Karakteristik habitat burung cikukua timor (Philemon Inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur

(1)

KARA

KA

AKTERIS

(

Philemon

ABUPATE

IN

STIK HAB

n inornat

EN KUPA

B

SEKOLA

NSTITUT

BITAT B

tus

) DI LA

ANG, NU

BLASIUS

AH PASC

T PERTA

BOGO

2012

BURUNG

ANSKAP

USA TENG

PAGA

CASARJA

ANIAN BO

OR

2

CIKUKU

CAMPL

GGARA

ANA

OGOR

UA TIMO

ONG

TIMUR


(2)

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Karakteristik Habitat Burung Cikukua timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Blasius Paga NRP E351090031


(3)

ABSTRACT

BLASIUS PAGA. Habitat Characteristics of Timor Friarbird Philemon inornatus

in Camplong Landscape Kupang District, East Nusa Tenggara Under supervision of YENI ARYATI MULYANI and LILIK BUDI PRASETYO

Abstract

Timor Friarbird (Philemon inornatus, G. R. Gray, 1846) is one of the six endemic birds of Timor and is a protected species. The population of bird is suspected to have been decreasing over the past six years along with the decreasing of the quantity and quality of physical and biotic factors of its habitat. Knowledge on landscape spatial pattern could be used to evaluate the quantity and quality of habitat. This research aimed at identifying spatial habitat characteristics of Timor Friarbird based on dominant factors of physical and biotic habitat components. Principle Component Analysis (PCA) on the physical habitat factors showed that variables that have strong correlation with the presence of the bird were Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), slope, distance from secondary forest, distance from bush, distance from cashew plantation, distance from crop plantation, and distance from roads. The biotic factors that have strong correlation with the presence of Timor Friarbird were the total number of plant species, number of plants used for food and cover, and mean height of trees. Height of poles was the only variable that has no correlation with the presence of Timor Friarbird. The most dominant physical and biotic factors that influent the presence of Timor Friarbird at a site are the density of foraging trees, slope, distance from the river, the distance from secondary forest, the density of cover pole and the distance from road. The estimation population of Timor Friarbird in Camplong region is low; this might be caused by low feeding tree density, high rates of poaching, the uneven distribution of feed vegetation and the flowering season, habitat degradation due to illegal logging, grazing cattle in the wild, and invasion of siam weed or chromolaena (Chromolaena odorata). The results of land cover classification at Camplong region based on Landsat_5 Thematic Mapper (TM) image with ArcGIS 9.3 and Erdas 9.1 obtained 11 land cover classes, with shrub as the dominant class.

Keyword: Philemon inornatus, Habitat Spatial Characteristics, PCA, Population, Land Cover


(4)

BLASIUS PAGA, Karakteristik Habitat Burung Cikukua timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh YENI ARYATI MULYANI dan LILIK BUDI PRASETYO

Cikukua timor (Philemon inornatus, G. R. Gray, 1846) merupakan salah satu jenis burung endemik Pulau Timor dengan status dilindungi menurut Peraturan Pemerintah RI No 7 Tahun 1999. Populasi Cikukua timor di lanskap Camplong diduga dalam enam tahun terakhir (2006-2011) terus menunjukkan penurunan jumlah populasi. Faktor penyebab penurunan jumlah populasi Cikukua timor di lanskap ini diduga akibat illegal hunting dan berbagai tekanan habitat seperti; illegal loging, kebakaran hutan, penggembalaan ternak secara liar, pembukaan dan pelebaran jalan dalam kawasan TWA Camplong, praktek pembukaan lahan budidaya pertanian dengan pembakaran dan invasi spesies

Chromolaena odorata. Informasi mengenai habitat Cikukua timor pada saat ini masih terbatas pada sebaran berdasarkan altitude dan tipe hutan. Oleh karena itu dibutuhkan informasi spasial Cikukua timor berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi SIG dilakukan dengan mengumpulkan data penggunaan ruang, kemudian mencari hubungan data posisional untuk kondisi umum lingkungan dan memanfaatkan hasil model statistik untuk memprediksi penggunaan wilayah geografis lainnya. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan faktor-faktor (peubah) dominan komponen habitat (fisik/abiotik dan biotik) yang berpengaruh terhadap keberadaannya dan menduga kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong.

Penelitian ini dilaksanakan di lanskap Camplong, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (10001’19,7”-10003’21,5” LS, 1230 55’01,3”-123056’23,8” BT). Penelitian berlangsung selama lima bulan, mulai Juli-Agustus 2010 dan Mei-Juli 2011. Kegiatan penelitian diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor yang berasal dari komponen habitat fisik dan biotik dengan membuat desain garis transek dan

grid menggunakan program Hawth’s Analysis Tools_3 for ArcGis, kemudian ditumpangtindihkan (overlay) ke dalam peta lokasi penelitian Camplong. Transek pengamatan populasi berjumlah 11 transek dan total grid pengamatan spasial sebanyak 176 grid, masing-masing berukuran 500 x 250 m2. Hasil desain grid

tersebut ditransfer ke dalam GPS (Global Position System), kemudian titik ini akan menjadi titik-titik koordinat yang dapat membantu pengamat dalam menandai dan mengidentifikasi tipe-tipe habitat. Desain garis transek digunakan sebagai pedoman dalam pengamatan data populasi Cikukua timor dengan metode

distance sampling. Data titik koordinat perjumpaan Cikukua timor dan titik koordinat lapangan lainnya digunakan dalam pengolahan data spasial keberadaan Cikukua timor terhadap semua peubah fisik yang dianalisis menggunakan

software ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1. Hasil analisis dengan kedua software ini diperoleh nilai peubah-peubah bebas (X) yang berpengaruh terhadap peubah tak bebas (Y) yaitu jumlah kehadiran individu Cikukua timor di tiap titik perjumpaan.


(5)

Peubah bebas komponen habitat fisik meliputi; Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), slope, elevasi, jarak dari hutan primer, hutan sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, pemukiman, sungai dan jalan, sedangkan peubah dari komponen habitat biotik meliputi; jumlah total spesies vegetasi, tinggi dan kerapatan dari setiap tingkat pertumbuhan vegetasi (pohon, tiang dan pancang), jumlah spesies pakan dan cover, dan jumlah tumbuhan pakan dan cover. Hubungan diantara variabel dari masing-masing komponen habitat fisik dan biotik dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dengan biplot. Hasil PCA menunjukkan ada korelasi yang kuat diantara variabel komponen 1 dan 2, selanjutnya semua variabel komponen habitat fisik dan biotik dilakukan analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise untuk mendapatkan peubah yang paling dominan berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor.

Cikukua timor ditemukan di 6 dari 11 tipe habitat di lanskap Camplong. Jumlah titik perjumpaan pada tiap tipe habitat bervariasi yaitu; hutan primer 11 titik, hutan sekunder 5 titik, belukar 8 titik, kebun jambu mete 6 titik, kebun palawija 7 titik, dan permukiman 3 titik. Tipe-tipe habitat yang tidak ditemukan Cikukua timor dalam studi ini yaitu; savana, hutan tanaman, mamar (hutan adat) semak dan lahan kosong.

Hasil PCA dengan biplot diperoleh total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 54,40%. Ada delapan faktor yang memiliki korelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor meliputi; NDVI,

slope, jarak dari hutan sekunder, jarak dari belukar, jarak dari kebun jambu mete, jarak dari kebun palawija, dan jarak dari jalan. Nilai vektor ciri, komponen 1 dapat menjelaskan varian terbesar pada faktor jarak dari jalan (0,825), jarak dari kebun palawija (0,770), slope (0,723), jarak dari kebun jambu mete (0.647), dan NDVI (0.350). Komponen 1 memiliki nilai eigenvalue (akar ciri) lebih besar (31,51%) dari pada komponen 2 (22,90%), sehingga dapat dinyatakan bahwa komponen 1 berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor. Hasil PCA faktor dominan dari komponen habitat biotik Cikukua timor, diperoleh 11 faktor yang berada pada komponen 1 dan 2 yang menunjukkan korelasi positif terhadap kehadiran burung ini. Faktor-faktor tersebut meliputi; jumlah spesies pakan dan cover, jumlah individu pakan dan cover, jumlah total spesies tumbuhan pada tiap titik perjumpaan, tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon. Total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 48,29%. Beberapa faktor dari komponen habitat biotik yang memiliki korelasi yang kuat terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; jumlah spesies pakan dengan jumlah individu pakan, jumlah spesies cover dengan jumlah individu cover, dan kerapatan pakan tingkat pohon dengan kerapatan cover.

Hasil regresi linear berganda dengan prosedur stepwise terhadap faktor-faktor pembentuk model karakteristik habitat Cikukua timor menghasilkan model sebagai berikut:

Ln Y = 0,867 + 0,531 Ln X20 (Kerapatan Pohon Pakan) + (– 0,160) Ln X24 (Kerapatan Tiang Cover) + 0,158 Ln X10 (Jarak dari Sungai) + (– 0,188) Ln X11 (Jarak dari Jalan) + 0,269 Ln X2 (Slope) + (– 0,0740) Ln X5 (Jarak dari Hutan Sekunder)

Faktor-faktor pembentuk model tersebut merupakan faktor-faktor dominan yang menentukan kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Faktor yang paling


(6)

pakan pada R-Sq (adj) = 68,2% dengan nilai P = 0,001.

Analisis dugaan populasi di lanskap Camplong seluas 2470,11 ha memperoleh kepadatan 0,5755 ekor/ha. Nilai kepadatan populasi Cikukua timor pada masing-masing tipe habitat sebagai berikut; 0,0592 individu/ha berada pada tipe habitat belukar atau 10,29%, 0,0164 individu/ha di permukiman atau 2,85%, 0,1892 individu/ha di kebun palawija atau 18,92% dan 0,3107 di kebun jambu mete atau 54%.

Hasil analisis tutupan lahan di lanskap Camplong menunjukkan habitat belukar merupakan tipe tutupan lahan paling mendominasi di lanskap Camplong sebesar 16,5% (406,53 ha) dari total luas 2470,11 ha. Dominasi tutupan lahan belukar menggambarkan terjadi perubahan pola penggunaan lahan dari yang sebelumnya lahan berhutan dengan vegetasi berkayu rapat menjadi lahan terbuka dengan sedikit pepohonan, dan atau areal bekas budidaya pertanian berpindah (shifting agriculture). Praktek shifting agriculture merupakan salah satu ciri khas pengolahan lahan budidaya pertanian oleh masyarakat tradisional di Pulau Timor dan masih terus berlanjut hingga saat penelitian ini dilakukan.

