commit to user
BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Prestasi Belajar Matematika
a. Pengertian Prestasi
Menurut Tu’u dalam Otong Kardisaputra 2004: 75 “prestasi merupakan hasil yang dicapai seseorang ketika mengerjakan tugas atau
kegiatan”. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1998: 895 prestasi adalah hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan,
dikerjakan dan sebagainya. Selain itu, menurut Sutratinah Tirtonegoro 2001: 43 “prestasi adalah hasil pengukuran serta penilaian dari usaha
belajar”. Dari ketiga pengertian prestasi tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa prestasi adalah hasil yang dicapai oleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung.
b. Pengertian Belajar
Menurut Slameto 2003:2 “belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Sedangkan menurut
Witherington dalam Nanang dan Cucu Suhana 2009: 7 “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan
10
commit to user
sebagai pola-pola respons baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk mengubah
segala kekurangan yang ada dalam diri yang dilakukan dengan berlatih sungguh-sungguh serta membutuhkan waktu. Dalam hal ini, waktu
yang yang digunakan berlansung relatif lama karena terjadi dalam interaksi dengan lingkungannya, artinya siswa berinteraksi dengan
seseorang yang mempunyai kemampuan yang lebih dari dirinya. c.
Pengertian Matematika Menurut James dan James dalam Maswins 2010, “matematika
adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan
jumlah yang banyak dan terbagi ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri”. Sedangkan juga dalam Maswins, Johnson dan
Rising 2010 mengatakan matematika adalah pola pikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik.
Menurut Hamzah dalam Fitri Nur Rohmah “matematika adalah sebagai suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, komunikasi, alat
untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya logika dan intuisi, analisa dan konstruksi, generalitas dan individualitas,
serta mempunyai cabang-cabang antara lain aritmatika, aljabar, geometri, dan analisis”. Dari pengertian di atas matematika merupakan
commit to user
ilmu yang bersifat abstrak, asiomatik, dan dedukatif. Sedangkan menurut beberapa pakar pendidikan matematika dalam Partono 2009:
15 bahwa matematika merupakan ilmu yang berkenaan dengan ide-ide, gagasan, konsep dan tersusun secara sistematis untuk memperoleh
kemampuan pola pikir yang baik. Selain itu matematika merupakan induk dari ilmu pasti yang kemudian berkembang menjadi ilmu terapan
untuk kemajuan teknologi dan kebaikan hidup manusia. d.
Pengertian Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan pengertian prestasi, belajar dan matematika yang
telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika adalah hasil yang dicapai siswa dalam mengikuti pelajaran
matematika yang mengakibatkan perubahan pada diri seseorang siswa berupa penguasaan dan kecakapan baru yang ditunjukkan dengan hasil
yang berupa nilai. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa banyak jenisnya, tetapai dapat digolongkan menjadi dua golongan
saja, yaitu: 1
Faktor yang berasal dari diri sendiri internal, meliputi: a
Faktor jasmaniah fisiologi baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Yang termasuk faktor ini adalah panca indera
yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, seperti sakit, cacat tubuh atau perkembangan yang tidak sempurna, berfungsinya
kelenjar tubuh yang membawa kelainan tingkah laku.
commit to user
b Faktor psikologi, sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang
tergolong kedalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu antara lain: intelegensi, perhatian,
minat, bakat, motif, kematangan, dan kelelahan. 2
Faktor yang berasal dari luar diri eksternal, meliputi: a
Faktor keluarga Faktor keluarga yang meliputi: cara orang tua mendidik, relasi
antara anggota keluarga, suasana rumah tangga, dan keadaan ekonomi keluarga.
b Faktor sekolah
Adapun faktor-faktor yang berasal dari sekolah antara lain: model pembelajaran, kurikulum, relasi guru dengan siswa,
relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, model
belajar siswa, dan tugas rumah. c
Faktor masyarakat Sedangkan faktor yang berasal dari masyarakat antara lain:
kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.
Slameto, 2003 : 54-72 2.
