah terjadinya kecacatan termasuk kecacatan permanen. Secara global, regional, dan nasional pada tahun 2030 diproyeksikan terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Penyakit Hipertensi masih menempati proporsi terbesar dari seluruh PTM yang dilaporkan, yaitu sebesar 57,89, sedangkan urutan kedua terbanyak adalah Diabetes Mellitus sebesar 16,53. Dua penyakit tersebut menjadi prioritas utama pengendalian PTM di Jawa Tengah. Jika Hipertensi dan Diabetes Melitus tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan PTM lanjutan seperti Jantung, Stroke, Gagal Ginjal, dsb. Pengendalian PTM dapat dilakukan dengan intervensi yang tepat pada setiap sasarankelompok populasi tertentu sehingga peningkatan kasus baru PTM dapat ditekan. 37

BAB IV RENCANA AKSI PANGAN DAN GIZI

A. Faktor Penentu Pangan dan Gizi

Faktor penentu permasalahan pangan dan gizi berasal dari berbagai faktor yang kompleks dan saling berhubungan. Upaya perbaikan gizi melalui intervensi spesifik yang dilakukan secara langsung terhadap sasaran yang rawan akan efektif apabila cakupannya ditingkatkan. Meningkatkan cakupan intervensi spesifik gizi hingga 90 diperkirakan dapat menyelamatkan 900.000 jiwa di 34 negara dengan beban gizi tertinggi, termasuk Indonesia Lancet, 2013. Namun demikian perbaikan status gizi hanya melalui intervensi spesifik gizi tidak cukup, karena lebih dari 70 persen perbaikan masalah gizi ditentukan oleh program sensitif gizi. Dengan demikian sangat penting untuk melibatkan multi sektor dalam melaksanakan percepatan perbaikan gizi. Pelibatan berbagai sektor tentu akan meningkatkan pencapaian target indikator dibandingkan dengan bekerja sendiri. Intervensi spesifik dan sensitif memegang peranan penting dan sebagian besar merupakan bagian dari program kerja nasional di berbagai KL dan perangkat daerah. Namun belum sempurnanya desain program dan belum optimalnya kualitas pelayanan menyebabkan rendahnya dampak pelaksanaan program yang berjalan terhadap perbaikan gizi. Dengan demikian, diperlukan adanya pendekatan multi sektor Lancet, 2013. Pada tahun 2012, The World Health Assembly membuat resolusi 65.6 yang mendorong rencana implementasi komperhensif Comprehensive Implementation Plan untuk gizi ibu, bayi, dan anak yang terdiri dari enam target gizi global tahun 2025, yaitu: 1 penurunan 40 anak pendek dan sangat pendek; 2 penurunan 50 anemia pada wanita usia subur; 3 penurunan 30 persen bayi lahir dengan BBLR; 4 peningkatan ASI eksklusif sampai paling sedikit 50; dan 6 menurunkan dan mempertahankan wasting pada balita kurang dari 5 . Resolusi tersebut menargetkan fokus utama perbaikan gizi pada usia renta yang berfokus pada 1.000 HPK ICN II, 2014. Selanjutnya pada bulan November 2014 berlangsung International Conference on Nutrition 2 ICN2 di Roma FAO, 2014. Pertemuan ini mendorong pelaksanaan Comprehensive Implementation Plan CIP dan target gizi rencana aksi global WHO untuk mencegah dan mengendalikan prevalensi penyakit tidak menular tahun 2013-2020 yaitu menghentikan kenaikan obesitas, kelebihan berat badan, dan diabetes, serta penurunan 30 persen konsumsi garam. Kerangka aksi ICN2 menyadari lambatnya kemajuan dalam perbaikan gizi dan tantangan terbesar yang dihadapi adalah implementasi kebijakan yang koheren dan koordinasi yang lebih baik dengan seluruh sektor terkait. Dari 60 rekomendasi, 7 diantaranya berhubungan dengan pembentukan lingkungan yang memungkinkan untuk intervensi efektif melalui penyusunan dan revisi rencana aksi nasional gizi yang selaras dengan kebijakan kementerianlembaga yang berdampak pada gizi. Kurang dari separuh 24 rekomendasi berhubungan dengan sektor