Kata Kunci: Karakteristik habitat, Philemon inornatus, PCA, Populasi, Tutupan lahan.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

KARAKTERISTIK HABITAT BURUNG CIKUKUA TIMOR

(

Philemon inornatus

) DI LANSKAP CAMPLONG

KABUPATEN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR

BLASIUS PAGA

Tesis

sebagaisalahsatusyaratuntukmemperolehgelar Magister Sainspada Program StudiKonservasiBiodiversitasTropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

(10)

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi kuantitatif dengan judul Karakteristik Habitat Burung Cikukua Timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam upaya konservasi dan sebagai acuan pengelolaan habitat burung Cikukua timor di Pulau Timor.

Bogor, Februari 2012


(12)

Blasius Paga dilahirkan pada Tanggal 29 April 1973 di Bela, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nage Keo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai anak ke-tujuh dari delapan bersaudara pasangan Bapak Ignasius Goa (Alm.) dan Ibu Margaretha Dee. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD Katolik Lere, Nage Keo) Tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama (SMPK St. Petrus Kolilewa, Nage Keo) Tahun 1991, dan Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMTP) Negeri So’e Tahun 1994, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan (KSDH), Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Malang (IPM) pada Tahun 1995, dan menyelesaikan studi pada Tahun 1999. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar tetap di Politeknik Pertanian (Politani) Negeri Kupang sejak tahun 2003, dan pada tahun 2009 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) di Sekolah Pascasarjana IPB.

Selama mengikuti pendidikan Magister, penulis mengikuti berbagai kegiatan seminar nasional dan internasional pada bidang keanekaragaman hayati (KEHATI) terutama untuk konservasi satwa (burung dan primata), tumbuhan dan ekosistem hutan. Penulis berkesempatan mengikuti kegiatan Training of Trainers

(TOT) Indonesian Bird Banders di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (14-21 Mei 2011), yang diadakan atas kerjasama Pemerintah Indonesia dan Australia dibawah pelaksanaan Indonesian Bird Banding Scheme

(IBBS) - Research Center for Biology LIPI and Australian Bird & Bat Banding Scheme (ABBBS) – DSECPaC Australia. Penulis aktif mengikuti kegiatan bird banding di lingkungan kampus IPB bersama Bird Banding Club IPB.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains pada bidang Konservasi Biodiversitas Tropika, penulis melakukan penelitian, “Karakteristik Habitat Burung Cikukua Timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur” dibawah bimbingan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M. Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Fokus kajian penelitian adalah pada bidang ekologi burung dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).


(13)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besaarnya kepada yang terhormat Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M. Sc, dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc sebagai komisi pembimbing atas pemikiran, waktu, kesabaran dalam memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan tesis ini. Penulis ucapkan pula terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M. S. yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.

2. Dr. Richard A. Noske yang telah memberikan banyak saran dan informasi baik secara lisan maupun tulisan terkait dengan penelitian burung-burung di Timor.

3. Bapak Alan J. Leishman yang telah memberikan banyak saran dan informasi tulisan berupa referensi yang terkait dengan penelitian ini.

4. Dr. Colin Richard Trainor B. Appl. Sci (Hons.), M. Sc. yang telah banyak memberikan saran, referensi dan hasil karya disertasinya untuk membantu penelitian ini.

5. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mendanai pendidikan S2 melalui beasiswa BPPS. 6. Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M, Zuhud, M. S sebagai Ketua Program Studi dan

sekaligus menjadi penguji luar dari program studi pada saat ujian tesis. Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, D.E.A (Mantan Ketua Program Studi KVT) dan seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Pak Mohamad Sofwan Hidayat, Umi, dan Bunga).

7. Keluarga tercinta isteriku Ika Kristinawanti,S. Hut (Kandidat Master), anak-anakku Maria Dominique Graceila Dee Goa Paga (Grace) dan Dominico Graceino Wani Dee Goa Paga (Cein), Bonafentura Ue (Fenti) atas doa dan motivasinya bagi penulis. Khusus Bapak Ignasius Goa (Alm.) dan Mama Margaretha Dee, Bapak MA. Suparman dan Ibunda Sri Subandiyatmi saya sampaikan terima kasih tak terhingga atas berkat curahan kasih sayang telah mengantarkan penulis dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Seluruh saudara-saudaraku yang selalu mendoakan perjuangan studiku; Aplonia Wea dan Martinus Pale sekeluarga, Flavianus Gati dan BernadetaTolo sekeluarga, Saverinus Mbeu, Raimunda Ngguwa dan Remigius Ndiwa sekeluarga, Emilianus Meo dan Meri sekeluarga, Pasifikus Pawe dan Heni sekeluarga di Kalimantan, Adik Oswaldus Ema dan Iren, Oyot dan Diah sekeluarga, Eron dan Nova. Terima kasih atas dukungan doa dan motivasi dari Kakak David Jemu dan Florida Budhe sekeluarga, Kae Rance dan Deli sekeluarga, Ambros Raga dan Medy sekeluarga, Mikael Unu sekeluarga, Om Wenselaus Tue dan Tanta Ansela Lengga sekeluarga, Om Tobias Siga dan Tanta Ima sekeluarga, Keluarga Besar Lere dan Lamina di Kupang, Keluarga Besar Bogor terutama Mersi Poi dan Beni sekeluarga dan Kae Mikael Bela. Suster Imeldine, KFS (Kae Doro) dan Sr. Wilfrid, KFS (Ivona Leka) di Kalimantan, Pater Kris


(14)

Decolores Kupang.

8. Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam NTT yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian tesis ini di kawasan TWA Camplong. Terima kasih untuk Bapak Dadang Suryana dan staf BKSDA Kupang yang telah membantu penulis selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

9. Bapak Ora Yohanes beserta staf Bidang KSDA I NTT di Soe (Bp. Yulius Nai, Bp Noh Liu Kae, Bp Apolos Manu, Argen) yang telah membantu memfasilitasi sarana dan prasarana penelitian di lapangan.

10. Bapak Ande Nakmofa dan Mama Mina sekeluarga, Adik Marten Bani dan Yetri Nabut yang setia telah menyumbangkan tenaga dan waktu untuk membantu pengumpulan data penelitian di lapangan.

11. Khusus untuk Mas Arif Budi Prasetyo, Farikhin, Beby dan Pak Chandra Jawer, dan Irham Fauzi, saya sampaikan terima kasih atas bantuannya dalam pengolahan data spasial.

12. Seluruh rekan-rekan seperjuangan KVT 2009: Edwin Wira Pradana, S.Si dan Maharani Anischan, S.Si (Kandidat Master), Andi Muhammad Khadifi S.Hut, M.Si, Astri Yuliawati S.Si, M.Si, Ir. Syamsul Hidayat M.Si, Agung Nugroho, S. Si, rekan-rekan KVT S3 2008 (Kandidat Doktor; Ir. Ivan Yusvinur, M.Si, Ir Mufti Sudibyo, M.Si, Ir U. Mamat Rahmat, M.Si, Pak Muin), dan KVT S2 2010 (PakWenda Yandra Komara, Deden, Dewi, Ozi, Yayuk, Elia), Dede Aulia Rahman, S.Hut, M.S, terima kasih untuk kebersamaan dan motivasi yang telah membantu penulis selama pendidikan ini.

13. Saudara seperantauan: Fabianus Ranta, S.Hut, M. Si sekeluarga, Dedi Hutapea SP, M.Si, Mochamad Idham Shilman, S.Pi, M.Si, dan Al Azhar S.Pi, M.Si.

Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, demikian pula dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan wawasan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun, demi penyempurnaan penulisan di masa yang akan datang sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Terima kasih Bogor, Februari 2012


(15)

i

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ……….………. DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR LAMPIRAN ………..

1. PENDAHULUAN …………..………... 1

1.1 Latar Belakang …………...…….………….………... 1

1.2 Perumusan Masalah ...………….………... 3

1.3 Tujuan Penelitian ……..……….……….…….... 4

1.4 Manfaat Penelitian ……….……….………….……... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ..…….………….……… 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 7

2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11 2.12 2.13 2.14 2.15 2.16 2.17 2.18 Bio-ekologi Cikukua Timor………... 2.1.1. Jenis-Jenis Burung Cikukua dan Gambaran Ringkas Morfologinya ………. 2.1.2. Klasifikasi Cikukua Timor ………. 2.1.3. Daerah Penyebaran Cikukua Timor ...………. Karakteristik Burung Pemakan Nektar ……… Teritori Famili Meliphagidae ……… Perilaku ……… Habitat ………. Preferensi Habitat ……… Kesesuaian Habitat ……….. Seleksi Habitat ………. Struktur dan Komposisi Vegetasi ……… Kerapatan ………. Principal Component Analysis (PCA)/Analisis Komponen Utama. Populasi ………... Lanskap………. Sistem Informasi Geografis (SIG) ………... Citra Landsat-5 Thematic Mapper (TM) ………. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) ……….. Representasi Data Spasial ……… Pemanfaatan SIG untuk Konservasi ……… 7 8 8 9 10 11 12 13 15 15 17 19 19 20 22 22 23 24 25 26 26 III. KONDISI UMUM LOKASI ………... 29

3.1 Letak…..……….……….……….. 29 3.2 Kondisi Fisik...……….………...

3.2.1 Luas dan Status Kawasan………... 3.2.2 Topografi ……… 3.2.3 Hidrologi ………. 3.2.4 Geologi dan Tanah ………..

29 29 30 30 31

i v vi xi


(16)

ii

3.2.5 Iklim ……… 3.2.6 Aksesibilitas ………

31 32 3.3

3.4

Biologi ...……….………... 3.3.1 Flora ……… 3.3.2 Fauna ……….. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya ……….