Pendekatan Pembelajaran Menurut Akhmad Sudrajat 2008 “pendekatan pembelajaran dapat
diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
commit to user
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamya mewadahi,
menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu ”. Dengan kata lain, pendekatan pembelajaran
merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu strategi pembelajaran, metode pembelajaran dan teknik pembelajaran. Adapun
pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga yaitu kontekstual, problem solving dan konvensional. Adapun
penjelasannya sebagai berikut: a.
Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran matematika kontekstual telah berkembang di
negara-negara lain dengan berbagai nama. Di Belanda dengan nama RME Realistic Mathematics Education, di Amerika berkembang
dengan nama CTL Mathematics in Contextual Teaching Learning atau CME Contextual Mathematics Education. Di Belanda RME telah
berkembang sejak tahun 1970-an, namun usaha pengembangannya masih terus berlangsung hingga kini. Penggagas RME adalah Hans
Freudenthal dari Belanda. Gagasan RME muncul sebagai jawaban terhadap adanya gerakan matematika modern di Amerika Serikat dan
praktek pembelajaran matematika yang terlalu mekanistik di Belanda. Freudenthal menyatakan bahwa pembelajaran matematika konvensional
terlalu berorientasi pada sistem formal matematika sehingga anti didaktik. Sementara itu tahun 1980-an telah terjadi perubahan pijakan
commit to user
teori belajar pada pembelajaran matematika behavioris dan strukturalis ke arah kognitif dan kontruktivis realistik Partono, 2009: 20.
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning
CTL oleh Triyanto 2007: 101 merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran
dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga, warga negara dan tenaga kerja. Sedangkan pembelajaran kontekstual contextual teaching and learning adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan
tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: 1
Konstruktivisme constructivism Pembelajaran kontekstual dibangun dalam landasan kostruktivisme
yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan dibangun siswa secara sedikit demi sedikit incremental dan hasilnya diperluas melalui
konteks terbatas. 2
Menemukan inquiry Pembelajaran yang dilakukan oleh siswa merupakan proses
menemukan inquiry terhadap sejumlah pengetahuan dan keterampilan.
commit to user
3 Bertanya questioning
Pembelajaran yang dilakukan siswa diawali dengan proses bertanya. Proses bertanya yang dilakukan siswa sebenarnya merupakan proses
berpikir yang dilakukan siswa dalam rangka memecahkan masalah dalam kehidupannya.
4 Masyarakat Belajar learning community
Pembelajaran merupakan proses kerja sama antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan gurunya, dan antara siswa dengan
lingkungannya. 5
Pemodelan modeling Pemodelan dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru, siswa,
atau dengan cara mendatangkan nara sumber dari luar outsourcing, yang terpenting dapat membantu ketuntasan dalam belajar sehingga
siswa dapat mengalami akselerasi perubahan secara berarti. 6
Refleksi reflection Refleksi pembelajaran merupakan respons terhadap pengetahuan dan
keterampilan yang baru diterima dari proses pembelajaran. Siswa dituntut untuk mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai
struktur pengetahuan dan keterampilan yang baru sebagai wujud pengayaan atau revisi dari pengetahuan dan keterampilan
sebelumnya. 7
Penilaian yang Sebenarnya authentic assessment Proses penilaian pengetahuan dan keterampilan performasi yang
commit to user
diperoleh siswa di mana penilai tidak hanya guru, tetapi juga teman siswa atau pun orang lain.
Pendekatan pembelajaran ini mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata
lingkungan seseorang, dan itu dapat terjadi melalui pencarian hubungan yang masuk akal dan bermanfaat. Pemaduan materi pelajaran dengan
konteks keseharian siswa di dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam di mana siswa
kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikannya. Siswa mampu secara independen menggunakan pengetahuannya untuk
menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapi, serta memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap belajarnya seiring dengan
peningkatan pengalaman dan pengetahuan mereka. Adapun landasan filosofi pendekatan kontekstual adalah
konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus membangun pengetahuan
di benak mereka. Bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta yang terpisah tetapi mencerminkan keterampilan
yang dapat diterapkan. Menurut Supardi 2006: 14, ada beberapa teori atau pendapat yang menjadi acuan pembelajaran matematika yang
kontekstual, dan pada dasarnya pembelajaran matematika yang kontekstual mengacu pada kontrukstivisme dan teori belajar bermakna.