kesehatan atau spesifik gizi, sedangkan 36 rekomendasi lainnnya berhubungan dengan sektor non-kesehatan, yaitu 16 seperempat rekomendasi berhubungan dengan pangan pertanian, perdagangan, dan keamanan pangan, dan dengan perlindungan sosial dan akuntabilitas masing-masing 3 rekomendasi. Seiring dengan akan dimulainya tujuan pembangunan berkelanjutan SDGs yang termasuk diantaranya tujuan gizi, Indonesia harus berusaha untuk mencapainya melalui upaya yang lebih komprehensif. Dalam melaksanakan rencana aksi maka intervensi spesifik difokuskan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan yaitu selama masa kehamilan sampai anak berusia 2 tahun. Namun demikian karena status gizi ibu pra-hamil juga berpengaruh terhadap perkembangan dan 38 pertumbuhan janin, maka wanita usia subur, termasuk remaja perempuan, perlu dimasukkan sebagai suatu hal yang sangat penting dalam mempersiapkan 1.000 HPK. Pada gambar 4.1 intervensi spesifik yang dapat dilakukan pada sasaran prioritas. Sumber : Lancet, 2013 Gambar 4.1 Intervensi Gizi Spesifik pada Target 1000 HPK Remaja perempuan sebagai calon ibu perlu mengetahui informasi yang memadai mengenai kesehatan reproduksi dan hubungannya dengan status gizi ibu, dan juga perlu dipersiapkan secara psikologis mengenai kehamilan dan persiapannya, sehingga dapat mempertimbangkan kapan sebaiknya hamil dan berapa jarak kelahiran anaknya yang terbaik. Oleh karena pentingnya pengaruh status gizi ibu pra-hamil dan saat hamil, maka intervensi yang perlu dilakukan adalah penyuluhan mengenai konsumsi energi protein yang cukup, suplementasi zat gizi mikro yaitu tablet besi-folat dan kalsium, serta penghentian atau perlindungan dari asap rokok. Perlindungan penyakit, seperti infeksi malaria dan kecacingan, dan pencegahan obesitas saat hamil juga penting dilaksanakan. Bagi bayi baru lahir, perlu diperkenalkan praktik inisiasi menyusu dini IMD dalam satu jam pertama pasca lahir, dan pemberian vitamin K. Saat usia bayi dan anak-anak, intervensi spesifik yang perlu dilakukan terdiri dari pemenuhan zat gizi dan pencegahan serta perlindungan penyakit. Upaya terkait pemenuhan gizi yang dilakukan terdiri dari pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI MP ASI yang sesuai, suplementasi vitamin A setiap 6 bulan sejak anak umur 6 bulan sampai umur 60 bulan, serta multi mikronutrien dalam bentuk bubuk tabur gizi taburia. Sementara itu dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit, upaya yang dilakukan mencakup penanganan kurang gizi akut, pemberian Zn dan pemberian makan yang benar bagi penderita diare, sanitasi dan akses memadai terhadap air bersih, pencegahan dan penanganan malaria, kecacingan, dan obesitas pada anak Lancet, 2013. Remaja Perempuan WANITA USIA SUBUR dan Ibu Hamil Neonatal Baduta Balita Pelayanan prakonsepsi: • Keluarga berencana • Menunda usia kehamilan pertama • Memperpanjang jarak kelahiran • Memperhatikan kondisi psikososial • Suplementasi besi- folat • Suplementasi Ca • Suplementasi energi dan protein yang seimbang • Suplementasi yodium • Berhenti merokok Pencegahan dan penanganan penyakit • Pencegahan malaria pada wanita • Penanganan kecacingan pada ibu • Menunda cord clamping • Iniasiasi menyusu dini • Pemberian vitamin K • Suplementasi vitamin A • Perawatan metode kangguru Pencegahan dan penanganan penyakit Manajemen kekurangan gizi dan gizi buruk: • Terapi Zn untuk penderita diare • WASH • ASI eksklusif sampai 6 bulan dan melanjutkan pemberian ASI sampai 2 tahun • Pemberian MP ASI setelah usia 6 bulan • Suplementasi Zn • Suplementasi Fe • Suplementasi vit A • Pemberian makan gizi seimbang • Suplementasi Vit A • Suplementasi Fe