32 32 33 34 IV. METODOLOGI PENELITIAN………... 37

4.1 Lokasi dan Waktu ………….………... 37 4.2

4.3

4.4

Alat dan Bahan. ………..……….……. Metode Pengumpulan Data ……….. 4.3.1 Studi Literatur ………. 4.3.2 Orientasi Lapangan ………... ………. 4.3.3 Persiapan Desain Peta Kerja Penelitian ……….. 4.3.4 Observasi Lapangan ….………. 4.3.4.1 Pengumpulan Data Spasial ……… 4.3.4.2 Pengumpulan Data Populasi ……….. 4.3.4.3Pengumpulan Data Karakteristik Habitat Cikukua Timor ………. 4.3.5 Wawancara ……….. 4.3.6 Interpretasi Peta ……….. 4.3.7 Pembuatan Peta Dasar Digital ……… 4.3.8 Pengambilan Data Luas Penutupan Lahan ………. Metode Analisis Data ……….. 4.4.1 Analisis Faktor-Faktor Dominan Komponen Habitat

Cikukua Timor ……….. 4.4.1.1Analisis Kerapatan Vegetasi ……… 4.4.1.2Principal Component Analysis (PCA) Analisis

Komponen Utama………... 4.4.1.3 Analisis Penentuan Peubah Paling Dominan ……….. 4.4.2 Analisis Kepadatan Populasi ……….. 4.4.3 Analisis Penutupan Lahan ……… 4.4.4 Analisis Keterkaitan Jarak (distance) ……….

37 38 38 38 39 41 41 42 45 46 47 47 47 48 48 51 51 53 54 55 55 V. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 57

5.1 Hasil……….. 57

5.1.1. Titik Perjumpaan………. 5.1.2. Identifikasi Komponen Habitat Fisik (Analisis Spasial) …. 5.1.2.1 Nilai Normalized Different Vegetation Index

(NDVI) ……….. 5.1.2.2 Kemiringan Lereng (Slope) ... 5.1.2.3 Ketinggian Tempat (Elevation) ……….. 5.1.2.4 Jarak dari Beberapa Faktor Spasial ..………... 5.1.3. Identifikasi Komponen Habitat Biotik ……... 5.1.3.1 Tumbuhan Sumber Pakan dan Cover ………. 5.1.3.2 Sebaran Vertikal ………. 5.1.3.3 Kerapatan Vegetasi ………... 5.1.4. Analisis PrincipalComponent Analysis (PCA) ……… 5.1.4.1 Komponen Habitat Fisik ………..

57 59 59 59 60 61 65 65 69 73 76 76


(17)

iii

5.1.4.2 Komponen Habitat Biotik ………... 5.1.5. Peubah Determinan Kehadiran Cikukua Timor ………….. 5.1.6. Dugaan Populasi ………. 5.1.7. Analisis Penutupan Lahan……… 5.1.8. Interpretasi Peta ………...

78 81 84 84 85

5.2 Pembahasan ………. 91

5.2.1 Karakteristik Habitat Fisik dan Biotik ………. 91

5.2.2 Peubah Determinan Dominan Habitat Cikukua Timor … 98 5.2.3 Populasi Cikukua Timor ……… 113

5.2.4 Penutupan Lahan Lanskap Camplong ……….. 5.2.5 Gangguan Habitat Cikukua Timor ………... 5.2.6 Implikasi Bagi Konservasi ………... 118 121 122 5.2.6.1 Habitat Cikukua Timor ..……… 5.2.6.2. Populasi Cikukua Timor .………... 122 124 VI. SIMPULAN DAN SARAN ……… 129

6.1 Simpulan……….. 127

6.2 Saran……… 127

DAFTAR PUSTAKA……… 129


(18)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper ………... 24 2 Penelitian tentang habitat burung menggunakan SIG ……… 27 3 Pembagian kelas kemiringan lereng berdasarkan peta topografi

berskala 1:50.000 dan interval kontur 25 meter berdasarkan

P.32MENHUT-II/2009 ... 60 4 Jenis-jenis sumber tumbuhan pakan dan cover cikukua timor pada

Mei-Juli ………... 66 5 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen abiotik/fisik…… 77 6 Vektor ciri dari PCA ………. 78 7 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen biotik ………….. 80 8 Vektor ciri dari PCA ……….. 80 9 Luas masing-masing tipe habitat di lanskap Camplong ………... 85 Nomor


(19)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ……….. 6 2 Perbedaan Cikukua timor dengan Cikukua tanduk ………... 8 3 Peta Pulau Timor, wilayah garis perbatasan dan penyebaran burung di

Timor Leste dan Timor Barat, Indonesia……… 9 4 Peta Kawasan TWA Camplong dan sekitarnya ………. 30 5 Lokasi Penelitian Burung Cikukua Timor di lanskap Camplong... 37 6 Desain penempatan garis transek dan grid di lanskap Camplong……….. 40 7 Bentuk pengambilan sampel jarak menggunakan transek ………... 44

8

Diagram alur metode penelitian………...

56

9 Diagram distribusi perjumpaan aktivitas Cikukua timor di tiap tipe

habitat……… 57

10 Diagram distribusi jumlah titik kehadiran Cikukua timor di tiap tipe

habitat………... 58

11 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang nilai NDVI ………... 59 12 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai

rentang nilai kemiringan lereng ………... 60 13 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada

berbagai rentang nilai elevasi ………... 61 14 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada

berbagai rentang jarak (a) hutan primer dan (b) hutan sekunder ……….. 61 15 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan cikukua timor pada

berbagai rentang jarak dari belukar ………... 62 16 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada

berbagai rentang jarak dari (a) kebun jambu mete, (b) kebun

palawija……….. 63

17 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari permukiman ……… 63 18 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua Timor pada

berbagai rentang jarak dari sungai………... 64 19 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada

berbagai rentang jarak dari jalan ………... 65 Nomor


(20)

vi

20 Diagram sebaran dan persentase pakan; (a) sebaran titik perjumpaan jenis tumbuhan sumber pakan di tiap tipe habitat (Mei-Juli), (b)

persentase sumber jenis pakan ….……… 67

21 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan jenis tumbuhan cover pada tiap tipe habitat (Mei-Juli)... 68

22 Diagram sebaran vertikal vegetasi pada; (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang dan (c) tingkat pancang pada setiap titik perjumpaan Cikukua timor………... 70

23 Diagram distribusi jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai klasifikasi tinggi keberadaannya saat beraktivitas……….. 71 24 Diagram distribusi jumlah perjumpaan Cikukua timor di berbagai klasifikasi tinggi total vegetasi……….. 71 25 Diagram distribusi jumlah perjumpaan Cikukua timor pada berbagai klasifikasi tinggi bebas cabang vegetasi……… 72 26 Diagram kerapatan vegetasi titik perjumpaan pada tiap tingkatan pertumbuhan di tiap tipe habitat……… 73 27 Kerapatan tumbuhan pakan tiap tingkat pertumbuhan vegetasi (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang, dan (c) tingkat pancang ……… 75

28 Kerapatan tumbuhan cover tiap tingkat pertumbuhan vegetasi; (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang, dan (c) tingkat pancang……….. 76

29 Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat fisik Cikukua timor.. 77

30 Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat biotik Cikukua timor. 79 31 Diagram persentase estimasi kepadatan populasi burung Cikukua timor. 84 32 Peta penutupan lahan di lanskap Camplong ……… 85

33 Peta NDVI ……… 86

34 Peta ketinggian tempat ………. 86

35 Peta kemiringan lahan ……….. 87

36 Peta jarak dari sungai ………... 87

37 Peta Jarak dari hutan primer ………. 88

38 Peta jarak dari hutan sekunder ………. 88

39 Peta jarak dari belukar ………. 89

40 Peta jarak dari pemukiman ……….. 89

41 Peta jarak dari jalan ………. 90

42 Peta jarak dari kebun jambu mete ……… 90

43 Peta jarak dari kebun palawija ……….. .. 91

44 Peta jarak dari sungai ………... 91

45 Burung P.inornatus sedang mengambil serangga (insekta) pada lubang batang kapuk hutan hutan G. malabarica…………. 103


(21)

vii

46 Perilaku menelisik Cikukua Timor di bawah lapisan tajuk S. oleosa di daerah edge tipe habitat hutan primer TWA Camplong……….…. 111 47 Tunggak penebangan liar vegetasi sumber pakan nektar Cassiasp di

kawasan TWA Camplong……….………… 116

48 Kegiatan perburuan illegal dengan alat berburu modern (senapan


(22)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Jenis-jenis vegetasi yang teramati pada 40 titik presence Cikukua timor (Observasi Mei-Juli 2011)………. 143 2. Jenis-jenis vegetasi yang dijumpai dimanfaatkan oleh cikukua timor... 145 3. Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat pohon menggunakan plot

lingkaran dengan luas 1000 m2 (jari-jari 17,8 m) pada titik perjumpaan burung Cikukua Timor di setiap garis transek dan grid

pengamatan……… 147

4. Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat tiang menggunakan plot lingkaran dengan luas 100 m2 (jari-jari 5,64 m) pada titik perjumpaan burung cikukua timor di setiap garis transek dan grid

pengamatan………

149 5. Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat pancang menggunakan plot

lingkaran dengan luas 25 m2 (jari-jari 1,13 m) pada titik perjumpaan

Cikukua timor atan ……….………. 151

6. Rekapitulasi estimasi kepadatan populasi Cikuku timor menggunakan distance sampling berdasarkan data garis transek …… 152 7. Analisis estimasi kepadatan populasi Cikukua timor menggunakan

distance sampling dengan data garis transek ………. 153 8. Nilai hasil interpretasi peta tematik faktor fisik pada 40 titik

perjumpaan burung Cikukua timordi lanskap Camplong……….. 154 9. Nilai pada berbagai veriabel faktor biotik pada seluruh titik

perjumpaan Cikukua timordi lanskap Camplong…..……… 157 10 Hasil analisi regresi linear berganda dengan prosedur stepwise

terhadap peubah determinan kehadiran Cikukua timor di lanskap Camplong……….

159

11 Hasil PCA faktor fisik habitat Cikukua timor... 162 12 Hasil PCA terhadap faktor biotik Cikukua timor... 164 13 Hasil klasifikasi tutupan lahan lanskap Camplong………. 167 Nomor


(23)

 

1.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau Lombok, Sumbawa, Flores, dan Sumba). Pulau Timor memiliki 28 spesies burung endemik Nusa Tenggara dan dari jumlah tersebut terdapat tujuh jenis burung endemik Pulau Timor (Noske & Saleh 1997). Menurut Sujatnika et al. (1995), Trainor (2002), dan Alves (2007) di Pulau Timor terdapat enam jenis burung endemik dan salah satu jenis burung endemik tersebut adalah burung Cikukua timor (Philemon inornatus, G.R.Gray. 1846) yang merupakan anggota suku Meliphagidae. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, semua jenis dari famili Meliphagidae tergolong dalam status dilindungi. Cikukua timor juga dikategorikan sebagai burung sebaran terbatas (Restricted Range/RR), artinya burung yang memiliki distribusi secara global di alam kurang dari 50.000 km2. Populasi Cikukua timor di lanskap Camplong diduga terus menunjukkan penurunan populasi dalam enam tahun terakhir (2006-2011). Indikasi ini dapat diketahui dari semakin berkurangnya tingkat perjumpaan Cikukua timor di alam, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Camplong. Sebelum tahun 1990-an burung ini merupakan burung yang umum ditemukan. Menurut Henriques dan Narciso (2010) Cikukua timor di Timor Leste merupakan salah satu dari beberapa spesies yang terancam punah (endangered).