Sedangkan menurut Supardi 2006, dalam Center for Occupation and Development contextual learning is a proven concept
commit to user
that incorporates much of the most recent research in cognitive science. It is also a reaction to the essentially behaviorist theories that have
dominated American education for many decades. The contextual approach recognizes that learning is a complex and multifaceted
process that goes far beyond drill-oriented, stimulus-and-response methodologies.
Pembelajaran secara kontekstual merupakan suatu konsep pembuktian bahwa hampir semua penelitian digabungkan dalam ilmu
pengetahuan. Hal ini juga merupakan suatu reaksi terhadap teori perilaku dasar yang sudah mendominasi di Amerika selama beberapa
dekade. Pendekatan pembelajaran kontekstual adalah suatu proses kompleks dan dari berbagai sudut pandang dapat berjalan kearah yang
lebih jauh, meliputi orientasi gerakan serta metode stimulasi dan umpan balik.
Sedangkan menurut Clemente Charles Hudson dan Vesta R. Whisler Contextual teaching and learning is a conception of teaching
and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations; and motivates students to make connections between
knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers; and engage in the hard work that learning
requires[1].
Dalam konteks belajar dengan pendekatan kontekstual, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa
mereka dan bagaimana mencapainya. Siswa harus menyadari bahwa apa yang mereka pelajari akan berguna bagi hidupnya nanti. Dalam
kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi
dara pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru
bagi siswa. Sedangkan dalam Teachers’ Beliefs And Intentions “Contextual variables might explain why different teachers adopt
commit to user
different approaches to teaching. Prosser and Trigwell 1997 devised an additional instrument, the Perceptions of the Teaching Environment
Inventory, to measure various aspects of the perceived teaching context
”. Yaitu variabel kontekstual dapat menjelaskan perbedaan cara guru dalam mengajar. Prosser dan Trigwell 1997 menambah
rancangan instrumen tambahan, persepsi persediaan pengajaran, untuk mengukur berbagai aspek konteks pengajaran.
Menurut Triyanto 2007: 106, secara garis besar langkah- langkah penerapan CTL dalam kelas sebagai berikut:
1 Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
2 Laksanakan sejauh mungkin kegiatan konvensional untuk semua
topik. 3
Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. 4
Ciptakan masyarakat belajar belajar dalam kelompok-kelompok. 5
Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. 6
Lakukan refleksi di akhir pertemuan. 7
Lakukan penilaian yang sebenarnya. b.
Pembelajaran Problem Solving Pembelajaran dengan problem solving pemecahan masalah
dipandang sebagai pembelajaran yang meningkatakan kemampuan siswa dalam berpikir tinggi. Karena siswa setiap harinya selalu
dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau tidak. Karena itu pembelajaran dengan problem solving sejak dini diperlukan agar siswa
commit to user
dapat menyelesaikan problematika kehidupannya. Dalam pembelajaran matematika ini aspek pemecahan masalah menjadi semakin penting. Ini
dikarenakan matematika merupakan pengetahuan yang logis, sistematis, berpola, abstrak, dan yang tak kalah penting menghendaki pembuktian.
Istilah problem solving sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula. Tetapi problem
solving dalam matematika memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis
besar terdapat tiga macam interpretasi istilah problem solving menurut Branca, N. A.dalam Krulik, S. Reys, R. E. 1980: 3-6 dalam
pembelajaran matematika, yaitu: 1
Problem solving sebagai tujuan Para pendidik, matematikawan, dan pihak yang menaruh perhatian
pada pendidikan matematika seringkali menetapkan problem solving sebagai salah satu tujuan pembelajaran matematika. Bila problem
solving ditetapkan atau dianggap sebagai tujuan pengajaran maka ia
tidak tergantung pada soal atau masalah yang khusus, prosedur, atau metode, dan juga isi matematika. Anggapan yang penting dalam hal
ini adalah bahwa pembelajaran tentang bagaimana menyelesaikan masalah solve problems merupakan “alasan utama” primary
reason belajar matematika.