Menurut Sujatnika et al. (1995) hutan gugur-daun di TWA Camplong telah mengalami proses kerusakan dan gangguan, sedangkan Noske dan Saleh (1996) mengatakan bahwa faktor keterancaman utama burung-burung hutan di Timor berasal dari kerusakan habitat, tekanan perburuan, dan mungkin dari tekanan penggembalaan. Beberapa faktor penyebab kerusakan habitat yaitu; praktek

illegal loging, kebakaran hutan, penggembalaan ternak secara liar, pembukaan dan pelebaran jalan dalam kawasan TWA Camplong, praktek pembukaan lahan budidaya pertanian dengan pembakaran. Berbagai aktivitas tersebut telah


(24)

 

mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk lanskap kawasan sehingga kualitas maupun kuantitas habitat Cikukua timor di lanskap Camplong semakin berkurang.

Kumara (2006), menjelaskan bahwa perubahan suatu lanskap kawasan dapat diketahui dengan kuantifikasi pola spasial lanskap yang merupakan hal penting dalam pengelolaan kawasan. Pada bentuk lanskap yang berubah, setiap spesies termasuk Cikukua timor akan mencari patch-patch habitat yang memiliki karakteristik habitat tertentu untuk mendapatkan kebutuhan hidup agar tetap bertahan hidup (survive) dan bereproduksi. Oja et al. (2005) dan Nursal (2007) menyatakan bahwa habitat yang sesuai bagi suatu spesies dicirikan oleh kehadiran spesies tersebut serta tersedianya kebutuhan untuk mampu bertahan hidup dan berhasil bereproduksi dalam jangka waktu yang cukup lama.

Menurut Sujatnika et al. (1995), kegiatan survei dan inventariasi tentang status habitat dan spesies satwaliar di Timor dan Wetar belum banyak diketahui. Hingga tahun 1995 tidak ada studi ekologi yang telah dilakukan untuk mendata burung-burung hutan di Timor (Noske & Saleh 1996). Khusus informasi mengenai habitat Cikukua timor hingga tahun 2011 masih terbatas pada sebaran berdasarkan altitude dan tipe hutan (Trainor 2002; 2008). Menurut Aarts (2008), pengelolaan dan konservasi populasi satwa membutuhkan informasi tentang dimana dan mengapa satwa tersebut ada, serta dimana lagi mereka mampu hidup. Informasi ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data penggunaan ruang, hubungan data posisional untuk kondisi umum lingkungan dan memanfaatkan hasil model statistik untuk memprediksi penggunaan wilayah geografis lainnya. Pencapaian tujuan tersebut dapat ditempuh melalui kajian spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG).

Kajian spasial merupakan salah satu kegiatan penting untuk memahami karakteristik faktor-faktor habitat baik fisik (abiotik) maupun biotik yang dibutuhkan oleh Cikukua timor. Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam serta membantu proses perancangan kawasan agar mewakili komunitas hayati yang ada, bahkan menampilkan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk mencari spesies langka maupun dilindungi.


(25)

3 Aplikasi SIG akan mampu memberikan informasi ilmiah tentang tipe habitat dan karakteristik atribut-atribut habitat yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi Cikukua timor. Data dan informasi ini diharapkan dapat membantu pengelola merancang strategi pengelolaan untuk menjamin suksesnya konservasi in-situ Cikukua timor pada masa mendatang di lanskap Camplong. 1.2.Perumusan Masalah

Lanskap Camplong merupakan salah satu habitat penting Cikukua timor di Pulau Timor. Wilayah tutupan hutan alam yang cukup luas hanya dijumpai di dalam kawasan TWA Camplong. Taman Wisata Alam Camplong ditetapkan sebagai hutan wisata Tanggal 12 Desember 1983 oleh Menteri Pertanian melalui Keputusan Nomor: 89/Kpts/UMK/83 berdasarkan hasil Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan luas 696,60 ha. Aktivitas masyarakat di dalam (enclave) maupun di luar kawasan TWA Camplong diduga memberikan tekanan terhadap keutuhan kawasan dan berpotensi mengubah bentuk lanskap yang ada di ekosistem hutan. Habitat berpotensi secara kualitas dan kuantitas untuk burung-burung endemik termasuk Cikukua timor akan berkurang. Akibatnya beberapa komponen habitat fisik dan biotik tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup yang optimal untuk survive dan bereproduksi dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini dapat pula berdampak pada penurunan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong.

Satwa yang hidup pada habitat yang terbatas akan memilih karakteristik habitat tertentu yang sesuai bagi kelangsungan hidupnya. Moris (1987) menyatakan pemilihan habitat merupakan suatu hal penting bagi satwa liar, karena mereka dapat bergerak secara mudah dari suatu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi dan menempati tempat baru yang menguntungkan. Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa rumusan pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan upaya pelestarian Cikukua timor di lanskap Camplong dapat dirangkai sebagai berikut ;

1. Apa faktor-faktor dominan komponen habitat (fisik/abiotik dan biotik) yang berpengaruh terhadap karakteristik habitat Cikukua timor?

2. Berapa dugaan kepadatan populasi Cikukua timor pada saat dilakukan penelitian ini?


(26)

 

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi tentang: 1. Karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan faktor-faktor (peubah)

dominan komponen habitat fisik dan biotik yang berpengaruh terhadap keberadaan Cikukua timor.

2. Menduga kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong pada saat dilakukan penelitian ini.

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa ketersediaan data dan informasi karakteristik habitat dan dugaan populasi Cikukua timor sehingga dapat membantu pengelola dalam merancang strategi konservasi in-situ

di lanskap Camplong. 1.5. Kerangka Pemikiran

Cikukua timor merupakan salah satu dari enam jenis burung endemik Timor yang dapat dijumpai di kawasan TWA Camplong dan sekitarnya yang tergabung dalam lanskap Camplong. Diduga populasi dan sebaran Cikukua timor di lanskap Camplong hingga tahun 2011 terus mengalami penurunan akibat berbagai tekanan perubahan lanskap dan habitat serta aktivitas perburuan illegal.

Lanskap Camplong memiliki berbagai tipe ekosistem penting bagi kehidupan Cikukua timor. Berbagai tipe ekosistem tersebut sebagian besar berada di dalam kawasan TWA Camplong. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan TWA Camplong hanya memiliki luas 696,6 ha, namun di dalamnya terdapat tipe-tipe ekosistem penting. Beberapa tipe ekosistem tersebut yaitu; hutan selalu hijau, hutan gugur daun (deciduous forest), savana yang didominasi tegakan kayu putih (Eucalyptus alba), hutan tanaman jati Tectona grandis, flamboyan Delonix regia, johar Cassia siamea, plot percontohan jambu mete, dan mamar (hutan adat). Secara umum lanskap Camplong terbagi dalam tiga tipe ekosistem hutan yaitu ekosistem hutan musim


(27)

5 yang dicirikan oleh pepohonan yang tidak tinggi (15-20 m) dan memiliki banyak percabangan, ekosistem hutan savana dan ekosistem hutan tanaman. Karakteristik tipe habitat yang demikian dapat merepresentasikan karakteristik habitat yang dibutuhkan Cikukua timor untuk tetap survive dan bereproduksi ke generasi selanjutnya di Pulau Timor.

Kekhasan ekosistem seperti ini berperan penting untuk mendukung keberadaan satwa seperti Cikukua timor dan berbagai jenis burung lainnya. Wilayah berhutan yang berpotensi sebagai habitat Cikukua timor sangat terbatas di lanskap Camplong. Beberapa tahun terakhir hingga 2011, beberapa tipe habitat yang berpotensi bagi Cikukua timor di lanskap Camplong telah mengalami perubahan tipe tutupan lahan. Diduga beberapa tutupan lahan berhutan dan savana telah berubah menjadi tutupan lahan semak dan belukar yang didominasi oleh vegetasi invasi yaitu Chromolaena odorata. Perubahan tutupan lahan yang potensial bagi satwa berdampak mengurangi ketersediaan tipe habitat sebagai tempat mencari makan (foraging site) dan cover. Perubahan tutupan lahan dapat mendorong satwa seperti Cikukua timor untuk berada pada titik-titik konsentrasi tertentu, sehingga memudahkan pemburu dalam melakukan aktivitas berburu secara liar (illegal hunting) di dalam dan di luar kawasan hutan. Kondisi demikian berkontribusi terhadap trend penurunan pertumbuhan dan perkembangan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong.

Keberadaan ekosistem hutan di lanskap Camplong sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim (terutama angin dan curah hujan), geologi dan tanah. Vegetasi umumnya tumbuh di atas tanah yang bersolum dangkal dan di celah-celah batu yang didominasi bebatuan karang. Iklim sangat kering, angin bertiup kencang, topografi berbukit-bukit curam, dan sumber air tanah terbatas. Faktor-faktor tersebut merupakan unsur pendorong praktek pertanian tebas bakar oleh masyarakat setempat dan masyarakat Timor pada umumnya. Kondisi ini mempengaruhi kestabilan ekosistem hutan, savana, semak, belukar dan lahan budidaya setempat sebagai habitat Cikukua timor. Alikodra (2002) menjelaskan bahwa pada dasarnya pengelolaan habitat merupakan inti dari pelestarian satwaliar.

Di alam, satwaliar akan melakukan tindakan untuk memilih karakteristik habitat yang sesuai untuk memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan


(28)

 

bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya. Karakteristik habitat yang dibutuhkan dapat dihasilkan melalui kajian spasial dengan memanfaatkan perangkat SIG. Sinclair et al.(2006) menjelaskan bahwa SIG memungkinkan pengguna untuk mengidentifikasi dan mengukur hubungan timbal balik spasial antara variabel yang sangat sulit untuk tampil di lapangan. Kombinasi kompleks variabel kategori dan kontinu dapat segera diakomodasi menggunakan metode ini. SIG dapat digunakan untuk mencari, memanipulasi, dan menganalisis data habitat yang disukai. SIG merupakan terobosan teknologi dalam analisis kebutuhan habitat satwaliar yang mengubah cara kita berpikir tentang konservasi dan isu-isu manajemen. Hal ini menjadi dasar pelaksanaan penelitian karakteristik habitat Cikukua timor di lanskap Camplong. Gambar kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Cikukua timor

Populasi dan sebaran menurun

Perubahan lanskap dan habitat

Identifikasi PresenceCikukua timor

Identifikasi komponen habitat (makro) dan komponen habitat (mikro)

Karakteristik habitat Cikukua timor Analisis SIG

Air Topografi Jarak dari beberapa tipe

ekosistem

Abiotik Biotik

Vegetasi Manusia Spesies Lain


(29)

   

   

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Bio-ekologi Cikukua timor

2.1.1. Jenis-jenis Cikukua dan gambaran ringkas morfologinya

Terdapat enam jenis burung Cikukua yang tergolong dalam genus Philemon di daerah Walacea (Coates et al. 2000), yaitu: (1) Cikukua kecil (P. citreogularis), yang merupakan burung penetap (ada sepanjang tahun dan berbiak) di Nusa Tenggara (Kisar-Moa). Burung ini memiliki ukuran tubuh 25 cm, dan bagian pipi yang gundul berwarna abu-abu kebiruan. Burung-burung remaja memiliki tenggorokan bernuansa kuning; (2) Cikukua timor, yang merupakan burung endemik kawasan Wallacea dan memiliki sebaran di Timor (Nusa Tenggara Timur). Burung ini memiliki ukuran tubuh 24 cm, memiliki mata polos, kulit di sekeliling mata agak gundul, dan sekilas nampak hampir mirip dengan Cikukua tanduk (P. buceroides); (3) P. buceroides, merupakan penetap di Nusa Tenggara. Hal yang dapat membedakan dengan P. inornatus adalah ukuran tubuh yang lebih besar (29-33 cm), berwarna kecoklatan kusam, bagian bawah lebih pucat, muka dan sisi kepala gelap dan gundul, paruh hitam besar dengan kenop pada paruh khas, pada Cikukua tanduk remaja memiliki punggung bersisik putih, tenggorokan dan dada agak kuning, kenop pada paruh samar-samar dan

P.b. buceroides terdapat di NTT; (4) Cikukua hitam (P. fuscicapillus) terdapat di Maluku bagian Utara, memiliki ciri berukuran tubuh 30 cm, bercak-mata gundul merah-jambu, paruhnya kokoh, kenop pada paruh tidak jelas, sekilas nampak mirip dengan kepudang halmahera (Oriolus phaeochromus), (5) Cikukua seram (P. subcorniculatus) di Maluku sebarannya terbatas sampai di Seram, memiliki ukuran tubuh 35 cm, berwarna coklat zaitun, bagian bawah lebih pucat, muka gundul gelap bercak-mata bervariasi coklat kekuningan hingga kemerahan, leher belakang abu-abu, dada kekuningan, kenop pada paruh tidak jelas, sekilas nampak seperti kepudang seram (Oriolus bouroensis); (6) Cikukua maluku (P. moluccensis) di Nusa Tenggara (Tanimbar) dan Maluku (Buru dan Kei) memiliki ciri ukuran tubuh 31-37 cm, berwarna coklat, bagian bawah dan leher belakang lebih pucat, bercak-muka gundul kehitaman, burung remaja memiliki ciri sisi


(30)

 

tenggorokan bagian bawah agak kuning, P. m. moluccensis (Buru), tidak ada kenop pada paruh, tenggorokan keputih-putihan, alis pucat, sekilas nampak seperti kepudang muka hitam (Oriolus bouroensis).

a. Cikukua timor b. Cikukua tanduk Gambar 2 Perbedaan Cikukua timor dengan Cikukua tanduk.

2.1.2. Klasifikasi Cikukua timor

Sistematika Cikukua timor sebagai berikut;

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Aves

Ordo : Passeriformes Famili : Meliphagidae

Genus : Philemon

Spesies : Philemon inornatus (G.R Gray, 1846)

Nama Daerah : Cikukua timor (Indonesia); koakiko (Kupang-Timor), Lorikeet (Timor Leste).

Nama Inggris : Timor Friarbird/Plain friarbird (Sukmantoro et al. 2007) 2.1.3. Daerah penyebaran Cikukua timor

Burung ini merupakan jenis endemik Timor. Burung Cikukua timor hidup pada ketinggian 0-2400 dari permukaan laut (Coates et al. 2000). Status Cikukua timor dalam kategori Endemic Bird Areas (EBAs) adalah RR (Restricted-range) ditemukan di tipe hutan tropis kering (tropical dry forest)


(31)

9

(Trainor 2002). International Union for the Conservation of Nature and Nature Resources (IUCN) memasukkan status keterancaman spesies Cikukua timor yang terkategori Least Concern (LC) Ver 3.1. (BirdLife International, 2009). Status LC menunjukkan bahwa keberadaan populasi burung Cikukua timor di alam masih umum ditemukan dan tidak terancam kepunahan maupun kategori mendekati kepunahan atau Near Treatened (NT). Laporan IUCN ini berdasarkan data Coates dan Bishop (1997), bahwa ukuran populasi secara global tidak dihitung, tapi keberadaan spesies ini tersebar luas dan umum ditemukan di Timur Leste (http: //www. iucnredlist. org/apps/redlist/details, 2011 [19 Februari 2011]).

Habitat Cikukua timor dan Cikukua tanduk sama-sama di hutan tropis (Tropical Forest), daerah berhutan (Woodland), dan perkebunan (Plantation), dan dikategorikan sebagai common resident (cr) (Trainor et al. 2008). Trainor (2002) juga menyatakan Cikukua timor hidup di habitat hutan muson (monsoon forest). Cikukua tanduk atau Helmeted Friarbird P. buceroides merupakan burung yang umum di savana dataran rendah, memiliki distribusi di bagian Barat atau Utara Wallacea (yang terhubung dengan pulau dan yang bertautan dengan benua Asia Selatan-Timur (Trainor et al. 2008).

Gambar 3 Peta Pulau Timor, wilayah garis perbatasan dan penyebaran burung di Timor Leste dan Timor Barat, Indonesia (Sumber: Trainor et al. 2008). 2.2. Karakterisitik Burung Pemakan Nektar

Suku Meliphagidae (isap madu) termasuk ke dalam burung Australo-Papua yang besar. Terwakili dengan baik di Indonesia bagian Timur, tetapi jarang mencapai kawasan Sunda. Suku burung ini beragam, mulai dari jenis berukuran


(32)

 

besar seperti burung Cikukua yang mengisi relung rangkong sampai berukuran kecil mengisi relung yang sama dengan Pijantung dan Burung madu (MacKinnon

et al. 2010)

Penampakan umumnya tidak mencolok. Paruhnya ramping, tajam dan melengkung ke bawah. Memakan nektar, buah-buahan dan serangga. Sarangnya dibuat berbentuk mangkuk. Satu-satunya wakil dari suku ini adalah isap-madu Indonesia (Lichmera limbata), khas untuk anggota yang berukuran kecil dalam suku ini (MacKinnon et al. 2010). Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.Peran tersebut tercermin dari posisi tropik yang ditempatinya. Sebagai contoh, burung pemakan nektar dan buah berperan dalam proses penyerbukan buah dan penyebaran biji (Partasasmita 2009).

Deliso (2008) menjelaskan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi populasi burung kolibri (hummingbird) di Monteverde, Pegunungan Tilaran, Costa Rica. Perubahan iklim telah mempengaruhi tanaman penghasil nektar. Kolibri telah mengalami efek kompleks pada komunitas tumbuhan melalui penyerbukan. Selanjutnya, nektar dan produksi bunga mempengaruhi perilaku, ukuran populasi, dan siklus kehidupan burung. Variabel iklim yang mencakup curah hujan, temperatur dan penutupan awan mempengaruhi produksi nektar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan yang menurun, terjadinya peningkatan suhu dan penutupan awan telah berdampak langsung kepada populasi kolibri dan tanaman yang mendukung kehidupannya. Famili kolibri lebih memilih jenis tumbuhan yang menghasilkan bunga dengan tempat daun bunga (petal) dan bukaan diameter korola yang lebih besar. Kolibri mengunjungi bunga di hari pertama bunga tersebut mekar dengan jumlah kunjungan sebanyak tiga kali secara bertahap. Selain itu, tanaman yang berukuran besar dengan bunga lebih banyak, dan jumlah nektar lebih besar, menerima kunjungan lebih banyak per tanaman dan per bunga dibandingkan tanaman kecil dengan beberapa bunga saja.

Honeyeaters dapat memakan serangga kecil atau serbuk sari ketika mereka mengunjungi bunga yang berukuran kecil. Honeyeaters cenderung makan di daerah hutan yang memilliki ciri-ciri tersendiri (discrete) karena mereka memiliki kepentingan makanan yang sama (Castro & Robertson 1997). Honeyeaters


(33)

11

ataupun hummingbirds (Fam.Trochilidae) mendapatkan lebih banyak airnya dari nektar yang mereka konsumsi dan kadang-kadang asupan air yang berlebihan diperoleh melalui nektar (Nicolson 2006).

Rata-rata, bunga untuk burung pemakan nektar mengandung 75-80% air (Nicolson 2006). Tumbuhan yang terbanyak menyediakan sumber nektar untuk honeyeaters di Australia berasal dari famili Myrtaceae (10 genus; pohon dan semak belukar), Proteaceae (7 genus: pohon dan semak), Loranthaceae (6 genus: hemisparasites); Rutaceae (6 genus; pohon dan semak), Epacridaceae (5 genus; semak), dan famili penting lainnya yaitu Myoporacea, Haemodoracea, dan Fabacea di Australia Selatan-Timur (Ford et al. 1979).

2.3. Teritori Famili Meliphagidae

Maher dan Lott (1995) menyatakan bahwa definisi teritori secara konseptual kebanyakan berbeda antara satu dengan yang lainnya dari tiga tipe yaitu; (1) daerah pertahanan, (2) daerah eksklusif, (3) dominan lokasi spesifik. Teritori pada burung paling umum didefinisikan secara konseptual sebagai areal pertahanan. Penelitian burung kebanyakan terkait dengan penandaan teritori dengan nyanyian. Nyanyian merupakan cara relatif lebih mudah untuk mengukur dan mengidentifikasi teritori; pada habitat yang visibilitas yang rendah, mengukur jumlah nyanyian lebih mudah daripada menghitung jumlah pergerakan penyusupan melalui vegetasi.