2 Problem solving sebagai proses
Pengertian lain tentang problem solving adalah sebagai sebuah proses yang dinamis. Dalam aspek ini, problem solving dapat
commit to user
diartikan sebagai proses mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi yang baru dan tidak biasa. Dalam interpretasi
ini, yang perlu diperhatikan adalah metode, prosedur, strategi dan heuristik yang digunakan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah.
Masalah proses ini sangat penting dalam belajar matematika dan yang demikian ini sering menjadi fokus dalam kurikulum
matematika. Sebenarnya, bagaimana seseorang melakukan proses problem solving
dan bagaimana seseorang mengajarkannya tidak sepenuhnya dapat dimengerti. Tetapi usaha untuk membuat dan
menguji beberapa teori tentang pemrosesan informasi atau proses problem solving
telah banyak dilakukan. Dan semua ini memberikan beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam belajar problem solving
dan aplikasi dalam pengajaran. 3
Problem solving sebagai keterampilan dasar Pengertian problem solving sebagai keterampilan dasar lebih dari
sekedar menjawab tentang pertanyaan: apa itu problem solving? Problem solving
adalah suatu pendekatan pembelajaran dalam menghadapi masalah. Problem solving juga merupakan suatu prosedur
yang didalamnya terdapat langkah-langkah yang harus diikuti dalam memecahkan sebuah masalah yang dihadapi seseorang sebagai
perorangan atau seseorang bagai pemimpin organisasi atau anggota organisasi. Sedangkan menurut Dr.Marlow Ediger ”problem solving is
a vital skill for all to develop. Developmentally and at increasing levels
commit to user
of diffuculty, pupils must be able to solve personal mathematics problems
”. Yaitu pemecahan masalah adalah suatu keterampilan yang penting untuk berkembang. Saat perkembangan dan meningkatnya
tingkat kesulitan, siswa harus mampu memecahkan masalah matematika secara pribadi.
Sedangkan menurut Polya 1945 ”defines problem-solving as the process used to solve a problem that does not have obvious
solutions ” yaitu polya mendefinisikan problem solving adalah proses
untuk menyelesaikan masalah yang tidak mempunyai jawaban yang jelas. Adapun empat langkah cara menyelesaikan masalah menurut
Polya 1971, yaitu: 1
Understand the problem memahami masalah. 2
Devise a plan buat sebuah rencana. 3
Carry out the plan terapkan rencana tadi. 4
Look back periksa kembali. Sumardyono, 2006: 24
Pentingnya problem solving juga dapat dilihat pada perannya dalam pembelajaran. Stanic Kilpatrick seperti dikutip McIntosh, R.
Jarret, D. 2000:8 dalam buku ”Tips dalam Penerapan Pembelajaran Problem Solving
” Suyadi, 2009:27, membagi peran problem solving sebagai konteks menjadi beberapa hal:
1 Untuk pembenaran pengajaran matematika.
commit to user
2 Untuk menarik minat siswa akan nilai matematika, dengan isi yang
berkaitan dengan masalah kehidupan nyata. 3
Untuk memotivasi siswa, membangkitkan perhatian siswa pada topik atau prosedur khusus dalam matematika dengan menyediakan
kegunaan kontekstualnya dalam kehidupan nyata. 4
Untuk rekreasi, sebagai sebuah aktivitas menyenangkan yang memecah suasana belajar rutin.
5 Sebagai latihan, penguatan keterampilan dan konsep yang telah
diajarkan secara langsung mungkin ini peran yang paling banyak dilakukan oleh kita selama ini.
Suatu soal dapat dijadikan sebagai sarana dalam pembelajaran dengan problem solving, jika dipenuhi syarat-syarat antara lain: siswa
memiliki pengetahuan prasyarat untuk mengerjakan soal yang diberikan, siswa belum tahu algoritmacara pemecahan soal, soal
terjangkau oleh siswa, siswa mau dan berkehendak untuk menyelesaikan soal. Sedangkan ciri-ciri suatu soal disebut ”problem”
dalam perspektif ini paling tidak memuat dua hal yaitu: soal tersebut menantang pikiran challenging dan soal tersebut tidak otomatis
diketahui cara penyelesaiannya non routine. Jika problem solving ini diterapkan, maka langkah-langkah yang
dapat ditempuh guru adalah sebagai berikut:
commit to user
1 Guru mengajarkan materi pelajaran seperti biasanya, pemanfaatan
alat peraga atau media masih dimungkinkan, apalagi untuk anak Sekolah Dasar.
2 Guru dengan tanya jawab memberikan contoh soal.
3 Guru memberikan satu atau dua soal yang harus dipecahkan siswa
berdasarkan persyaratan soal sebagai sebuah problem solving. 4
Siswa dengan dipandu guru menyelesaikan soal yang dipakai sebagai bahan ajar dalam pembelajaran dengan problem solving.
Suyadi, 2009: 30 c.
Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional adalah salah satu pembelajaran yang
sudah lama dikenal dan merupakan suatu pengajaran di mana dalam proses belajar mengajar, penyampaian pelajaran masih mengandalkan
metode ceramah yaitu suatu metode mengajar dengan menyampaikan informasi atau pengetahuan secara lisan kepada siswa yang pada
umumnya mengikuti secara pasif. Dalam pembelajaran ini guru berperan sangat aktif, dan siswa
berkesan pasif, hanya mendengarkan guru secara teliti serat mencatat hal-hal penting yang dikemukakan oleh guru. Guru memegang peranan
yang penting dalam menentukan urutan-urutan langkah-langkah dalam menyampaikan isi atau materi pelajaran kepada siswa. Hal ini
mengakibatkan siswa menjadi jenuh, kurang kreatif, kurang inisiatif, sangat tergantung oleh guru dan tidak terlatih untuk berdiri sendiri
commit to user
dalam belajar. Siswa tidak diberi kesempatan untuk menetukan konsep yang diajarkan, sehingga siswa tidak mampu menguasai bahan yang
diajarkan. Adapun ciri-ciri dari pembelajaran antara lain:
1. Bahan pelajaran disajikan kepada kelompok, kepada kelas sebagai
keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individual. 2.
Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, tugas tertulis, dan media lain menurut pertimbangan guru.
3. Siswa umumnya bersifat pasif, karena yang utama mendengarkan
uraian guru. 4.
Kecepatan belajar siswa tergantung dari kecepatan guru mengajar. 5.
Keberhasilan belajar siswa umunya dinilai guru secara subyektif. 6.
Guru berfungsi sebagai penyebar atau penyalur pengetahuan sebagai sumber informasipengetahuan.
Belajar dengan pembelajaran konvensional menyebabkan siswa menjadi belajar menghafal rote learning yang kurang mengakibatkan
timbulnya pengertian. Siswa menjadi pasif dan daya kritis siswa akan terhambat. Untuk itu diperlukan suatu pembaharuan metode
pembelajaran yang dapat mengarah pada peningkatan prestasi belajar siswa. Suatu metode yang dapat membuat siswa aktif dalam belajar,
membentuk siswa yang kreatif, berpikir logis, kritis, dan inovatif. Adapun keuntungan atau kebaikan konvensional adalah:
1 Guru dapat menguasai seluruh arah kelas.
commit to user
2 Organisasi kelas sederhana.
Sedangkan keburukannya adalah: 1
Guru sukar mengetahui sampai di mana murid-murid telah mengerti pembicaraannya.
2 Murid sering kali memberi pengertian lain dari hal yang
dimaksudkan guru. 3.
Motivasi Motivasi berasal dari kata “motif” yang artinya daya upaya yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan didalam subyek untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dari kata “motif”, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah
menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak.