Graf (2008) menyatakan bahwa teritori berkaitan erat dengan seleksi habitat, karena burung teritorial harus mencari patch yang belum digunakan oleh pesaing sejenis atau lain atau harus merebut suatu wilayah yang sudah digunakan oleh individu atau pasangan lainnya. Teritorialitas biasanya ditunjukkan dengan respon agresifitas terhadap individu lain yang melibatkan penggusuran (displacing), berburu (chasing) atau membentur (striking) dan beberapa respon yang lebih lemah seperti nyanyian dan atraksi lainnya. Menetapkan dan mempertahankan wilayah merupakan pendekatan untuk mengamankan ketersediaan sumberdaya yang terbatas seperti makanan, lokasi bersarang dan kawin.


(34)

 

2.4. Perilaku

Penelitian di wilayah Armidale, New South Wales (NSW), selama lebih dari 8 tahun dengan melakukan pencincinan burung (banded birds) oleh Ford tahun 1999 diketahui bahwa aktivitas organisasi sosial burung P. corniculatus, seringkali kelihatan dilakukan oleh seekor, berpasangan atau bersama-sama (flocks) (Clements 2000). Menurut Sukarsono (2009), perilaku sosial menyediakan banyak manfaat. Banyak binatang lebih sukses dalam menemukan makanan jika mereka mencarinya secara berkelompok, terutama jika sumber-sumber daya makanan hanya terdapat di tempat tertentu. Jika lebih banyak individu bekerja sama, maka akan ada satu atau lebih kesempatan mereka menemukan makanan. Tracey et al. (2007) Noisy friarbirs dapat bermigrasi dan kebanyakan populasi Noisy friarbirs terlihat bergerak mengembara (nomadic) mengikuti kualitas nektar terbaik dari pohon dan belukar yang sedang berbunga. Noysi friarbird tercatat melakukan berpindah terjauh 510 km dari selatan Mudgee ke Mita-Mita di timur laut Victoria.

Noisy friarbirs makan bersama kelompok lorikeets, red wattlebirds (Anthochaeracarunculata) dan honeyeaters (Melipagidae) lain sampai berkompetisi secara intensif pada saat kekurangan pakan. Secara umum friarbird makan dalam kelompok kecil yang ribut, tidak lebih dari 20 induvidu, tapi berkelompok lebih besar dapat terjadi sekitar sumber pakan (Tracey et al. 2007)

Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Bailey (1984) menyatakan bahwa satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdaya habitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Banyak hewan tinggal dalam kelompok sosial yang dilakukan juga untuk perlindungan. Beberapa binatang membentuk kelompok sosial untuk membuat


(35)

13

perjalanan mereka lebih mudah, seperti Angga kenada dan spesies burung lain secara tipikal terbang dengan formasi V (Sukarsono 2009). Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hirarki dan teritorial. Sistem hirarki dan teritorialisme ini selanjutnya mengendalikan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984).

2.5.Habitat

Morrison (2005) menyatakan bahwa istilah habitat terkait pada konfigurasi spesifik dari komponen lingkungan (misalnya, vegetasi, permukaan batuan, air) yang digunakan satwa pada setiap titik waktu. Habitat merupakan konsep spesifik suatu spesies, dimana setiap spesies hewan menggunakan suatu kombinasi dari komponen lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, tidak ada daerah spesifik habitat yang baik atau buruk, kecuali jika dinilai dalam hubungannya dengan spesies tertentu. Jadi apa yang “baik” untuk satu spesies mungkin “ tidak baik” bagi spesies lain.

Kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar disebut habitat (Alikodra 2002). Menurut Krebs (1978); Leksono (2007), habitat merupakan lingkungan dimana spesies berada atau habitat adalah bagian biosfer dimana organisme dapat hidup, baik secara permanen maupun temporer.

Menurut Bailey (1984), habitat suatu organisme pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Kebutuhan habitat dari suatu spesies satwaliar adalah faktor yang menentukan kesejahteraan bagi suatu jenis satwa. Tersedianya kebutuhan habitat suatu jenis satwa selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan kesehatan dari satwa. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Persyaratan habitat terdiri dari pakan, penutupan tajuk dan faktor lain yang dibutuhkan oleh satwaliar untuk bertahan


(36)

 

hidup serta untuk keberhasilan proses reproduksi. Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung (Alikodra 2002). Berdasarkan segi komponennya, habitat terdiri dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik dan biotik ini membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar.

Faktor-faktor dari komponen fisik yang berperan dalam pertumbuhan populasi satwaliar antara lain; (a) air dimana ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal, dan iklim tidak hanya menentukan kuantitas total air yang tersedia per tahun, tetapi juga keadaan hujan yang merata sepanjang tahun atau hanya beberapa bulan saja, (b) radiasi surya diubah dengan cara kimia setelah sampai di permukaan bumi untuk dipergunakan oleh berbagai organisme, (c) temperatur dimana berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kematian suatu organisme, dan secara umum temperatur berpengaruh terhadap perilaku satwaliar, ukuran tubuh ataupun bagian-bagiannya, (d) panjang hari dimana aktivitas satwaliar banyak tergantung pada panjang hari, terutama jenis satwa yang aktif pada siang hari (diurnal) dan berlindung pada malam hari, jenis satwaliar yang aktif pada malam hari (nocturnal), dan beberapa jenis aktif pada waktu senja ataupun fajar (crepuscular), (e) aliran dan tekanan udara berperan sangat penting bagi beberapa jenis satwaliar seperti jenis elang, mempengaruhi tingkat kandungan air dan kelembaban relatif tanah, mempunyai kekuatan sebagai perusak, perbedaan tekanan udara berdasarkan perbedaan ketinggian dapat menyebabkan perbedaan bentuk kehidupan, dimana semakin tinggi suatu tempat akan semakin rendah tekanan udaranya, sehingga mempersulit proses respirasi satwaliar, (f) tanah yang terbentuk sebagai hasil interaksi proses geologis, iklim, dan biologis, secara umum tipe tanah berpengaruh terhadap tipe vegetasi, sehingga dapat menentukan struktur kehidupan satwaliar yang menempatinya (Alikodra 2002).

Faktor-faktor dari komponen biotik terdiri dari kuantitas dan kualitas makanan, pemangsaan (predasi) dan penyakit (Bailey 1984). Satwaliar memerlukan kuantitas dan kualitas makanan yang berbeda menurut jenis, perbedaan jenis kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim, cuaca dan kondisi geografis. Alikodra (2002) menyatakan bahwa adanya asosiasi antara mangsa


(37)

15

(prey) dan pemangsa (predator) menunjukkan bahwa populasi mangsa akan ditentukan oleh ukuran populasi predator, dan populasi predator akan ditentukan oleh ketersediaan mangsa.

2.6. Preferensi Habitat

Habitat preferensi mencerminkan integrasi beberapa faktor lingkungan pada beberapa skala spasial, dan individu mungkin memiliki lebih dari satu pilihan untuk mengoptimalkan fitness melalui strategi seleksi habitat. Penilaian kualitas habitat untuk strategi manajemen idealnya harus mencakup analisis beragam konsekwensi fitness pada berbagai tingkatan spasial ekologi yang relevan (Chalfoun & Martin 2007). Preferensi habitat didorong oleh interaksi yang kompleks antara pola-pola perilaku, persyaratan biologis dan kondisi lingkungan (Ersts & Rosenbaum 2003).

Menurut Celuch dan Zahn (2008) secara umum, tujuan untuk menentukan preferensi habitat suatu spesies adalah untuk mengevaluasi kualitas habitat yang memiliki kontribusi terhadap kelangsungan hidup dari populasi tersebut. Penggunaan habitat menjadi selektif jika satwa membuat pilihan dibandingkan mengembara dengan sembarangan di luar lingkungannya. Penilaian kualitas suatu habitat berdasarkan pada pemahaman bahwa preferensi dan seleksi adalah terkait dengan fitness dan karena itu preferensi dapat diduga dari pola pemanfaatan yang diamati.

Mengidentifikasi atribut-atribut habitat yang mempengaruhi pemilihan habitat dan meningkatkan fitness adalah hal penting untuk pengelolaan yang efektif (Chalfoun & Martin 2007). Leksono (2007) menjelaskan fitness adalah ukuran atau kemampuan kontribusi genetis individu untuk generasi berikutnya. Individu memiliki fitness yang tinggi jika mereka meningggalkan banyak keturunan. Individu dapat lebih sesuai dengan lingkungan jika; (a) memiliki laju reproduksi yang tinggi, (b) memiliki kesintesaan (lama hidup) yang lama, (c) memiliki keduanya.

2.7. Kesesuaian Habitat

Habitat yang sesuai adalah tempat yang mampu menyediakan kondisi yang dibutuhkan oleh satwa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam


(38)

 

jangka waktu yang cukup lama (Nursal, 2007). Menurut Odum (1993), proses identifikasi kesesuaian habitat satwaliar dilakukan berdasarkan kajian dan penilaian atas kebutuhan hidup satwaliar tersebut. Hal ini tidak dapat lepas dari hukum minimum Leibig dan hukum toleransi Shelford. Hukum minimum Leibig

menyatakan bahwa untuk dapat bertahan dan hidup di dalam keadaan tertentu, suatu organisme harus memiliki bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan berkembangbiak. Keperluan-keperluan dasar ini bervariasi antara jenis dan keadaan. Di bawah keadaan-keadaan mantap, bahan penting yang tersedia dalam jumlah paling mendekati jumlah minimum genting yang diperlukan akan cenderung merupakan pembatas. Hukum toleransi Shelford

menyatakan bahwa kehadiran dan keberhasilan suatu organisme atau golongan organisme bergantung pada lengkapnya kompleks keadaan. Ketiadaan atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan atau kelebihan secara kualitatif atau kuantitatif dari salah satu beberapa faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme tersebut. Keadaan manapun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai yang membatasi atau faktor pembatas.

Kebutuhan hidup minimal bagi setiap spesies satwaliar berbeda-beda satu sama lain (Odum 1993), atau dapat dikatakan bahwa setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya (Indriyanto 2006). Perbedaan tersebut mengakibatkan tidak seluruh wilayah kawasan hutan secara potensial sesuai bagi setiap spesies satwaliar. Oleh karena itu masing-masing spesies memperlihatkan perbedaan dalam lokasi keberadaannya, sehingga masing-masing spesies memiliki relung atau ruangan habitat yang berbeda (Odum 1993). Selanjutnya Indriyanto (2006) menjelaskan jika terjadi gangguan pada habitat, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya. Apabila kondisi habitat berubah hingga di luar kisaran faktor-faktor ekologi yang diperlukan oleh setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau migrasi ke tempat lain.