Menurut Gambrell 2001 motivation theory has been discussed as an important aspect of students’ success in schools. Research has shown
that motivation influences students’ involvement and academic achievement. There also is a growing interest in understanding the
relationships between motivation and teacher-students’ relationship. This study seeks to investigate the nature and magnitude of relationship
between students’-faculty interactions, students’ critical thingking skills, students’-to-students’ relations and students’ motivation
. Teori motivasi membicarakan tentang aspek yang penting bagi
kesuksesan siswa di sekolah. Dalam penelitian mengatakan motivasi mempengaruhi keterlibatan dan prestasi akademik siswa. Penelitian ini
menumbuhkan minat untuk mengerti hubungan antara motivasi dan hubungan guru-siswa. Belajar mencari penelitian yang alami dan besarnya
commit to user
hubungan antara siswa, kemampuan berinteraksi, keahlian berpikir kritis siswa pada hubungan siswa dan motivasi siswa.
Menurut Sartain dalam Ngalim Purwanto 1990: 61, “motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organism yang
mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan goal atau perangsang incentive”. Tujuan goal adalah yang menentukan atau membatasi
tingkah laku organism itu. Jika yang kita tekankan ialah faktanya atau objeknya, yang menarik organism itu, maka kita pergunakan istilah
“perangsang incentive”. Sedangkan menurut Merrian dan Brockett 1997 dan Knowles 1990 “motivation is particularly crucial in adult
learning because a higher degree of autonomy is desirable and appropriate for adults
” yaitu motivasi merupakan penelitian yang penting
dalam pembelajaran pendewasaan seseorang karena dianggap berderajat tinggi yang layak diharapkan dalam pendewasaan seseorang.
Dari beberapa definisi motivasi tersebut, pada dasarnya mengandung arti atau maksud yang sama yaitu bahwa motivasi adalah
dorongan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan. Yang dimaksud motivasi dalam hal ini adalah motivasi
belajar, yaitu suatu dorongan atau kemauan seseorang untuk melakukan aktivitas belajar agar prestasi belajar dapat dicapai. Atau motivasi belajar
merupakan kekuatan power motivation, daya pendorong driving force, atau alat pembangun kesediaan dan keinginan yang kuat dalam diri peserta
didik untuk belajar secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan
commit to user
menyenangkan dalam rangka perubahan tingkah laku, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Motivasi mempunyai tiga komponen pokok, yaitu menggerakkan, mengarahkan dan menopang tingkah lakuk manusia. Adapun
penjelasannya sebagai berikut: a.
Menggerakkan berarti menimbulkan kekuatan pada individu, memimpin seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu. Misalnya
kekuatan dalam hal ingatan, respons-respons efektif, dan kecenderungan mendapat kesenangan.
b. Motivasi juga mengarahkan atau menyalurkan tingkah laku. Dengan
demikian individu menyediakan suatu orientasi tujuan. c.
Untuk menjaga dan menopang tingkah laku, lingkungan sekitar harus menguatkan reinforce intensitas dan arah dorongan serta kekuatan
individu. Ngalim Purwanto, 1990: 72
Menurut sifatnya motivasi dibagi menjadi dua yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah
motivasidorongan yang dikarenakan orang tersebut senang melakukannya. Sebagai contoh orang yang senang membaca, tidak usah
ada yang menyuruh atau mendorong, ia sudah rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan terhadap
perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang dilakukannya. Sebagai contoh seseorang itu belajar, karena tahu besok paginya akan ujian dengan
commit to user
harapan mendapat nilai baik, sehingga akan dipuji pacar atau temannya. Menurut Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana 2009: 28-29 tinggi
rendahnya motivasi belajar siswa dapat terlihat dari indikator motivasi itu sendiri. Mengukur motivasi belajar dapat diamati dari sisi-sisi, antara lain:
durasi belajar, sikap terhadap belajar, frekuensi belajar, konsistensi terhadap belajar, kegigihan dalam belajar, loyalitas terhadap belajar, visi
dalam belajar, achievement dalam belajar.
B. Penelitian yang Relevan