(39)

17

2.8. Seleksi Habitat

Johnson (1980) mendefinisikan seleksi sebagai proses dimana satwa secara nyata memilih suatu sumberdaya atau habitat; dan menurut Bailey (1984), seleksi habitat merupakan spesialisasi. Bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kesesuaian dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia. McComb (2007) menyatakan bahwa seleksi habitat adalah sekumpulan perilaku kompleks tentang suatu spesies yang dibangun diantara individu-individu di dalam populasi untuk kelangsungan fitnes. Moris (1987) menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan suatu hal penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan.

Menurut Morris (1987), faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak menentukan terjadinya pemilihan habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif.

Beberapa organisme tidak dapat menempati range pontensialnya, meskipun secara fisik mereka dapat mencapai daerah tersebut. Dengan demikian, individu-individu tersebut tidak hidup di habitat tertentu dan distribusi dari spesies mungkin dibatasi oleh faktor perilaku pemilihan habitat (Leksono 2007). Menurut Johnson (1980), hadirnya populasi atau individu tergantung pada kriteria biologi dan fisik serta kriteria ini untuk membangun habitat. Penggunaan habitat atau “Habitat use”merupakan penggunaan dari salah satu komponen-komponen ini, sedangkan seleksi habitat (“Habitat selection”) merupakan proses dimana satwa memilih komponen apa yang digunakan. Pemilihan komponen diatur dalam urutan hirarkis dengan urutan pertama adalah jangkauan geografis, kedua adalah

home range (daerah jelajah) individu dalam jarak geografis, ketiga adalah penggunaan komponen dalam home range dan keempat adalah representasi dari bagian komponen home range yang secara aktual digunakan oleh individu seperti


(40)

 

jika urutan ke-tiga merupakan suatu tempat mencari makan, urutan ke-empat adalah makanan yang dikonsumsi.

Moris (1987) menyatakan bahwa beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (seperti predasi dan kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (seperti ketersediaan mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni;(1) ketersediaan mangsa (pakan), (2) menghindari pesaing, dan (3) menghindari predator (Moris 1987; Leksono (2007).

Graf (2008) menjelaskan bahwa pemilihan habitat adalah keputusan berbagai aspek yang harus dilakukan oleh burung. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan tempat untuk berkembangbiak, kawin dan mencari makan. Beberapa faktor dari bagian habitat burung adalah struktur atribut lanskap seperti air, jurang, hutan primer, atau semak atau padang rumput, kepadatan dan semak-semak yang tidak tinggi, dekat dengan lokasi mencari makan dan peluang bersarang, ketersediaan pakan, keberadaan predator (pemangsa), mudah melakukan pertahanan (keamanan), kemungkinan survive bagi keturunannya, perubahan iklim mikro, dan jarak ke pemukiman. Bermacam-macam faktor ini menunjukkan bahwa hal tersebut sangat mahal bagi burung untuk menjelajahi seluruh wilayah untuk mengecek semua faktor ini atau setidaknya ada faktor penting untuk burung.

Leksono (2007) menjelaskan dua pendekatan untuk mempelajari seleksi habitat; pertama pendekatan proksimal yakni melihat pemilihan habitat sebagai mekanisme perilaku dan mempertanyakan dalam rangka fisiologi bagaimana hewan memilih habitatnya, kedua pendekatan ultimate atau pendekatan evolusi yakni melihat alasan adaptif untuk pemilihan habitat dan signifikansi evolusioner dari perilaku yang terlibat.

McComb (2007) menjelaskan bahwa perilaku seleksi habitat juga telah memungkinkan setiap spesies memilih habitat dengan cara yang memungkinkan untuk mengurangi kompetisi memperoleh sumber daya dengan spesies lain. Jadi, tekanan seleksi evolusioner pada setiap spesies, baik abiotik dan biotik, telah menyebabkan spesies tersebut mengembangkan strategi yang berbeda untuk kelangsungan hidup yang berkaitan dengan seleksi habitat dan dinamika populasi.


(41)

19

Beberapa spesies yang memiliki habitat generalis, dapat menggunakan sumber daya makanan dan cover yang luas. Spesies generalis cenderung mudah beradaptasi dan terdapat dalam berbagai macam kondisi lingkungan. Spesies-spesies yang lain memiliki habitat spesialis. Spesies spesialis beradaptasi bertahan hidup di hutan dengan memanfaatkan penggunaan sekumpulan sumber daya yang sempit, sumber daya bagi mereka beradaptasi lebih baik untuk digunakannya daripada kebanyakan spesies yang lain.

2.9. Struktur dan Komposisi Vegetasi

Struktur fisik hutan terbentuk oleh adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur dan sifat tumbuhnya. Kondisi ini membentuk stratifikasi menjadi relung ekologi tertentu bagi suatu jenis satwa (Duma 2007). Analisis struktur fisik vegetasi hutan, Soerianegara dan Indrawan (1998) membedakan stadium tumbuh vegetasi sebagai berikut; (a) semai (seedling) mulai dari kecambah sampai tinggi 1,5 m, (b) pancang (sapling) tumbuhan berkayu yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm, (c) tiang (pole) tumbuhan berkayu dengan diameter 10 - < 20 cm, dan (d) pohon dewasa yang berdiameter yang berdiameter ≥ 20 cm.

2.10. Kerapatan

Kerapatan atau densitas adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume atau merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang (Indriyanto 2006). Salah satu unsur habitat yang paling umum diukur adalah kerapatan yang meliputi; pohon, tiang, pancang, semak atau semai dan tanaman lain (McComb 2007). Menurut Arrijani et al. (2006), nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies yang bersangkutan pada satuan luas tertentu. Oleh karena itu nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut pada suatu lokasi penelitian. Nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran tentang bagaimana distribusi dan pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya, sedangkan pola sebaran dapat ditentukan dengan membandingkan nilai tengah spesies tertentu dengan varians populasi secara keseluruhan. Perbedaan nilai


(42)

 

kerapatan masing-masing jenis disebabkan oleh reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan.

Indriyanto (2006), menyatakan densitas pada umumnya berhubungan dengan kelimpahan berdasarkan penaksiran kualitatif seperti sangat jarang, jarang, banyak, dan sangat banyak.Kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Menurut Bibby et al. (2000), menghubungkan distribusi burung secara langsung dengan pohon dan jenis tumbuhan yang ada di suatu tempat memang sangat ideal. Kelimpahan pohon yang sedang berbuah mungkin dapat dihubungkan dengan kelimpahan jenis burung pemakan buah-buahan.

2.11. Principal Component Analysis (PCA)

Secara teknis, Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Kompunen Utama (AKU) merupakan suatu teknik mereduksi data multivariate

(banyak data) yang mencari untuk mengubah (mentransformasi) suatu matrik data awal/asli menjadi suatu set kombinasi linear yang lebih sedikit akan tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian dari data awal. Banyaknya faktor (komponen) yang dapat diekstrak dari data awal/asli ialah sebanyak variabel yang ada. Kita harus mereduksi data asli dengan sedikit mungkin komponen/faktor akan tetapi masih memuat sebagian besar variasi dari data asli/awal katakan lebih dari 80% (Supranto 2004).

Di dalam aplikasi data penginderaan jauh (inderaja), PCA merupakan salah satu metode statistika yang digunakan untuk menggali informasi dari data citra inderaja, terutama dalam hubungannya dengan multidimensi peubah (Adiningsih et al.2004). Principal Component Analysis digunakan untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif. Teknik ini sangat baik dalam mendeteksi hubungan linear antara plot-plot pada berbagai komposisi jenis, kepadatan dan cover. Principal Component Analysis telah digunakan sebagai cara terbaik melakukan analisis awal dari skema klasifikasi vegetasi dalam mempersiapkan membangun peta vegetasi. Komponen utama dihitung berdasarkan kombinasi linear dari variabel-variabel yang digunakan dalam analisis, dengan koefisien yang sama untuk eigenvector dari korelasi atau matriks kovarian. Komponen utama diurutkan berdasarkan urutan eigenvalue, dimana


(43)

21

sama dengan komponen varian. Bila diterapkan dengan benar, PCA sangat kuat untuk analisis awal dataset vegetasi, terutama untuk analisis komunitas tumbuhan. Hal ini merupakan langkah awal yang efektif sebagai cara untuk mengklaster plot-plot survei yang memiliki komposisi, kepadatan atau cover yang serupa (Department of The Army USA 1999).

Syartinilia (2008) menjelaskan bahwa korelasi berbasis PCA menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) dilakukan pada variabel lingkungan dalam rangka untuk mengukur pola lanskap yang independent

satu sama lainnya. Secara matematis, PCA, melibatkan eigen analisis dari persamaan matriks simetris atau koefisien korelasi antara variabel-variabel geografis untuk menghasilkan serangkaian eigenvalues dan eigenvector yang saling berhubungan. Komponen utama diakhiri dengan dirotasi menggunakan metode varimax untuk membantu interpretasi cara penyelesaian faktor. Kemudian komponen-komponen diinterpretasikan dengan menggunakan komponen yang dimasukkan (korelasi antara komponen utama dan setiap variabel asli).

Khera et al. (2009) menggunakan PCA dengan program XLSTAT (Versi 2007.6) untuk menganalisis distribusi burung pada 19 ruang hijau dan menentukan ukuran ruang hijau dan spesies tumbuhan berkayu yang mempengaruhi kelimpahan spesies burung di Delhi, India. Data matrik PCA terdiri dari 19 lokasi x 56 jenis burung. Nilai rata-rata sejumlah individu dicatat dari tiap spesies yang digunakan dalam matriks. Dua sumbu utama dihubungkan dengan variabel-variabel habitat seperti ukuran ruang hijau, keanekaragaman dan kepadatan spesies tumbuhan menggunakan korelasi Pearson. Korelasi Pearson digunakan untuk menentukan bagaimana ukuran komunitas burung secara keseluruhan dipengaruhi oleh ukuran ruang hijau, keragaman dan kepadatan vegetasi berkayu, jumlah spesies burung dan keragamannya berkurang dengan ukuran ruang hijau. Hasil analisis dengan PCA menunjukkan bahwa spesies burung cenderung lebih memilih hutan dengan semakin bertambahnya ukuran ruang hijau, keragaman dan kepadatan semak belukar.


(44)

 

2.12. Populasi

Populasi didefinisi sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu (Anderson, 2002). Dalam pengelolaan satwaliar, Alikodra (2002) memberikan batasan populasi menjadi “kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya”. Dalam ilmu dinamika populasi, Tarumingkeng (1994) mendefinisikan populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu.

Suatu populasi memiliki sifat-sifat khas yaitu; kepadatan (denstitas), laju kelahiran (natalitas) laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi), pemencaran (disperse), struktur umur, potensi biotik, sifat genetik, nisbah kelamin dan perilaku (Tarumingkeng 1994; Alikodra 2002). Kepadatan populasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa parameter demografi antara lain; natalitas, mortalitas, struktur populasi, nisbah kelamin, dan migrasi (Alikodra 2002).

Survei memberikan informasi dasar tentang distribusi spesies dan jumlah populasi. Survei mengkaji situasi pada suatu saat tertentu, sedangkan program pemantauan umumnya mendeteksi perkembangan menuju situasi yang telah ditetapkan. Survei berperan penting pada saat merancang jaringan kawasan lindung, menentukan perbatasan kawasan suaka atau batas-batas koridor yang menghubungkan populasi yang terisolasi, dan saat memutuskan di lokasi mana akan dilakukan investasi waktu dan upaya untuk kegiatan perlindungan atau penelitian (Khul et al. 2011).

2.13. Lanskap

Lanskap merupakan suatu konsep ruang yang holistis dan umum, jauh lebih luas daripada komponen-komponen penyusunnya; dataran, tanah, penutup dan penggunaan lahan (Sheil et al. 2004). Lanskap dapat diartikan sebagai tata ruang atau bentang alam yang didalamnya terdiri dari berbagai kegiatan baik yang


(1)

165

Lanjutan

Lampiran

12

[DataSet0] Communalities

Initial Extraction

Jml_Spesies 1,000 0,738

T_Pohon 1,000 0,690

T_Tiang 1,000 0,430

T_Pancang 1,000 0,874

Jml_Sp_Pakan 1,000 0,895

Jml_Ind_Pakan 1,000 0,940

Jml_Sp_Cover 1,000 0,878

Jml_Ind_Cover 1,000 0,951

D_Phn_Pakan 1,000 0,459

D_Tg_Pakan 1,000 0,796

D_Pcg_Pakan 1,000 0,695

D_Phn_Cover 1,000 0,712

D_Tg_Cover 1,000 0,512

D_Pcg_Cover 1,000 0,498

Extraction Method: Principal Component Analysis. Total Variance Explained

Component

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative

(%) Total % of Variance Cumulat

ive (%)

1 3,973 28,381 28,381 3,973 28,381 28,381

2 2,814 20,103 48,484 2,814 20,103 48,484

3 2,093 14,948 63,432 2,093 14,948 63,432

4 1,186 8,474 71,907 1,186 8,474 71,907

5 0,858 6,131 78,037

6 0,809 5,778 83,815

7 0,691 4,937 88,753

8 0,472 3,373 92,126

9 0,350 2,503 94,629

10 0,296 2,116 96,745 11 0,232 1,657 98,402 12 0,181 1,290 99,692 13 0,027 0,192 99,884 14 0,016 0,116 100,000 Extraction Method: Principal Component Analysis.


(2)

166

Lanjutan

Lampiran

12

Component Matrixa

Component

Variabel 1 2 3 4

Jml_total Spesies 0,785 0,134 -0,322 -0,028

T_Pohon 0,628 -0,002 -0,473 0,269

T_Tiang -0,049 0,551 0,299 -0,186

T_Pancang 0,267 0,094 0,130 0,882

Jml_Sp_Pakan 0,824 -0,431 0,127 -0,118

Jml_Ind_Pakan 0,797 -0,489 0,236 -0,100

Jml_Sp_Cover 0,524 0,761 -0,016 -0,154

Jml_Ind_Cover 0,533 0,800 0,115 -0,115

D_Phn_Pakan 0,559* -0,308 -0,225 -0,026

D_Tg_Pakan 0,378 -0,378 0,619 -0,357

D_Pcg_Pakan 0,513 -0,241 0,552 0,261

D_Phn_Cover 0,539* 0,394 -0,500 -0,127

D_Tg_Cover 0,036 0,521 0,465 0,152

D_Pcg_Cover 0,075 0,344 0,607 0,074

Extraction Method: Principal Component Analysis. 4 components extracted.

Keterangang:*) Faktor yang paling berpengaruh dominan terhadap kehadiran Cikukua timor T = tinggi rata-rata vegetasi; D = Density (kerapatan), Phn = Pohon, Tg = Tiang, Pcg = Pancang


(3)

167

Lampiran 13 Hasil akurasi klasifikasi tutupan lahan di landskap Camplong.

CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT

---

Image File : e:/research_thesis/map_spasial analisis/prsoes data/raster proses/klasifikasi tipe habitat/l511067_06720100719_ubah_supervised_focal_geo2.img

User Name : Blasius Paga

Date : Wed Nov 09 14:17:30 2011 ERROR MATRIX

--- Reference Data ---

Classified Data Unclassified Awan Badan Air Kebun Mete --- --- --- --- ---

0 0 0 0

Awan 0 0 0 0

Badan Air 0 0 6 0

Kebun Mete 0 0 0 8

Kebun Palawija 0 0 0 2

Hutan Primer 0 0 0 0

Jalan Negara 0 0 0 0

Semak 0 0 0 0

Belukar 0 0 1 0

Savana 0 0 0 0

Sawah 0 0 0 0

Pemukiman 0 0 0 0

Hutan Tanaman 0 0 0 0

Hutan Sekunder 0 0 0 0

Badan Air Sunga 0 0 0 0

Lahan Kosong 0 0 0 0

Mamar 0 0 0 0

Column Total 0 0 7 10

Reference Data --- Classified Data Kebun Palawija Hutan Primer Jalan Negara Semak --- --- --- --- --- 0 0 0 0

Awan 0 0 0 0

Badan Air 0 0 0 0

Kebun Mete 1 0 0 0

Kebun Palawija 9 0 0 0

Hutan Primer 0 12 0 0

Jalan Negara 0 0 3 0

Semak 0 0 0 9

Belukar 0 1 0 1

Savana 0 0 0 0

Sawah 0 0 0 0

Pemukiman 0 0 0 0

Hutan Tanaman 0 0 0 2

Hutan Sekunder 0 1 0 0

Badan Air Sunga 0 0 0 0

Lahan Kosong 0 1 0 0

Mamar 0 0 0 1


(4)

168

Lanjutan

Lampiran 13

Reference Data

---

Classified Data Belukar Savana Sawah Pemukiman --- --- --- --- ---

0 0 0 0

Awan 0 0 0 0

Badan Air 0 0 0 0

Kebun Mete 0 0 0 0

Kebun Palawija 0 0 0 0

Hutan Primer 0 0 0 0

Jalan Negara 0 0 1 0

Semak 1 0 0 0

Belukar 17 0 0 0

Savana 0 1 0 0

Sawah 0 0 1 0

Pemukiman 0 0 0 19

Hutan Tanaman 0 0 0 3

Hutan Sekunder 0 0 0 0

Badan Air Sunga 0 0 0 0

Lahan Kosong 0 0 0 0

Mamar 1 0 0 0

Column Total 19 1 2 22

Reference Data --- Classified Data Hutan Tanaman Hutan Seku Badan Air Sungai Lahan Kosong --- --- --- --- --- 0 0 0 0

Awan 0 0 0 0

Badan Air 0 0 0 0

Kebun Mete 0 1 0 0

Kebun Palawija 0 0 0 0

Hutan Primer 0 0 0 0

Jalan Negara 0 0 0 0

Semak 0 0 0 0

Belukar 0 0 0 0

Savana 0 0 0 0

Sawah 0 0 0 0

Pemukiman 0 0 0 0

Hutan Tanaman 17 0 0 0

Hutan Sekunder 2 4 0 0

Badan Air Sunga 0 0 3 0

Lahan Kosong 0 0 0 0

Mamar 0 0 0 0


(5)

169

Lanjutan

Lampiran

13

Reference Data ---

Classified Data Mamar Row Total --- --- ---

0 0

Awan 0 0

Badan Air 0 6

ebun Mete 0 10

Kebun Palawija 0 11

Hutan Primer 0 12

Jalan Negara 0 4

Semak 0 10

Belukar 0 20

Savana 0 1

Sawah 0 1

Pemukiman 0 19

Hutan Tanaman 1 23

Hutan Sekunder 0 7

Badan Air Sunga 0 3

Lahan Kosong 0 1

Mamar 6 8

Column Total 7 136

--- End of Error Matrix --- ACCURACY TOTALS --- Class Reference Classified Number Producers Users Name Totals Totals Correct Accuracy Accuracy --- --- --- --- --- --- 0 0 0 --- ---

Awan 0 0 0 --- ---

Badan Air 7 6 6 85.71 100.00% Kebun Mete 0 10 8 80.00% 80.00% Kebun Palawija 10 11 9 90.00% 81.82% Hutan Primer 15 12 12 80.00% 100.00% Jalan Negara 3 4 3 100.00% 75.00% Semak 13 10 9 69.23% 90.00% Belukar 19 20 17 89.47% 85.00% Savana 1 1 1 100.00% 100.00% Sawah 2 1 1 50.00% 100.00% Pemukiman 22 20 19 86.36% 95.00% Hutan Tanaman 19 23 17 89.47% 73.91% Hutan Sekunder 5 7 4 80.00% 57.14% Badan Air Sunga 3 3 3 100.00% 100.00% Lahan Kosong 0 1 0 --- ---

Mamar 7 8 6 85.71% 75.00% Totals 136 137 115

Overall Classification Accuracy = 83.94% --- End of Accuracy Totals ---


(6)

170

Lanjutan

Lampiran

13

KAPPA (K^) STATISTICS ---

Overall Kappa Statistics = 0.8210 Conditional Kappa for each Category. ---

Class Name Kappa --- --- 0.0000 Awan 0.0000 Badan Air 1.0000 Kebun Mete 0.7843 Kebun Palawija 0.8039 Hutan Primer 1.0000 Jalan Negara 0.7444 Semak 0.8895 Belukar 0.8258 Savana 1.0000 Sawah 1.0000 Pemukiman 0.9404 Hutan Tanaman 0.6971 Hutan Sekunder 0.5552 Badan Air Sungai 1.0000 Lahan Kosong 0.0000 Mamar 0.7365